Hutan yang Nexa susuri cukup gelap dan berkabut. Pohon-pohon begitu besar dan banyak suara-suara aneh terdengar, sesekali seolah berbisik, meraung, meminta tolong, lalu menjerit. Perempuan itu juga melihat sekelebat bayangan yang terus melintas di balik pohon-pohon. Ia ingin keluar dari sana dan pergi sangat jauh.
Tiba-tiba, Nexa ingat makhluk di samping selnya. Yang mengatakan supaya ia pergi sejauh mungkin. Perempuan itu terus berlari dan berlari sampai tak yakin apakah kakinya masih menapak tanah. Rasa sakit di telapak kaki yang tertusuk sesuatu atau ranting yang menggores kulitnya pun ia hiraukan. Sesekali duri semak atau ranting juga menyebabkan gaunnya tersangkut dan ia harus menariknya sampai robek.
Nexa melihat sebuah cahaya samar yang agak jauh di balik pohon. Namun, langkahnya terhenti saat seseorang menggapai tangannya, membuat ia menjerit dan berbalik kaget.
"Tertangkap!" orang tak dikenal menangkap perempuan itu, ternyata salah satu orang kekaisaran.
"Murnikan aku! Atau aku akan membunuhmu!" ancamnya sembari berteriak, Nexa bahkan tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Tapi matanya berwarna putih dan terdapat pola seperti akar-akar merah.
Perempuan itu benar-benar panik dan takut, pikirannya terasa kosong saat orang itu mencoba mengayunkan sebuah pedang ke arahnya. Namun, tangan Nexa bergerak mengarah ke tubuh orang itu, mengeluarkan kabut merah pekat.
"Tangan peledak, pelenyap jiwa."
Setelah ia menyentuh tubuh orang itu bersamaan dengan pedang yang hampir memutus tangannya, tubuh pria itu meledak sehingga darahnya memuncrat dan potongan kecil tubuhnya mengenai tubuh Nexa, ia memejamkan mata.
Perempuan itu membeku selama beberapa saat. Kala ia mengambil kembali kesadaran, tubuhnya lemas dan menggigil hebat. Nexa terdiam duduk di tempat, tubuh orang itu tidak tersisa sama sekali, ia bisa membayangkan saat tubuh yang meledak di depannya.
Napas Nexa terasa sesak dan cairan hangat keluar dari matanya. Ia panik dan benar-benar ketakutan sampai tak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri. Ia menatap tangan dan tubuhnya yang habis dilumuri darah.
Tangisan pun tak dapat ia bendung. Nexa baru saja membunuh seseorang dengan tangannya sendiri. Saat ledakan besar kembali terdengar di belakang, ia tersentak, kembali mengingat bahwa ia harus pergi. Namun saat akan berdiri, kaki Nexa tak bisa menopang tubuhnya sama sekali. Sehingga ia memilih merangkak di tanah demi bergerak. Tidak peduli bagaimanapun caranya, ia harus pergi menuju perbatasan.
Sampai Nexa akhirnya tiba di balik sebuah jajaran pohon dan cahaya samar. Perempuan itu sampai di sebuah tempat yang di atas tanahnya terdapat cahaya putih seolah memisahkan tanah yang ditapakinya dan tanah di seberang. Ia melihat sebuah harapan dan kembali menyeret kakinya.
Akan tetapi sesuatu yang menahan dan memegang kakinya membuat seluruh tubuhnya membeku. Ini seperti adegan klise sebuah film horor di masa kecil. Nexa tidak berani menoleh dan seluruh bulu kuduknya terasa merinding.
Jeritan terdengar bersamaan dengan suara tusukan, dan sesuatu yang memegangnya tak terasa lagi.
"Apa kau utusan agung?"
Suara seseorang terdengar. Perempuan menoleh dan mendapati seorang berjubah lainnya, walau tak mengenalnya, Nexa entah kenapa merasa tenang dan tanpa sadar menghela napas lega. Ia mengangguk dengan mata yang berkaca-kaca, seseorang dari pasukan berjubah itu mencoba membangunkannya.
"Kenapa kau seperti ini?" tanyanya, lalu detik berikutnya menghela napas.
"Tidak penting, ayo cepat pergi," lanjutnya berbicara sendiri.
Mereka baru saja berjalan satu langkah saat sebuah pedang menyembul menembus tubuh pria itu dari belakang.
"Ti-dak ...." ia memuntahkan darah cukup banyak.
Nexa menjerit kaget.
"Pergilah ...," katanya agak lemah.
Padahal Nexa pikir ia baru saja bertemu seseorang yang akan menemaninya melarikan diri. Pria itu terbatuk darah dan jubahnya dibuka. Nexa tak mengenalnya, ini pertama kali ia melihat pria itu, tapi rasanya sedikit familier.
"Ti-tidak, kumohon ... perbatasan, ya, perbatasannya di sana kan? Ayo ... kita pergi," ucap Nexa terbata sambil mengalungkan sebelah tangan orang itu padanya.
"Tidak apa-apa, sungguh ... pergilah."
Nexa menggeleng tanda menolak perintah, lalu pria itu melepas liontin di lehernya dan mengalungkannya pada leher Nexa.
"Dengar, sebuah kehormatan untukku jika mati sebagai seorang ksatria."
Ia mengangkat tubuh perempuan itu dan melemparkannya ke tempat yang merupakan perbatasan.
"Tidak!!!"
Saat Nexa pikir ia selamat ke perbatasan karena mengorbankan seseorang, ia rasa dirinya salah. Dalam waktu yang seolah melambat, seorang pemilik pedang yang menghunus pria berjubah yang telah tersungkur setelah mencoba membantu Nexa, menarik pedangnya dari tubuh itu.
Nexa melangkah melewati garis putih bercahaya. Lalu memegangi dadanya, merintih, dan diam sesaat seperti menahan sakit.
"Aku akan membunuhmu di sini, tak peduli utusan agung akan muncul lagi atau tidak. Kau! Kau membunuh saudariku!"
Krak!!!
Baru selesai ia berucap, seekor binatang seperti serigala hitam berukuran besar melahap kepalanya. Perempuan itu berpikir bencana lain akan segera menghampirinya. Ia mencoba mundur dengan menyeret tubuh di tanah tanpa melihat ke belakang sama sekali, tubuhnya tak berhenti bergetar ketakutan. Sampai tangannya terpeleset, Nexa tak menemukan sesuatu untuk menapakkan tangannya lagi di belakang. Tubuhnya perlahan akan jatuh, tertarik gravitasi.
"Buat formasi! Burung Api, amankan utusan agung!"
Setelah mendengar suara yang entah dari mana itu berasal, Nexa semakin pusing, mulai pasrah akan kehilangan kesadaran dan tubuhnya benar-benar terjatuh. Kematian, ia memikirkan itu lagi, seolah hanya itu yang ada di hidupnya. Mungkin akan lebih baik jika ia mati atau dilahap saat tak sadarkan diri, atau tubuhnya jatuh dan mati di dasar jurang. Lalu saat bangun sudah berada di tempat setelah kematian.
Sebelum Nexa benar-benar tak sadarkan diri, ia melihat samar wajah seseorang di atas, menghalangi cahaya samar berwarna merah dari langit, tangan yang terulur mencoba meraihnya. Lalu, pandangan perempuan itu gelap seiring dengan kesadarannya yang menghilang.
***
Sesuatu yang hangat entah apa itu mengalir di tubuhnya. Begitu nyaman, seolah memeluk sehingga ia enggan membuka mata. Tubuhnya terasa ringan, tak ada rasa sakit.
Seperti suasana di hari libur dimana ia bisa bangun sesuka hati. Tidak perlu mengkhawatirkan bagaimana bertahan hidup esok hari. Tentu saja bukan suasana di hari Minggu yang berisik karena tetangga menyalakan musik atau kuli yang membangun rumah.
Samar-samar perempuan itu juga mendengar suara, burung yang berkicau, dan suara orang yang sedang berbicara.
Nexa merasa telah mengalami mimpi buruk. Tapi seolah kesadarannya telah tertarik kembali, bukannya ia memang mengalami hal buruk? Perlahan, perempuan itu mencoba membuka mata, mengerjap menyesuaikan cahaya yang menerobos masuk. Ia harus segera sadarkan diri.
Saat Nexa sadar sepenuhnya. Tiga orang pria dan seorang wanita menghampiri ke arahnya. Tapi penampilan mereka juga tidak seperti manusia biasa di bumi. Pakaian, warna mata, atau pun rambut.
"Ini ..., dimana?" tanyanya memastikan.
"Anda berada di Menara Expell, apa Anda ingat apa yang terjadi?" ucap seorang wanita yang matanya berwarna seperti emerald.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments