NovelToon NovelToon

Another Life: Legenda Sang Petani

Menara Kehidupan

Alex duduk di kursi taman sekolah. Tubuhnya bersandar lunglai. Wajahnya menengadah, menatap langit biru yang sedang berhias gumpalan-gumpalan awan beraneka ragam bentuk dan ukuran.

"Hai bro! Kau sedang apa, bro?" kata seseorang, diikuti derap langkah yang terdengar semakin mengeras.

Tidak ada respon. Alex tetap mematung di tempat. Kedua matanya masih sibuk mengamati barisan awan. Gumpalan-gumpalan putih itu melaju beriringan ke arah timur.

"Apa ada masalah? Kenapa kau terlihat menyedihkan seperti itu?"

Dada Alex mengembang, lalu mengempis dengan perlahan saat udara di paru-parunya terpompa keluar. Dengan sedikit gerakan menoleh ke samping, Alex melirik laki-laki yang baru saja duduk di sebelahnya. Sosok tersebut mengenakan jubah toga berwarna kombinasi merah dan putih, sama seperti yang membungkus tubuh Alex. Wajahnya dipenuhi kebahagiaan.

"Aku baik-baik saja, Bud." kata Alex acuh. Pandangannya kembali menerawang ke atas. "Hanya saja… "

"Masih bingung harus memilih apa?" Budi memotong.

Alex menghela nafas. "Padahal hanya sebuah permainan, tapi kenapa harus serumit ini? Kenapa kita semua harus memainkannya? Ini sangat tidak masuk akal."

Budi ikut menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Pandangannya juga terlempar ke ketinggian langit. "Apa yang kau tanyakan juga menjadi tanda tanya besar bagiku. Aku rasa semua orang juga berpikiran seperti itu. Tapi ini adalah peraturan pemerintah dunia. Semua negara harus mengikutinya. Mau tidak mau kita sebagai rakyat hanya bisa mematuhi peraturan yang ada. Tujuh belas tahun adalah batas minimum untuk mulai memainkan game dan bagi siapa saja yang belum memainkannya hingga umur dua puluh tahun akan dihukum berat. Memang peraturan yang tidak masuk akal. Tapi yang jelas memainkan game memiliki maksud tertentu. Sebuah tujuan yang kemungkinan besar akan mempengaruhi kehidupan kita kelak."

"Ya. Kau benar. Sebagai rakyat kita harus mengikuti aturan yang ada. Tapi apa aku bisa disebut sebagai rakyat biasa?"

Budi terkekeh. Sejenak laki-laki berkepala botak itu menatap Alex dengan penuh belas kasihan. "Tentu saja tidak. Kau tergolong rakyat super elit. Begitu juga dengan semua keluargamu."

"Itulah yang membuatku merasa tidak nyaman. Aku tidak seperti keluargaku yang lain. Aku tidak bisa mengikuti aturan. Aku lebih menyukai kebebasan dan melakukan apa saja yang aku mau."

"Aku tahu itu. Tapi apa kakekmu akan membiarkanmu bertingkah seenaknya? Aku rasa dia akan langsung memburumu saat tahu kau tidak mengikuti jejak keluargamu."

"Aku pasti akan langsung dipenggal jika berani muncul di depan matanya."

"Dipenggal dengan sekali tebasan."

"Ya. Kakek tua itu pasti melakukannya tanpa belas kasihan."

"Kau benar. Kakekmu benar-benar mengerikan."

"Jauh lebih mengerikan dari Kaisar monster."

-----@@-----

Menara setinggi tiga ratus meter berdiri kokoh tepat di tengah Kota Semarang. Gedung pencakar langit itu berwarna putih. Bagian puncaknya runcing, membuat gedung tertinggi di provinsi jawa tengah itu terlihat seperti duri raksasa. Bangunan tersebut adalah Menara Kehidupan.

Alex turun dari bus. Pandangannya langsung mengarah ke Menara Kehidupan. Dengan perlahan dan santai, Alex menyusuri trotoar, menghadap mantap ke gedung yang menjadi salah satu server game Another Life.

"Ayo cepat! Aku sudah tidak sabar." seorang remaja seumuran Alex berceloteh. Dia berjalan bersama teman-temannya. Tidak jauh dari Alex.

"Aku juga ingin cepat memainkannya." sahut remaja lainnya.

"Uang! Uang! Uang! Tunggu aku! Aku akan mengambilmu!"

"Dasar otak uang! Apa hanya itu tujuanmu memainkan Another Life?"

"Tidak. Aku juga akan menjadi petualang terhebat dan menjadi yang terkuat."

Alex hanya bisa merekahkan senyum saat segerombol remaja di dekatnya membicarakan game Another Life dengan penuh semangat dan bebas. Tidak ada beban yang tergurat di wajah. Hanya ada kebahagiaan di mata mereka.

"Senangnya jadi mereka." Alex iri.

Tak berselang lama gerbang Menara Kehidupan menyambut semua calon pemain baru. Antusiasme terlihat jelas di sana. Senyuman, semangat dan kegembiraan mendominasi antrian yang cukup panjang dan berkelok-kelok layaknya ular.

"Bagaimana bisa mereka bersikap seperti itu?" Langkah Alex melambat saat melewati gerbang.

Bagi Alex situasi di sekitarnya sekarang bukan sesuatu yang selama ini dia bayangkan. Selama ini Alex selalu didoktrin oleh keluarganya jika game Another Life bukan sekedar permainan. game tersebut bisa mempengaruhi kehidupan nyata. Apapun yang terjadi di dalam game sudah dapat dipastikan akan mempengaruhi kehidupan nyata setiap pemainnya, entah itu baik maupun buruk. Oleh karena itu seluruh keluarga Alex menganggap game yang dikendalikan oleh pemerintah dunia itu sebagai dunia kedua dan akan menjalaninya dengan serius.

Seraya mendekati ekor barisan, Alex mencoba mempengaruhi otaknya yang terlanjur terkontaminasi ajaran keluarganya sendiri. Alex berusaha menerima dan menganggap situasi di sekitarnya sebagai sebuah kewajaran.

"Sepertinya tidak seburuk yang kakek bilang." Alex mengamati keramaian di sekitarnya. Mau dilihat dari sisi manapun, mereka semua menebar kebahagiaan. Tidak ada guratan kekhawatiran di wajah mereka, apalagi ketakutan atas hancurnya masa depan jika seandainya permainan mereka hancur dan gagal total. "Baiklah! Aku akan menjadi seperti mereka." Senyum merekah lebar di bibir Alex.

Seiring berjalannya waktu, barisan bergerak perlahan ke depan. Alex yang awalnya berdiri di ekor barisan kini berada di bagian depan. Hanya tinggal menunggu belasan orang. Namun saat giliran Alex tiba, sebuah suara seketika menggelegar dan menarik perhatian semua orang di dalam barisan. Alex yang juga mendengarnya ikut menoleh ke sumber suara.

Sekitar lima puluh meter dari tempat pendaftaran, tepat di jalan setapak di tengah taman, sekelompok remaja laki-laki sedang berdiri angkuh di depan seorang gadis yang sedang sibuk memasukan beberapa perlengkapan ke dalam sebuah koper hitam. Beberapa satpam menghampiri tak lama kemudian. Mereka mencoba menengahi dan menenangkan situasi. Namun usaha mereka di acuhkan dan si gadis semakin mendapat perlakuan diskriminatif.

"Kenapa mereka selalu membuat masalah?" gerutu Alex seraya menggelengkan kepala. "Sepertinya mereka harus diberi pelajaran." Lanjut Alex seraya meninggalkan tempat pendaftaran. Langkahnya terayun cepat ke arah kericuhan yang kini menjadi pusat perhatian, dan dalam waktu singkat Alex berdiri di depan barisan kelompok yang mencoba menjadi pengacau di hari bersejarah bagi calon pemain Another Life.

"Sebenarnya seberapa besar kebencianmu padaku?" tanya seorang remaja laki-laki dengan suara tinggi saat Alex tiba dilokasi kericuhan. Laki-laki tersebut berperawakan kekar dan berambut merah menyala.

"Sudah aku bilang, aku tidak pernah membencimu. Hanya saja aku tidak suka caramu melampiaskan masalah dengan selalu membuat keributan. Bukankah kau tau itu, Miko."

Miko meludah ke samping. Tatapannya tajam dan penuh permusuhan. "Kau tidak mengenalku, dan kau tidak tahu apa-apa tentang masalahku. Jadi jangan bersikap seolah kau tahu segalanya tentang aku."

"Ayolah! Kita bicarakan ini baik-baik. Mungkin setelah..."

"Apa? Bicara? Jangan sok suci di depanku! Apa yang terjadi padaku sekarang itu karena keluargamu."

"Tapi… "

"Teman-teman ayo kita pergi! Tidak ada untungnya kita berada di sini."

Miko dan teman-temannya pergi layaknya kucing kehilangan mainan. Meninggalkan Alex bersama beberapa satpam dan gadis yang menjadi salah satu sumber keributan. Setelah memastikan semua sudah terkendali, para satpam ikut pergi.

"Kau baik-baik saja?" tanya Alex pada gadis di dekatnya.

"Ya. Terima kasih." balas gadis yang rambutnya dikuncir kepang itu. Setelah selesai memasukan semua barangnya yang tercecer ke dalam koper, gadis berkacamata tebal dan berwajah kusam itu berdiri dan sedikit membungkuk pada Alex sebelum pergi.

Alex yang akhirnya ditinggal sendirian hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ya sudahlah! Tidak semua niat baik mendapat sesuatu yang menyenangkan, dan sepertinya aku harus mengantri lagi." Alex lesu saat pandangannya mendapati barisan antrian yang jauh lebih panjang dari sebelumnya.

Tujuh Bintang Samudra

Di pinggiran Kota Semarang, tepatnya di perkampungan di pesisir pantai, berdiri sebuah warung kopi yang cukup tersohor di kalangan nelayan. Warung tersebut tidak besar dan hanya berlantai satu. Tidak banyak dekorasi menghias tempat tersebut. Hanya ada sebuah bar sederhana di ujung ruangan serta barisan kursi dan meja kayu sederhana yang berjajar rapi di dalam ruangan, teras dan halaman belakang. Benda-benda berbahan kayu itu menjadi saksi bisu jika warung kopi tersebut memiliki banyak pelanggan.

Alex melangkah perlahan di bawah Sang Mentari yang sedang bersinar terik. Kakinya berayun mantap, mengarah ke pintu warung kopi berdinding biru langit itu. Sebuah papan nama bertuliskan Ocean Blue bertengger lesu di atas pintu. Ukurannya yang cukup besar membuatnya terlihat jelas dari kejauhan.

Dengan ramah dan penuh senyuman, Alex mengangguk hormat pada beberapa pengunjung di teras. Lalu membuka pintu warung dengan sekali dorongan ringan.

Di dalam, suasana jauh lebih ramai. Celotehan membahana dari setiap sudut ruangan. Gelak tawa silih berganti berkumandang. Alex sudah terbiasa dengan suasana di hadapannya sekarang. Senyum tipis merekah di bibir laki-laki berumur tujuh belas tahun itu. Langkahnya gesit menyusuri jalan setapak di antara barisan meja dan kursi, mendekati bar di ujung ruangan.

"Siang Paman Andi!" seru Alex pada sesosok laki-laki bertubuh langsing di belakang meja bar.

"Yoo! Alex! Akhirnya kau datang." balas Andi seraya meracik beberapa minuman.

"Apa pesanannya banyak?" Alex meliuk melewati celah di ujung meja bar. Tangannya langsung meraih celemek di dinding, lalu mengenakannya secepat mungkin.

Senyum Andi merekah. Pandangannya sesaat terlempar ke seluruh pengunjung di dalam warung. "Jika mereka semua datang, pesanan pasti menumpuk."

Alex ikut melempar pandangan. Matanya menyorot dengan seksama dari salah satu sisi ruangan ke sisi lainnya. Dengan sekali lihat, Alex mendapati beberapa meja dan kursi yang dikelompokan pada satu area. Ada tujuh kelompok. Alex mengenali semuanya.

"Tujuh Bintang Samudra." celetuk Alex.

"Ya. Mereka ada di sini sekarang." Andi menimpali. "Lebih baik… "

"Alex! Alex! Alex!" seseorang dari kelompok yang berada paling dekat dengan bar tiba-tiba mengeraskan suaranya. Dengan sekali gerakan mantap, sosok tersebut berdiri dan menghampiri bar. "Aku sudah menunggumu sejak tadi, Alex. Apa kau tahu kenapa aku menunggumu?"

"Hallo Tuan Davinci!" Sapa Alex sopan. Senyumnya tersungging ringan. "Aku tidak mengerti maksud anda, Tuan."

Davinci tertawa sejenak. Tatapan tajamnya menghujam Alex. Sedangkan salah satu tangannya mengusap brewok yang menghiasi wajahnya. "Tentu saja untuk merekrutmu, Alex!"

"Merekrutku?" Alex memastikan. "Maaf Tuan. Tapi aku… "

"Tunggu!" seseorang dari kelompok di samping pintu memotong. Suaranya tidak kalah menggelegar. Sosok berambut panjang pirang itu segera mendekati bar. "Apa-apaan kau wajah brewok? Apa kau ingin mencuri start?"

"Siapa cepat, dia yang dapat." Balas Davinci santai. "Kau pasti paham maksudnya, kan, Robert?"

"Jika seperti itu berarti aku yang layak merekrutnya. Kenapa? Karena aku yang pertama kali datang kemari hari ini." Robert tidak mau kalah.

"Eh--itu--maksudku--siapa yang menawarinya dahulu. Bukan siapa yang pertama kali datang kemari." Davinci bersikeras.

"Hah? Tidak! Tentu saja siapa yang cepat datang kemari." Robert tidak mengendur sedikit pun. Matanya melempar tatapan menantang.

Davinci menggeleng. Tatapannya tajam dan penuh ancaman. "Tidak! Aku tidak setuju denganmu. Alex harus bergabung denganku."

"Maaf Tuan-Tuan!" Alex menengahi. Mencoba menenangkan dua sosok di hadapannya yang mulai kehilangan kendali. "Bisakah kita bicarakan ini… " ucapan Alex terpotong saat seseorang tiba-tiba menarik tangannya hingga ke sudut bar. Dalam sekejap mengeluarkan Alex dari pertikaian kaum elit.

"Hallo tampan! Bagaimana jika kau bicara saja denganku? Aku yakin kau pasti akan tertarik dengan semua penawaranku."

"Eh--Hallo Nyonya Susi!" Alex tetap berusaha bersikap ramah walau nyeri membekap lengannya. Senyum berhias peluh merekah di bibir Alex. Mata Alex menatap dengan penuh kewaspadaan wanita cantik berwajah oriental di hadapannya itu. "Tapi maaf Nyonya. Aku tidak mengerti maksud anda."

"Tentu saja kau tidak mengerti maksudnya, Alex." sesosok wanita tua mendekat. Senyum persahabatan merekah di bibir keriputnya. Segelas besar minuman berwarna merah bertengger di salah satu tangannya. "Dengar Alex! Jangan pernah mempercayai sesuatu yang didasari oleh kepalsuan. Aku yakin kau mengerti ucapanku, kan?"

"Sepertinya aku sangat memahami maksud anda, Nenek Ulf." Alex menanggapi. Perhatiannya kini tertuju pada Ulf. Wanita berambut putih itu menorehkan senyum jail di bibir.

"Hei! Apa maksudmu nenek tua?" Susi meringsek mendekati Ulf. Suaranya tinggi dan penuh permusuhan. Tatapannya tajam. Kebencian meluncur deras dari sorot matanya.

Ulf tertawa. Pandangannya tetap terpaku pada Alex. Tetap bersikap tenang dan acuh pada wanita bertubuh tinggi langsing di sampingnya. Setelah menenggak minuman di gelas besarnya dengan cukup rakus, Ulf menanggapi, "maksudku seindah apapun itu, palsu tetaplah palsu. Apa itu kurang jelas untukmu, wahai wanita palsu?" Ulf menoleh ke Susi. Matanya seketika menajam. Tatapannya menyiratkan sebuah tantangan.

Alex bingung harus bertindak apa. Untuk kedua kalinya laki-laki berkulit putih dan berwajah tampan itu kembali terperosok ke dalam pertikaian orang lain. Alex tidak mungkin bisa melerai. Sedikit saja salah bertindak, situasi pasti akan semakin liar dan sulit dikendalikan.

"Alex!" seseorang berteriak. Suaranya melengking tajam di tengah kericuhan.

Dengan sekali toleh, perhatian Alex terhenti pada seseorang yang sedang berdiri di atas meja. Sosok tersebut bertelanjang dada, begitu juga dengan orang-orang di sekitarnya. Dengan gerakan layaknya binaraga di atas panggung kontes, laki-laki berkulit hitam dan berkepala botak itu memamerkan otot-ototnya.

"Bagaimana? Ototku mengesankan, bukan?" tanya laki-laki tersebut. "Bergabunglah denganku, Alex! Jika kau bersamaku otot-ototmu pasti akan sebesar ini." lanjutnya seraya terus memperlihatkan tonjolan-tonjolan otot di seluruh tubuhnya.

Mendapati pemandangan kurang menyenangkan, Alex hanya bisa tersenyum kecut. "Apa kau ingin memesan minum lagi Tuan Obororo?"

Obororo tidak menjawab dan tetap sibuk dengan tubuh kekarnya.

Karena situasi semakin tidak kondusif, Alex bergeser perlahan ke sudut lain bar, mendekati Andi yang baru saja kembali dari mengantar pesanan. Namun saat hampir mencapai tempat tujuan, langkah Alex terhenti. Seseorang tiba-tiba berdiri di dalam bar. Kemunculannya yang mendadak cukup mengejutkan Alex.

"Yo--Alex!" sapa orang tersebut dengan ekspresi datar.

"Tuan Miuji!" Balas Alex. "Maaf Tuan! Tempat ini hanya untuk karyawan." lanjut Alex sopan.

"Aku hanya mencari ini." balas Miuji santai seraya menunjuk gelas kaca besar di tangannya. Ekspresi datarnya masih tetap mendominasi. "Tolong isi penuh!" lanjutnya seraya menyerahkan gelas pada Alex. Lalu dengan gerakan cepat namun lembut, laki-laki berambut sebahu itu melompati bar dan duduk di salah satu kursinya.

Sesaat Alex termenung. Terpukau dengan gerakan sosok yang baru saja mengejutkannya itu. "Ba--baik Tuan Miuji."

"Alex!" Panggil Miuji saat Alex baru menjauh selangkah.

"Ya."

"Jika memang tidak tertarik pada mereka, kau bisa memilih bergabung denganku atau laki-laki berkursi roda di sana."

Alex sejenak mengamati Miuji. Ekspresi laki-laki berumur tiga puluh tahunan itu masih tetap datar. Tak berselang lama, Alex melempar pandangan ke sisi kanan ruangan. Sekelompok wanita berparas menawan terlihat mendominasi di sana. Mereka duduk mengelilingi sesosok laki-laki di atas kursi roda. Sekujur tubuh sosok tersebut terlihat kurus. Hanya bagian kepala yang tampak normal. Alex mengangguk seraya menyunggingkan senyum pada sosok bernama Rian tersebut sebagai penghormatan. Dengan gerakan sama, Rian membalas dari singgasana sederhananya.

"Jadi, apa kau sudah bisa memutuskannya sekarang?" Miuji mendesak.

"Maaf Tuan. Sepertinya aku masih harus memikirkannya."

"Oke. Itu bagus. Memang seharusnya seperti itu."

Alex bergegas pergi ke sudut bar, mendekati Andi yang sudah kembali sibuk menyiapkan pesanan.

"Paman, apa mereka tahu tentang keluarga kita?"

Dengan cekatan Andi menggunakan mesin pembuat kopi. "Aku rasa tidak. Silsilah keluarga kita tetap aman di tempat ini."

"Lalu kenapa mereka bersikeras berusaha merekrutku?"

"Mungkin karena mereka pernah melihatmu saat berlatih di pantai." Andi menduga.

Dahi Alex mengerut. "Jangan bercanda Paman! Bagaimana mungkin mereka berusaha merekrutku hanya karena pernah melihat aku berlatih? Lagipula tidak ada hal istimewa yang aku lakukan saat berlatih. Aku hanya selalu mengasah keterampilan dasar bertarung."

"Aku tahu itu. Tapi kau selalu menggunakan berbagai macam senjata saat berlatih. Benar, bukan?"

"Ya. Itu juga karena instruksi kakek."

"Itulah yang membuatmu berbeda dari siapapun di dunia ini. Bagi sebagian besar orang, tindakanmu memang terkesan sia-sia. Seperti hanya bermain-main. Tidak fokus mengasah kemampuan salah satu senjata dengan serius hingga ke tingkat tertinggi. Tapi bagi orang-orang berpengalaman seperti mereka, yang telah merasakan asam garam di dunia Another Life, tentu saja mereka akan langsung merasa menemukan harta karun saat melihatmu berlatih."

"Jangan berlebihan, Paman! Aku hanya calon pemain yang belum tentu bisa berbuat banyak di game Another Life."

"Tidak. Aku sama sekali tidak berlebihan. Kau pasti tidak menyadari seberapa hebat kemampuanmu menggunakan segala macam senjata. Asal kau tahu, walau hanya menguasai teknik dasar setiap senjata, seluruh gerakanmu dapat disetarakan dengan master atau mungkin jauh lebih baik. Sederhana namun sangat efektif dan efisien."

Alex menghela nafas panjang. Sedikit terganggu dengan pernyataan Andi. "Ayolah Paman, aku tidak sehebat itu."

Andi menoleh ke Alex dan tersenyum lebar, lalu kembali fokus meracik pesanan pelanggan. "Kau berhak menyangkalnya sebanyak apapun yang kau mau. Tapi satu hal yang harus kau tahu, kau mewarisi fisik Ayahmu."

Memasuki Permainan

Deng! Deng! Deng!

Dentang jam mengalun merdu di tengah kesunyian malam. Suaranya menggema dengan penuh keagungan, memantul di dinding-dinding rumah tanpa ada protes. Di tengah malam berselimut senyap, Alex berdiri mematung di depan ranjang. Tatapannya hinggap pada koper hitam di atas tempat melepas lelahnya itu.

Sudah tiga puluh menit berlalu, Alex masih berkutat dengan pikirannya sendiri. Dia masih ragu apakah akan mulai memainkan game Another Life sekarang atau esok. Sudah satu minggu berlalu sejak Alex mendaftar. Namun sampai detik ini remaja tampan itu belum bisa memutuskan apakah akan bermain untuk diri sendiri atau mengikuti jejak keluarganya. Dua pilihan yang tentu saja akan menentukan masa depan Alex.

Tululut! Tululut! Tululut!

Dering ponsel meraung lantang. Seketika membuyarkan pikiran penuh pertimbangan Alex. Dengan sekali tolehan, Alex menatap tajam alat komunikasi miliknya di sudut ranjang. Lalu menyambarnya dan membuka pesan yang baru saja diterima.

"Hai bro! Apa kau sudah memainkan Another Life? Jika belum, sebaiknya segera memainkannya jika tidak ingin tertinggal dariku. Oh iya! Sekarang aku anggota guild High Mountain. Hebat bukan? Ayo cepat main! Jika mau, aku bisa memasukkanmu ke dalam guild. Tenang saja! Aku tahu pintu belakangnya."

"High Mountain? Bagaimana dia bisa bergabung dengan guild peringkat satu di asia dan peringkat delapan di dunia itu? Sangat mencurigakan. Tapi, sudahlah! Sepertinya bocah botak itu memang mengetahui jalur khususnya." komentar Alex. Kemudian melempar ponselnya ke ranjang. "Baiklah! Karena bocah songong itu sudah menyombongkan diri, tentu saja aku tidak bisa tinggal diam." Alex tersenyum lebar.

Tanpa ada keraguan lagi, Alex membuka koper di hadapannya. Satu set pakaian terlipat rapi di tengah koper. Di sisi kiri dan kanannya bertengger sepasang sarung tangan dan sepatu. Sedangkan di bagian atasnya teronggok sebuah plat besi. Semua perlengkapan tersebut berwarna putih.

"Jadi aku harus mengenakan semua ini? Benar-benar game merepotkan."

Dengan hati-hati Alex mengenakan perlengkapan game miliknya satu persatu. Satu set pakaian yang terdiri dari baju lengan panjang dan celana panjang menutup tubuh Alex dengan sempurna. Bahan elastisnya membuat pakaian yang cukup tipis itu mampu menjangkau ke setiap lekuk tubuh. Hal sama juga terjadi pada sarung tangan dan sepatu. Sedangkan plat besi ditempel di dahi.

"Sekarang aku jadi seperti orang mesum." Alex mengamati bayangan dirinya di cermin. Seandainya seluruh perlengkapan game miliknya berwarna kulit, Alex akan terlihat seolah telanjang bulat. Setiap bagian tubuhnya terlihat dengan sempurna. Otot-ototnya menonjol. Begitu juga dengan senjata ajaib miliknya. "Setelah itu hanya tinggal… GAME START. " lanjut Alex mengucap kata kunci memasuki permainan.

Garis-garis cahaya seketika muncul di seluruh perlengkapan game. Tergurat layaknya torehan pena seorang pelukis. Menyebar cepat ke segela arah. Sedetik kemudian tubuh Alex terangkat perlahan ke udara.

"Wow! Sangat menarik." Alex berusaha menjaga keseimbangan. Tangannya terentang. Tubuhnya kini melayang di antara lantai dan langit-langit. "Setelah ini seharusnya aku akan diteleportasi ke gedung server."

Cahaya semakin berpendar terang. Menyilaukan mata dan membekap seluruh sudut kamar, membasuh bayangan dan melenyapkan kegelapan. Sedetik kemudian Alex menghilang ditelan ketiadaan. Begitu juga dengan cahaya yang sempat menjadi raja di ruangan seluas sembilan meter persegi itu.

-----@@-----

"Selamat datang pejuang!" Suara campuran antara laki-laki dan perempuan berkumandang. Tidak kencang dan berdengung di kepala.

Mendengar dengan jelas, Alex membuka matanya perlahan setelah sempat terpejam saat proses teleportasi. "Dimana ini?" celetuk Alex. Pandangannya langsung disambut kegelapan. Tubuh Alex masih melayang di udara. "Apa ini di gedung server?"

"Bersiap memindai!" suara misterius kembali mengalun. Mengacuhkan pertanyaan Alex.

Dari kegelapan, lima holahop raksasa melayang mendekat. Berdesis nyaring dan berdengung saat membelah udara. Secara sistematis kelima lingkaran berwarna putih itu menjadikan Alex sebagai porosnya. Tulisan aneh terukir di setiap bagian batang melengkung benda berbahan metal itu, memendarkan cahaya kebiruan.

"Pemindaian dimulai!"

Dengan perlahan dan serentak, kelima holahop berputar mengelilingi Alex yang menjadi porosnya, bergerak acak dan semakin cepat hingga membuatnya terlihat seperti pelindung transparan di sekeliling Alex.

"Nama Alexycander Golduenarmour. Laki-laki. Usia tujuh belas tahun."

Ting!

"Berhasil mengenali Identitas. Mempersiapkan sistem! Anatomi tubuh berhasil dibuat! Sinkronisasi gelombang otak selesai! Individu berhasil diciptakan!"

Ting!

"Persiapan selesai! Silahkan memilih tempat kebangkitan awal!"

Hologram peta tiba-tiba muncul di hadapan Alex. Tiga wilayah terukir dengan sangat detail, mengambang di udara dan terlihat sangat nyata.

"Tempat kebangkitan? Narasi macam apa itu? Benar-benar aneh. Tapi, ya sudahlah! Permainan tetaplah permainan. Seaneh apapun itu ini hanya permainan." komentar Alex. "Jadi sebaiknya aku memilih yang mana?"

Alex mengamati hologram di hadapannya dengan seksama. Peta di kiri memperlihatkan beberapa gunung, aliran sungai dan sedikit hutan. Peta di tengah merupakan perpaduan antara hutan dan daratan luas. Sedangkan peta di kanan didominasi rawa, perbukitan batu dan danau.

"Gekel! Anau! Tenal!" Alex membaca tulisan di atas setiap peta. "Jadi itu nama wilayahnya? Oke. Karena aku tidak suka aneh-aneh, aku akan memulainya dari Anau."

Ting!

"Pilihan telah ditentukan! Anda akan diteleportasi ke titik kebangkitan awal, Anau!"

Peta hologram tiba-tiba pecah menjadi butiran cahaya hijau. Sesaat beterbangan di sekitar Alex sebelum akhirnya lenyap tertelan kelam. Sedangkan kelima holahop berputar semakin cepat. Desisan dan dengungannya semakin memekakan telinga. Lalu dalam sekejap mata keberadaan Alex lenyap untuk kedua kalinya, meninggalkan kegelapan bersama kehampaan.

-----@@-----

Alex mengerjapkan mata. Pandangannya perlahan kembali normal. Begitu juga dengan pendengaran Alex. Riuh celoteh menggetarkan gendang telinga laki-laki bertubuh atletis itu. Diikuti gelak tawa, teriakan dan berbagai macam percakapan.

"Wow! Apa ini di dalam gim?" Alex sulit mempercayai pemandangan di hadapannya. Apa yang tertangkap matanya terlihat sangat nyata. "Benar-benar di luar nalar. Pantas jika tidak ada yang memprotes kebijakan pemerintah dunia mengenai permainan ini."

Sesaat Alex memindai sekitar. Alex berdiri di dekat sebuah pohon raksasa. Batang pohon tersebut sangat besar, berdiameter puluhan meter. Sedangkan dahan dan rantingnya tumbuh dengan sempurna ke segala penjuru mata angin, menjadi topangan bagi daun berwarna pelangi yang tak terhitung jumlahnya.

"Berapa tingginya, ya?" Alex mendongakkan kepala, mencoba menemukan puncak pohon. "Pasti mencapai ratusan meter. Benar-benar pohon yang besar. STATUS!" Alex memfokuskan pandangan ke pohon raksasa.

Ting!

[Pohon Ibu:

Tempat kebangkitan. Siapa saja yang kehilangan nyawa akan dibangkitkan di sini.]

"Tempat yang selalu ada di setiap game." Alex tersenyum lebar.

Ratusan lapak dagangan berdiri di sekeliling Pohon Ibu. Mereka berjajar rapi, membentuk pola lingkaran dengan radius seratus meter dari pohon berdaun pelangi itu. Berbagai macam barang di dagangkan. Mulai dari bahan makanan, perlengkapan pemain, obat-obatan hingga bagian tubuh monster ada di sana.

Sebagai titik awal permainan, tempat ini sangat ramai. Didominasi pemain baru. Namun tidak sedikit pula pemain veteran berkeliaran di sini untuk menjual hasil petualangan atau mencari bibit baru untuk diajak bergabung ke dalam kelompok atau guild mereka. Sebuah kombinasi yang sangat wajar di dalam sebuah game.

Di belakang barisan lapak dagangan, rumah-rumah berbahan kayu berdiri kokoh. Tempat bernaung bagi semua orang itu juga membentuk pola lingkaran dengan Pohon Ibu sebagai pusatnya. Kebanyakan hanya berlantai satu, namun ada juga yang memiliki dua hingga tiga lantai.

Walau terlihat sangat nyata di segala aspek, ada satu hal yang membuat dunia ini terasa hanya sebuah permainan, yaitu tanamannya. Semua tanaman di dunia ini jauh lebih berwarna. Tidak hanya bunga, baik batang, dahan, cabang, dan daunnya memiliki warna beragam.

Perhatian Alex seketika beralih pada setitik cahaya putih yang tiba-tiba muncul di dekatnya. Perlahan cahaya tersebut membesar dan semakin menyilaukan. Lalu sedetik kemudian sesosok pemain muncul di sana.

"Pemain baru?" celetuk Alex penasaran.

Pemain berjenis kelamin perempuan itu berpakaian sama seperti Alex. Lekuk tubuhnya terlihat jelas. Kagum, takjub sekaligus bingung tergambar di wajah eropanya sebelum akhirnya senyum lebar merekah lebar di bibirnya. Tak berselang lama cahaya-cahaya lain juga muncul dari ketiadaan, diikuti pemain-pemain baru dengan jumlah yang sama banyaknya. Ekspresi di wajah mereka yang berasal dari berbagai suku di seantero dunia tidak jauh berbeda dengan pemain sebelumnya.

Senyuman merekah sangat lebar di bibir Alex. Guratan-guratan antusias tertoreh jelas di sekitar matanya. "Saatnya menikmati permainan!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!