Terlahir Kembali Untuk Menjadi Pengusaha
Tio mengumpat. Motor bebek yang dia kendarai mati di tengah jalan. Dewi yang menggendong anak bungsu cemberut. Perutnya lapar sejak pagi belum makan. Kesal dan perlu melampiaskan amarah, Dewi mencubit bahu putranya yang berumur lima tahun.
"Aw, Bu sakit."
Dewi melotot. "Apa?!"
Gaffi tidak berani bicara. Tubuhnya menggigil dingin. Tio juga sedang kesal. Hari ini dia memboyong semua keluarganya untuk mengunjungi keluarga yang tinggal di Bekasi. Berencana numpang makan dengan alibi silahturahmi. Namun bukannya disambut hangat, keluarga abangnya itu mengusir mereka sebelum sempat memarkirkan motor.
Marah dan kesal, Tio yang tidak mau lebih dipermalukan mengendarai motornya kembali ke Bogor. Belum ada satu jam perjalanan pulang, motor bebek butut kebanggaannya kehabisan bensin. Merogoh kantong, hanya ada uang sepuluh ribu. Melirik Dewi yang diam-diam mencubit Gaffi, Tio berekspresi muram.
Tiga orang beban tidak berguna!
Tidak ada SPBU. Tio dan yang lain berjalan cukup jauh sampai bertemu penjual bensin eceran. Memastikan mesin motor berjalan normal, Tio berbisik pelan pada Dewi. Istrinya sempat tertegun, namun mengangguk seolah setuju.
Penjaga warung yang baru menaruh pembayaran bensin di laci terkejut mendengar suara jerit tangisan anak. Melihat dari dalam warung, rupanya pasangan suami istri yang baru saja beli bensin di warungnya telah meninggalkan anak sulung mereka.
Khawatir disusahkan, pemilik warung segera menutup warungnya dan pulang ke rumah. Akhir-akhir ini kejadian membuang anak sedang marak karena sulitnya ekonomi.
Tadi pagi saja, ada dua bayi yang ditemukan di pembuangan sampah di dekat warungnya. Nampaknya anak kembar, laki-laki dan perempuan. Mungkin karena lapar dan dingin, satu bayi sudah meninggal sedang yang lain sekarat dan dilarikan ke rumah sakit oleh pihak berwajib.
Mengapa penjaga warung apatis dan tidak mau membantu? Sudah pernah!
Pemilik warung sudah mengangkat satu persatu dua anak yang dibuang lima dan dua tahun yang lalu. Mungkin karena tahu dia baik hati dan punya usaha warung, banyak orang yang membuang anak mereka di dekat warungnya.
Tidak ingin terus di manfaatkan dan membuat istrinya kesal, pemilik warung harus keras hati dan menjadi sosok tega.
***
Gaffi yang setengah mengantuk menjadi ketakutan ketika kedua orangtuanya pergi tanpa dirinya. Gaffi terus berteriak. Memanggil Ibu dan Bapak berulang kali.
Suaranya sangat keras hingga orang-orang yang tinggal disekitar mengintip dari jendela rumah mereka. "Bu, Bapak!!!!" Teriaknya tapi tidak dihiraukan.
Semakin jauh motor bapak pergi, semakin cepat dia berlari lalu Gaffi jatuh tersungkur. Wajahnya mengenai aspal, bibirnya sedikit sobek dan berdarah. Gaffi menangis kencang. Kenapa dia dibuang?
Pihak berwajib yang menerima telepon atas kasus penelantaran anak menemukan Gaffi yang ditenangkan dan dibawa ke rumah pak RT setempat. Anak itu terus menangis, ketika ditanya siapa nama orang tua dan dimana dia tinggal, Gaffi tidak bisa menjawab.
Ibu dan Bapak tidak pernah memberitahu nama mereka dan dimana rumahnya berada. Yang Gaffi tahu, rumahnya adalah rumah yang terbuat dari papan kayu dekat lereng bukit.
Polisi yang mencatat kesaksian warga dan Gaffi juga tidak bisa berbuat banyak. Kejadian penelantaran anak sedang marak. Orang tua yang tidak bertanggung jawab dan tidak mampu dalam hal perekonomian akan meninggalkan anak-anak mereka di tempat umum. Dalam seminggu terakhir, puluhan anak ditelantarkan. Ada yang belum lama dilahirkan atau lebih tua dari usia Gaffi.
Petugas polisi bertanya pada semua warga setempat, namun tidak ada yang mau membantu mengasuh Gaffi sampai kedua orangtuanya ditemukan. Tidak bisa terus tinggal disana, Gaffi dibawa ke kantor pos jaga untuk menginap satu malam dan kemudian di titipkan ke yayasan anak untuk dibina.
***
Gaffi yang baru saja sarapan bersama petugas polisi dibawa membeli dua pasang pakaian baru dan sepatu. Tangan kecilnya di gandeng oleh polisi wanita yang selalu tersenyum lembut ke arahnya.
"Tante, Gaffi mau dibawa kemana nanti?"
Petugas polisi sedikit terenyuh. "Gaffi, sampai ibu dan bapak kamu datang jemput kamu, Gaffi tinggal di rumah khusus dulu. Gak apa kan sayang?"
Gaffi meremas tas kertas berisi baju barunya. "Bapak bakalan jemput Gaffi?"
Polisi wanita berbohong. "Tentu saja. Bapak Gaffi pasti jemput Gaffi."
Anak berumur lima tahun itu akhirnya tersenyum lebar. "Ok, makasih Tante."
Ketua yayasan yang menerima telepon dari kantor polisi sudah menunggu kedatangan Gaffi. Ketua yayasan adalah pria paruh baya bertubuh tinggi sedikit gemuk. Polisi wanita mengenalkan mereka berdua lalu bergegas pergi setelah menyelesaikan tugas dari atasan.
Gaffi melambaikan tangan sebelum pintu rumah yayasan di tutup rapat. Sebelum dia bertanya tentang hal lain, kepala Gaffi di pukul. Ketua yayasan yang sedetik lalu tersenyum lembut kini berekspresi menyeramkan.
Rambut Gaffi ditarik, menyeret tubuh kecilnya lalu melemparkannya ke dalam sebuah ruangan yang gelap. Mengaduh sakit, Gaffi bangkit untuk menggedor pintu.
"Jangan diteruskan. Percuma."
Gaffi terpekik kaget. Ternyata bukan dirinya saja yang berada di dalam ruangan pengap itu. Dalam ruangan yang sedikit pencahayaan, ada lebih dari selusin anak bertubuh kurus.
Tubuh Gaffi merosot lunglai. Usianya baru menginjak lima tahun, tapi dia sudah tahu hidupnya akan berakhir seperti apa.
***
Dua bulan setelah tinggal di yayasan penitipan anak, bukan perlakuan baik yang diterima Gaffi. Tidak cukup makan dan kekurangan nutrisi. Gaffi dan anak-anak lain yang tinggal di yayasan itu akan dijemput oleh mobil hitam setelah magrib dan disebar ke setiap sudut jalan untuk mengemis.
Mulanya Gaffi akan menolak dan melawan. Setiap dia melakukan hal itu, tamparan dan cambukan gesper mengenai tubuh kecilnya. Anak laki-laki yang lebih tua dari Gaffi mencoba membujuk.
Jangan selalu melawan. Tanpa rumah, tinggal di jalanan lebih mengerikan. Orang-orang yang tidak punya rumah lebih rawan ditindas.
Tahu perlawanannya hanya akan berujung luka di tubuh, Gaffi menjadi pintar dan menunggu waktu yang tepat untuk melarikan diri. Dia masih ingat wajah ibu dan bapak. Kalau dia kabur dari sini dan terus mencari keberadaan orangtuanya, Gaffi yakin dia bisa pulang ke rumahnya sendiri.
Anak-anak sungguh polos. Meski ditinggalkan, bagi mereka orangtua adalah milik mereka.
Penantian Gaffi selama lima tahun akhirnya tiba. Tepat saat dirinya berumur sepuluh tahun, mobil yang harusnya datang untuk menjemput mereka sepertinya terlambat tiba. Memanfaatkan peluang ini, Gaffi berhasil kabur dan bersembunyi di dalam mobil bak terbuka yang mengangkut hewan ternak.
Helaan nafas lega saat ini bukanlah kebebasan yang dinantikan Gaffi, ekspektasi Gaffi akan berujung kepahitan. Orangtua kandung yang dia cari tidak akan pernah dia temukan, Gaffi hanya akan tinggal di jalanan.
Tanpa identitas, pendidikan dan tempat tinggal, anak berumur sepuluh tahun seperti Gaffi hanya akan memiliki satu akhir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments