Tio mengumpat. Motor bebek yang dia kendarai mati di tengah jalan. Dewi yang menggendong anak bungsu cemberut. Perutnya lapar sejak pagi belum makan. Kesal dan perlu melampiaskan amarah, Dewi mencubit bahu putranya yang berumur lima tahun.
"Aw, Bu sakit."
Dewi melotot. "Apa?!"
Gaffi tidak berani bicara. Tubuhnya menggigil dingin. Tio juga sedang kesal. Hari ini dia memboyong semua keluarganya untuk mengunjungi keluarga yang tinggal di Bekasi. Berencana numpang makan dengan alibi silahturahmi. Namun bukannya disambut hangat, keluarga abangnya itu mengusir mereka sebelum sempat memarkirkan motor.
Marah dan kesal, Tio yang tidak mau lebih dipermalukan mengendarai motornya kembali ke Bogor. Belum ada satu jam perjalanan pulang, motor bebek butut kebanggaannya kehabisan bensin. Merogoh kantong, hanya ada uang sepuluh ribu. Melirik Dewi yang diam-diam mencubit Gaffi, Tio berekspresi muram.
Tiga orang beban tidak berguna!
Tidak ada SPBU. Tio dan yang lain berjalan cukup jauh sampai bertemu penjual bensin eceran. Memastikan mesin motor berjalan normal, Tio berbisik pelan pada Dewi. Istrinya sempat tertegun, namun mengangguk seolah setuju.
Penjaga warung yang baru menaruh pembayaran bensin di laci terkejut mendengar suara jerit tangisan anak. Melihat dari dalam warung, rupanya pasangan suami istri yang baru saja beli bensin di warungnya telah meninggalkan anak sulung mereka.
Khawatir disusahkan, pemilik warung segera menutup warungnya dan pulang ke rumah. Akhir-akhir ini kejadian membuang anak sedang marak karena sulitnya ekonomi.
Tadi pagi saja, ada dua bayi yang ditemukan di pembuangan sampah di dekat warungnya. Nampaknya anak kembar, laki-laki dan perempuan. Mungkin karena lapar dan dingin, satu bayi sudah meninggal sedang yang lain sekarat dan dilarikan ke rumah sakit oleh pihak berwajib.
Mengapa penjaga warung apatis dan tidak mau membantu? Sudah pernah!
Pemilik warung sudah mengangkat satu persatu dua anak yang dibuang lima dan dua tahun yang lalu. Mungkin karena tahu dia baik hati dan punya usaha warung, banyak orang yang membuang anak mereka di dekat warungnya.
Tidak ingin terus di manfaatkan dan membuat istrinya kesal, pemilik warung harus keras hati dan menjadi sosok tega.
***
Gaffi yang setengah mengantuk menjadi ketakutan ketika kedua orangtuanya pergi tanpa dirinya. Gaffi terus berteriak. Memanggil Ibu dan Bapak berulang kali.
Suaranya sangat keras hingga orang-orang yang tinggal disekitar mengintip dari jendela rumah mereka. "Bu, Bapak!!!!" Teriaknya tapi tidak dihiraukan.
Semakin jauh motor bapak pergi, semakin cepat dia berlari lalu Gaffi jatuh tersungkur. Wajahnya mengenai aspal, bibirnya sedikit sobek dan berdarah. Gaffi menangis kencang. Kenapa dia dibuang?
Pihak berwajib yang menerima telepon atas kasus penelantaran anak menemukan Gaffi yang ditenangkan dan dibawa ke rumah pak RT setempat. Anak itu terus menangis, ketika ditanya siapa nama orang tua dan dimana dia tinggal, Gaffi tidak bisa menjawab.
Ibu dan Bapak tidak pernah memberitahu nama mereka dan dimana rumahnya berada. Yang Gaffi tahu, rumahnya adalah rumah yang terbuat dari papan kayu dekat lereng bukit.
Polisi yang mencatat kesaksian warga dan Gaffi juga tidak bisa berbuat banyak. Kejadian penelantaran anak sedang marak. Orang tua yang tidak bertanggung jawab dan tidak mampu dalam hal perekonomian akan meninggalkan anak-anak mereka di tempat umum. Dalam seminggu terakhir, puluhan anak ditelantarkan. Ada yang belum lama dilahirkan atau lebih tua dari usia Gaffi.
Petugas polisi bertanya pada semua warga setempat, namun tidak ada yang mau membantu mengasuh Gaffi sampai kedua orangtuanya ditemukan. Tidak bisa terus tinggal disana, Gaffi dibawa ke kantor pos jaga untuk menginap satu malam dan kemudian di titipkan ke yayasan anak untuk dibina.
***
Gaffi yang baru saja sarapan bersama petugas polisi dibawa membeli dua pasang pakaian baru dan sepatu. Tangan kecilnya di gandeng oleh polisi wanita yang selalu tersenyum lembut ke arahnya.
"Tante, Gaffi mau dibawa kemana nanti?"
Petugas polisi sedikit terenyuh. "Gaffi, sampai ibu dan bapak kamu datang jemput kamu, Gaffi tinggal di rumah khusus dulu. Gak apa kan sayang?"
Gaffi meremas tas kertas berisi baju barunya. "Bapak bakalan jemput Gaffi?"
Polisi wanita berbohong. "Tentu saja. Bapak Gaffi pasti jemput Gaffi."
Anak berumur lima tahun itu akhirnya tersenyum lebar. "Ok, makasih Tante."
Ketua yayasan yang menerima telepon dari kantor polisi sudah menunggu kedatangan Gaffi. Ketua yayasan adalah pria paruh baya bertubuh tinggi sedikit gemuk. Polisi wanita mengenalkan mereka berdua lalu bergegas pergi setelah menyelesaikan tugas dari atasan.
Gaffi melambaikan tangan sebelum pintu rumah yayasan di tutup rapat. Sebelum dia bertanya tentang hal lain, kepala Gaffi di pukul. Ketua yayasan yang sedetik lalu tersenyum lembut kini berekspresi menyeramkan.
Rambut Gaffi ditarik, menyeret tubuh kecilnya lalu melemparkannya ke dalam sebuah ruangan yang gelap. Mengaduh sakit, Gaffi bangkit untuk menggedor pintu.
"Jangan diteruskan. Percuma."
Gaffi terpekik kaget. Ternyata bukan dirinya saja yang berada di dalam ruangan pengap itu. Dalam ruangan yang sedikit pencahayaan, ada lebih dari selusin anak bertubuh kurus.
Tubuh Gaffi merosot lunglai. Usianya baru menginjak lima tahun, tapi dia sudah tahu hidupnya akan berakhir seperti apa.
***
Dua bulan setelah tinggal di yayasan penitipan anak, bukan perlakuan baik yang diterima Gaffi. Tidak cukup makan dan kekurangan nutrisi. Gaffi dan anak-anak lain yang tinggal di yayasan itu akan dijemput oleh mobil hitam setelah magrib dan disebar ke setiap sudut jalan untuk mengemis.
Mulanya Gaffi akan menolak dan melawan. Setiap dia melakukan hal itu, tamparan dan cambukan gesper mengenai tubuh kecilnya. Anak laki-laki yang lebih tua dari Gaffi mencoba membujuk.
Jangan selalu melawan. Tanpa rumah, tinggal di jalanan lebih mengerikan. Orang-orang yang tidak punya rumah lebih rawan ditindas.
Tahu perlawanannya hanya akan berujung luka di tubuh, Gaffi menjadi pintar dan menunggu waktu yang tepat untuk melarikan diri. Dia masih ingat wajah ibu dan bapak. Kalau dia kabur dari sini dan terus mencari keberadaan orangtuanya, Gaffi yakin dia bisa pulang ke rumahnya sendiri.
Anak-anak sungguh polos. Meski ditinggalkan, bagi mereka orangtua adalah milik mereka.
Penantian Gaffi selama lima tahun akhirnya tiba. Tepat saat dirinya berumur sepuluh tahun, mobil yang harusnya datang untuk menjemput mereka sepertinya terlambat tiba. Memanfaatkan peluang ini, Gaffi berhasil kabur dan bersembunyi di dalam mobil bak terbuka yang mengangkut hewan ternak.
Helaan nafas lega saat ini bukanlah kebebasan yang dinantikan Gaffi, ekspektasi Gaffi akan berujung kepahitan. Orangtua kandung yang dia cari tidak akan pernah dia temukan, Gaffi hanya akan tinggal di jalanan.
Tanpa identitas, pendidikan dan tempat tinggal, anak berumur sepuluh tahun seperti Gaffi hanya akan memiliki satu akhir.
Teriakan marah di sebuah gang sempit sudah menjadi kebiasaan di pinggiran kota. Sekumpulan preman mengumpat dan terus mengejar remaja kurus yang berusaha melarikan diri.
"Dasar bocah sialan! Sampai berhasil aku tangkap, kakimu yang lain akan aku patahkan!"
Gaffi yang sekarang berusia lima belas tahun kini tengah bersembunyi di dalam tong sampah. Wajahnya tidak bergeming saat benda basah dan bau menyentuh seluruh tubuhnya. Hari-hari tinggal dijalanan telah memupuk dirinya menjadi lebih acuh dan apatis.
Dia tidak bisa dirampok lagi. Uangnya hanya tersisa dua puluh ribu, jika tetap diambil oleh preman-preman tersebut, perutnya yang belum makan selama dua hari akan semakin sakit dan perih.
Negara ini semakin kacau. Struktur pemerintahan sedang di bobol oleh petinggi cerdas yang tidak terlalu memperhatikan rakyatnya. Tindak kriminal semakin tinggi. Bagi yang mempunyai rumah, selama mereka kembali sebelum matahari tenggelam, mereka akan baik-baik saja. Akan tetapi bagi orang-orang yang hidup dijalanan, tidak ada yang namanya kehidupan damai.
penganiayaan, pelecehan, perampokan atau bahkan pembunuhan sudah menjadi kebiasaan. Selama tidak ada bukti rekaman atau saksi mata, polisi yang menerima pengaduan tidak akan bisa menindaklanjuti.
Menunggu adalah hal menakutkan. Semakin sunyi, semakin cepat degup jantung. Belajar dari kecerobohan di awal kehidupan dijalan, Gaffi tidak langsung keluar untuk melihat situasi. Dia butuh waktu satu jam sebelum meninggalkan tong sampah.
Benar saja, gerombolan preman kembali dan terus berteriak kesal. Calon buruan mereka sepertinya pintar dan berhasil kabur. "Anjinglah! Bocah itu licin sekali seperti belut."
Gaffi yang menguping dari dalam tong sampah memegang kuat pecahan uang yang dapat menyelamatkan hidupnya dari kelaparan. Bersabarlah, tunggu sebentar lagi.
Yakin tidak ada diam-diam menunggu, Gaffi keluar dari tong sampah. bau tubuhnya tidak pernah bersih. Terakhir dia mandi mungkin seminggu yang lalu saat hujan turun. Dengan wajah datar, Gaffi keluar dari dalam gang sempit. Memegang duit recehan menuju warung makan sederhana untuk membeli sebungkus nasi dan air minum bersih.
Setelah kenyang dan tidak terlalu haus, Gaffi yang menghabiskan setengah nasi membungkus sisa nasi untuk dia makan sebelum tidur nanti. Menyembunyikan nasi bungkus di dalam kantong celana kendor yang dia pakai, Gaffi mencari sudut trotoar yang sering dilalui orang.
Di temani ember plastik bekas cat, Gaffi yang bau dan lusuh terlihat menyedihkan. Beberapa orang yang kasihan melemparkan uang koin ke dalam ember plastik nya, beberapa yang lain mencibir ke arahnya dan sisa yang lain mengabaikan keberadaan dirinya.
menatap kosong pada orang-orang yang lewat, Gaffi tidak bisa tidak iri. Orang-orang berpakaian bersih itu mengendarai transportasi umum atau kendaraan pribadi. Tas mereka terlihat keren, sepatu mereka juga tidak sejelek sendal jepit usang yang dia pungut. Tawa meremehkan diri terdengar di telinganya sendiri.
Semakin dilihat semakin benci dirinya pada ibu dan bapak yang telah meninggalkan dirinya di jalan. Apa begitu terbebani mereka memiliki dia?! Lalu kenapa mereka melahirkan dirinya!!
Menarik nafas untuk melegakan amarah di dada, Gaffi memejamkan mata sesaat. Tidak punya uang, rumah dan kendaraan, hidup seperti apa yang bisa dia jalani selain kehidupan menyedihkan ini.
Tatapan kosong itu berganti tekad bulat. Gaffi bangkit berdiri, kakinya menendang ember uang. Berjalan tanpa ragu, tidak mempedulikan klakson mobil.
Benturan keras terjadi. Tubuh tanpa daging terpental lalu terlindas. Sisa nasi yang sengaja disimpan berceceran bercampur dengan daging dan darah. Gaffi mengakhiri hidupnya yang belum genap lima belas tahun.
Lima tahun pertama, kehidupan miskin yang bisa dia ingat adalah ocehan ibu dan bapak yang kesal harus memberi dirinya makan. Kemudian sepuluh tahun setelah dia ditelantarkan adalah neraka gelap yang memakan jiwanya sedikit demi sedikit.
Uang.
Tanpa uang nasib dan takdir manusia begitu mudah diperdaya dalam kegelapan. Merusak inti dan memakan kebaikan dalam nurani.
Jika ada akhirat, Gaffi berharap akhirat itu bisa memberikan dia makanan yang cukup. Pakaian yang pantas. Tempat tinggal yang nyaman. Lalu hidup lebih mudah kan?
***
Kedua tangan Bayu gemetar hebat. Kemeja putih yang dia pakai dibalik jas sudah basah oleh keringat dingin. Jika dia terlambat pulang lima menit saja, putranya pasti meninggal tenggelam di kolam renang.
Ibu Bayu yang merasa bersalah sudah menangis minta maaf. Akan tetapi Bayu menjadi tuli. Apakah maaf dapat menutupi kesalahan? Putranya hampir mati!
Dokter IGD akhirnya menarik nafas lega. Anak berusia tiga tahun akhirnya keluar dari kondisi kritis. Perawat yang mengerti, menghampiri Bayu untuk menjelaskan kondisi pasien.
"Untunglah pasien dibawa lebih awal. Meski harus dipantau, selama tidak ada tanda-tanda penurunan vital putra bapak bisa keluar dari ICU nanti."
Jantung Bayu yang terikat batu besar akhirnya lega. Staf rumah sakit berbaik hati, mengingat Bayu untuk menyelesaikan administrasi. Ibu Bayu- Retno mengikuti dari belakang.
Wajah yang penuh keriput itu nampak lega. Sudut matanya yang tadi terkulai kini terlihat kembali jahat. Ck, menakut nakuti dirinya saja.
Bayu menyelesaikan administrasi dan membayar uang dimuka. Berbalik, Bayu melihat wajah asli Retno. Alisnya menyatu tidak puas. Dia tahu ibunya bukan orang baik, tapi tidak disangka akan separah ini.
"Ibu pulang saja. Bayu akan tinggal dan berjaga disini."
Retno yang mengira sudah keluar dari zona bahaya tidak mau tinggal lebih lama. Berjalan cepat meninggalkan rumah sakit, Retno punya janji temu main kartu dengan teman-temannya.
***
Gaffi merasakan sakit pada bagian dada. Meleguh sakit, Gaffi melihat semua serba putih. Apakah ini akhirat yang sering diceritakan oleh pengemis tua yang dia kenal?
"Nak, kamu sudah bangun?" Bayu yang sudah menjaga putranya di rumah sakit selama seminggu ini menjadi bersemangat ketika menyadari putranya bangun dari koma.
Gaffi terdiam. Kepalanya berdenyut sakit. Tubuhnya gemetar hebat sampai-sampai alarm di ruang rawat berbunyi. Dua dokter berlari masuk, perawat membawa alat pacu jantung untuk berjaga.
Bayu yang sedetik lalu bahagia kini berubah pucat.
Tidak!! Anaknya tidak boleh pergi meninggalkan seperti almarhum istrinya. "Nak, sayang! Kamu dengar suara ayah kan?! Jangan tinggalin ayah ya." Pintanya serak.
Pupil mata Gaffi tidak merespon cahaya. Sebelumnya tubuh Gaffi mengalami syok yang mungkin saja serangan jantung. Salah satu dokter melakukan CPR. Menekan terus bagian dada Gaffi. Tidak menerima respon, alat pacu jantung harus diberikan.
"Its all clear?"
"Clear."
Tubuh Gaffi menerima dua kejutan dan akhirnya detak jantungnya kembali. Kedua kaki Bayu lemas. Pria yang belum genap tiga puluh tahun itu menangis tersedu-sedu.
Ketika Gaffi masih belum sadarkan diri, ingatan tubuh yang dia tempati berputar dalam benaknya. Nama mereka sama sama Gaffi. Yang membedakan antara mereka berdua adalah, dia besar di jalanan tanpa perlindungan orangtua sedangkan Gaffi cilik pemilik tubuh yang dia tempati merupakan anak semata wayang yang dicintai oleh ayahnya.
Setelah bangun dari koma dan menerima dua kejutan pada jantungnya, Gaffi tidak merasa hal lain selain lemas dan kesulitan bangkit dari ranjang rumah sakit. Dari mulut Bayu yang merupakan ayah dari pemilik tubuh asli yang dia rasuki saat ini, anak ini tidak memiliki ibu. Hanya ada orangtua tunggal dan seorang nenek yang memperlakukan anak cucunya secara suam-suam kuku.
Melihat ini sudah pukul tujuh pagi. Bayu yang baru membantu Gaffi membasuh tubuhnya dengan washlap menawarkan susu.
"Gaffi mau minum susu? Ayah ada beli satu kotak susu bubuk kesukaan kamu."
Bingung dan sedikit aneh karena dipedulikan sedemikian rupa, Gaffi mengangguk dengan canggung. "hmmm." Jawabnya pelan.
Bayu menyeduh susu bubuk pada cangkir yang dia pinjam pada suster. Setelah Retno pulang hari itu, ibunya tidak pernah kembali untuk membawa beberapa kebutuhan selama tinggal di rumah sakit.
Bayu seorang pria besar yang tidak tahu cara mengurus diri hanya bisa membeli hal-hal kecil di minimarket dan meminjam sisanya pada suster baik hati.
"Maaf lama ya sayang. Ini kamu minum susu dulu, ayah cari yang jualan bubur untuk kamu makan nanti." Bayu menyerahkan susu yang dia buat, membantu Gaffi minum sedikit demi sedikit dari gelas.
Setelah memastikan anaknya tidak akan mengeluh lapar, Bayu meminta izin pada suster untuk keluar sebentar dan mencari makan. Ditinggal sendirian di ruang rawat, Bayu sedikit linglung. Lingkungan rumah sakit begitu bersih dan tenang.
Sepuluh tahun kesengsaraan yang mana sebagian tinggal di ruangan gelap sempit lalu sisanya di pinggir jalan, baru kali ini Gaffi merasakan nyamannya sebuah kasur. Mencium wangi antiseptik yang menyengat, Gaffi tidak merasakan jijik melainkan kelegaan.
Bumi tempat dia tinggal tidak sekarang berbeda dengan bumi itu. Tahun ini merupakan tahun 1985, hampir berjarak lima ratus tahun dari tahun kehidupannya dulu.
Berbaring lemah di atas ranjang rumah sakit, Gaffi memandang tv berbentuk kotak dengan bentuk yang sangat aneh. Dimasa depan, TV yang biasa dia lihat pada toko elektronik adalah TV besar nan tipis. Lucu, ternyata TV dimasa sekarang berbentuk seperti tabung besar.
Suster jaga mengetuk pintu, Gaffi yang setengah melamun menjadi waspada. "Pagi dek Gaffi. Kakak izin ganti infus baru yah." Suster muda dengan ramah dan cepat mengganti botol infus yang hampir habis dengan yang baru. Gaffi berkedip, tidak menyahut dan memilih diam.
***
Tinggal selama dua minggu di rumah sakit, Gaffi akhirnya diperbolehkan pulang. Bayu memasukkan semua benda yang dia beli untuk dipakai selam tinggal di rumah sakit ke dalam dua kantung kresek, senyum bahagia terpatri pada wajah tampannya.
Gaffi yang kebanyakan diam tidak menarik kecurigaan. Gaffi asli juga selalu diam. Anak itu mungkin mengalami keterbelakangan mental, baik ayah dan nenek tidak menyadari itu dan mengira putra/ cucu mereka tidak suka bicara dan suka diam.
Berjanji pada pemilik aslinya, Gaffi berkata dalam hati. Dia akan menjaga Bayu di hari tuanya. Toh wajar kan bagi anak yang dibesarkan untuk membalas kebaikan orangtua dimasa tua mereka? Walau Gaffi tidak mengenyam bangku sekolah, Gaffi bisa sedikit membaca. Lima tahun tinggal di yayasan, akan ada satu atau dua relawan baik hati yang akan datang untuk mengajari anak-anak membaca buku.
Melirik sepatu kain yang dia pakai, Gaffi menahan sudut bibir nya agar tidak terangkat. Ini sepatu baru pertama yang dia punya selama sepuluh tahun terakhir. Di Yayasan akan ada sumbangan baju atau buku, tapi tidak pernah ada sepatu. Mungkin merepotkan untuk membeli berbagai macam ukuran sepatu, investor baik hati hanya akan menghabiskan uang untuk pakaian yang baik itu besar atau kecil akan ada yang memakainya.
Bayu menyentuh lembut kepala Gaffi. "Anak ayah senangkan bisa pulang ke rumah?"
Mengangguk patuh, Gaffi menerima sambutan tangan Bayu. Sepasang ayah dan anak menyapa dokter dan suster sebelum pergi meninggalkan rumah sakit. Berjalan saling bergandengan tangan, Gaffi tertegun atas perbedaan jalanan ibukota yang bisa dia ingat.
Saat ini transportasi tidak secanggih dan sekeren masa depan. Orang-orang kaya masih sangat jarang, masyarakat juga lebih suka menaiki sepeda atau transportasi umum seperti mikrolet.
Bayu yang menunggu di halte depan rumah sakit menghentikan mikrolet yang hendak lewat. Naik perlahan ke dalam mobil, Gaffi mulai merasakan pusing. Sepertinya tubuh ini mudah mabuk perjalanan.
Bayu yang menyadari ekspresi Gaffi sedikit pucat mengeluarkan permen asam yang sengaja dia beli dari supermarket. Menyesap permen yang sedikit meredakan mual, bangku mikrolet sepanjang perjalanan selalu penuh.
Ibu-ibu yang pulang dari pasar dengan tas belanja begitu heboh ketika melihat Bayu dan Gaffi yang duduk di dalam mikrolet. Dari obrolan antar ayah dan ibu-ibu tersebut, sepertinya adalah tetangga mereka.
Membayar ongkos pada kenek mikrolet, Bayu tersenyum sopan pada ibu-ibu tersebut lalu membawa Gaffi kembali ke rumah. Membuka pagar kayu, Gaffi tercengang.
Bayu yang juga menyadari ada yang salah meminta Gaffi menunggu di depan pagar rumah dan tidak masuk ke dalam. Di dalam rumah, Retno terus meraung marah pada deb kolektor yang menyita kipas angin, tv dan kulkasnya.
"Anak saya itu karyawan kantoran, hutangnya pasti dibayar! Kamu, kamu jangan bawa kulkas saya. Hey!!!"
"Ibu ada apa ini? Mereka siapa?" Bayu menahan rasa paniknya. Ada lebih dari lima orang pria yang membawa semua barang berharga di rumah.
Belum sempat Retno menjawab, seorang pria yang tidak terlalu tua datang untuk menjelaskan. "Kamu anak ibu Retno? Ibu kamu melakukan pinjaman di bank dan sudah dua bulan ini tidak membayar angsuran."
Wajah Bayu berubah menjadi pucat pasi.
"Sesuai perjanjian, setelah keterlambatan pembayaran pihak bank sudah mengirimkan surat untuk mengingatkan pembayaran tapi tidak dihiraukan. Tindakan hari ini adalah keputusan akhir, rumah juga akan disita lusa nanti. Kalian bisa bawa baju kalian sebelum pergi."
Retno tidak berani melihat ke arah Bayu. Dia pura-pura menangis untuk dikasihani. Ini trik lama dan Bayu tidak termakan aktingnya. Harus berapa lama lagi hidupnya dibuat kesulitan oleh ibu angkatnya ini?
Kalau saja bukan karena permintaan ayahnya yang meminta dia berbakti dan membantu merawat Retno, Bayu yang tidak mempunyai kasih sayang sedikitpun pada ibu tiri ini ingin pergi mengusirnya.
Sekarang sudah terlambat meski diusir pun. Rumah peninggalan ayahnya akan disita. Retno merangkak memegang kaki putranya, "Ibu tahu ibu salah. Ibu khilaf, kamu maafin ibu ya."
"Ibu pinjam ke bank untuk apa?!" Tanya Bayu dengan nada tajam.
Retno menunduk malu. Sebelum menikah dengan ayah Bayu, dia juga pernah menikah dan punya dua anak. Anak bungsunya dua tahun lalu datang dan minta tolong untuk pinjam uang sebagai modal usaha. Sebagai ibu, dia tidak tega menolak. Minta uang kepada Bayu langsung, dirinya malu. Maka satu-satunya jalan adalah dengan cara menggadaikan sertifikat rumah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!