Winda mengendarai sepeda motornya. Melaju pelan menyusuri jalan. Sedari tadi fokus Winda terus pada kejadian saat Ardish mengecup pucuk kepalanya.
Bukankah mereka hanya sahabat? Tapi . . . kenapa Ardish bersikap seperti itu? Memang, mereka akan berpisah. Pak Wijaya menyuruh putranya melanjutkan studi di Inggris. Namun, tetap saja Winda merasa jika sikap Ardish tadi berlebihan.
Sebagai sepasang sahabat. Winda merasa hal itu tidak perlu dilakukan. Peluk sembarangan, lalu nyium. Meskipun itu dipucuk kepala. Tetap saja Winda tidak suka. Dan . . . Ardish sangat tau akan hal itu.
Entah mengapa Winda merasa perlakuan Ardish tadi bukan seperti seorang sahabat. Melainkan . . . pacar?
OMG Winda! Mikir apa sih kamu? Jelas-jelas hubungan kalian berdua murni hanya sebatas sahabat. Tidak lebih, dan Ardish juga tau akan itu. Please, jangan mikir aneh-aneh lagi ya.
Winda berusaha meyakinkan diri. Mengingatkan diri sendiri. Mungkin, bagi sebagian orang jauh dari sahabat itu lebih berat dari-pada jauh dari kekasih. Pun dengan cara menunjukkannya. Terkadang bisa lebih sedikit lebay. Ya . . . seperti tadi. Seperti sikap yang Ardish tunjukkan tadi.
Winda kini sudah tiba di tempat tujuannya. Di depan sebuah Toko Kue milik Kakaknya. Toko kue yang juga merangkap sebagai caffe itu memang tidak terlalu jauh. Hanya berjarak satu kilometer dari kampusnya.
Meletakkan helm. Mengunci stang sepeda motornya. Sebelum akhirnya Winda meninggalkan motornya
menuju ke arah pintu masuk caffe. Namun, saat Winda ingin menjejalkan kaki di tangga caffe dekat pintu masuk. Tiba-tiba saja tubuhnya terhuyung, ditabrak seseorang dari belakang.
Bugh!
“Akhhh!”
Meringis sakit. Tubuh Winda hampir terjerembab ke tanah. Namun, sebuah tangan kekar berhasil menahannya dengan memegang kuat lengan Winda.
Pria tampan. Berkulit putih, hidung mancung, bertubuh kekar, dengan setelan jas ala kantoran. Kini sedang menatap intens ke arah Winda. Sejenak Winda terpaku melihat sosok tampan di depannya. Lantas tersadar saat
lelaki itu bertanya dengan menggunakan bahasa asing dengannya.
“Girls, are you okay?”
“Ya.” Winda mengangguk. Lalu memposisikan dirinya tegak. Melepaskan tangan lelaki itu yang masih melingkar di lengannya.
“Sorry.” Pria itu memicingkan mata. Meminta maaf. Melepaskan lingkaran tangannya dari lengan Winda.
“Nggak apa-apa . . . dan makasih,” balas Winda menggunakan bahasa Indonesia. Sebenarnya bukannya Winda tidak bisa membalas dengan kalimat asing. Namun, hal itu disebabkan naluri Winda yang mengatakan jika lelaki yang berdiri dihadapannya ini memang orang lokal.
Tersenyum canggung. Winda ingin berlalu dari hadapan pria itu. Namun, dicegat. Langkah Winda tertahan saat lelaki itu kembali menarik lengannya.
“Ingin berlalu begitu saja?” pria itu bertanya sembari menaikkan sebelah alisnya. “kita belum berkenalan, Nona.” Lelaki itu menjeda. Mengulurkan sebelah tangang ke arah Winda.
“Perkenalkan aku, Ferry. Kamu?”
Belum sempat menjawab. Dan . . . memang sama sekali tidak ingin menjawab. Tiba-tiba saja dari arah jalan terdengar seseorang memanggil nama Winda.
“Winda!” pekik lelaki itu yang kini sedang berjalan ke arahnya. Terdengar familiar. Dan . . . sangat akrab?
“Ardish.” Tentu saja. Sang pemilik suara yang selama ini sangat dekat dengan Winda. Setelah tadi selesai mengurus beberapa berkas di kampus. Ardish memutuskan untuk segera mampir ke caffe sederhana tempat Winda bekerja. Milik Kakak, Winda. Anissa.
Ardish mempercepat laju langkahnya. Saat matannya menangkap sebuah adegan di mana lengan Winda dipegang. Hal itu membuat Ardish tidak suka. Lantas buru-buru melepas setibanya di depan Winda.
Melihat Winda yang di pegangi oleh pria asing, membuat Ardish yang baru saja tiba itu kini bergegas menghampirinya.
“Kamu siapa?” tanya Ardish pada Fery. Dan . . . sesaat kemudian Ardish melirik ke arah Winda. “kamu nggak apa-apa ‘kan, Win?” tanyanya penuh selidik. Sementara Ferry sudah melepaskan cengkeraman tangannya.
Winda menggeleng.
“Ng-gak apa-apa,” lirihnya.
“Syukurlah, aku fikir kamu sedang di lecehkan,” ujar Ardish seraya menatap sinis kearah Ferry.
“Hah . . . ng-ggak kok.” Winda kembali menggeleng. Merasa suasana mulai menegang. Gadis itu kemudian menarik tangan Ardish untuk ikut masuk ke dalam bersamanya. Tidak menghiraukan Ferry. Apalagi menjawab
pertanyaannya. “karena sekarang kamu sudah ada di sini. Bagaimana jika hari ini aku traktir kamu makan sepuasnya,” tawar Winda.
“Hmm . . . oke. Rezeki tidak boleh ditolak bukan?” Ardish tersenyum. Winda terkekeh pelan. Keduanya pun kemudian masuk ke dalam caffe bersama.
Tidak dihiraukan. Ditinggal tanpa diberi jawaban. Ferry mengulum senyumnya. Senyum miring, terkesan licik seperti sedang merencanakan sesuatu. Baginya ini kali pertama ia tidak dihiraukan oleh seorang wanita. Dan . .
. hal ini membuat Ferry sangat tertarik?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Yeni Rahmalia
,ini feri yang mana lagi, apa feri sepupu maya
2021-09-24
0
lita
kak dedi..mana yaa😂😂
2021-01-23
0
Eka Purnamasari
dedy mana dedy
2020-12-24
0