“Duduk di sini, Dish.” Winda menunjuk kursi di sampingnya. Ardish mengangguk. Lantas menapakkan bokongnya di sana. “mau minum apa?” tawar Winda kemudian.
“Hmm . . . apa ya?” Ardish berpikir. “Cappuccino dingin deh satu!” serunya kemudian.
“Kue?”
“Terserah kamu, yang penting enak,” ujar Ardish sembari menyunggingkan senyumnya. Winda mengangguk.
Meninggalkan Ardish. Memintanya untuk menunggu sebentar. Winda berjalan menuju pantry. Meminta seorang barista membuatkan kopi pesanan Ardish. Sementara dirinya, kini beralih menuju ke etalase penyimpanan kue.
Mengambil beberapa cake. Menatanya di atas dessert plate yang terbuat dari kayu. Winda kemudian kembali menghampiri Ardish yang sedari tadi setia menunggu dirinya.
“Lama ya?” Winda tersenyum. Lantas duduk setelah tadi menyajikan kue yang dibawanya di atas meja.
“Lumayan, menguras minumanku yang tinggal setengah,” ujar Ardish seraya menunjukkan cup cappucinonya yang memang tinggal setengah. Terkekeh.
“Bilang aja lagi haus. Dasar!” toyor Winda dibahu Ardish.
Ardish tertawa. Pun dengan Winda. Keduanya tertawa bersama, akrab seperti biasanya. Namun, tanpa diketahui oleh mereka. Sedari tadi sepasang mata terus memperhatikan. Duduk di meja yang letaknya di depan. Tidak jauh dari tempat kasir.
“Tuan, pesanan anda,” ucap seorang pelayan seraya menyerahkan sebuah kantung berukuran sedang. Berisi satu kotak kue di dalam.
“Oh iya.” Ferry mengambil bungkusan kue tersebut. Mengluarkan uang dari dompetnya. Membayar pada pelayan itu.
“Tunggu sebentar, Tuan. Saya ambil dulu kembaliannya.”
“Tidak usah. Buat kamu saja,” ucap Ferry yang kemudian bangkit dari duduknya.
Pelayan tersebut tersenyum senang, membungkuk, berterimakasih. Ferry mengangguk. Beranjak dari duduknya. Namun, sebelum meninggalkan tempat tersebut. Sekali lagi Ferry kembali menatap Winda yang sedang berbicara ria bersama Ardish. Tersenyum penuh arti. Baru setelah itu Ferry benar-benar pergi meninggalkan tempat itu.
***
Minggu pagi sekitar pukul setengah delapan. Winda sudah terlihat rapi. Biasanya di jam segini. Di hari libur seperti ini. Winda masih bergelung di tempat tidur. Menyembunyikan diri dibalik selimutnya.
Celana jeans, dengan atasan tunik. Dipadu-padankan dengan hijab berwarna pastel. Membuat Winda terlihat cantik. Tas selempang di ambil. Disandang di bahu kanan. Menyemprotkan parfum ke beberapa titik pakaian yang
dikenakan. Bergegas pergi keluar dari kamar.
“Loh, Win, tumben nih jam segini sudah rapi?” tanya Annisa menatap heran.
“Iya nih Win, tumben. Biasanya jam segini kamu masih molor di kamar,” timpal Rahma (Ibu) yang tak kalah herannya dari Annisa. Sementara itu, Yahya (Ayah). Hanya mendengar perbicaraan saja sambil terus menikmati makanannya.
Winda tersenyum seraya menaikkan hidung nya. Mengambil sepotong telur dadar, lalu dimasukkan ke mulutnya.
“Hari ini Winda mau ngantar Ardish ke bandara,” katanya seraya setelah menelan telur dadarnya. Mengambil cangkir teh milik Ayah. Lantas meminumnya.
“Winda, itu punya Ayah!”
Tentu saja hal itu diprotes keras. Yahya melotot ke arah Winda yang menghabiskan seluruh isi teh-nya tanpa rasa bersalah.
“Heheheh . . . udah abis,” ujarnya sambil terkekeh pelan.
“Buatin yang baru!” perintah Yahya. Meskipun suaranya terdengar pelan. Namun, kalimatnya cukup menekan.
Membalikkan badan. Winda tidak membalas ucapan sang Ayah. Langkahnya beralih pergi menuju kursi sang Ibu yang tidak jauh dari kursi Ayah. Ayah duduk di kursi utama. Sementara Ibu selalu duduk di sebelahnya. Winda sedikit membungkukkan badan.
“Ibuku yang cantik. Tolong buatin teh yang baru ya buat, Ayah. Anakmu ini sedang ada urusan. Buru-buru harus jalan. Mohon pengertiannya ya,” ujar Winda. Gadis itu kemudian meraih tangan Ibunya. Mengecup punggung tangan, pun dengan Ayahnya.
“Kak, titip Ibu sama Ayah, ya. Winda mau pergi dulu. Eh . . . kok dulu sih. Ralat, sekarang. Hahahah . . . Assalamu’alaikum.”
Winda melambai. Gadis itu kemudian melenggang pergi. Keluar dari ruang makan. Berjalan hingga ke teras depan. Mengambil sepatu. Lantas dikenakan.
Annisa tersenyum. Rahma protes berat. Harus membuat lagi teh baru untuk suaminya.
“Lihat tuh anakmu, Yah. Sudah besar tapi masih saja begitu.” Rahma meraup dalam udara yang tersedia disekitarnya. Lantas membuangnya kasar.
“Sudah, Bu, biarkan saja. Toh, dari dulu memang seperti itu sikapnya,” timpal Annisa mencoba menenangkan Ibunya. “Urusan teh. Biar, Annisa, saja yang buat. Ibu sama Ayah, lanjutin lagi sarapannya.” Annisa bangkit dari duduknya. Menuju dapur, membuatkan kembali teh yang tadi dihabiskan Winda untuk Ayahnya.
“Benar kata, Annisa, Bu. Winda dari dulu ‘kan memang begitu. Biarkan saja. Nanti juga lama-lama berubah,” ujar
Yahya. Setuju dengan ucapan putri sulungnya.
***
Di Bandara.
Suasana hening tercipta. Sedari tadi Ardish terus menatap sendu ke arah Winda. Winda yang menilai tatapan Ardish tidak seperti biasanya. Mulai gelisah, lantas salah tingkah? Entah mengapa lagi-lagi ada yang berbeda. Sorot mata Ardish terlihat sangat dalam. Seperti sorot mata seorang kekasih yang tak rela jauh dari kekasihnya.
Duh . . . apaan sih. Jangan ngaco deh, Win. Nggak ada namanya kamus cinta dari sebuah persahabatan. Jika pun ada. Maka itu hanya akan merusak persahabatan. Batin Winda.
“Win . . . ,” panggil Ardish. Winda merespon. Mengangguk, menatap seksama. “Selama aku pergi. Jaga dirimu baik-baik ya,” lanjut Ardish.
“Pasti dong. Masa enggak,” balas Winda terkekeh pelan.
Entah mengapa kali ini lagi-lagi ia merasa jika kalimat yang barusan di-ucapkan Ardish begitu dalam. Meski terdengar biasa?
“Tapi . . . aku kurang yakin. Kamu itu terlalu ceroboh. Takut, jika selama aku tidak ada. Kamu terluka. Dan . . . siapa yang akan mengobatinya?”
“Aku bukan anak kecil, Dish. Aku bisa jaga diri. Dan mengobati diri sendiri.”
“Tapi nyatanya selama ini kamu selalu terluka. Dan aku yang selalu mengobatinya,” timpal Ardish.
Memang benar. Semenjak bertemu Ardish, dan menjalin pertemanan dengannya. Ardish selalu ada buat Winda. Selama dua tahun terakhir. Setiap Winda jatuh dan terluka. Ardish selalu siap membantu dan mengobati luka Winda.
Hal itu dilakukan Ardish bukan semata karena hubungan persahabatan mereka. Namun, lebih dari itu. Ardish menyimpan rasa. Yang sampai detik ini belum ia utarakan.
“Udah . . . nggak usah mikirin aku. Fokus saja dengan pendidikanmu. Buat kedua orangtuamu bangga dengan prestasimu,” ucap Winda. Ardish mengangguk. Mengulum bibir, tersenyum.
“Aku janji akan berusaha keras untuk menyelesaikan kuliah-ku di sana,” kata Ardish.
“Good . . . .” Winda menaikkan ibu jarinya.
“Tapi, Win, sebelum aku berangkat. Bolehkah aku mengatakan sesuatu padamu?” Gugup. Ardish meraup rakus udara sekitarnya.
“Mengatakan sesuatu, apa itu? Apa sangat rahasia?” tanya Winda. Pertanyaan yang semakin membuat Ardish takut untuk mengatakannya. Sementara hatinya sudah tidak sanggup lagi memendam perasaannya.
“Dish,” lirih Winda. Ardish yang tadi sempat melamun lantas tersentak.
“Eh, i-iya, Win.”
“Apa? Katanya mau ngomong?” kedua alis Winda terangkat.
“Aku . . . a-aku . . .” Ardish tergagap. Menggaruk belakang kepalanya yang sama sekali tidak terasa gatal. Winda yang tidak pernah melihat Ardish yang seperti itu. Lantas menatap heran.
“Dish,” tuntut Winda. Entah mengapa melihat gelagat Ardish membuatnya penasaran.
Sebenarnya apa yang ingin Ardish katakan. Apa hal itu ada hubungannya dengan hubungan persahabatan mereka?
“Winda . . . aku mau jujur. Jika selama dua tahun ini aku sudah jatuh cinta sama kamu.”
Deg!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Nia Kurniati
Menarik.... 😍
2021-10-23
1
Baiq Ely Ervina
Reno sama siapa ya thor
2021-01-16
0
ΞΞ'ΞΞ'ΞΞ ΞΞ'ΞΞ'ΞΞ
ko critanya g nyambung,,,seharusny episode 2 anisa lahian Atau apa gitu,,ini brti anisa belum nikah mlah
2021-01-03
0