"Saya teriak, nih?" ancam Lova saat Aksa mulai ancang-ancang hendak merogoh sakunya.
"Kamu yang mulai."
"Jangan main-main!" Lova melangkah mundur saat Aksa mendekat.
"Saya gak pernah main-main," balas Aksa masih terus mendekati Lova.
Akibat lantainya yang masih basah dan licin, Lova hampir saja terjatuh karena terpeleset jika Aksa tidak segera menolong. Aksa memegang pinggang Lova, sedangkan Lova memegang pundak sang guru. Mata keduanya saling menatap.
"Lova? Pak Aksa?"
Mendengar suara seseorang, Lova langsung mendorong dada Aksa dengan keras hingga dia terlepas dari pelukan pria itu.
"Kalian..." Dua orang siswi menatap curiga ke arah Lova dan Aksa.
"A-apa?! Jangan nethink lo pada! Gue dihukum bersihin toilet, nih lihat, basah kan?" Lova menunjuk lantai yang basah, bukti kalau dia memang tidak berbohong.
"Terus, kalian kenapa peluk-pelukan?" tanya salah satu siswi.
"Pelukan mata lo! Gue kepleset, terus Pak Aksa nolongin!" jawab Lova tak pernah santai.
"Udahlah! Awas aja kalau kalian sebarin gosip yang nggak-nggak. Kalau sampe gue denger gosip tentang gue sama nih guru, gue habisin kalian!" ancam Lova. Wajah ketusnya sangat kentara, ciri khas seorang Dealova.
Setelah mengatakan itu, Lova segera pergi dari toilet diikuti Aksa yang sedari tadi hanya diam menyimak.
"Gimana mau gak nethink kalau mereka kayak gitu, iya kan?" bisik siswi tadi dan diangguki oleh satunya.
****
Lova menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Hari yang sangat melelahkan.
Sedikit informasi tentang kehidupan Lova. Dia tinggal di sebuah perumahan elit, karena memang keluarganya termasuk keluarga berada. Namun, hidup dengan kekayaan melimpah belum tentu bahagia, seperti Lova.
Dia dituntut menjadi pintar, pintar dan pintar. Kedua orang tuanya dan kedua kakaknya adalah seorang dokter, mau tidak mau Lova juga pasti akan menjadi dokter.
Lova bukanlah murid yang sangat pintar. Dia memang sering mendapat juara 3 besar, namun itu semua karena terpaksa alias tuntutan orang tua. Andai orang tuanya tidak memaksanya, Lova tidak akan mau belajar sampai sakit.
Keluarganya masih lengkap dan akur, hanya dia yang memang memilih menjauhkan diri dari mereka. Karena apa? Ya karena tuntutan yang tiada habisnya itu. Lova adalah manusia bukan robot.
"Non, makan dulu. Bibi bikin ayam asam manis."
Bi Santi, pembantu satu-satunya di rumah Lova. Beliau lah yang selama ini menemani Lova kalau semua orang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Bi Santi pula yang menjadi tempat curhat Lova. Intinya Bi Santi sudah Lova anggap seperti ibu sendiri, bahkan ibunya sendiri tak sedekat ini dengan dirinya.
"Wih... Enak, tuh!" Lova beranjak dari ranjang dan menerima nampan yang Bi Santi bawa.
"Dihabisin, ya, Non. Saya bikinnya pake cinta," ujar Bi Santi lalu terkekeh geli.
"Pasti aku habisin! Masakan Bibi tuh paling enak sedunia!" balas Lova sembari tersenyum lebar.
"Ya sudah, kalau begitu Bibi balik ke dapur, ya," pamit Bi Santi yang diangguki oleh Lova.
Lova meletakkan nampan itu di atas nakas, dia ingin mengganti baju lebih dulu.
Saat melepas seragam, Lova merasa ada yang hilang. Tapi apa?
"Loh? Lip balm gue mana?!" Lova meraba kantong seragamnya yang hanya terdapat sunscreen, sedangkan lip balm miliknya hilang entah kemana.
****
Aksara menatap lip balm yang dia pegang. Matanya meneliti benda mungil berwarna pink itu. Lip balm milik Lova yang jatuh saat gadis itu berlari keluar dari toilet, mungkin Lova tak menyadarinya. Aksa tak tau kenapa dia malah mengambil lip balm yang harganya tak seberapa itu, ia hanya mengikuti apa kata hati.
Karena penasaran, Aksa pun membuka tutup lip balm itu dan mencium aromanya.
"This is the taste of her lips?" bisiknya.
Aksa kembali memperhatikan lip balm tersebut sebelum kembali menutup lip balm itu dan menaruhnya di atas nakas. Sedangkan dia memilih untuk membersihkan diri.
Di sisi lain, Lova turun ke lantai dasar mengantar nampan yang terdapat piring kosong miliknya tadi.
"Papa dengar, hari ini kamu ulangan harian. Berapa nilai kamu?" Baru saja menginjak lantai, Lova sudah ditodong pertanyaan oleh papanya yang sepertinya baru saja datang, terbukti pria itu sedang duduk di sofa.
"Nilainya belum keluar," jawab Lova seadanya dan kembali melanjutkan langkahnya.
"Jangan sampai nilai kamu turun, Dea," ujar sang papa.
"Iya." Lova menjawab sambil terus berjalan. Terkesan tidak sopan memang, tapi inilah Dealova dan keluarganya.
"Gak pernah berubah, selalu bersikap tidak sopan," gumam Vincent.
"Ada apa?" Gea datang dari arah dapur membawa nampan berisi 2 gelas kopi.
"Anak kamu itu, sikapnya selalu kurang ajar," jawab Vincent.
"Anak kamu kali," balas Gea.
Vincent menghela nafas. Apapun tentang keburukan Lova, mereka pasti akan seperti ini.
"Kamu ibunya, Gea. Coba ajari anakmu tentang kesopanan," ucap Vincent.
"Dia itu anakmu, Vincent," balas Gea tak mau kalah.
"Masukkan aja dia ke kursus atau apa. Selain melatih kesopanan, dia bisa belajar juga," lanjut Gea.
"Bener juga. Kamu punya kenalan guru kursus?" tanya Vincent mulai tertarik dengan usulan Gea.
"Nggak kenal, sih. Tapi, ada anak temanku yang kebetulan jadi guru. Siapa tau dia mau ngajarin Dea," jawab Gea.
"Kalau begitu, hubungi teman kamu sekarang. Lebih cepat lebih baik," ujar Vincent.
"Kita datangi aja ke rumahnya. Gak enak kalau ngomong di telepon," kata Gea ada benarnya, Vincent pun mengangguk setuju.
****
"Aku gak mau, Ma!"
"Harus mau karena Mama udah bilang sama teman Mama."
"Gak cukup Mama atur-atur aku terus? Aku bisa tanpa bantuan siapapun!"
Lova meremas rambutnya dengan kencang, pusing sekali hidup dalam kekangan.
"Kamu gak akan bisa, De. Udahlah, nurut mama sama papa aja, ya? Ini semua demi kebaikan kamu juga, kok," balas Gea bersikukuh.
"Kalau kamu tetap gak mau, Mama gak segan-segan kirim kamu ke luar negeri," lanjut Gea mengancam anaknya.
Ancaman yang selalu dilontarkan oleh orang tuanya itu membuat Lova tak suka. Selain mengekang, mereka juga suka mengancamnya. Lova tidak mau ke luar negeri, dia tidak bisa hidup sendiri di negeri orang.
"Weekend, guru les kamu akan datang, jadi, jangan coba-coba kabur," peringat Gea. Setelah mengatakan itu, Gea keluar dari kamar Lova.
Ingin memaki pun rasanya tak mungkin, yang bisa Lova lakukan hanyalah diam, menurut dan berusaha tak memberontak.
"Aku manusia, Ma, Pa, bukan robot," bisiknya, terdengar pilu.
Jika sudah berhadapan dengan orang tua, Lova seakan tak berdaya. Tidak ada pilihan selain menurut.
Air mata yang sedari tadi menumpuk, kini mengalir deras di pipi tirusnya. Lova bersandar di kepala ranjang sembari memeluk lututnya. Lagi-lagi, dia menangis sendirian, tanpa suara, dan itu sangatlah menyakitkan.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Agustina Kusuma Dewi
ada tp sendiri, q pernah di titik itu dl, ketika msh sekolah.
tp setelh menikah, semuanya sirna..
krn kl tdk ada dl, pasti skrg diriku tdk spt ini.
tuntutan itu, adlh u.kita jg akhirnya maknanya
petik positif main brain aja, krn semua qodarullah.
cha yo kak
2024-12-02
0