Pagi yang hangat dan cerah menyapa kota Beijing. Udara pagi yang segar menyelimuti seluruh kota, memberikan kesegaran di tengah kesibukan metropolis. Embun masih menempel pada daun-daun hijau dan kuncup-kuncup bunga yang baru mulai bermekaran, sementara burung-burung bernyanyi riang, menciptakan melodi alam yang indah.
Ellena berdiri di balkon kamarnya, menikmati keindahan pagi itu. Angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya, memberikan kesejukan yang menyegarkan. Dia menutup matanya sejenak, merasakan kedamaian yang langka. Setelah beberapa saat, Ellena memutuskan untuk meninggalkan balkon dan kembali ke dalam kamarnya.
Saat menuruni tangga, Ellena mendapati Luis yang sedang sibuk di dapur. Luis memakai celana panjang hitam dan kemeja putih yang dipadukan dengan vest V-neck hitam, terlihat rapi seperti biasa. Suasana dapur dipenuhi aroma harum dari masakan yang sedang disiapkannya.
Ellena menghampiri suaminya itu. "Pagi," sapa Ellena dengan ceria. "Kau sedang menyiapkan sarapan, ya? Ada yang bisa aku bantu?" tanyanya dengan suara penuh harap.
Luis menoleh sebentar, tatapannya tetap dingin dan datar. "Tidak perlu. Aku tidak ingin dapur ini mengalami kebakaran seperti sebelumnya."
Ellena menggaruk tengkuknya dengan canggung, seketika ia mengingat insiden sebelumnya. "Baiklah, tapi setidaknya biarkan aku membantu mengupas buah."
Luis menghela napas panjang, akhirnya mengalah. "Baik, tapi berhati-hatilah."
Ellena mengangguk antusias, dia mengambil pisau dan mulai mengupas buah. Namun, tidak lama kemudian, jari telunjuknya tergores pisau. Dia menahan sakit dan mencoba menyembunyikannya, tapi Luis dengan cepat menyadari.
"Ellena, kau ceroboh sekali," katanya dingin, meskipun ada sedikit kekhawatiran dalam suaranya. Dia meraih tangan Ellena dan memasukkan jari yang terluka ke dalam muluttnya, menghisapp darah yang keluar. Setelah itu, dia meludahkannya ke wastafel dan segera mencuci tangan Ellena dengan air dingin.
Luis mengambil kotak P3K dari laci dapur, mengeluarkan plaster luka, dan dengan cekatan mengobati luka di jari Ellena. "Kau benar-benar tidak bisa diandalkan dalam hal apapun," ujarnya sambil membungkus jari Ellena dengan plaster luka.
Ellena merasa malu dan bersalah. "Maaf, aku hanya ingin membantu."
Luis menatapnya dengan mata dingin. "Jika ingin membantu, lakukan sesuatu yang tidak berisiko untuk orang lain dan dirimu sendiri. Duduk saja dan tunggu sarapan siap."
Ellena mengangguk pelan, dia hanya bisa pasrah di hadapan sikap Luis yang dingin namun penuh perhatian. Dia duduk di meja makan, memperhatikan Luis yang kembali sibuk di dapur. Meski sikapnya keras, Luis selalu memastikan segala sesuatu berjalan dengan baik.
"Pagi ini langit benar-benar cerah, sepertinya cuaca hari ini benar-benar bersahabat," kata Ellena mencoba memecah keheningan.
Luis tidak menoleh, tetap fokus pada pekerjaannya. "Hn."
Setelah sarapan siap. Mereka duduk menyantap sarapannya dalam keheningan. Bagi Ellena, meski Luis tidak banyak bicara dan selalu to the point, ada sedikit kehangatan tersembunyi di balik sikap dinginnya. Meskipun dia sering merasa bingung dan kesulitan memahami suaminya, saat-saat seperti ini membuatnya merasa sedikit lebih dekat dengan Luis, meski hanya sekejap.
***
Setelah menempuh perjalanan selama 45 menit, Luis tiba di rumah sakit. Dia hanya mengangguk ketika berpapasan dengan orang-orang yang menyapanya. Saat baru saja melangkah masuk, seorang perawat menghampirinya dengan wajah panik.
"Dokter, pasien di kamar 705 tiba-tiba mengamuk dan mencoba melukai siapa saja yang mendekat," katanya tergesa-gesa.
Tanpa banyak bicara, Luis segera menuju kamar 705. Setibanya di sana, ketika ia baru membuka pintu, sebuah mangkuk sup melayang dan mendarat tepat di alis kanannya. Pecahan mangkuk yang tajam membuat darah segar segera mengalir dari lukanya yang terbuka. Namun, Luis mengabaikan rasa perih yang menusuk dan tetap masuk ke kamar itu.
Di dalam kamar, seorang pria muda duduk di tempat tidur dengan napas tersengal-sengal dan mata yang penuh amarah dan kesedihan. Pasien itu adalah Michael, dia mengalami trauma hebat setelah kehilangan calon istrinya dalam kecelakaan maut yang mereka alami semalam, dia masih belum bisa menerima kepergian calon istrinya.
"Tuan Muda Yun, tenanglah," kata Luis dengan suara tegas namun tenang. "Kau harus bisa mengobrol emosimu,"
Michael menggeleng dengan mata penuh air mata. "Tenang, bagaimana aku bisa tenang! Aku kehilangan segalanya! Kenapa aku harus tetap hidup?"
Luis mendekati Michael perlahan, menunjukkan sikap tenang meskipun darah terus mengalir dari lukanya. "Kehilangan itu memang berat. Tapi dengan menghancurkan dirimu sendiri, kau tidak akan mengembalikan apa yang telah hilang. Kau harus tau itu, kau harus bangkit untuk dirimu dan untuknya."
Michael menatap Luis dengan mata penuh air mata, perlahan amarahnya mereda. "Aku tidak tahu bagaimana bisa melewati ini..."
Luis mengangguk, masih menatapnya dengan dingin. "Aku akan membantumu melewatinya. Tapi kau harus berjanji untuk tidak melukai dirimu sendiri atau orang lain lagi."
Michael mengangguk perlahan, rasa tenang mulai merasuki dirinya.
Setelah memastikan Michael tenang, Luis keluar dari kamar itu. Di koridor, Adelia melihatnya dan segera menghampirinya dengan wajah penuh kecemasan.
"Luis! Kau terluka!" teriaknya, melihat darah segar yang terus mengalir dari dahinya.
"Aku baik-baik saja," balas Luis dingin, namun Adelia tidak mempedulikannya dan segera membawa Luis ke ruang perawatan.
"Baik-baik saja bagaimana? Jelas-jelas kau tidak baik-baik saja." Adelia membersihkan luka di alis Luis dengan hati-hati. "Ini harus dijahit, lukanya cukup dalam."
Luis hanya mengangguk. "Cepat saja, aku masih punya banyak pekerjaan."
Adelia mendesah pelan, namun tetap fokus. Dengan cekatan, dia mulai menjahit luka di alis Luis. Setiap tusukan jarum di kulitnya terlihat jelas, namun Luis tidak menunjukkan tanda-tanda kesakitan, seolah-olah dia sudah terbiasa dengan rasa sakit.
"Kau benar-benar harus lebih berhati-hati, Luis," kata Adelia sambil menutup luka yang telah dijahit dengan perban. "Jangan biarkan dirimu terluka lagi seperti ini,"
Luis menatapnya dengan tatapan datar. "Ini bagian dari pekerjaan. Tidak perlu khawatir berlebihan."
Adelia menghela napas. "Lima jahitan, Luis. Kau harus lebih menjaga dirimu."
Luis hanya mengangguk singkat. "Aku akan baik-baik saja. Kau tidak perlu cemas." Ucapnya sambil memegang pipi Adelia
Adelia menatapnya, masih dengan rasa cemas yang tak hilang. "Kau selalu seperti ini, tidak pernah memikirkan dirimu sendiri."
"Fokus pada pekerjaan adalah yang terpenting," balas Luis dingin. "Sekarang, aku harus kembali."
Adelia menggeleng pelan, mengetahui bahwa Luis tidak akan berubah. "Baiklah, tapi jika ada yang kau butuhkan, jangan ragu untuk mengatakannya padaku." pesan Adelia.
Luis menatapnya sejenak, kemudian berbalik dan melanjutkan langkahnya. Di balik sikap dinginnya yang khas, tersimpan tanggungjawab yang besar terhadap pekerjaannya, meskipun itu berarti harus mengorbankan dirinya sendiri, terkadang.
***
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments