Langit mulai berubah warna, jingga senja perlahan berganti kelam. Di tengah hutan yang sunyi, nyala api unggun menari kecil, memantulkan cahaya hangat ke wajah Zask yang sedang sibuk memanggang daging.
Ia mencampurkan bumbu yang dibawanya dari Desa Immo—bumbu khas buatan ibunya. Tangannya cekatan, tapi wajahnya tetap tenang.
"Hei, Kive. Ini daging yang kau minta," ucap Yukina datar, menyerahkan beberapa potong daging dengan ekspresi datarnya yang biasa.
"Terima kasih," balas Zask, menerima daging itu. Ia menaburkan bumbu, lalu meletakkannya dekat api untuk dipanggang.
Yukina duduk di seberangnya, menatap nyala api dengan tatapan kosong namun tenang.
"Memangnya kau bisa memasak?" tanyanya, memecah keheningan.
Zask tersenyum kecil. "Bisa. Aku belajar dari ibuku di desaku."
"Desamu di mana?"
"Desa Immo. Desa kecil dan tenang, terletak cukup jauh dari kota besar."
Yukina mengangguk pelan. "Desa terpencil, ya? Kedengarannya... damai."
Sejenak tak ada yang bicara. Hanya suara api yang berderak dan dedaunan yang berbisik diterpa angin.
Tak lama kemudian, Zask menoleh dengan tatapan penasaran. "Hei, Zamuki. Untuk apa gadis sepertimu ada di Hutan Iblis?"
Yukina mendengus kecil, menyilangkan tangan. "Jangan remehkan aku. Aku gadis terkuat di desaku," ujarnya dengan bangga. "Aku dalam perjalanan ke Kota Hestia."
Zask menaikkan satu alis, hampir tertawa. "Kau percaya diri juga, ya."
"Tentu saja."
"Tapi, walaupun kau yang terkuat di desamu, dunia luar jauh lebih luas. Bisa jadi banyak yang jauh lebih kuat."
"Itu sebabnya aku menuju Kota Hestia," jawab Yukina serius. "Aku ingin masuk Akademi Westia dan menjadi lebih kuat."
Zask terdiam sejenak, agak terkejut. "Kau juga akan ke Akademi Westia?"
Yukina menatapnya. "Iya. Memangnya kenapa?"
"Tujuan kita sama. Aku juga akan sekolah di sana."
Yukina tampak agak terkejut, tapi senyum tipis terukir di wajahnya. "Kalau begitu, kita bisa pergi bersama."
"Kalau kau tidak keberatan," jawab Zask dengan tenang. Ia membalik daging panggang yang mulai matang, lalu menyodorkannya ke Yukina. "Ini, coba."
Yukina menerima tusukan daging itu. Begitu gigitan pertama masuk ke mulutnya, mata gadis itu langsung membulat. Senyum mengembang perlahan di wajahnya, dan untuk pertama kalinya, wajah dinginnya terlihat hangat.
Zask sempat terpana. Bukan karena senyumnya, tapi karena perubahan ekspresi itu terasa... jujur dan murni,
Disaat itu sinar bulan entah kenapa menyoroti gadis itu, rambut putihnya yang cantik seperti salju, bahkan kedua mata ungu nya terlihat berkilau seperti batu amethys.
"Kenapa kau menatapku begitu, Kive?"
"Bu-bukan apa-apa," jawab Zask buru-buru, mengalihkan pandangan.
"Masakanmu enak. Hampir menyaingi masakan terbaik di desaku," puji Yukina dengan mulut masih mengunyah.
"Be-benarkah?"
"Aku tidak bercanda. Ini benar-benar lezat."
Zask tersenyum kecil, merasa bangga. "Aku belajar sejak umur delapan tahun."
Obrolan mereka mengalir ringan, ditemani suara api dan malam yang mulai tenang.
"Haah... andai saja aku bisa masak seenak ini," keluh Yukina sambil mengelus perutnya.
"Kau tidak bisa masak?"
"Bisa sih, tapi… ya… biasa aja," jawabnya, menggaruk-garuk kepalanya.
Zask hanya tertawa pelan. Tapi kemudian, dia terdiam. Memandang Yukina yang kini tampak nyaman, duduk tanpa waspada sedikit pun. Hatinya mulai bertanya-tanya.
"Hei, Zamuki."
"Hmm?"
"Apa kau tidak merasa ini... aneh?"
"Aneh bagaimana?"
"Kita baru bertemu. Tapi bisa ngobrol santai begini, tanpa rasa waspada."
Yukina mengangkat bahu. "Kurasa itu bukan masalah."
"Kau tidak takut aku berniat jahat? Kita bahkan belum saling kenal."
"Mewaspadaimu? Untuk apa aku repot-repot waspada pada orang lemah sepertimu?" jawab Yukina santai, diselingi senyum nakal.
"Hei!!" protes Zask, melotot.
"Hehehe, bercanda," Yukina tertawa kecil. "Kau menyelamatkanku dari serigala liar dan memasak makanan enak. Kalau ada niat jahat, aku pasti sudah sadar."
Zask menatapnya serius. "Jangan terlalu percaya begitu saja. Dunia luar jauh lebih rumit dari itu."
"Tapi aku percaya padamu, Kive."
Zask terdiam. Ada sesuatu dalam ucapan Yukina yang sulit dibantah. Ia hanya menghela napas dan menatap langit malam.
"Hei, Kive. Kau punya impian?"
Pertanyaan itu membuat Zask terdiam cukup lama. Lalu ia menjawab, "Impian, ya... Kurasa tidak. Aku hanya ingin hidup tenang."
Yukina mengerutkan dahi. "Itu bukan impian. Itu... keadaan."
"Ya, mungkin nanti aku menemukan impianku di akademi."
Yukina menatap langit juga, bintang-bintang bersinar terang malam ini. "Kalau kau tidak punya impian, kau bisa tersesat. Impian itu seperti kompas dalam hidup."
Zask menatapnya dalam diam, lalu kembali mendongak, membiarkan malam mengalir bersama pikirannya.
Dalam hening dan kehangatan unggun, mereka duduk berdampingan—dua orang asing yang entah kenapa bisa bicara tanpa rasa takut, di tempat yang disebut Hutan Iblis.
To Be Continued…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Rafa
👍
2024-08-10
0