Aku tinggal kembali di Gubuk Tua yang jauh dari pemukiman. Aku mulai merasa bahwa suamiku sengaja menempatkanku di tempat ini untuk m3ngurung ku agar tidak kemana-mana dan agar dia bebas berbuat apa saja kepadaku. Gubuk itu sangat sempit dan pengap. Sinar matahari hanya sesekali bisa menembus celah-celah dinding kayu yang sudah lapuk. Udara di dalamnya terasa pengap dan lembab, membuatku sulit bernapas. Setiap hari, Andi hanya datang sesekali untuk mengantarkan makanan. Selebihnya, aku terkurung sendirian di dalam gubuk tanpa bisa melakukan apa-apa. Aku benar-benar merasa seperti seorang tahanan yang dipenj4ra. Rasa t4kut dan khawatir selalu menghantuiku. Aku tak pernah tahu kapan Andi akan datang dan apa yang akan dia lakukan padaku. Apakah dia akan memukul1ku lagi? Atau melakukan hal-hal yang lebih 6uruk? Terkadang, aku mencoba untuk membuka pintu dan berjalan-jalan di luar, tapi selalu saja aku merasa khawatir. Khawatir jika ada seseorang yang mengawasiku. Khawatir dengan bahaya yang menganc4m yang bisa muncul secara tiba-tiba. aku seolah-olahtidak bisa mendapatkan kebebasan sedikitpun. Aku merasa seperti seekor burung yang t3rkurung di dalam sangkar. Aku bahkan tidak bisa merasakan sinar matahari dan hembusan angin segar. Semuanya serasa menyesakkan nafas. Setiap hari, aku terus berdoa agar bisa keluar dari tempat terkutuk ini. Tapi setiap kali aku mencoba, harapanku hanya kandas. Andi sepertinya benar-benar bertekad untuk mengh1langkan keber4daanku dari dunia luar. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku merasa sangat ters1ks4 dan putus asa. Bisakah aku bertahan lebih lama lagi di dalam tempat ini?
***
Hari demi hari berlalu, sampai akhirnya aku menyadari bahwa aku sedang hamil. Bayangan akan kehadiran seorang anak membuatku sedikit bersemangat, meski aku masih terjeb4k di dalam gubuk tua itu. Aku pun menceritakan hal ini kepada Andi saat dia berada di rumah.
"Sayang, ada kabar baik nih. Sudah dua bulan ini aku tidak haid. Sepertinya aku hamil." Kataku dengan penuh kegembiraan.
Tetapi ternyata kabar kehamilanku ini bukannya membuat Andi bersikap lebih lembut, malah sebaliknya. Dia semakin k4sar dan menuntutku bekerj4 lebih ker4s.
"Syukurlah kalau begitu. Tapi ingat, bukan karena kamu sedang hamil lalu ingin tinggal duduk-duduk santai di rumah ya. Kamu tetap harus bekerja mengurus kebun". Katanya dengan nada sedang.
Aku bisa merasakan bahwa ia tidak terlalu r3spek dengan kehamilanku ini. Padahal ini adalah kehamilan pertamaku dan calon anak pertama kami.
Setiap hari aku harus membereskan gubuk tua itu dari pagi hingga malam. Membersihkan debu dan sarang laba-laba, mencuci pakaian kotor, memasak makanan, bahkan merawat tanaman di kebun termasuk mengumpulkan kayu bakar di hutan.
Padahal kondisi tubuhku sedang lemah karena kehamilan. Andi sama sekali tidak memberiku kel0nggaran atau memperhatikan kebutuhanku.
Dia tetap mem4ksaku bekerja tanpa henti, tanpa mempedulikan kondisiku yang semakin hari semakin melemah.
"Andi, bisakah aku istirahat? Aku ini sedang hamil. Semakin hari semakin berat perutku ini. Aku mohon Andi beri aku kesempatan demi anak kita ini." Kataku memohon
"Jadi mau mu aku yang harus mengerjakan semuanya gitu?" Protes Andi dengan nada sedang.
"Bukan begitu Andi. Kamu kan tahu aku sedang hamil. Paling tidak bantulah aku sedikit. Sekedar meringankan bebanku saja. Kalau aku sudah melahirkan nanti, aku yang akan kerjakan lagi semuanya." Kataku berusaha meyakinkan.
Berkali-kali aku memohon agar Tapi dia hanya menatapku dengan tatapan dingin
"Tidak, kamu tetap harus bekerja. Karena aku punya banyak urusan di luar sana" Tolak Andi yang membuatku meneteskan air mata.
Dadaku terasa sempit mendengar alasannya yang tidak berpihak kepadaku. Aku men4ngis setiap malam, merasa begitu tersiks4 dan tidak berdaya. Kenapa Andi begitu kej4m? Bukankah seharusnya dia bersikap lebih lembut dan memperhatikanku di saat-saat seperti ini?
Terkadang aku berharap bisa kabur dari tempat ini, tapi bagaimana caranya?
Andi selalu meng4ncam akan melakukan hal-hal yang lebih buruk jika aku mencoba melarikan diri.
Aku merasa terperangkap, tidak bisa melakukan apapun untuk mengubah nasibku. Kehidupanku seakan-akan menjadi neraka yang tak berujung. Aku hanya bisa berdoa agar kekuatan dan kesehatan tetap ada, agar aku bisa bertahan demi janin yang sedang ku kandung.
***
Meskipun kondisiku semakin hari semakin memburuk karena harus bekerja ker4s dalam keadaan hamil, aku tetap berusaha ker4s mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga yang diberikan Andi.
Aku takut jika aku menolak, Andi akan menjadi semakin k4sar.
***
Suatu hari, Andi membawakan hasil panen dari kebun kami yang cukup melimpah pasar. Aku merasa sedikit lega, karena setidaknya kami akan punya stok makanan yang cukup untuk beberapa waktu ke depan atau uang yang bisa digunakan untuk belanja
"Sebaiknya kita hasil panen kebun kita disimpan untuk stok makanan kita di rumah ". Kataku kepada Andi.
"Tidak, semuanya akan kita jual. Nanti hasil penjualannya kita belanja kebutuhan rumah". Katanya
"Baiklah kalau menurut kamu itu yang terbaik". Kataku menyetujui rencana Andi.
Keesokan harinya, Andi ke luar membawa hasil panen untuk dijual. Tapi ternyata, Andi tidak menggunakan hasil panen itu untuk keperluan rumah tangga.
Alih-alih menyimpannya, dia malah pergi bersenang-senang ke kota, entah untuk apa.
"Mana hasil penjualannya?"
Tanyaku ketika Andi telah kembali di rumah.
"Tidak ada yang tersisa ". Jawab Andi
"Kok bisa? Jangan bilang kalau kamu telah menghabiskannya untuk berfoya-foya". Kataku mulai khawatir.
"Kalau iya kenapa? Mau m4rah? Aku memang telah menghabiskan bersama teman-temanku". Kata Andi dengan nada k4sar.
"Andi, kenapa kau habiskan semuanya. Terus untuk belanja kita gimana?". Tanyaku sambil menangis
"Terserah kau lah. Masa aku yang harus memikirkan lagi". Katanya.
Betapa hancur hatiku mendengar kata-kata itu. Semua rasa lelah selama ini dalam merawat kebun seketika muncul kembali dan menyatu di tubuhku membuat tenagaku terasa hilang.
Aku berusaha menahan emosi agar Andi tidak berbuat k4sar kepadaku lagi. Cukuplah penderit4an dalam hatiku ini, jangan lagi dengan fisik ku.
Hari demi hari berlalu, dan Andi semakin sering menghilang. Kadang dia baru pulang keesokan harinya, dalam keadaan mabuk dan acak-acakan.
Aku bertanya-tanya, uang dari mana yang dia gunakan untuk berfoya-foya seperti itu.
Ternyata, Andi menggunakan semua hasil panen kebun kami untuk membiayai kesenangannya sendiri. Dia tidak mempedulikan kondisiku yang sedang hamil dan semakin melemah. Yang dia pikirkan hanyalah bagaimana caranya memuaskan keinginannya sendiri.
Aku merasa sangat m4rah dan kecewa. Hasil jerih payahku selama ini, hanya disia-siakan oleh Andi untuk hal-hal yang tidak berguna. Sementara aku harus terus bekerja keras dalam kondisi yang semakin memburuk. Aku merasa sangat putus asa.
Bagaimana nasibku dan bayi yang sedang kukandung? Andi sama sekali tidak peduli dengan kami. Aku terus berdoa agar bisa segera keluar dari situasi yang menyiksa ini.
***
Melihat Andi yang terus-menerus berfoya-foya dengan uang hasil panen kebun kami, membuatku semakin marah dan kecewa. Aku berusaha menahan diri selama beberapa hari, tapi akhirnya aku tidak bisa lagi menahan emosiku.
Suatu hari, ketika Andi baru saja pulang dalam keadaan mabuk, aku memberanikan diri untuk menegurnya.
"Andi, aku sudah mulai b3nci dengan perilakumu. Kau habiskan uang hasil panen bersama teman-temanmu. Sementara Aku ini istrimu kau suruh menahan lapar di rumah". Teriakku pada Andi.
Karena Andi tidak begitu respon maka aku mengulangi kata-kataku.
"Andi! Kenapa kau menghabiskan semua uang hasil panen kita untuk bersenang-senang? Apa kau tidak berpikir tentang aku dan bayi yang sedang kukandung? Kita membutuhkan uang itu untuk kebutuhan hidup kita!" kataku lagi.
Andi menatapku dengan marah, matanya menyala-nyala. Tanpa berkata apa-apa, dia tiba-tiba men4mparku dengan ker4s.
Aku t3rhuyung dan jatuh ke lantai, terkejut dengan tindakannya.
"Di4m kau! Jangan berani-berani menghitung-hitung uang di depanku dan jangan mengatur-atur uangku!" bentak Andi.
Aku Perutk1s tersedu-sedu, merasakan p3rih di pipiku. Perutku juga terasa sakit akibat jatuh ke lantai. Aku sangat ketakutan, takut terjadi sesuatu pada bayiku.
"Andi, tolong... japintak4kiti aku dan bayi ini. Kami membutuhkanmu," pintaku dengan suara bergetar.
Tapi Andi tidak menghiraukan permohonanku. Dia malah men3ndang perutku dengan ker4s.
Aku menjerit kes4kitan, sambil berusaha melindungi perutku dengan tanganku. Air mataku terus mengalir, tidak bisa kubendung lagi.
Aku merasa sangat t3rpuruk dan tak berdaya. Betapa kej4mnya Andi, bahkan pada saat aku sedang mengandung anaknya sendiri.
Aku berdoa dalam hati, semoga bayiku baik-baik saja. Aku harus bertahan, demi kelangsungan hidup kami berdua. Tapi aku tak tahu sampai kapan aku bisa bertahan dari siks4an Andi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments