BAB 5 : PERANGKAP

Begitulah waktu berlalu. Persahabatan mereka sudah berjalan beberapa bulan. Monark makin sayang pada Sonia. Sebaliknya, gadis itupun sudah tak bisa lagi berpisah dengan pemuda pujaannya itu. Bila Monark kebetulan mesti tugas ke luar kota atau mengikuti seminar di luar negeri, maka Sonia akan murung sekali seperti seorang janda kembang. Tiap hari sepulang sekolah atau bila sekolah libur, kerjanya  cuma memandangi handphone, berharap ada pesan masuk atau telponnya berdering dari sang pujaan hati. Bila dia sendiri yang mengirim pesan namun tidak segera dibalas oleh Monark, dia akan uring uringan sepanjang hari. Untuk melakukan panggilan telpon langsung, Sonia tidak memiliki keberanian karena takut mengganggu tugas sang dokter. Rupanya demikian rasanya kalau anak perawan lagi jatuh cinta! Kalau ibunya melihat wajah anak bungsunya yang gelap seperti waktu magrib, pasti hari itu tidak ada pesan masuk atau pesannya belum di balas oleh Monark. Sebaliknya bila telponnya berdering atau pesannya berbalasan dengan lancar, Sonia akan mencak mencak seperti barong kesurupan.

    Kirana memperhatikan semua itu dengan bibir yang terkunci rapat. Monark agaknya juga membalas seruan hati adiknya dengan sama hebatnya. Setiap pulang dari mana mana, pasti tak pernah lupa membawa oleh oleh untuk Sonia. Terkadang malah barang mahal, sampai mama pun sempat mengerutkan kening.

"Jam tangan?" tanya mama. "Itu kan kurang pantas sebagai kado untuk teman gadis, Nia? Kenapa tidak kau tolak saja dengan halus?"

    "Sudah aku tolak, ma," sahutnya sedikit bohong. "Tapi dia memaksa." Sonia memang beberapa kali menolak pemberian Monark. Bukan karena ogah. Tapi karena takut dimarahi mama atau papanya. "Katanya, kami kan sudah erat, boleh dong dia memberi oleh oleh yang sedikit lain dari biasa. Katanya persekot ulang tahun nanti."

    "Itu kan bila sudah resmi pacaran, Nia," Kirana nimbrung, merasa makin prihatin terhadap perkembangan antara adiknya dengan pemuda itu.

    "Ya, memang kami juga sudah resmi pacaran kok," tantang Sonia, sukses membuat mama hampir pingsan.

    "Apa kau bilang, Nia? Pacaran? Kau kan belum tamat sekolah? SMA aja belum lulus.  Baru mau naik kelas. Tidak boleh pacaran dulu. Berteman saja yang baik baik. Untuk pacaran masih banyak waktu nanti. Kalau papa tahu, pasti kau akan kena marah dan tidak boleh lagi pergi pergi dengannya."

    "Ah, dari mana papa tahu kalau tidak ada yang beri tahu," katanya membandel. "Kamipun sebenarnya cuma berteman saja. Baik baik!"

    "Tadi kau bilang sudah resmi pacaran," ejek Kirana.

    Sania menelan ludah. Sebenarnya dia juga kurang paham apa sih resminya pacaran itu, apa tanda tandanya. Kalau dipikir bahwa kebanyakan laki laki itu pelit, maka bisa dong di duga kalau Monark cinta padaku, pikirnya. Kalau tidak, masa dia mau keluar uang demikian banyak bagiku? Tapi memang, selain perhatian yang segerobak ini, Monark belum pernah menyebut sebuah pun kalimat cinta. Padahal bagi beberapa cowok, kalimat sakti itu merupakan senjata andalan. Paling Monark cuma memujinya manis, menarik, dan..... mirip seseorang. Mirip siapakah?

    Sonia mencuri pandang wajah kakaknya. Ah, sama sekali tidak mirip. Atau mirip? Tidak. Tidak mirip. Monark pasti belum pernah melihat Kirana. Kalau tidak, masa dibiarkannya Kirana jadi gelandangan terus, tanpa pemilik yang sah!

    "Jangan kau terlalu sini pada Monark, kakakku yang cantik," kata Sonia mau mengambil hati kakaknya. "Sebenarnya dia juga punya oleh oleh untukmu. Dia kerap bertanya, mana sih kakakmu, kok tidak pernah kau perkenalkan padaku?" Ya, mereka belum pernah ketemu, pikir Sonia. Kalau tidak, tentunya Monark tidak akan minta dikenalkan.

    "Aku bilang, habis gimana mau dikenalkan, orangnya tak pernah ada di rumah bila kau datang. Atau sekalipun ada, pasti sedang tidur nyenyak dan pantang di ganggu."

    "Hm. Aku tidak ingin dikenal kenalkan! Memangnya barang jualan? Katakan saja padanya, tak usah bawa apa apa bagiku!"

    "Eh, kok jadi marah? Itu kan cuma itikad baiknya."

    "Hm. Itikad baik! Coba, apa sih yang di bawanya?"

    "Ini, lho," Sonia memperlihatkan sebuah bantal kecil berenda yang barusan di terimanya. Dibawanya benda itu ke hidung, di cium ciumnya beberapa kali.

    "Wangi, Na. Bantal ini gunanya untuk mengharumkan pakaian kita. Monark punya sebuah lagi. Tadinya untukmu. Tapi kau ogah ke luar kamar walau sudah tiga belas kali diketuk. Dan Monark tentunya tidak bisa memberikan hadiahnya, sebab belum pernah berkenalan. Jadi terpaksa di bawa pulang. Aku usulkan supaya diberikan saja kepada Shisi, anak bibinya."

    "Hm." Sambutan Kirana dingin saja. Dan memang perhatiannya saat itu lebih terarah pada textbook di tangan. Apa gunanya pewangi pakaian, pikirnya. Toh tidak akan bisa membantunya dalam ujian minggu depan.

    Namun setelah ujian berlalu dengan aman sentosa dan angkanya juga lumayan bagus, Kirana mendekati adiknya.

    "Aku mau bicara serius denganmu," katanya dengan kesan seolah Sonia sudah mencemarkan nama baiknya. Tanpa permisi lagi, dikuncinya pintu kamar adiknya, lalu dia menarik kursi dan duduk menghadap sang adik.

    "Soal apa, sih?" tanya Sonia yang sedang asyik membaca sebuah novel.

    "Soal Monark."

    "Lho!" Sonia jadi bangun dari telungkup dan duduk tegak di atas ranjang. Bukunya dibiarkan menutup sendiri di dekat kakinya.

    "Ada apa dengan Monark?"

    "Ada banyak hal! Kau cuma tahu senyumnya yang simpatik dan bicaranya yang memikat, bukan? Tahukah kau kehidupan pribadinya? Pekerjaannya?"

    "Ya. Dia dokter, bukan? Dan masih bujangan. Atau..... kau ingin memberi tahu bahwa dia sudah menikah?"

    "Dia memang bujangan. Tapi profesinya bukan cuma dokter, Nia. Dia juga seorang penyanyi!"

    "Wow!!!!" Sonia mendelik kagum, membuat Kirana mengeluh dalam hati.

    "Memang sudsah berurusan dengan anak puber. Penyanyi dianggap hebat! Penyanyi mana dulu, Nia? Dia bukan penyanyi beken yang keluar masuk stasiun TV dan bisa kita lihat di layar kaca tiap minggu. Monark itu cuma penyanyi lokal dalam sebuah kelab malam pinggiran."

    "Apa katamu, Na? Kelab malam? Ah, kau bohong! Kau bikin lelucon! Dengar dari mana? Pasti salah info!"

    Kirana menatap wajah adiknya dengan tenang. Wajah bandel itu tampak mulai bimbang. "Tidak! Aku tidak salah info. Aku tidak bohong."

    "Orang baik baik seperti dia, pasti tidak akan menyanyi di situ, Na. Apalagi dokter!"

    "Kau mau melihat buktinya?" tantang Kirana.

    "Kenapa tidak?" jawab si Bandel.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!