Bab 4

Aku sudah memutuskan.

Ryan mengingatkanku lagi bahwa dia tidak akan memaksaku untuk merayu kakaknya, Rhine. Dia memastikan aku bebas untuk menolak jika aku tidak mau. Ternyata, kedekatan yang kulihat antara mereka lebih dari sekadar teman; mereka adalah kakak beradik.

Ryan dua tahun lebih tua dariku dan enam tahun lebih muda dari Rhine. Dia berbicara tentang Rhine seolah-olah mereka tidak saling mengenal saat kami membicarakannya, dengan tujuan menghindari kesalahpahaman mengenai upayanya menjodohkan ku dengan kakaknya yang punya masalah seksual.

Namun, ini bukanlah pilihan yang sulit bagiku. Jika aku berhasil membantu Rhine, aku bisa menjadi istri orang kaya. Rhine mengalami impotensi, sebuah masalah seksual yang Ryan jelaskan kepadaku saat kami meninggalkan bar. Pilihanku adalah ya, aku akan merayu Rhine.

Selama sebulan ke depan, aku akan tinggal bersamanya di sebuah villa di tepi pantai. Kata Ryan, villa itu adalah hadiah pernikahan darinya untuk Rhine, pernikahan mereka berakhir ketika istrinya mengajukan gugatan cerai karena Rhine tidak bisa berhubungan badan.

Aku tahu cukup banyak tentang pria itu, setidaknya aku tahu dari mana harus memulai. Selain itu, aku juga akan bisa menikmati pemandangan pagi dan sore yang indah—laut yang luas.

Saat kami dalam perjalanan menuju villa, pemandangan suram pepohonan lebat di tepi jalan berganti dengan keindahan laut biru yang menyilaukan. Kami melaju menuju villa, Ryan menjemput ku sore tadi setelah memberiku waktu semalaman untuk berpikir dan memberikan jawaban pagi ini.

Jujur, aku agak gugup; aku tidak ahli dalam merayu pria, tetapi aku harus mencobanya.

Satu hal yang meyakinkanku tentang keputusan ini adalah bahwa Ryan memastikan Rhine tidak akan menyentuhku secara seksual selama sebulan ke depan. Jika gagal, mungkin itu akan berdampak buruk bagiku. Namun, jika berhasil, kami akan menikah.

Itu melegakan—aku bisa membayangkan hidupku yang tenang hanya dengan duduk di rumah tanpa harus memikirkan apapun. Mungkin, aku berharap demikian. Karena tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan.

"Ini kamarmu," kata Ryan sambil melepaskan koperku dan membuka pintu sebuah ruangan di lantai satu. Villa itu bertingkat dua. Dia membawaku masuk, dan aku juga ikut.

Aku tak sengaja menyentuh meja dekat pintu yang berdebu. Sepertinya aku harus membersihkannya malam ini. Ryan meletakkan kopernya di samping tempat tidur dan membuka tirai jendela, membiarkan cahaya senja matahari yang hampir tenggelam masuk ke dalam kamar.

"Kamar Rhine ada di atas, kita akan berkeliling nanti. Mandilah dulu," Ryan menatapku. Wajahnya tampak tidak ceria, jelas sekali dia sedang memikirkan sesuatu.

"Baiklah, terima kasih Ryan." Aku tersenyum padanya sebentar sebelum dia mengalihkan pandangannya melihat sekeliling. Dia tampak tidak fokus. Aku penasaran, "Ryan, aku tidak bermaksud lancang, tapi aku penasaran tentang sesuatu."

"Apa?"

"Apakah kau melakukan kesalahan pada Rhine?" Aku menatapnya dalam-dalam, namun Ryan tiba-tiba terdiam dengan tatapan lesu, menatap ke lantai. "Aku hanya bingung, kau begitu ambisius agar aku membantu kakakmu, jadi maaf jika..."

"Tidak, aku hanya ingin membantunya, dan juga.. membantu mu." Ryan menjawab dengan ekspresi yang berubah drastis. Dia menatapku sambil tersenyum, seperti biasanya. Ya, itulah Ryan yang kukenal. "Aku hanya mencoba menjadi seorang adik dan teman yang baik."

"Huh, syukurlah. Maaf jika aku berpikir yang tidak-tidak." Aku menghela nafas lega.

"Aku akan melihat-lihat," Ryan kembali tersenyum ramah sebelum melewati ku dan berjalan keluar.

"Tapi aku yakin ada sesuatu," gumamku saat pintu tertutup. "Ah, sudahlah. Bukan urusanku juga. Lebih baik aku mandi dulu."

**

Setengah sepuluh malam, aku duduk di kursi kayu dengan bantalan empuk. Ryan baru saja pergi setelah membantuku membereskan villa, yang kini tampak mengkilat dan bersih. Aku menyukainya. Ryan ingin tetap tinggal, tetapi dia harus mengurus sesuatu.

Kami tidak ke lantai atas, karena dia bilang disana bersih. Rhine sering berada di sana. Jadi aku tidak ke atas, kamar ku yang paling berdebu disini. Mungkin karena tak ada yang tidur disana.

Kupikir malam ini akan menjadi malam pertama aku menginap di rumah seseorang yang baru aku kenal—seorang pria. Bahkan selama berpacaran, aku tak pernah mengajak pacarku ke rumah, dan dia juga tidak pernah mengajakku ke rumahnya. Sepertinya tidak ada yang baik dalam hubunganku.

Aku lelah, dan rasa kantuk mulai menguasai diriku. Aku membaringkan tubuhku di kursi kayu yang punya bantalan empuk dan tertidur pulas, tidak memperdulikan angin malam yang masuk lewat jendela yang sengaja aku biarkan terbuka. Dingin, tetapi itu tidak masalah.

Dalam tidurku, aku merasa melayang di udara. Rasanya seperti aku bermimpi indah, dan ada sesuatu yang empuk di bawahku. Aku merasa berada di atas awan hingga dering ponsel membangunkan ku. Bukan, itu bukan dering ponselku.

Aku membuka mataku perlahan dan melihat Rhine. Aku yakin itu Rhine karena lampu masih menyala, dan aku bisa melihatnya berdiri di dekatku dengan ponsel di tangannya, itu dering ponselnya. Aku langsung menutup mataku saat dia melirik padaku.

"Ya?"

Rhine menjawab panggilan yang masuk dan mematikan lampu. Aku langsung duduk saat dia pergi dan menutup pintu. Aku melihat sekeliling, kamar ini adalah ruangan pertama yang aku masuki bersama Ryan tadi sore—kamarku.

"Apakah dia yang memindahkanku ke sini?" Aku memeriksa pakaianku; masih utuh. Astaga, apa yang aku pikirkan. Meskipun aku telanjang, dia juga tidak akan tertarik padaku, bukan? Huh, itu pasti menyakitkan baginya. Aku mendengus kesal sebelum mencari ponselku. Tidak ada.

"Ah, pasti di luar," aku bangkit dan membuka pintu perlahan. Aku merasa canggung berada di luar dan bertemu dengannya. Aku akan keluar jika tidak ada orang. Kosong. Aku mengamati sekitar dan melihat ponselku ada di meja dekat kursi tempat aku tertidur tadi.

Aku berjalan keluar dengan langkah pelan dan mengambilnya, melihat layar ponselku—pukul sebelas malam.

Aku tersenyum. Sesuatu terlintas dalam benakku. Aku tidak sempat pergi ke pantai tadi sore karena harus bersih-bersih. Jadi, aku memutuskan untuk pergi malam ini. Aku berjalan cepat keluar dari villa, menikmati aroma laut malam yang dingin.

Villa itu memang sangat dekat dengan pantai, aku hanya perlu menyeberang dan sampai. Aku menaiki bebatuan dan duduk di sana.

"Wah, cantiknya. Bintang-bintang tampak bersinar terang malam ini." Mungkin karena bulannya hanya seperempat lingkaran, hingga membuat kerlap kerlip bintang menjadi menonjol di langit malam.

Aku tersenyum senang menikmati pemandangan langit malam dan laut yang menawan. Perpaduan yang menenangkan. Aku menutup mata dan merasakan angin berhembus yang mulai menggerogoti tubuhku. Dingin... hingga sesuatu yang hangat membuatku membuka mata.

"Di sini terlalu dingin, tidak baik untukmu," ucap seorang pria. Rhine? Aku terkejut melihatnya, kupikir dia akan langsung tidur begitu datang. Bahkan dia menyelimuti aku dengan selimut. Itu cukup ampuh untuk membuatku terdiam dan mematung. Sementara dia mulai berjalan menjauh dariku.

"Kenapa masih di sana? Masuklah," tegas Rhine sebelum menyeberang. Aku hampir berpikir dia bukan pria yang kutemui di bar, tetapi aku salah. Kepribadiannya memang buruk.

...----------------...

Terpopuler

Comments

dita18

dita18

ternyata bener Rhine impoten😅

2024-07-31

1

dita18

dita18

ohh ternyata diluar dugaan mereka adik kakak

2024-07-31

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!