Bab 2

Aku menatap pantulan diriku di cermin, aku mengenakan gaun putih dengan renda, rok hitam pendek, legging ketat, dan sebuah bando yang bertengger di kepalaku. Rambut panjangku yang lurus menjuntai lembut, menyembunyikan dada ku yang agak menonjol. Aku merasa seperti wanita malam yang baru saja melangkah keluar dari bayang-bayang, siap untuk bekerja.

Tidak sekadar berpura-pura, aku kini adalah bagian dari kehidupan malam yang gemerlap di Bar Vios. Aku bekerja disana. Ryan, memiliki hubungan dalam dunia ini, dia menjadi jembatan yang membawaku ke tempat ini tanpa harus melewati pintu wawancara yang kaku. Hari ini, Ryan menyampaikannya dengan tiba-tiba, tak terduga. Memang, punya koneksi sering kali mempermudah segalanya.

"Hei. Kau Jade, kan?" suara seorang pria tiba-tiba mengguncang kesunyian di belakangku. Aku mengira ruangan ini adalah zona eksklusif untuk wanita, tetapi kini tampak ada pria di sini. Aku berbalik dan menatapnya, "Ya," jawabku dengan nada penuh keraguan.

Aku mengamatinya sekeliling, dan akhirnya sadar bahwa ini adalah ruang staf, tempat di mana semua pekerja, baik pria maupun wanita, bisa keluar masuk.

"Ah, aku Deon. Teman Ryan," ujarnya sambil mengulurkan tangan untuk berkenalan. Kami bersalaman. "Oh ya, Aku Jade. Senang bertemu denganmu dan terima kasih."Aku yakin dia yang membantuku untuk dapat bekerja disini.

"Tidak masalah, kami juga kekurangan orang. Mereka mencari seseorang untuk di lantai dua, kau bisa kesana sekarang?"

"Ya, tentu. Aku akan segera kesana."

"Oke. Bye, ada hal yang harus kulakukan," Deon melambai sambil membawa kotak yang ada di atas meja, lalu keluar dari ruangan.

Aku kembali ke depan cermin, memastikan diriku sekali lagi untuk tampak rapi dan siap memikat hati "Baiklah, ayo Jade. Untuk masa depan yang lebih baik."

Aku menembus kerumunan orang-orang yang menari, menaiki anak tangga satu per satu tanpa menghiraukan hiruk pikuk di sekitarku. Aku melangkah dengan pasti, hingga akhirnya sampai di lantai dua. Aku melangkah menuju meja bartender yang berada tak jauh dariku. Seorang wanita disana memanggilku.

"Antar ini ke ruang VVIP," katanya sambil meninggalkan nampan berisi gelas dan botol wine di hadapanku. Dia tampak sibuk, dia hampir tenggelam dalam kesibukannya. Tapi aku tidak bisa membantu, tidak dengan keterampilan membuat minuman yang hanya terbatas pada sebuah jus dan semacamnya.

"Hei," suara seseorang memecah konsentrasi ku saat hendak membawa nampan itu. Ryan, dia datang dengan senyuman yang menenangkan, muncul di hadapanku. "Kau datang juga, kukira kau tidak akan datang."

"Ryan? Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau seharusnya bekerja?" tanyaku dengan rasa heran yang mencuat. Ia tiba-tiba muncul entah dari mana dengan segelas wine di tangannya.

"Aku libur, aku menutup barnya malam ini," jawabnya.

"Aku? Kau menutup bar? Kau bicara seolah-olah bar itu milikmu saja."

"Ya, memang milikku. Aku pikir aku sudah memberitahumu," katanya dengan nada penuh keyakinan.

"Hah? Jangan berbohong. Aku tidak ingat kau pernah mengatakannya. Kau pasti bercanda, kan?" Aku menatapnya dengan penuh ketidakpercayaan. Selama ini, aku hanya melihatnya berkeliling, mengurus segalanya dengan semangat. Apakah seorang bos benar-benar bekerja sekeras itu?

Dia mengeluarkan kartu nama dari dompetnya dan memberikannya padaku.

/Ryan Khelled/

Bar Cats

Aku memandang kartu namanya lama, sebelum mengembalikannya. Dia tidak berbohong,"lalu kenapa kau tidak mempekerjakan ku saja? Kau tahu aku pengangguran dan bisa bekerja semalaman."

"Aku menikmatinya, kau tahu betapa aku suka meracik minuman. Lagi pula, untuk apa mempekerjakan mu jika kau hanya akan duduk di bar yang sepi? Kau tahu tempatku tidak seramai disini," Ryan tersenyum.

Senyumnya mengingatkanku pada saat ketika dia membuatku mencoba berbagai minuman racikannya, terkadang hasilnya menggoda, namun kadang juga mengejutkan. Aku adalah kelinci percobaannya, dengan beberapa minuman yang berhasil dan beberapa yang gagal.

Aku kembali memikirkan bar kecilnya, jumlah pengunjungnya memang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan bar besar ini. Tapi meskipun begitu, bagiku bar miliknya adalah tempat yang menenangkan, terutama untuk batinku. Tempat itu seperti pelabuhan yang damai untuk duniaku yang penuh dengan tipu-tipu.

"Kau akan mengantar ini ke VVIP?" tanya Ryan.

"Ya. Aku mulai bekerja hari ini, berkat bos baik hati ini," aku tersenyum lebar, hingga membuat mataku menyipit. Namun, senyumku langsung memudar saat aku berpaling darinya. "Bye."

"Kau mau ke mana? VVIP ada di sebelah sana," Ryan menunjuk arah yang berlawanan denganku. Aku berhenti, menghadapnya lagi. Ia menunjukkan arah yang benar. Dengan rasa terima kasih yang tulus, aku mengikuti petunjuknya, baru pertama kali aku ke sini, tanpa sempat berkeliling karena keterlambatan ku.

Memang, seharusnya aku tidak terlambat di hari pertama bekerja. Ryan mengikuti langkahku dari belakang. Aku berhenti sejenak dan langsung berbalik. Ryan berada sangat dekat denganku, hampir saja nampan itu mengenai tubuhnya. "Apa lagi sekarang?"

"Kita menuju arah yang sama. Lagipula, aku ingin membawamu pada seseorang. Kita akan mempercepat rencanamu," Ryan mengedipkan sebelah matanya dan meraih nampan dariku. Dia bergerak cepat, berlalu pergi dan membuatku mengikuti langkahnya di belakang.

"Hei, biar aku saja," aku mencoba merampas nampan dari tangannya, tetapi gagal. Dia menggenggamnya dengan kuat, entah dia kuat atau aku yang tidak bertenaga.

Langkahnya melambat, dan dia berbelok ke lorong kecil dengan satu pintu di ujungnya. Dia menyerahkan nampan kembali padaku sebelum membuka pintu dan masuk ke dalam ruang VVIP. Aku ikut masuk, terperangkap dalam rasa penasaran dan gugup yang tentang apa yang menungguku di dalam.

Saat aku memasuki ruangan, nafasku tertahan seolah sistem pernapasan ku berhenti bekerja seketika. Mataku menyaksikan pemandangan yang menggetarkan. Dua manusia berada dalam gelora panas, tidak sadar akan kehadiran kami.

Aku menelan ludah dengan dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mereka menyadari kehadiranku. Aku berusaha mengalihkan pandangan ke bawah, kembali bernafas saat pria itu memandang ke arahku.

"Yoo, apa kau akan terus bermain-main dengan wanita?" Ryan duduk dengan santai di sofa, tampaknya dia tidak merasa bersalah sudah mengganggu momen intim mereka. Anehnya, aku merasa ada kedekatan antara mereka yang terasa kuat.

Wanita itu keluar, dia sempat mendorongku sedikit karena aku menghalangi pintu. Aku merasa bodoh, tetap berdiri di situ sementara panas dari ruangan itu masih terasa.

Aku segera mendekat pada Ryan dan meletakkan minuman di atas meja, berjongkok cepat untuk menempatkannya sebelum segera berdiri dan berbalik. "Jade, mau ke mana?" Ryan memanggilku, membuatku bingung antara tetap tinggal atau pergi. Aku merasa canggung, khawatir pria yang kulihat di atas ranjang tadi akan marah padaku.

Aku kebingungan.

...----------------...

Terpopuler

Comments

dita18

dita18

msh nyimak thorrr😅

2024-07-31

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!