Emilia POV
Aku menatap nanar altar pernikahan yang berjarak beberapa meter di depanku. Di sana berdiri seorang pria dengan tuxedo berwarna hitam berpenampilan gagah. Tubuh tinggi atletis beserta senyumnya yang menawan tidak membuat hatiku bergetar. Bahkan rasanya air mataku ingin meloncat dari sarangnya karena tidak bisa menahan sedih yang ku rasakan.
Billie Smith, pria yang telah membuatku lahir ke dunia tersenyum sumringah. Dia menggandeng tangan ku melangkah mendekati altar, mengantarkan ku pada pria yang sejak tadi sudah menunggu kedatanganku. Kakiku terasa kaku, ingin rasanya aku berlari saja keluar dari ruangan mewah nan luas ini. Terus terang ini terlalu menyesakkan untukku.
Namun aku pasrah, apalagi yang bisa ku lakukan selain mengikuti kemauan kedua orang tuaku yang telah berutang budi pada calon mertuaku.
Akhirnya pernikahan yang tidak ku inginkan terjadi juga. Air mata yang sedari tadi ku tahan ternyata tak mampu tinggal lebih lama di tempatnya. Aku menangis dengan bibir mengulas senyum. Tentu tidak aku perlihatkan jika hatiku sedang berduka.
Masih ada rasa hormat untuk kedua orangtuaku, makanya aku tetap mengikuti kemauan mereka meski apa yang kurasakan di dalam hatiku tidak kontras dengan yang terlihat langsung oleh mata.
" Kau terlihat sangat bahagia sampai mengeluarkan air mata Emilia." Ucapnya dengan tersenyum smirk.
" Ya benar." Itu yang aku katakan, singkat, tak lupa tetap memasang senyum palsuku di depan pria yang baru saja berubah status menjadi suamiku.
" Aku akan mencium bibirmu." Katanya lagi.
" Silahkan." Balasku tersenyum kaku.
Aku memberinya izin menyentuh benda lunak milikku yang tidak pernah di sentuh pria manapun, sebenarnya tidak rela, bahkan saat bibirnya menempel aku tidak merasakan apa apa. Ini ciuman pertamaku tapi rasanya hambar, tidak seperti kata teman temanku yang mengatakan jika rasanya sangat manis dan memabukkan.
Acara berlangsung meriah, di lanjut dengan resepsi di malam hari, di mana aku mengenakan gaun empire warna sage green tanpa tali memperlihatkan pesona bahu dan tulang belikatku yang sangat menawan.
Aku tidak memuji, tapi semua orang mengatakan demikian, tinggi ku yang mencapai seratus tujuh puluh dua centi meter dengan berat badan ideal di tambah kulit putih dan wajah cantik menambah daya tarik tersendiri untukku.
Aku hanya mengundang beberapa teman dari kantor tempat ku bekerja. Dan itu termasuk sahabat baikku.
Menjelang tengah malam, acara selesai, kami kembali ke kamar hotel. Pesta pernikahan memang di laksanakan di salah satu ballroom hotel termewah di kota Munich.
Aku memasuki suite room, kamar yang di pesan oleh pria yang berdiri tidak jauh dariku.
" Ganti bajumu, ada yang ingin aku katakan." Ucapnya serius.
Tanpa banyak bicara aku menuruti keinginannya.
Tidak berselang lama, aku selesai dan mendudukkan tubuhku di depannya.
" Aku sangat menghargai kau mau menikah denganku."
Aku mendengar dengan hati hati semua perkataan yang meluncur dari mulutnya. Aku tau kalau pembicaraan ini bukanlah sesuatu yang baik untukku sekarang, atau mungkin ke depannya.
Ia menghela nafas berat.
" Aku menderita azoospermia."
Jleb...
Aku kaget, tapi tidak terlalu memperlihatkan di depannya.
" Kamu kecewa?"
" Sedikit." Ucapku santai sembari mengangkat salah satu pahaku dan menumpuknya di atas paha yang lain.
" Orang tuaku tau tentang penyakitku, tapi tidak dengan keluargamu. Orang tuamu kemungkinan akan kecewa, tapi pernikahan ini tidak bisa di batalkan, Billie Smith berhutang banyak pada ayahku. Kau paham maksud ku kan?" Kali ini, ucapannya terdengar ketus, berbeda saat mengakui jika ia menderita infertilitas.
Aku menatapnya tak berkedip, bagiku, ia adalah sosok pria yang sangat sombong. Ingin aku mengumpat seperti yang biasa ku lakukan jika sedang marah, tapi ku usahakan untuk menahannya. Ini hari pertama kebersamaan kami. Tentu tidak akan aku tunjukkan bagaimana keras kepalanya diriku.
” Biarkan saja dulu." itulah bujukan untuk hatiku yang sedang memanas. Aku cukup tau diri, utang ayahku setelah perusahaan kecilnya hampir bangkrut mendapat banyak suntikan dana dari Tuan Weber, ayah mertuaku, hingga membuatku tak bisa berkutik.
Aku cukup paham dengan keadaan saat ini, aku di jual demi menopang perusahaan ayahku agar bisa beroperasi kembali.
" Pembicaraan kita berakhir. Kau boleh keluar, ini kamarku, kamarmu tepat di depan kamar ini." Ucapannya sedikit kasar menurut ku.
" Baiklah." Tanpa menunggu lama, aku beranjak dari dudukku, lalu mengambil cardlock yang ia letakkan di atas meja, ah..bukan di letakkan, aku melihat dengan mata kepalaku jika ia melempar cardlock itu dengan kasar setalah menyuruhku keluar.
Kini aku berada di kamar tepat di depan kamarnya. Kedua tangan dan kakiku aku rentangkan selebar mungkin di atas tempat tidur king size yang baru saja menerima keadaan tubuhku yang aku jatuhkan dengan sedikit kasar. Aku lelah, lelah fisik dan batin.
Aku tertawa, mengejek diri ku sendiri di mana malam pertama pernikahan aku di campakkan. Tawa itu mewakili perasaan ku yang lega karena tidak harus tidur dengan pria yang tidak aku sukai meski dia sudah berstatus suamiku, dan harapanku ke depannya akan tetap sama, ia tidak akan pernah menyentuhku.
*
*
Namaku Emilia Clara Smith, umurku dua puluh dua tahun ketika ayahku menikahkan ku dengan Ludwig Weber, ya tidak ada lain pernikahan itu di laksanakan sebagai pelunas utang, tidak lebih dari itu.
Aku wanita bebas layaknya wanita pada umumnya yang tinggal di salah satu kota besar di Jerman. Walau bebas tapi aku termasuk wanita yang menjunjung tinggi yang namanya kesucian.
Aku tidak pernah berpacaran seumur hidupku, hingga Ludwig datang dan tiba tiba menjadi suami ku.
Setelah menikah seminggu yang lalu, aku tinggal bersama pria arogan tersebut, tinggal seatap tapi jarang melihat wajahnya.
Ya, kami tidur terpisah, sama persis di malam pertama pernikahanku. Tidak ada yang berubah, bahkan lebih parah.
Aku masih melakukan tugasku sebagai istri, seperti memasak makanan untuknya. Nasib baik ia menghargai semua makanan yang aku siapkan. Namun hanya sebatas itu, aku ibarat penyewa yang tinggal bersama pemilik rumah tapi jarang saling menyapa.
Seperti pagi ini, aku tetap membuat sarapan seperti biasa, namun kali ini aku membuatnya lebih pagi, karena setelah seminggu cuti, hari ini adalah hari pertamaku kembali bekerja.
Aku bekerja di salah satu perusahaan bonafit yang terletak di kota Munich, kota besar ketiga di Jerman setelah Berlin dan Hamburg. Setahun lalu aku bergabung menjadi staf senior di divisi finance dan accounting di sebuah perusahaan otomotif yang sangat terkenal di dunia.
Aku tergesa gesa, hampir saja aku terlambat di hari pertamaku setelah istirahat panjang selama seminggu. Beruntung, aku tiba tepat waktu.
" Hampir saja kau telat." Kata sahabatku yang memiliki tempat duduk tepat di sebelahku.
" Iya,,aku terlalu nyaman tinggal di rumah dan sampai lupa jika aku harus bekerja." Ujarku memasang senyum manis.
" Kau itu...Eh, aku punya info penting." Ujarnya sembari menggeser kursinya mendekat padaku.
" Apa?" Tanyaku tentu saja penasaran.
" Seminggu lalu tepat di hari kau mengambil cuti pernikahanmu, kita kedatangan finance manager baru."
" Oh ya. Lalu info pentingnya apa?" Tanyaku mengernyit, aku rasa tidak ada yang istimewa jika finance manager kami di ganti, toh selama bekerja di sini, finance managerku sudah beberapa kali berganti.
" Ck..ck...ck.." Heidi berdecak kesal." Apa kau tau Emi?" Ujarnya berbinar binar." Dia sangat tampan." Lanjutnya sumringah.
Aku memutar bola mataku malas, info penting menurutnya itu tidaklah begitu penting menurutku.
" Kembali ke mejamu! kau hanya mengulur waktuku saja." Ucapku kesal.
" Astaga, kau belum liat saja. Coba kau perhatikan gadis gadis kita, apa kau pernah melihat mereka berdandan secantik ini? Tidak kan? Itu karena finance manager kita yang baru Emi." Katanya menggebu gebu sembari menatap pintu masuk seperti menunggu seseorang muncul dari sana.
Aku berdecih, lalu kembali melanjutkan pekerjaanku dan tidak lagi menggubris kalimat hiperbola yang di lontarkan Heidi.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu terbuka.
Semua menoleh, tapi tidak denganku. Aku hanya fokus mengerjakan pekerjaan ku yang tertunda selama seminggu ini.
Heidi tiba tiba memegangi lengan dan menggoyangnya cukup keras.
" Jangan menggangguku Heidi! Kerjakan saja pekerjaanmu."
" Emi..." Panggilnya dengan suara sepelan mungkin.
Aku menoleh.
Namun sejurus kemudian, pandanganku beralih pada pria tinggi yang sedang berdiri di samping Heidi.
" Ikut ke ruanganku."
...****************...
" Ikut keruangan ku!" Kalimat perintah yang sangat mengintimidasi.
Mau tidak mau Emilia harus mengikuti pria itu, pria yang di katakan tampan dan sempurna oleh Heidi dan beberapa teman perempuan lainnya di divisi finance dan accounting.
Pintu tertutup.
" Silahkan duduk." Kata pria itu.
" Terima kasih pak."
" Aku baru melihatmu." Ujar pria itu mendudukkan tubuh tingginya di kursi kebesaran sambil menatap tajam ke arah Emilia.
” GERARD CHADDRICK .” Plang nama meja itu tertulis dengan tinta emas dan tepat berada di depan mata Emilia.
" Iya pak, saya baru mengambil cuti."
" Cuti untuk apa? Di saat semua sedang sibuk mempersiapkan launching, kamu justru sedang bersenang senang dengan mengambil cuti? Di mana tanggung jawab mu sebagai senior finance di sini?!"
" Tapi permohonan saya sudah masuk sampai meja direktur pak, dan lagi ini cuti yang sangat penting. Saya baru saja..." Ucapan Emilia menggantung di udara karena di sela langsung oleh manajernya.
" Tapi aku tidak mengetahuinya." Ucapnya dengan tatapan tajam.
Emilia terdiam.
Arogan sekali bos barunya itu. Menurutnya.
” Apanya yang tampan, satu kantor kayaknya katarak semua." Gerutu Emilia dalam hati.
" Maafkan saya pak." Hanya itu yang bisa dia katakan.
" Aku sudah mengirim ke email mu, kerjakan semua hari ini juga!"
" Baik pak."
" Apa yang kau tunggu?"
" Saya permisi pak."
Emilia keluar dengan wajah di tekuk.
Dia menghempaskan tubuhnya di kursi. Heidi datang menghampiri.
" Apa yang di katakan nya padamu?"
" Marah, dia memarahiku habis habisan gara gara aku mengambil cuti."
" Bukankah kamu sudah membuat suratnya dan permohonan mu itu di setujui, iya kan?"
" Aku sudah mengatakan padanya, tapi di malah mengatakan kalau dia tidak mengetahuinya sama sekali." Kesal Emilia.
" Sudahlah, aku harus mengerjakan tugas ku." Lanjut Emilia. Akhirnya Heidi kembali ke meja kerjanya, mengobrol dengan Emilia dalam kondisi mood berantakan akan membuatnya kena semprot.
Emilia membuka email-nya, dan detik itu juga, sepasang matanya melotot sempurna. Di layar komputer miliknya itu, lebih dari seratus halaman berkas yang harus ia periksa.
" Gila!" Umpatnya.
" Kenapa?"
" Bos barumu itu sudah gila."
Heidi kembali mendekat.
" Lihatlah, pekerjaanku seminggu lalu saja belum selesai, dia malah menambahnya begitu banyak. Aku tidak komplain karena memang ini tugasku, masalahnya ini terlalu banyak, lagian aku liat, hanya enam puluh persen pekerjaanku di sini, sisanya itu bagian staf accounting." Keluh Emilia.
Heidi setuju dengan Emilia, ini memang keterlaluan. Ada masalah apa bos barunya itu dengan Emilia? Sahabatnya itu baru masuk kantor setelah seminggu hiatus dan sudah harus melakukan romusha.
" Yang sabar, mungkin pak Gerrard sedang datang bulan." Kata Heidi sembari menepuk bahu Emilia untuk memberikan semangat.
" Dasar kau! Sana..hush.." Emilia mengusir Heidi seperti mengusir seekor kucing.
Emilia mulai fokus, menatap layar di hadapannya hingga tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Jam makan siang hampir saja ia lewatkan. Jika sedang bekerja, terkadang Emilia bisa lupa makan. Beruntung, di dalam tasnya, selalu ada roti dengan isian keju yang ia siapkan. Karena di saat situasi tidak kondusif dan dia harus duduk berjam jam untuk memeriksa laporan keuangan perusahaan, roti keju itu akan sangat berfungsi untuk mengganjal perutnya yang terkadang mulai terasa perih karena terlalu lama di biarkan kosong.
Heidi keluar bersama teman yang lain, mencari apapun di luar sana yang bisa mereka gunakan untuk menuntaskan rasa lapar.
Ia tidak berani mengajak Emilia, dari semasa sekolah mereka berteman, Heidi banyak tau tentang sifat sahabatnya itu.
Emilia tidak akan suka di ganggu jika sedang serius mengerjakan sesuatu. Jadilah ia meninggalkan sahabatnya itu seorang diri di dalam ruangan.
Ah.. ternyata Emilia tidak sendiri, di dalam sebuah ruangan yang pintunya tertutup rapat, ada seorang pria tampan yang sedang memperhatikan segala gerak gerik Emilia.
Rautnya nampak sangat sinis. Tatapannya tajam menatap wanita yang sedang berkutat di depan komputer sedang mengerjakan tugas yang sangat banyak dan entah kapan akan selesai.
" Selamat, kau sekarang berada dalam genggamanku." Ucapnya tersenyum smirk lalu kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.
*
*
Emilia POV
Aku menggerutu, matahari sudah menghilang dari balik gedung yang masih berada di jangkauan mataku dan aku masih di sini. Sendirian.
Petugas keamanan sudah dua kali menghampiriku, menanyakan kapan aku akan pulang, tapi jawabanku lagi dan lagi membuatnya terpaksa tersenyum. " Belum tau pak, pekerjaanku masih banyak."
Ya, aku memang tidak tau kapan akan berakhir penderitaan ku ini. Teman teman ku sudah pulang sejak lima jam yang lalu, dan aku masih di sini, berkutat dengan banyaknya lembaran kertas yang semakin menumpuk.
Tidak lama setelah teman sekantorku pulang, Gerrard lewat di sampingku tanpa sedikitpun menegurku, aku tidak minta di kasihani, setidaknya dia masih menganggap ku ada di dalam kantornya. Aku seperti debu yang tidak terlihat olehnya, padahal suara berisik dari keyboard milikku yang sengaja aku tekan kuat kuat ternyata tidak cukup mampu menarik perhatiannya.
Aku menghela nafas kasar.
Bayangkan, lambungku hanya terisi sebungkus roti keju siang tadi, dan sampai sekarang, tidak ada satupun jenis makanan yang menemani kesendirian roti tersebut selain dua liter air minum yang membuatku seperti ingin muntah karena kembung.
Menit demi menit aku lewati, hingga jam di dinding menunjuk di angka sepuluh malam. Mataku mulai terasa lelah, terlebih perutku yang semakin sakit. Aku menyerah, padahal sisa beberapa lembar lagi. Tidak mungkin aku memaksa tubuhku bekerja terus tanpa membiarkannya istirahat. Tubuhku ibarat mesin, jika terus di gunakan tanpa henti lambat laun akan rusak juga.
Ku matikan komputer, lalu ku raih tas ransel yang aku tautkan di sandaran kursi tempat dudukku . Aku keluar setelah lebih dulu mematikan lampu dan pendingin ruangan.
Seketika bulu kudukku berdiri, kantor yang setiap harinya ramai menjadi begitu sunyi dan gelap. Pikiranku berkelana kemana mana, sesekali aku menoleh, takut jika tiba tiba saja ada yang memegang punggung ku, seperti film the Conjuring yang aku nonton beberapa hari lalu. " Ah.. kenapa juga aku harus menonton film itu?" Kesal ku sembari mempercepat langkah kakiku.
Karena sudah malam, lift tentu sudah di matikan, ini demi menghemat biaya listrik yang selalu membludak tiap bulannya. Aku terpaksa menuruni tangga. Tenaga ku yang tersisa sekitar tiga puluh persen, kini harus aku gunakan untuk melatih kedua ekstremitas bawahku.
Selama bekerja, ini adalah hari terburuk yang pernah aku lalui. Bahkan terasa lebih buruk karena bertemu dengan seorang diktator seperti bos ku itu.
Akhirnya aku meninggalkan gedung berlantai dua puluh itu. Gedung yang sudah memberikan ku salary yang bisa di bilang sangat banyak untuk menghidupi diriku sendiri.
Dan lagi, setelah menikah seminggu lalu, Ludwig mengirimkan sejumlah uang ke rekeningku. Mungkin itu sebagai bentuk tanggung jawabnya, meski sebenarnya bagiku itu tidak perlu, hanya membuatku terbebani saja.
Aku berjalan menyusuri zebra cross, ini kota besar, jam sepuluh malam justru orang orang semakin ramai memadati jalanan. Dan situasi seperti ini sudah setiap hari aku lihat.
Beberapa meter di depanku adalah tujuan utama kaki ku melangkah. Restoran jepang yang paling terkenal di sekitar kantorku seperti sedang melambaikan tangan memanggil manggil namaku.
" Emilia,, Emilia,,, kami ada menu baru, cepatlah kemari." Membayangkannya saja seketika membuat air liurku ingin menetes.
Di luar cukup dingin, angin mulai berhembus hingga membuat rambutku beterbangan ke mana mana.
Aku berjalan sembari menunduk , mencari ikat rambut yang aku simpan di dalam tas ketika tiba tiba saja, tubuhku terasa melayang.
Bruk.
...****************...
Emilia POV
Beberapa meter di depanku adalah tujuan utama kaki ku melangkah. Restoran jepang yang paling terkenal di sekitar kantorku seperti sedang melambaikan tangan memanggil manggil namaku.
" Emilia,, Emilia,,, kami ada menu baru, cepatlah kemari." Membayangkannya saja seketika membuat air liurku ingin menetes.
Di luar cukup dingin, angin mulai berhembus hingga membuat rambutku beterbangan ke mana mana.
Aku berjalan sembari menunduk, mencari ikat rambut yang aku simpan di dalam tas ketika tiba tiba saja, tubuhku terasa melayang.
Bruk.
Aku hampir saja berakhir menyapa aspal andai seseorang tidak memegang tubuhku.
Siapa yang di tabrak atau menabrak, entahlah, aku memang sedang tidak fokus saat berjalan. Perutku yang keroncongan tidak mampu membuat otakku berpikir, jangan kan untuk berpikir, jumlah oksigen yang biasanya sangat banyak di kepalaku kini semakin menipis, hingga membuatku kehilangan konsentrasi. Beruntung, ia tidak menabrak ku ketika masih berada di zebra cross tadi, bisa bisa bukan hanya tubuhku yang menyentuh aspal, kemungkinan besar yang akan terjadi, aku berpindah alam.
" Maafkan aku." Ucapku tertunduk menganggap diriku salah, karena seperti yang ku katakan tadi, aku bingung, siapa sebenarnya pelaku utamanya.
" Aku yang harus minta maaf karena tidak sengaja menabrak mu." Ujarnya lalu mengambil ponselnya yang terjatuh dan hampir mengenai kakiku. " Aku sedang membalas chat ketika tidak sengaja menabrak mu. Kamu tidak apa apakan?" Lanjutnya.
Kemungkinan besar, dia memang yang salah. Aku hanya harus menerima permintaan maafnya tanpa banyak bertanya ataupun berdebat, karena terus terang mataku sudah mulai berkurang kunang. Ya, tubuhku butuh karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan apa saja yang mampu membuatku kembali bersikap waras. Aku kelaparan.
"Emili?" Wajahnya begitu antusias ketika ia menatapku tanpa berkedip.
Aku mengangkat wajahku, rasa rasanya aku familiar dengan suara berat itu. Aku pun menatap lekat wajahnya.
" Uncle Wyn?" Aku cukup kaget ketika mengetahui siapa yang barusan bertabrakan denganku. Di saat tubuhku semakin lemah dan mataku semakin rabun. Aku masih mampu mengenali pria tinggi itu.
Aku sangat bahagia, setelah beberapa tahun berlalu, aku bisa melihatnya kembali.
" Ku pikir kau sudah melupakan ku." Katanya tertawa renyah.
" Tidak mungkin aku melupakan orang sebaik uncle." Ucapku berdasarkan kenyataan.
" Mau kemana?"
" Pulang." Ucapku singkat.
Dia melirik jam tangan yang bertengger di lengan kirinya.
" Maksudmu, kamu baru pulang bekerja jam segini?" Katanya memastikan sembari mengangkat lengan nya di mana arloji itu berada.
Aku mengangguk pelan.
" Astaga, apa bosmu itu punya hati? Tega sekali membuat karyawannya bekerja hingga larut." Gerutunya.
" Punya, hanya lagi sedang tidak di gunakan untuk hal hal yang akan merugikan perusahaan." Ucapku sekenanya.
Uncle Wyn menggeleng, dan itu merupakan simbol jika ia menyesalkan kelakuan bos ku yang membuatku bekerja seharian tanpa beristirahat.
" Kamu sudah makan?"
Aku menggeleng. Sesuai fakta, karena sekarang ekstremitas bawahku seakan tidak berpijak di tanah.
" Ayo." Katanya lalu menarik tangan kananku menuju ke restoran jepang yang sisa berapa langkah di depan kami.
Aku seperti orang yang tidak pernah makan tiga hari tiga malam, beberapa piring sushi sudah berpindah ke lambungku, lima, sepuluh, ah tidak, lebih dari itu.
Pria di depanku sesekali menarik kedua sudut bibirnya, mungkin ia menertawai ku karena makan layaknya orang kesetanan. Dia menyodorkan air minum kemasan setelah melihatku terbatuk di akibatkan mulutku yang seperti gudang penyimpanan yang over load. Aku tersedak.
Aku meminum air tersebut, menghabiskan hingga tiga perempat nya, air minum yang sangat membantu dalam memasukkan beberapa sushi di mulutku ke dalam lambung.
" Pelan pelan makannya." Kata nya sembari membersihkan beberapa remahan di bibirku menggunakan tisu.
Aku terenyuh, orang tuaku saja tidak pernah melakukan hal yang membuatku terkesan pada mereka. Contoh kecil seperti yang sedang uncle Wyn lakukan padaku saat ini.
Bagi orang lain, itu akan terlihat sangat romantis, tapi tidak denganku, uncle Wyn sudah aku anggap sebagai pamanku sendiri.
" Terima kasih." Ucapku tersenyum manis." Bagaimana uncle bisa ada di sini?" Tanyaku setelah menghabiskan semua makanan yang tersedia di atas meja. Karena setahuku, uncle Wyn bukan lah penduduk asli kota Munich.
" Aku sedang ada urusan pekerjaan."
Aku mengangguk pelan, mengerti dengan perkataannya barusan.
Setelah cukup lama kami bertukar kabar, aku pamit. Uncle Wyn menawarkan untuk ikut dengannya. Tapi aku menolak.
" Rumah ku tidak jauh, aku bisa naik taksi uncle." Ucapku.
Tapi sebenarnya percuma juga aku menolak, toh, uncle Wyn tidak pernah mengenal kata penolakan.
" Tunggu di sini, mobilku aku parkir di sana." Katanya lalu setengah berlari ke arah kendaraannya yang terparkir di pinggiran jalan.
*
*
Di tempat yang sama.
Sepasang mata elang sedang memperhatikan kedua insan yang berbeda jenis tersebut.
Pemilik porche panamera itu sedang tersenyum smirk dari dalam kendaraannya sembari memperhatikan gerak gerik kedua manusia yang sedang terkoneksi satu sama lain.
Pria itu melipat kedua tangan di dada lalu menyenderkan punggungnya di sandaran porche panamera miliknya. " Sebenarnya, apa yang istimewa dari wanita itu?"
Dia mulai emosi, apalagi wanita itu memasang senyum manis saat berbicara pada pria lawan bicaranya." Aku ingin tau, sebaiknya kau tunggu saja. Aku tidak akan melepaskan mu. "
Pria tampan itu menyalakan mesin kendaraan, melesat dengan kecepatan tinggi dan hampir saja menabrak wanita yang menjadi targetnya hari ini.
" Hati hati ! " Pekik Wyn. Untung ia bisa menangkap tubuh Emilia yang hampir saja terjerembab.
" Kamu tidak apa apa?" Tanya Wyn memindai seluruh tubuh Emilia.
" Iya." Jawab Emilia singkat.
Pandangan Wyn kini tertuju pada porche panamera hitam yang hampir saja membuat Emilia terluka.
" Seperti tidak asing, apa mungkin dia berada di sini?" Batinnya dengan terus menatap mobil yang di banderol harga fantastis yang sudah mulai menghilang dari pantauan matanya.
" Apa semua penduduk Munich mengendarai mobilnya dengan cara ugal ugalan?" Kata Wyn sembari berdecak tidak paham.
" Tidak juga, mungkin dia sedang terburu buru." Kata Emilia.
" Ayo."
Wyn membuka pintu mobilnya setelah yakin jika Emilia tidak apa apa.
Sebelum menyalakan mesin, Wyn menanyakan alamat Emilia.
" Kamu tinggal di mana?"
Emilia tidak segera menjawab, dia juga belum memberitahukan pada Wyn jika ia sudah menikah. Mau pulang ke rumahnya, tentu tidak akan mungkin, Billie Smith, ayahnya akan murka. Lalu apakah ia harus di antar langsung ke rumah mewah milik Ludwig Weber?
" Kenapa melamun?" Tanyanya penasaran, karena Emilia tidak segera menjawab pertanyaannya.
" Bogenhausen, aku tinggal di sana." Ucapnya terdengar kaku.
" Wah... Hebat juga kamu, itu adalah pilihan hunian yang sangat mewah di sini."
Emilia tersenyum aneh, " Ya begitulah."
" Pakai sabuk pengamanmu."
Aston martin milik Wyn membelah jalan raya, sesekali ia menoleh menatap Emilia yang duduk di kursi penumpang tepat di sampingnya.
" Kamu tinggal dengan siapa di bogenhausen? Karena setahuku rumah keluargamu berada di selatan Munich."
Emilia mencengkeram erat erat tas ranselnya dengan kuku kukunya yang panjang. " Sebenarnya, baru seminggu yang lalu aku melangsungkan pernikahan dengan salah satu anggota keluarga Weber."
Mobil berdecit, tiba tiba saja Wyn menghentikan kendaraannya. Beruntung, jalanan yang mereka lalui mulai sepi.
Wyn menatap tajam Emilia."Apa maksudmu? Menikah?" Tanyanya mempertajam pendengarannya.
Emilia mengangguk.
Wyn seketika menghela nafas kasar." Kenapa kau baru bilang?"
" Aku ingin menjelaskannya sejak tadi, tapi bingung memulai dari mana." Ucapnya tertunduk." Maafkan aku karena tidak memberitahu mu lebih dulu, bahkan aku tega tidak mengundangmu." Lanjutnya sedikit menyesal.
Terpaksa Wyn tersenyum di depan Emilia untuk menutupi rasa tidak sukanya dengan pengakuan mengagetkan itu.
" Boleh aku tau siapa nama suamimu?"
" Ludwig Weber."
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!