BAGIAN 3

"Kalau bisa sih sore ini habis Ashar Bu, biar nanti pulangnya gak kemalaman", jawab Ardha kemudian menyuap nasi dan lauk dengan perlahan.

"Mau paman antar? Sekalian nanti sore paman mau ngantar pesanan katering, habis itu kita bisa langsung ke rumah Pak Abdi", tawar Hendra.

"Makasih paman, Ardha berangkat sendiri saja. Takutnya kalau nanti kelamaan, kasian Bi Retno nungguin paman pulang", tolak Ardha halus.

"Ardha pinjam motornya paman aja kalau boleh, biar bisa cepat", sambung Ardha.

"Kasih aja mas.. Mungkin dia sekalian mau ngajak calon isterinya jalan-jalan pake motor. Biar romantis. Ya kan?" Tiba-tiba Retno yang baru datang menjemput anaknya pulang sekolah menimpali dengan senyum usil.

"Eh, bibi.. Assalamualaikum bi..", ucap Ardha bangkit dari duduknya kemudian mencium tangan Retno dan mengajak tos Syamil sepupunya yang masih SMP.

"Wa'alaikumussalam.." jawab Retno sedikit kesal karena merasa Ardha secara tidak langsung menegur dirinya yang seolah lupa mengucapkan salam. Padahal mereka bertiga saja yang tidak mendengar karena asyik mengobrol. Retno kemudian mencium tangan suami dan kakak iparnya diikuti oleh Syamil. Setelah itu duduk di sofa dekat ruang makan dimana suaminya sudah duduk lebih dulu.

"Mana berani dia dek. Orang dia sama Mawar sudah lama gak ketemu. Anakku ini memang gantengnya nomor satu, tapi pemalunya juga nomor satu", Andini menyindir anaknya halus.

Ardha mendelik malas ke arah ibunya yang malah dibalas Andini dengan kekehan.

**************

"Bu.. ini Ardha belum buat keputusan ya? Jadi ibu jangan mikir yang iya-iya dulu", Ardha memulai pembicaraan dengan ibunya.

Ibunya melihat ke arah Ardha dengan tatapan datar sambil melipat mukena dan sajadahnya. Setelah pulang dari sholat Ashar, Ardha memutuskan untuk bicara serius dengan ibunya. Dan di sinilah dia sekarang, duduk bersila di lantai kamar di samping Andini yang juga baru selesai sholat.

Selama beberapa saat keduanya hanya diam. Kemudian Andini berpaling menghadap Ardha dan menggenggam kedua tangan anak semata wayangnya.

"Ibu paham, ini bukan perkara mudah bagi kamu nak", ucap Andini.

"Menikah dengan seseorang tanpa cinta itu memang sulit, tetapi bukan berarti tidak mungkin berhasil. Contoh paman sama bibimu, mereka nikahnya dulu juga dijodohin. Awalnya memang agak sungkan. Tapi gak lama, eh... malah lengket gak ketulungan kaya lem Korea", ujar Andini hiperbola.

Ardha cuma tersenyum mendengar cerita ibunya.

"Iya Bu, Ardha bukan bermaksud pesimis dengan rencana pernikahan ini, tapi ada yang membuat Ardha tidak bisa langsung menyetujuinya", jawab Ardha pelan.

"Apa yang membuat kamu merasa berat nak, apa karena Mawar anak orang kaya? Dan kamu anak ibu yang cuma punya usaha katering, begitu?", Andini pun mulai mengeluarkan kalimat melankolis ala sinetron kejar tayang tontonannya.

Kalau sudah begitu, Ardha cuma bisa diam. Dia lalu mengeluarkan ponselnya, menggeser-geser layarnya kemudian menyerahkannya pada Andini.

"Namanya Nadya, salah satu karyawan di restoran Ardha. Kami memang tidak pernah memiliki hubungan khusus Bu. Tapi selama tiga tahun lebih mengenalnya, Ardha merasa kalau dia sesuai dengan kriteria seorang isteri yang Ardha harapkan", terang Ardha yang ditanggapi Andini dengan wajah yang tampak sedikit terkejut.

Andini hanya diam memandangi foto di layar ponsel itu. Seorang wanita berhijab hijau tua, kontras dengan kulit wajahnya yang terlihat pucat khas orang eropa. Mata birunya juga menegaskan hal itu.

"Dia dari Rusia Bu, nasib membawa kami ke Australia dan akhirnya bertemu", tambah Ardha masih dengan suara rendah.

"Sehari sebelum ibu menyampaikan pesan Pak Abdi, Ardha sudah menyampaikan maksud untuk melamar Nadya. Dia meminta waktu satu minggu sebelum menjawab", Ardha menunduk, dia merasa tidak enak dengan cerita yang dia sampaikan ke ibunya.

"Berarti belum tentu dia menerima kamu kan? Kalau memang dia bersedia harusnya tidak perlu waktu lama untuk menjawab", Andini merasa masih ada harapan.

Ardha mengalah tak balas menimpali argumen ibunya. Meskipun dia tahu persis bahwa Nadya memang mengharapkan hal yang sama, seperti yang pernah disampaikan salah satu pelayan restorannya. Nadya bermaksud curhat kepada seseorang yang dipercaya bisa menyimpan rahasia hatinya. Tapi apa daya, ternyata dia memberikannya kepada orang yang salah. Ardha bahkan bingung harus bagaimana dengan pelayan itu, memecatnya karena khawatir kalau-kalau dia juga tidak amanah urusan restoran, atau berterima kasih dengan menaikkan gajinya atas apa yang disampaikannya.

"Bu, Ardha tidak bermaksud langsung menolak permintaan Pak Abdi. Itulah mengapa Ardha perlu bicara dulu dengan beliau mengenai kondisi yang Ardha hadapi. Juga menanyakan alasan beliau meminta Ardha untuk menikah dengan Mawar.

Ardha khawatir kalau-kalau rencana pernikahan ini sebenarnya juga tidak diinginkan oleh Mawar, dan itu akan membuatnya menjadi tambah sulit Bu", jelas Ardha sungguh-sungguh.

Andini hanya menghela nafas berat. Walau bagaimana pun yang dikatakan Ardha ada benarnya. Menerima permintaan Pak Abdi tanpa kejelasan tidak akan mempermudah rencana pernikahan ini. Andini yang memang dibutakan perasaan utang budi yang teramat besar kepada Pak Abdi sedikit banyak terkesan memaksa Ardha untuk mengiyakan. Sampai-sampai dia lupa kalau selain Ardha, perasaan dan pendapat Mawar juga harus jelas agar nantinya tidak timbul masalah serius saat semuanya sudah terlanjur terjadi.

"Baiklah, ibu paham maksud kamu nak. Segera temui Pak Abdi untuk membicarakan apa yang ingin kamu sampaikan. Lagipula beliau memang berharap secepatnya mendapat keputusan dari kamu. Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik bagi kamu", ucap Andini sambil tersenyum. Nada suaranya kembali tenang pertanda hatinya mulai melunak.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!