"Tolong ke alamat ini pak", Ardha menyerahkan sebuah kertas kecil kepada sopir taksi di jok kemudi.
"Baik mas", ucap sopir itu tersenyum dan mengangguk kecil.
Ada rasa bahagia menyusup di hatinya tiap kembali ke tanah kelahirannya. Setiap melewati tempat-tempat familiar, memorinya otomatis mengulang kejadian lampau di tempat tersebut.
Sehari setelah menerima telepon ibunya, Ardha memutuskan untuk pulang. Dia harus membicarakan masalah pernikahan itu secara langsung kepada ibunya dan Pak Abdi.
Beberapa lama kemudian taksi yang ditumpanginya berhenti di depan sebuah rumah. Tak terlalu besar namun memiliki pekarangan yang luas dan asri. Setelah membayar dan mengambil kopernya di bagasi, Ardha mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya dengan langkah cepat menuju pintu rumah. Rumah dimana wanita terpenting dalam hidupnya tinggal. Rasa rindu membuatnya ingin segera bertemu ibunya, padahal baru dua bulan sejak terakhir ia pulang ke sini.
" Assalamualaikum... Bu.. ini Ardha Bu".
Setelah beberapa kali ketukan, pintu pun terbuka.
"Wa'alaikumussalam..", muncul seorang pria umur 40-an yang langsung disalami oleh Ardha.
"Ardha?" Ucapnya dengan senyuman lebar walaupun wajahnya terlihat sedikit kaget.
"Iya paman.." sahut Ardha balas tersenyum.
"Ayo masuk, ibu kamu ada di rumah belakang", sambung pamannya sambil menuntun tangan Ardha layaknya menuntun anak kecil. Padahal ukuran tubuhnya lah yg lebih kecil dari Ardha sehingga lebih tampak seperti anak kecil yang menyeret orang dewasa.
Pamannya, Hendra adalah adik satu-satunya Andini, ibu Ardha. Dulu dia dan istrinya tinggal di Lampung bersama ibunya, nenek Ardha. Sementara Andini dibawa suaminya merantau ke Bogor untuk bekerja. Setelah tiga tahun yang lalu nenek Ardha meninggal dunia, Andini mengajak adik dan keluarganya untuk tinggal bersamanya. Selain supaya ada teman di rumah, juga sekaligus untuk membantu merintis dan mengelola usaha kateringnya.
Memang setelah Ardha mulai sekolah ke Australia, Andini berhenti bekerja di rumah Pak Abdi karena ia harus pulang ke kampung mengurus ibunya yang sakit-sakitan. Merasa kasihan, Pak Abdi pun dengan terpaksa mengijinkan. Dan akhirnya dia harus susah payah mencari juru masak baru yang cocok dengan selera keluarganya.
Andini sempat meminta Ardha dipulangkan saja karena merasa tidak enak atas biaya pendidikan Ardha sementara ia tidak bekerja lagi di sana. Tetapi Pak Abdi bersikeras tetap membiayai Ardha sampai selesai. Berdalih sebagai ucapan terima kasih dan hitung-hitung sebagai gaji pensiun untuknya. Padahal uang pesangon yang dia beri pun sebenarnya sudah lebih dari cukup.
Dan di sinilah akhirnya dua kakak beradik asal Lampung itu berada. Menjalani hidup di tanah rantau setelah kepergian ibu mereka. Berbekal uang warisan peninggalan orang tua mereka ditambah pemberian dari Ardha, Andini memulai usaha katering yang sekarang lumayan sukses.
"Assalamualaikum..." Ucap Ardha begitu memasuki rumah belakang yang merupakan bangunan terpisah yang dikhususkan untuk urusan katering.
Andini menoleh ke asal suara yang sangat dikenalnya dan buru-buru menghampiri Ardha dengan senyum lebar selebar hijab yang dipakainya.
"Ardha...", ucapnya dengan ekspresi yang mungkin bila umurnya jauh lebih muda akan terlihat sangat imut. Jangan lupakan tangannya yang langsung memeluk dan bibirnya yang langsung mencium kedua pipi anaknya yang terlihat memerah. Ya, merah karena merasa malu atas perlakuan ibunya di hadapan karyawan katering, dan merah dalam artian sesungguhnya karena bekas lipstik. Apakah ibunya belum tahu kalau ada merek lipstik yang tidak menempel? Tentu tahu, tapi dia adalah tipe orang yang benar-benar setia. Bukan hanya kepada mendiang suaminya yang dibuktikannya dengan tidak menikah lagi, tetapi juga pada merek kosmetik jadulnya.
"Kenapa gak ngasih kabar sih.. kalau mau pulang hari ini?" protes sang ibu.
"He..he.. iya Bu", kekeh Ardha.
"Sekali-sekali biar jadi kejutan" Ardha mencoba mengantisipasi kalau-kalau kalimat protes ibunya bersambung.
"Ya sudah, kita ke rumah depan aja yuk. Ibu mau siapin makan dulu buat kamu sambil kita ngobrol", ucapnya sambil membereskan buku dan catatan keperluan kateringnya.
"Dinah, kamu ambil alih dulu ya. Kalau ada perlu sama saya, kamu susul aja ke rumah depan", titahnya bak komandan memerintah ajudan.
"Beres bu. Don't worry, be happy. Ibu boleh libur seharian, biar saya yang urus semua", ucap Dinah penuh percaya diri. Sementara puteranya yang masih balita berdiri di sampingnya, memandangi Dinah dengan binar kekaguman sambil mengunyah bolu cokelat. Ardha seperti melihat gambaran ibunya di masa lalu. Janda beranak satu yang berjuang untuk hidup yang lebih layak. Bedanya ibunya janda ditinggal mati, sementara Dinah janda karena cerai dengan mantan suami yang jauh dari kata tanggung jawab.
***********
"Jadi, kapan kamu mau ketemu Pak Abdi?", tanya Bu Andini sambil menambahkan nasi ke piring Ardha karena dia merasa nasi yang ditaruh Ardha terlalu sedikit. Bukan bermaksud memaksa, tapi itulah sifat dasar seorang ibu yang khawatir kalau anaknya kurang makan. Ibunya tidak tahu saja kalau tadi saat perjalanan menuju ke rumahnya, Ardha meminta sopir taksi untuk singgah sebentar di warung bakmi pedas favoritnya. Awalnya si sopir ragu, tapi setelah Ardha mengatakan ada ongkos tambahan dan si sopir juga ditraktir, akhirnya kata sepakat pun didapat.
Apakah Ardha akan memberitahu ibunya kalau dia masih kenyang sebab sudah makan? No..way.. kecuali dia bersedia mendengar ceramah panjang kali lebar dari sang ibu sebab makanan pedas yang tadi dikonsumsinya. Akhirnya Ardha cuma bisa pasrah..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments