Transmigrasi Boy

Transmigrasi Boy

Masih Revan

Seorang pemuda bertubuh jangkung dengan hoodie putih itu kini tengah mengendarai motornya menyusuri jalanan padat ibu kota. Pemuda itu adalah Revan, lebih tepatnya Revan Sernando.

Saat tengah asik bermain ps tadi ia tiba-tiba ditelepon papanya. Ternyata salah satu berkas penting papanya tertinggal dan ia diminta untuk mengantarkannya ke kantor sang papa.

Tak butuh waktu lama kini Revan sudah sampai di sebuah gedung tinggi yang tak lain adalah kantor sang papa. Papanya memang seorang pemilik perusahaan walaupun tidak besar, namun Revan sudah sangat bersyukur karena semua kebutuhannya bisa terpenuhi.

"Papa gimana sih? Kalau mau meeting tu harusnya dicek dulu dong berkas-berkasnya, biar nggak ada yang ketinggalan kayak gini. Papa ganggu aku main aja deh" cerocos Revan begitu ia membuka pintu ruangan sang papa.

Seorang pria paruh baya yang tak lain adalah papa Revan hanya bisa meringis mendengar cerocosan anak semata wayangnya itu. Ia juga tidak tahu kenapa bisa melupakan satu berkas itu, padahal selama ini ia tak pernah melupakan sesuatu yang sangat penting.

"Ya maaf namanya juga lupa, maklum papa itu udah tua, Revan" ucap papa Revan.

"Oh jadi sekarang papa ngaku nih kalo papa itu udah 'tua'" kata Revan menekankan kata 'tua'. Tangannya mulai mengeluarkan ponsel pintarnya setelah menaruh berkas milik sang papa dan mendudukkan dirinya di sofa.

"Enak aja siapa juga yang bilang tua, kamu salah denger kali, masih muda kok kupingnya udah alih fungsi jadi cangkul" papa Revan tampaknya tak terima dengan perkataan anaknya. Padahalkan jelas-jelas dia tadi mengucapakan kata 'tua'. Tolong putar adegan tadi agar si 'tua' itu tak bisa mengelak lagi.

Revan mendengus sebal. Papanya itu sudah mengelak, mengejek dirinya pula. Kurang sabar apa coba Revan sebagai anak.

"Oh iya, mama kamu kemana? Papa telfon kok nggak diangkat" sahut papa Revan saat melihat sang anak membuka mulut, hendak protes atas ejekannya tadi.

"Mama keluar, gatau tuh kemana, nggak bilang soalnya" kata Revan cuek.

"Tumben" gumam papa Revan pelan. Pasalnya istrinya itu akan selalu bilang jika ingin pergi keluar.

"Ya udah kalau gitu kamu pulang sana, papa mau meeting" dari nadanya papanya itu mengusir Revan dengan cara yang tidak bisa diterima olehnya. Seperti mengusir ayam saja, pikir Revan.

Dengan ogah-ogahan Revan berlalu meninggalkan ruangan papanya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Moodnya mendadak buruk saat ini. Ia jadi ingin keluar. Tapi dengan siapa, Revan kan tidak punya teman.

"Kenapa perasaanku tidak enak. Semoga tidak terjadi apa-apa" lirih papa Revan setelah pintu ruangannya kembali tertutup.

...****************...

Sepulang dari kantor papanya, Revan berniat untuk mencari makan sebentar karena perutnya sudah keroncongan. Apalagi di rumah tidak ada makanan, karena mamanya belum pulang.

Revan memarkirkan motornya di parkiran salah satu cafe yang lumayan ramai. Ia berjalan memasuki cafe dengan tangan yang ia masukkan ke saku hoodie miliknya.

Saat pandangannya menyapu seisi cafe guna mencari tempat yang kosong, Revan justru tak sengaja melihat mamanya yang tengah duduk seorang diri di meja yang berada di dekat jendela. Tanpa pikir panjang Revan langsung saja menghampiri sang mama yang kini tengah fokus dengan benda pipih di tangannya.

"Mama" panggil Revan membuat wanita paruh baya itu mendongak.

"Loh Revan, kok kamu disini? Biasanya juga males keluar rumah" ucap mama Revan. Ia heran dengan sang anak yang memang tumben-tumbenan mau keluar dari sangkarnya.

"Tadi disuruh papa nganter berkas, terus Revan laper jadi mampir deh" balas Revan sambil duduk di kursi yang berada di depan mamanya.

"Tumben" heran mama Revan pada suaminya itu.

"Tau tuh papa. Oh iya, mama kesini sama siapa?" kata Revan. Bukan tanpa alasan ia bertanya seperti itu. Pasalnya sekarang di atas meja ada dua buah gelas yang isinya tinggal setengah. Tidak mungkin kan mamanya itu memesan dua minuman sekaligus.

Mama Revan tampak tersentak kecil mendengar pertanyaan sang anak. Ia baru menyadari jika sedari tadi ia tidak sendiri.

"Maaf lama, loh ini siapa? Anak kamu?" belum sempat mama Revan menjawab sebuah suara membuat Revan dan sang mama mengalihkan pandangan mereka pada si pemilik suara.

Terlihat seorang pria paruh baya yang mungkin usianya seperti papa Revan menatap mama Revan dengan pandangan bertanya.

"Dia siapa ma?" tanya Revan yang membuat mamanya semakin bingung untuk menjawab.

Entah kenapa perasaan Revan menjadi tidak enak sekarang. Pria paruh baya itu tampak santai saat berbicara dengan mamanya, jadi tidak mungkin dia adalah rekan kerja sang mama. Apalagi mamanya adalah seorang disainer, kecil kemungkinan jika rekan kerjanya adalah seorang pria.

"Oh kamu anaknya Della ya? Perkenalkan nama saya Wira, saya teman SMA mama kamu" ucap pria paruh baya yang mengaku bernama Wira itu.

"Iya om, nama saya Revan" balas Revan seraya menjabat tangan yang Wira ulurkan.

Beberapa detik setelah Revan memperkenalkan diri hanya ada keheningan. Hingga segerombol orang berjas yang memasuki cafe membuat ketiga orang itu menoleh, terlebih terdengar suara orang yang begitu familiar bagi Revan dan Della.

"Mohon maaf sepertinya saya ada urusan mendadak, jadi saya mohon untuk menunda meeting kali ini, permisi" ucap salah satu pria berjas itu saat matanya tak sengaja bertemu dengan mata Della.

Pria berjas lain hanya dapat mengangguk dan segera berlalu meninggalkan cafe, karena mereka tidak ada urusan lagi di sana. Lain halnya dengan seorang pria berjas yang tak lain adalah Dion, papa Revan.

Setelah Revan pergi tadi rekan kerjanya mengajaknya untuk meeting di cafe saja. Namun saat matanya melihat Della dan Revan sedang bersama seseorang yang sangat familiar dengannya, Dion memutuskan untuk menunda acara meetingnya hari ini.

"Eh, kenapa papa nggak jadi meeting?" tanya Revan begitu Dion menghampiri mereka.

Dion tak menjawab pertanyaan Revan. Pandangannya tertuju pada Wira. Seorang pria yang tak akan pernah bisa ia lupakan.

"Kamu janjian sama dia?" bukannya menjawab pertanyaan Revan, Dion malah bertanya pada Della.

"Nggak mas. Ka-kamu kayaknya salah paham deh" jawab Della sedikit gugup. Ia tak mau suaminya itu salah paham untuk yang kedua kalinya.

"Dulu kamu bilang salah paham, terus sekarang salah paham juga. Terus dia ngapain kesini kalau kalian nggak janjian" Revan dapat melihat jika papanya itu seperti sedang menahan amarah. Ia sebenarnya tidak tahu apa yang terjadi diantara mereka. Kenapa papanya terlihat marah.

"Mas-"

"KAMU SELINGKUH SAMA DIA!!?" Revan refleks memejamkan matanya mendengar teriakan papanya. Bahkan kini mereka sudah menjadi pusat perhatian pengunjung cafe.

"Mas aku itu nggak selingkuh, aku tadi cuma nggak sengaja ketemu sama Wira" ucap Della membantah tuduhan suaminya. Apalagi disana ada Revan. Ia tak mau Revan juga ikut salah paham nantinya. tampak memerah menandakan ia benar-benar marah saat ini.

"Maaf pak, buk, mohon jangan membuat keributan di sini" salah seorang pelayan cafe menyela membuat Della tidak jadi menyuarakan elakannya.

"Maaf. Pulang sekarang" ucap Dion dingin sebelum berlalu dari sana.

"Ma" Revan bingung harus berbuat apa. Memanggil mamanya untuk meminta penjelasan tidak ada gunanya. Matanya memanas. Ia tak pernah sekalipun membayangkan ada diposisi ini sebelumnya.

Melihat Wira yang mengusap bahu Della berniat membuat wanita itu tenang justru membuat Revan berpikir jika papanya lah yang benar saat ini. Dengan segera ia berlalu meninggalkan dua orang itu, karena ia tak mungkin membiarkan Dion pulang sendiri dengan keadaannya saat ini.

"Pa. Revan pulang sama papa ya?" Ucapnya begitu ia berhasil menyamai langkah Dion.

Dion tak menjawab. Membuat Revan langsung ikut memasuki mobil saat pria paruh baya itu juga melakukan hal yang sama. Revan tidak menghiraukan motornya yang masih terparkir di parkiran.

Selama perjalanan hanya ada keheningan yang menemani mereka, hingga lama-kelamaan Revan merasa mobil yang dikemudikan papanya berjalan semakin cepat. Revan menoleh dan mendapati Dion yang tengah mencengkram kemudi dengan erat, sepertinya papanya itu tengah menyalurkan semua amarahnya.

Dion terus menginjak gas membuat Revan sangat takut. Kecepatan mobil ini bahkan mungkin sudah hampir menyentuh batas.

"Pa, jangan kenceng-kenceng Revan takut" ucap Revan sambil mencengkram pegangan dengan erat.

Dion diam.

Ia sama sekali tak menghiraukan ucapan Revan.

"Pa, Revan takut pa. Pa. PAPA"

"PAPA AWAS!!!"

BRAK!!!

Tanpa disadari sebuah truk melaju kencang dari arah berlawanan membuat tabrakan tak dapat terelakkan. Mobil yang dikemudikan Dion berguling dan berhenti pada posisi terbalik. Warga sekitar yang mendengar suara tabrakan pun langsung menuju tempat kejadian.

Sedangkan di dalam mobil kondisi Revan sangat mengenaskan. Kepala Revan terasa sangat pusing. Darah segar mengucur dari beberapa bagian tubuhnya, termasuk kepala. Seluruh badannya sangat sakit. Tulang-tulangnya terasa remuk semua. Matanya terasa sangat berat. Dadanya sesak. Untuk bernafas saja rasanya sangat sulit.

"Maafin papa"

Samar-samar Revan dapat mendengar sang papa mengucapkan kata maaf sebelum kegelapan menjemputnya.

Terpopuler

Comments

Retno Palupi

Retno Palupi

sedih, papah nya ikut meninggal g ya?

2024-07-16

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!