Seorang pemuda bertubuh jangkung dengan hoodie putih itu kini tengah mengendarai motornya menyusuri jalanan padat ibu kota. Pemuda itu adalah Revan, lebih tepatnya Revan Sernando.
Saat tengah asik bermain ps tadi ia tiba-tiba ditelepon papanya. Ternyata salah satu berkas penting papanya tertinggal dan ia diminta untuk mengantarkannya ke kantor sang papa.
Tak butuh waktu lama kini Revan sudah sampai di sebuah gedung tinggi yang tak lain adalah kantor sang papa. Papanya memang seorang pemilik perusahaan walaupun tidak besar, namun Revan sudah sangat bersyukur karena semua kebutuhannya bisa terpenuhi.
"Papa gimana sih? Kalau mau meeting tu harusnya dicek dulu dong berkas-berkasnya, biar nggak ada yang ketinggalan kayak gini. Papa ganggu aku main aja deh" cerocos Revan begitu ia membuka pintu ruangan sang papa.
Seorang pria paruh baya yang tak lain adalah papa Revan hanya bisa meringis mendengar cerocosan anak semata wayangnya itu. Ia juga tidak tahu kenapa bisa melupakan satu berkas itu, padahal selama ini ia tak pernah melupakan sesuatu yang sangat penting.
"Ya maaf namanya juga lupa, maklum papa itu udah tua, Revan" ucap papa Revan.
"Oh jadi sekarang papa ngaku nih kalo papa itu udah 'tua'" kata Revan menekankan kata 'tua'. Tangannya mulai mengeluarkan ponsel pintarnya setelah menaruh berkas milik sang papa dan mendudukkan dirinya di sofa.
"Enak aja siapa juga yang bilang tua, kamu salah denger kali, masih muda kok kupingnya udah alih fungsi jadi cangkul" papa Revan tampaknya tak terima dengan perkataan anaknya. Padahalkan jelas-jelas dia tadi mengucapakan kata 'tua'. Tolong putar adegan tadi agar si 'tua' itu tak bisa mengelak lagi.
Revan mendengus sebal. Papanya itu sudah mengelak, mengejek dirinya pula. Kurang sabar apa coba Revan sebagai anak.
"Oh iya, mama kamu kemana? Papa telfon kok nggak diangkat" sahut papa Revan saat melihat sang anak membuka mulut, hendak protes atas ejekannya tadi.
"Mama keluar, gatau tuh kemana, nggak bilang soalnya" kata Revan cuek.
"Tumben" gumam papa Revan pelan. Pasalnya istrinya itu akan selalu bilang jika ingin pergi keluar.
"Ya udah kalau gitu kamu pulang sana, papa mau meeting" dari nadanya papanya itu mengusir Revan dengan cara yang tidak bisa diterima olehnya. Seperti mengusir ayam saja, pikir Revan.
Dengan ogah-ogahan Revan berlalu meninggalkan ruangan papanya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Moodnya mendadak buruk saat ini. Ia jadi ingin keluar. Tapi dengan siapa, Revan kan tidak punya teman.
"Kenapa perasaanku tidak enak. Semoga tidak terjadi apa-apa" lirih papa Revan setelah pintu ruangannya kembali tertutup.
...****************...
Sepulang dari kantor papanya, Revan berniat untuk mencari makan sebentar karena perutnya sudah keroncongan. Apalagi di rumah tidak ada makanan, karena mamanya belum pulang.
Revan memarkirkan motornya di parkiran salah satu cafe yang lumayan ramai. Ia berjalan memasuki cafe dengan tangan yang ia masukkan ke saku hoodie miliknya.
Saat pandangannya menyapu seisi cafe guna mencari tempat yang kosong, Revan justru tak sengaja melihat mamanya yang tengah duduk seorang diri di meja yang berada di dekat jendela. Tanpa pikir panjang Revan langsung saja menghampiri sang mama yang kini tengah fokus dengan benda pipih di tangannya.
"Mama" panggil Revan membuat wanita paruh baya itu mendongak.
"Loh Revan, kok kamu disini? Biasanya juga males keluar rumah" ucap mama Revan. Ia heran dengan sang anak yang memang tumben-tumbenan mau keluar dari sangkarnya.
"Tadi disuruh papa nganter berkas, terus Revan laper jadi mampir deh" balas Revan sambil duduk di kursi yang berada di depan mamanya.
"Tumben" heran mama Revan pada suaminya itu.
"Tau tuh papa. Oh iya, mama kesini sama siapa?" kata Revan. Bukan tanpa alasan ia bertanya seperti itu. Pasalnya sekarang di atas meja ada dua buah gelas yang isinya tinggal setengah. Tidak mungkin kan mamanya itu memesan dua minuman sekaligus.
Mama Revan tampak tersentak kecil mendengar pertanyaan sang anak. Ia baru menyadari jika sedari tadi ia tidak sendiri.
"Maaf lama, loh ini siapa? Anak kamu?" belum sempat mama Revan menjawab sebuah suara membuat Revan dan sang mama mengalihkan pandangan mereka pada si pemilik suara.
Terlihat seorang pria paruh baya yang mungkin usianya seperti papa Revan menatap mama Revan dengan pandangan bertanya.
"Dia siapa ma?" tanya Revan yang membuat mamanya semakin bingung untuk menjawab.
Entah kenapa perasaan Revan menjadi tidak enak sekarang. Pria paruh baya itu tampak santai saat berbicara dengan mamanya, jadi tidak mungkin dia adalah rekan kerja sang mama. Apalagi mamanya adalah seorang disainer, kecil kemungkinan jika rekan kerjanya adalah seorang pria.
"Oh kamu anaknya Della ya? Perkenalkan nama saya Wira, saya teman SMA mama kamu" ucap pria paruh baya yang mengaku bernama Wira itu.
"Iya om, nama saya Revan" balas Revan seraya menjabat tangan yang Wira ulurkan.
Beberapa detik setelah Revan memperkenalkan diri hanya ada keheningan. Hingga segerombol orang berjas yang memasuki cafe membuat ketiga orang itu menoleh, terlebih terdengar suara orang yang begitu familiar bagi Revan dan Della.
"Mohon maaf sepertinya saya ada urusan mendadak, jadi saya mohon untuk menunda meeting kali ini, permisi" ucap salah satu pria berjas itu saat matanya tak sengaja bertemu dengan mata Della.
Pria berjas lain hanya dapat mengangguk dan segera berlalu meninggalkan cafe, karena mereka tidak ada urusan lagi di sana. Lain halnya dengan seorang pria berjas yang tak lain adalah Dion, papa Revan.
Setelah Revan pergi tadi rekan kerjanya mengajaknya untuk meeting di cafe saja. Namun saat matanya melihat Della dan Revan sedang bersama seseorang yang sangat familiar dengannya, Dion memutuskan untuk menunda acara meetingnya hari ini.
"Eh, kenapa papa nggak jadi meeting?" tanya Revan begitu Dion menghampiri mereka.
Dion tak menjawab pertanyaan Revan. Pandangannya tertuju pada Wira. Seorang pria yang tak akan pernah bisa ia lupakan.
"Kamu janjian sama dia?" bukannya menjawab pertanyaan Revan, Dion malah bertanya pada Della.
"Nggak mas. Ka-kamu kayaknya salah paham deh" jawab Della sedikit gugup. Ia tak mau suaminya itu salah paham untuk yang kedua kalinya.
"Dulu kamu bilang salah paham, terus sekarang salah paham juga. Terus dia ngapain kesini kalau kalian nggak janjian" Revan dapat melihat jika papanya itu seperti sedang menahan amarah. Ia sebenarnya tidak tahu apa yang terjadi diantara mereka. Kenapa papanya terlihat marah.
"Mas-"
"KAMU SELINGKUH SAMA DIA!!?" Revan refleks memejamkan matanya mendengar teriakan papanya. Bahkan kini mereka sudah menjadi pusat perhatian pengunjung cafe.
"Mas aku itu nggak selingkuh, aku tadi cuma nggak sengaja ketemu sama Wira" ucap Della membantah tuduhan suaminya. Apalagi disana ada Revan. Ia tak mau Revan juga ikut salah paham nantinya. tampak memerah menandakan ia benar-benar marah saat ini.
"Maaf pak, buk, mohon jangan membuat keributan di sini" salah seorang pelayan cafe menyela membuat Della tidak jadi menyuarakan elakannya.
"Maaf. Pulang sekarang" ucap Dion dingin sebelum berlalu dari sana.
"Ma" Revan bingung harus berbuat apa. Memanggil mamanya untuk meminta penjelasan tidak ada gunanya. Matanya memanas. Ia tak pernah sekalipun membayangkan ada diposisi ini sebelumnya.
Melihat Wira yang mengusap bahu Della berniat membuat wanita itu tenang justru membuat Revan berpikir jika papanya lah yang benar saat ini. Dengan segera ia berlalu meninggalkan dua orang itu, karena ia tak mungkin membiarkan Dion pulang sendiri dengan keadaannya saat ini.
"Pa. Revan pulang sama papa ya?" Ucapnya begitu ia berhasil menyamai langkah Dion.
Dion tak menjawab. Membuat Revan langsung ikut memasuki mobil saat pria paruh baya itu juga melakukan hal yang sama. Revan tidak menghiraukan motornya yang masih terparkir di parkiran.
Selama perjalanan hanya ada keheningan yang menemani mereka, hingga lama-kelamaan Revan merasa mobil yang dikemudikan papanya berjalan semakin cepat. Revan menoleh dan mendapati Dion yang tengah mencengkram kemudi dengan erat, sepertinya papanya itu tengah menyalurkan semua amarahnya.
Dion terus menginjak gas membuat Revan sangat takut. Kecepatan mobil ini bahkan mungkin sudah hampir menyentuh batas.
"Pa, jangan kenceng-kenceng Revan takut" ucap Revan sambil mencengkram pegangan dengan erat.
Dion diam.
Ia sama sekali tak menghiraukan ucapan Revan.
"Pa, Revan takut pa. Pa. PAPA"
"PAPA AWAS!!!"
BRAK!!!
Tanpa disadari sebuah truk melaju kencang dari arah berlawanan membuat tabrakan tak dapat terelakkan. Mobil yang dikemudikan Dion berguling dan berhenti pada posisi terbalik. Warga sekitar yang mendengar suara tabrakan pun langsung menuju tempat kejadian.
Sedangkan di dalam mobil kondisi Revan sangat mengenaskan. Kepala Revan terasa sangat pusing. Darah segar mengucur dari beberapa bagian tubuhnya, termasuk kepala. Seluruh badannya sangat sakit. Tulang-tulangnya terasa remuk semua. Matanya terasa sangat berat. Dadanya sesak. Untuk bernafas saja rasanya sangat sulit.
"Maafin papa"
Samar-samar Revan dapat mendengar sang papa mengucapkan kata maaf sebelum kegelapan menjemputnya.
Mata seorang pemuda dengan wajah tampan itu perlahan terbuka. Ia mengerjap pelan guna menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya.
Netranya melirik sekitar memastikan dimana ia sekarang.
"Rumah sakit? Gue masih hidup?" batinnya saat mulutnya tak sanggup berucap. Pemuda itu tak lain adalah Revan. Entah apa yang terjadi padanya hingga ia bisa berada di sini.
Revan berusaha bangun untuk melihat sekitar lebih jelas. Namun saat berusaha untuk duduk kepalanya entah kenapa terasa sangat pusing.
Ia reflek menoleh saat mendengar suara pintu terbuka.
"Loh? Reval lo udah sadar?" ucap seorang gadis cantik yang tadi membuka pintu.
"Hah? Reval?" Revan hanya dapat mengerit bingung. Kenapa gadis ini memanggilnya Reval. Namanya kan Revan.
"Iya, kan?" sekarang gadis itu malah menatap Revan dengan tatapan yang tak dapat Revan artikan membuat Revan semakin bingung.
"Hah? Nama gue Revan kali" sahut Revan.
"Reval?"
"Revan anjir"
"Reval, lo kenapa sih?"
Mereka berdua tampaknya sama-sama bingung. Revan bingung karena gadis itu terus memanggilnya Reval dan gadis itu pun juga bingung karena orang di depannya itu sepertinya berbicara melantur.
"Revan. R-E-V-A-N. Dibilangin ngeyel banget sih" Revan terus saja membantah gadis itu karena terus memanggilnya Reval. Lama-lama ia bisa stres hanya gara-gara nama.
"Otak lo geser ya? Ngelantur banget ngomongnya. Atau jangan-jangan lo amnesia ya? Lo nggak inget apa-apa?"
Hah. Revan menghela nafas berusaha untuk sabar. Gadis di depannya ini benar-benar membuatnya kesal.
"Nama gue Revan bukan Reval dan gue masih inget jelas kalo gue tadi kecelakaan sam- PAPA!!"
Revan baru ingat. Ia kecelakaan bersama sang papa. Jadi-
"Papa gue gimana? Dia baik-baik aja kan?" tanya Revan dengan wajah panik. Dia berharap tidak terjadi apa-apa dengan papanya itu.
"Papa? Lo mau ketemu sama papa? Papa baik-baik aja kok" Revan lagi lagi dibuat bingung oleh ucapan gadis itu. Papa siapa yang gadis itu maksud? Revan kan menanyakan papanya.
Namun belum sempat Revan membalas ucapan gadis itu, pintu kembali terbuka menampilkan dua orang berbeda gender dengan usia yang mungkin sama.
"Ya ampun Reval, kamu udah sadar? Bunda khawatir banget sama kamu" ucap salah satu diantara dua orang itu sambil berjalan ke arah Revan dan langsung memeluk pemuda itu erat.
Revan hanya diam. Ia kira wanita ini bisa menjawab kebingungannya, bukan malah membuatnya tambah kebingungan.
"Pa, tadi Reval nyariin papa" ucap gadis tadi membuat Revan langsung melepaskan pelukan wanita paruh baya yang menyebut dirinya bunda itu.
"Eh? Nyariin papa? Kenapa?" Revan memperhatikan pria paruh baya yang tadi datang bersama wanita yang tadi memeluknya.
Ia menatap pria itu bingung. Apakah papa yang dimaksud oleh gadis tadi adalah pria ini. Jika iya, jelas ini bukan papanya.
"Apaan sih, bukan dia yang gue maksud. Dia bukan papa gue. Papa gue itu yang tadi kecelakaan sama gue. Masa kalian nggak tau. Kalian kan yang nolongin gue?" ucap Revan.
Sekarang giliran tiga orang itu yang menatap bingung Revan. Terutama seorang pria paruh baya yang membelalakkan matanya, karena merasa tak diakui oleh anaknya sendiri.
"Reval kamu ngomong apa sih sayang? Dia kan papa. Papa kamu" ucap wanita paruh baya itu.
"Maaf ya tante, dia itu bukan papa saya. Saya itu tadi kecelakaan sama papa saya dan mungkin tante yang udah nolong saya, jadi saya ucapin terima kasih sama tante. Tapi sekarang tolong kasih tahu dimana papa saya? Saya mau liat kondisi papa saya" Revan berusaha menjelaskan kepada ketiga orang itu agar mereka mengerti jika Revan hanya ingin melihat papanya dan urusan mereka selesai. Sudah hanya itu yang Revan mau.
"Reval kamu kenapa? Apa yang sakit? Kamu tenang aja dokternya bentar lagi dateng kok. Kamu bilang sama bunda aja dulu mana yang sakit?" wanita itu terlihat panik saat anaknya berbicara dengan kata-kata yang tak dapat ia mengerti. Ia takut terjadi sesuatu dengan sang anak.
"Tante saya nggak pa-pa. Saya cuma mau tau kondisi papa saya" ucap Revan untuk yang kesekian kalinya.
Pintu lagi-lagi terbuka menampilkan seorang dokter lelaki dengan jas putih yang membungkus tubuhnya.
"Mohon menyingkir sebentar bu, biar saya yang memeriksa pasien" ucap dokter itu.
Wanita yang terus memanggil dirinya bunda itu menyingkir, membiarkan dokter memeriksa sang anak.
"Apakah ada yang sakit?" tanya dokter itu pada Revan.
Revan hanya menggeleng pelan, karena ia tak merasakan sakit apapun saat ini. Namun sedetik kemudian ia tersadar jika ia telah mengikuti alur ketiga orang itu.
"Dok, dokter pasti yang meriksa papa saya juga kan? Gimana keadaan papa saya dok?" ucapan Revan membuat sang dokter ikut-ikutan bingung seperti tiga orang sebelumnya yang mendapat pertanyaan serupa dari Revan.
"Papa kamu siapa? Bukankah beliau adalah papa kamu?" ucap dokter itu sambil menunjuk pria yang mengaku papa Revan tadi.
"Ish bukan dok. Papa saya itu namanya Dion. Dokter tadi meriksa orang yang namanya Dion kan? Itu papa saya dok. Jadi gimana keadaan dia dok?" Revan menatap dokter di depannya penuh harap. Jujur ia sudah lelah terus-menerus menanyakan tentang papanya namun tak ada satupun yang menjawab.
"Sebentar-sebentar, sebelum saya jawab pertanyaan kamu, kamu bisa kan jawab pertanyaan saya terlebih dahulu?" kata dokter itu. Setelah berpikir sejenak Revan akhirnya mengangguk mengiyakan tawaran sang dokter.
"Apa kamu ingat nama kamu?"
"Inget kok, nama saya Revan, Revan Sernando"
"Kamu ingat nama orang tua kamu?"
"Ya ingat lah dok saya kan bukan anak durhaka. Nama papa saya itu Dion terus nama mama saya Della"
"Kamu kenal sama mereka bertiga?"
"Enggak. Emang mereka siapa sih dok? Saya kira mereka yang udah nolongin saya sama papa saya"
"Kamu tahu nama Reval?"
"Reval sebenernya siapa sih dok? Daritadi kayaknya semua orang nyebut nama itu mulu"
"Hah, maaf sepertinya kamu butuh istirahat" ucap dokter itu mengakhiri sesi tanya-jawab dan dengan cepat menyuntikkan obat bius pada Revan.
"EH! Dok kok saya disuntik?"
"Dokter belum jawab pertanyaan saya loh"
"Gimana sih dok saya kok jadi ngantuk"
"Papa-"
Ucapan-ucapan Revan terhenti kala obat bius itu mulai bekerja. Perlahan matanya tertutup dan semua badannya terasa lemas seketika.
...****************...
Untuk kedua kalinya Revan membuka matanya di tempat yang sama. Bedanya kali ini tubuhnya masih terasa lemas. Ia ingat jika tadi seorang dokter menyuntiknya dengan obat bius. Mungkin karena efek obat bius nya masih ada jadi badannya terasa lemas.
"Reval kamu udah bangun nak?" Wanita tadi juga masih tetap berada di sini. Revan hanya mengangguk. Ia tak punya tenaga untuk menjawab lebih. Apalagi memperdebatkan hal yang sama seperti tadi.
"Reval, tadi dokter bilang kamu amnesia, jadi kamu nggak akan ingat apa-apa. Tapi nggak pa-pa bunda sama yang lain akan bantu kamu buat ingat lagi" ucap wanita itu.
"Bunda adalah bunda kamu, nama bunda Adel. Terus yang ini adalah papa kamu, namanya Faro. Dan yang terakhir adalah Reva, kakak kembar kamu"
Revan hanya diam saat wanita bernama Adel itu memperkenalkan dirinya beserta dua orang lainnya. Tiba-tiba Revan jadi berpikir, mungkinkan wajahnya dengan si Reval-Reval itu sama sehingga membuat mereka berpikir jika ia adalah Reval.
"Emm, tante boleh minta kaca nggak?" tanya Revan dengan suara serak.
Adel sempat menunjukkan raut kecewa ketika mendengar sang anak memanggilnya tante. Namun sedetik kemudian ia langsung tersenyum lembut dan memberikan sebuah cermin dari dalam tasnya.
Setelah mendapat cermin dari Adel, Revan langsung mengarahkan cermin itu ke arah wajahnya. Namun yang dilihatnya sekarang membuat Revan membelalakkan matanya.
"Lah? Wajah gue kok jadi gini?" yang Revan lihat di cermin bukanlah wajahnya yang dulu. Ia malah melihat wajah orang asing di sana.
"Oke, ulang-ulang" Revan berkali-kali membalikkan cermin dan melihat wajahnya lagi di cermin tapi hasilnya masih sama. Bayangan di cermin menunjukkan wajah orang yang sama sekali tak ia kenal.
Tanpa Revan sadari tiga orang lain yang berasa di sana sedari tadi tengah melihat apa yang dilakukannya. Mereka bertiga bingung atas apa yang Revan lakukan. Tapi sepertinya mereka tidak mempermasalahkan itu. Mereka berpikir mungkin Revan juga lupa wajahnya jadi dia melakukan hal itu.
"Reval bunda sama papa cari makan dulu ya? Kamu di sini sama Reva" ucap Faro tiba-tiba yang hanya dapat diangguki oleh sang istri.
Revan hanya diam. Ia masih memikirkan bagaimana ini bisa terjadi. Ini sangat tidak masuk akal.
Tapi Revan anak yang tidak memiliki teman. Jadi terkadang ia menghabiskan waktunya dengan membaca buku termasuk novel. Dan yang dialaminya ini, ia juga pernah membacanya walaupun situasinya berbeda.
"Ekhem. Pinjem hp lo dong" ucap Revan membuat Reva menatapnya.
"Buat apa?" tanya Reva.
"Yaudah kalo nggak boleh" ucap Revan. Tidak mungkin kan jika ia bilang jika ia ingin mencari informasi tentang kecelakaan yang ia alami. Mungkin saja kejadian itu masuk berita. Revan masih ingat jelas jika kecelakaan itu cukup besar.
"Ck, nih. Gitu aja ngambek" ucap Reva sambil menyerahkan benda pipih itu pada Revan.
"Siapa juga yang ngambek. Sandinya apa?" Revan menerima ponsel Reva dan langsung membukanya namun ternyata terdapat kata sandi yang harus ia masukkan.
"Nama lo" jawab Reva.
Revan segera mengetikkan namanya, tapi saat ia menekan tombol ok ternyata kata sandi yang ia masukkan salah. Sedetik kemudian Revan tersadar jika yang ia tulis adalah nama Revan bukan Reval. Dengan segera ia menghapus huruf n dan menggantinya dengan huruf l.
"Ngomong-ngomong nama lengkap gue siapa?" tanya Revan sambil mulai membaca berbagai berita-berita terbaru.
Bukan tanpa alasan ia menanyakan nama lengkap Reval. Ia sudah memutuskan jika mulai sekarang ia akan menjadi Reval bukan Revan.
"Reval Gishara" jawab Reva singkat.
Revan hanya mengangguk paham. "Nama depannya mirip sama nama gue" batinnya.
Namun sedetik kemudian ia terbelalak menyadari sesuatu.
"KENAPA NAMA BELAKANGNYA KAYAK NAMA CEWEK!!?"
Sekarang di ruang rawat Reval terdapat teman-teman Reval. Mereka baru datang sekitar lima menit yang lalu. Namun saat mereka datang Reval sedang tertidur jadi mereka memutuskan untuk menunggu Reval bangun.
Beberapa saat kemudian Reval bangun. Bukan karena ia sudah tidak mengantuk, karena memang tadi ia baru saja meminum obat. Melainkan karena suara-suara yang sangat berisik mengusik tidurnya.
"Berisik banget sih?" gumam Revan dan dengan terpaksa membuka matanya yang masih terasa lengket.
"WOY, JANGAN BERISIK!! Ganggu orang tidur aja" sentak Revan saat netranya menatap empat orang pemuda seusianya yang tengah bercanda ria, ralat hanya tiga orang yang berisik , yang satu hanya sibuk dengan ponselnya.
"REVAL!!?" teriak tiga orang itu dan dengan cepat menghampiri ranjang Reval. Kenapa hanya tiga? Ya karena yang satu tetap fokus pada ponselnya.
"Wah Val lo udah bangun?" tanya pemuda berambut ikal yang yang paling pendek di antara mereka bertiga.
"Goblok banget lo. Itu matanya Reval udah kebuka ya berarti udah bangun lah, tolol" pemuda dengan wajah yang terlihat galak itu menoyor temannya tanpa memperdulikan tatapan tajam yang dilayangkan padanya.
"Udah sih, lo berdua berantem mulu dari tadi. Berisik tau nggak" ujar pemuda yang satu lagi. Pemuda itu adalah yang paling tinggi di antara mereka.
"Kayak lo nggak aja!!" ucap kedua pemuda lain secara bersamaan.
"Oke-oke, kalem" ujar pemuda jangkung itu saat menyadari tatapan kedua temannya yang terlihat seperti seekor singa yang hendak menerkam mangsanya.
"Jadi Val, lo beneran amsinia?" lanjut pemuda itu sambil mengalihkan pandangannya pada Reval.
"Amsinia?" Reval hanya bisa menatap pemuda yang tidak ia kenal itu dengan tatapan bingungnya. Apa sebenarnya maksud pemuda itu?
"Amnesia goblok!!!" pemuda si tukang menoyor itu kembali melakukan aksinya, namun dengan sasaran yang berbeda.
"Iya-iya, santai dong. Jadi maksud gue tu amnesia, beneran Val?" pemuda itu mengusap kepalanya yang mendapat hadiah sayang dari sang teman sebelum kembali bertanya pada Reval.
"Iya" jawab Reval cuek.
"Oke kalo gitu, guys baris-baris, baris yang rapi, kita kenalan ulang sama Revan" ucap pemuda berambut ikal memerintahkan teman-temannya untuk berdiri sejajar bak anak TK.
"Woy Dan, ayo sini" lanjutnya saat menyadari salah satu temannya masih asik dengan ponselnya.
"Game mulu lo, ayo buruan" saking kesalnya ia langsung saja menarik temannya yang ia panggil Dan itu tanpa mempedulikan sang teman yang sudah menatap tajam dirinya.
"Ck, jangan tarik" ucap pemuda yang sedari tadi memainkan ponselnya itu.
"Oke mulai dari gue. Nama gue Rey. Perlu nama lengkap nggak sih? Nggak usah lah ya, kayak di novel-novel aja" ujar pemuda berambut ikal itu.
"Bilang aja nama lengkap lo jelek, makanya nggak lo sebutin. Nama gue dong keren Ryan. Nama gue RYAN Val" ujar pemuda si tukang menoyor.
"Keren mata lo, nama gue dong Val, Marvel" sekarang giliran pemuda jangkung itu yang memperkenalkan dirinya.
"Lah woy, giliran lo Dan" ujar Rey saat tak mendengar suara salah satu temannya yang tidak melanjutkan acara perkenalan ulang itu.
"Jordan" ucap pemuda pecinta game itu singkat. Wajahnya tampak datar sebelum kembali melangkah menuju sofa.
"Datar amat tu muka kayak tembok aja" gumam Reval pelan namun sepertinya masih bisa didengar oleh temannya. Terbukti saat tiga pemuda itu yang langsung menoleh padanya.
"Emang gitu si dia kayak kulkas 45 pintu asal lo tau. Game mulu yang dipantengin" sahut Rey dengan nada seperti ibu-ibu bergosip.
"Oke karena acara perkenalannya sudah selesai, apakah ada yang ditanyakan tuan Reval Gishara? Kalo dipikir-pikir diantara kita semua nama lo yang paling keren deh Val" ujar Ryan membuat Reval memberengut kesal.
"Nggak usah ngejek" ucap Reval. Entahlah ia merasa sangat akrab dengan Ryan.
"Eh iya, btw gue punya geng nggak? Geng motor gitu" tanya Reval antusias. Selama ini dia tidak punya teman. Apalagi ikut-ikutan geng motor seperti di novel-novel. Jadi dia sangat antusias jika ternyata Reval yang asli memiliki sebuah geng motor.
"Lo udah inget ya? Kok lo tau tentang geng motor?" tuduh Marvel.
"Eh? Emang kita beneran punya ya?" Reval justru semakin antusias dengan mata berbinar ketika mendengar Marvel.
"Punya dan gue ketuanya" sahut Rey seraya menaik turunkan alisnya dengan wajah angkuh.
"Bohong ya lo?" selidik Reval. Feeling nya mengatakan jika bukan Rey lah ketuanya. Ia akan lebih percaya jika Jordan lah yang mengaku sebagai ketua.
"Nggak boleh bohong loh Rey nanti hidungnya jadi panjang" lanjutnya.
Ketiga pemuda yang merupakan sahabat Reval itu hanya bisa diam. Mereka melihat Reval dengan tatapan aneh. Reval tampak berbeda.
"Heh? Lo siapa? Lo bukan Reval kan?" sentak Ryan tiba-tiba membuat Reval sedikit terkejut. Ryan ini tidak bisa santai orangnya. Begitulah pemikiran Reval melihat apa yang Ryan lakukan sedari tadi.
"Hah?" Reval mengerjapkan matanya. Ia bingung. Ia mulai berpikir mungkinkah sifat asli Reval tidak seperti ini.
"Emang kenapa? Katanya nama gue Reval kok" lanjutnya dengan wajah yang ia buat sepolos mungkin.
"Goblok ya lo. Orang jelas-jelas dia Reval" sahut Rey.
"Ya tapi sifatnya beda Rey. Reval itu dingin, datar kayak triplek, kalo ngomong juga sekata dua kata. Apa jangan-jangan kalo orang lupa ingatan itu bisa beda sifat juga ya?" ujar Ryan. Reval hanya melihat mereka tanpa berniat untuk memotong setiap ucapan yang keluar dari mulut mereka.
"Iya kali" Rey hanya menyahutinya singkat. Ia juga tidak mengerti. Meskipun ia anak IPA, entah kenapa semua pelajaran yang diajarkan di sekolah tidak bisa masuk kedalam otak kecilnya. Dan ia juga heran kenapa bisa masuk IPA.
Kruk kruk kruk
Sebuah suara membuat Trio R itu menoleh ke sumber suara. Pelaku yang menyebabkan bunyi itu hanya dapat menyengir saat mendapat tatapan dari ketiga orang itu.
"Hehe, Marvel" kata Geon.
"Kuy lah ke kantin, gue juga laper" ajak Rey.
"Let's go" seru Ryan sambil menarik tangan Rey dan Marvel.
Setelah mereka pergi sekarang hanya tinggak Jordan dan Reval di ruangan itu.
"Jordan. Nama lo Jordan kan?" suara Reval terdengar sangat jelas di ruangan yang hening itu.
Jordan tidak menjawab pertanyaan Reval. Ia hanya mengangkat wajahnya sebelum kembali fokus pada ponsel yang ia miringkan itu.
"Ck, ngeselin banget ni orang" gumam Reval sepelan mungkin agar orang yang ia bicarakan tidak mendengarkannya.
"Woy, Jordan. Pinjem HP dong" ujar Reval lagi.
Ia bosan jika terus berdiam diri seperti ini. Ia ingin melihat kebersamaan Reval yang dulu dengan teman-temannya itu. Dari foto atau dari video. Pasti Jordan menyimpannya.
"Sial" gumam Jordan saat game yang ia mainkan menampikan tulisan kalah.
Ia kemudian beranjak untuk memberikan ponselnya pada Reval karena matanya sudah lelah. Ia ingin tidur.
"Yee malah tidur. Bodo amat deh, yang penting gue dikasih HP" cibir Reval saat melihat Jordan langsung berbaring di sofa setelah menyerahkan ponselnya pada Reval.
"Untung nggak disandi" gumam Reval.
Ia mulai membuka berbagai aplikasi yang ada di ponsel Jordan mulai dari galeri, media sosial yang ternyata hanya ada WhatsApp, sampai pengaturan pun ia buka.
"Buset ni orang kontaknya dikit banget" ujar Reval saat melihat isi kontak di ponsel Jordan hanya sekitar sepuluh saja. Dilihat dari namanya pun Jordan sepertinya hanya menyimpan nomor laki-laki saja kecuali kontak dengan tulisan 'mama'.
Jari Reval beralih menekan aplikasi YouTube untuk menghibur dirinya. Daripada tidak tau harus melakukan apa lebih baik ia menonton video saja bukan.
"Eh, Reyganteng? Punya Rey?" tanya Reval pada dirinya sendiri saat tak sengaja beranda YouTube milik Jordan menampikan sebuah video yang diupload oleh Channel bernama 'Reyganteng'.
"Tonton ah" Reval langsung saja menekan video tersebut.
Setelah muncul iklan sekitar 10 detik sebuah video opening mulai memenuhi layar ponsel mahal itu.
"Hallo guys" Wajah Rey tampak muncul di layar dengan background yang dapat Reval tebak adalah sekumpulan anak SMA yang sedang tawuran.
"Woy Rey, buset lo lagi tawuran malah nge-vlog" sekarang suara Ryan yang terdengar walaupun wajahnya tak terlihat di layar.
"Bantuin gue Rey. Goblok muka ganteng gue kepukul" dan yang ini adalah suara Geon.
"Iya-iya bentar gue taro dulu ini" setelah Rey mengucapkan itu layar tampak buram sejenak sebelum menampilkan Rey lagi dengan background yang masih sama.
"Oke guys gue mau tawuran dulu, tonton sampai selesai ya? Oke?" Setelah itu Rey terlihat berlari menyelip di gerombolan pemuda itu dan mulai memukul pemuda dengan seragam yang berbeda dengannya itu.
"WOY REVAL KENA PUKUL" teriak sebuah suara yang tak Reval kenal.
"CABUT" suara lain ikut terdengar sebelum para pemuda yang menjadi musuh Rey dan teman-temannya berlarian meninggalkan tempat itu.
Setelah musuhnya pergi Rey kembali berjalan menuju ponselnya dan langsung mematikannya begitu saja. Dilihat dari wajahnya Rey tampak panik?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!