OEKKK OEKKKK

"Oeekk... oeekkk..."

"Oeekkk... oeekkk..."

"Ekhee oeekkk...."

Tiga bayi mungil di ranjang Seina bersahutan nyaring. Minggu ini, Salwa terpaksa cuti agar bisa membantu Seina mengurus si kembar. Terlebih lagi, si sulung dan si bungsu terkadang berebut menyusu pada Seina yang mulai kelelahan.

"Ululuuu... bayi yang satu ini anteng banget," ucap Salwa gemas pada si tengah yang diam saat dibedaki. "Tidak seperti si sulung dan si bungsu ya, Sal, hahahaaa..." sambung Seina tertawa, sambil menyusui bayi laki-laki dan perempuannya yang kadang mencakar satu sama lain. Beruntung jari mungil mereka dibungkus sarung tangan.

"Waduh, bedaknya sudah habis nih, Sei. Kamu masih punya cadangan, kan?" tanya Salwa.

"Sepertinya ada pemberian dari tetangga, tapi... duh... isinya juga habis nih," jawab Seina meringis, melihat tas bayinya kosong.

"Kalau begitu...."

"Kak, biar Vara saja yang beli!" seru Vara, mengacungkan tangan.

"Kak Salwa bantu Kak Seina di sini saja, biar Vara sendiri yang beli." Dengan senyum manisnya, Vara mengulurkan jari telunjuknya untuk menyentuh pipi bayi sulung Seina, tapi tiba-tiba bayi itu menangis keras.

"Oeeekkk... oeeekkk..."

"Ihhh, selalu saja begini. Memangnya Vara kelihatan seram?" celetuk Vara cemberut.

"Kalau mau disayang sama bayi laki-laki, kamu pergi saja beli bedaknya cepat," pinta Salwa terbahak-bahak bersama Seina.

"Ihhh padahal kemarin-kemarin Vara rajin buang bekas pipisnya, masa Vara belum disayang juga, Kak," cetus Vara.

"Makanya kamu itu jadi anak gadis harus perawatan biar bayi laki-laki cinta sama kamu," timpal Salwa.

"Iya deh Kakak Vara yang goodlooking," ujar Vara gemas. Seina pun menggelengkan kepala melihat persaudaraan mereka yang tak beda jauh dengan Gara.

"Oh ya Vara, kalau kamu mau pergi, coba ajak Gara," kata Seina.

"Tidak usah Kak, Gara orangnya resek!" tolak Vara blak-blakan.

"Ehhh... kau jangan pergi dulu, Ra. Yang dikatakan Seina itu benar, kamu perginya bersama Gara. Siapa tahu di jalan kamu dicegat preman," Salwa menahan adiknya sebelum keluar. "Apalagi tingkat kejahatan di kota ini lumayan tinggi. Gadis perawan sepertimu harus dijaga baik-baik."

"Oke, terima kasih Kak Salwa, Kak Seina sudah perhatian sama Vara. Vara sayang kalian, love youuuu."

Dua wanita itu kembali tertawa kecil melihat Vara memberi kiss, tapi semuanya terdiam setelah kiss selanjutnya mengarah ke bayi laki-laki sulung yang tiba-tiba menangis. Tidak seperti dua adiknya yang biasa saja.

"Yaelah, dikasih cium saja nangis, dasar cengeng!"

Vara pun pergi mencari Gara, daripada kesal pada si sulung yang tampak jengkel padanya.

Dalam hitungan detik, mata Vara menatap punggung lebar seorang pemuda yang duduk membelakanginya di atas meja besar di kamar belakang. "Oiii, lagi ngapain nih? Sibuk nggak?" Vara menepuk pundak kanan Gara yang tampak serius mengerjakan sesuatu.

"Sibuklah, dodol!" sentak Gara ketus.

"Memang lagi ngapain sih?" tanya Vara duduk di samping Gara, mengamati barang-barang bahan usaha Gara selama ini.

"Ehhh... ternyata kamu yang punya jualan skincare ini?" Vara terkejut, teringat skincare itu banyak digemari teman-teman cewek di sekolahnya, dan hasilnya terbaik.

"Makanya, jangan cuma tahunya main, dodol!"

Vara cemberut karena dihina lagi. "Dodol... dodol saja terus... bisa tidak sih panggil yang lain kek, aku kan manusia bukan makanan!" protes Vara.

"Oke, kutu kunti!"

Vara makin cemberut mendengarnya. Gara diam-diam melirik raut wajah Vara, lalu menyodorkan satu skincare-nya. "Tuh, ambil!"

"Loh, buat aku?"

"Iyalah, masa buat kambing tetangga!"

"Kenapa kamu kasih ke aku?"

"Supaya kamu tidak jelek-jelek amat saat kita mendaftar nanti di kampus sana!"

"Dihh jahat banget ngatain aku jelek!"

"Kalau kamu cantik, sudah dari tahun lalu kamu punya pacar, kutu kunti!"

Gara saking kesalnya, ingin rasanya menjitak kepala Vara, tapi ia takut gadis itu bertambah bodoh. Vara mendengkus, tapi kemudian tersenyum senang diberi skincare putih itu.

"Hehe... makasih ya, Kak! Tapi ini gratis, kan? Tidak perlu dibayar, kan?" tanya Vara, mengedipkan mata sebelahnya.

"Ya gratislah, kau kan sudah kuanggap adik selama ini. Sekarang kau pergi sana, jangan ganggu aku!" usir Gara, membuat Vara agak sedih.

"Ck, apa sih yang kamu harapkan dari dia!" batin Vara, menggeleng-gelengkan kepala.

"Loh, kenapa tidak pergi juga?" tanya Gara heran. Vara pun ingat disuruh membeli bedak. Ia lalu mengatakannya pada Gara, dan pemuda itu tanpa dipaksa langsung menarik Vara ke motornya, hasil dari penjualan skincare-nya.

Agar usahanya meluas, Gara ingin mengganti kemasan. Oleh karena itu, Gara sekalian datang ke toko untuk dibuatkan desain baru. Tapi yang sulit baginya yaitu memberi merek yang bisa membuat skincare-nya mendunia dan mengalahkan produk kecantikan di bawah naungan perusahaan mantan iparnya. Inilah bentuk balas dendam yang direncanakan Gara.

Sementara Gara sibuk memikirkannya, di kediaman keluarga Robert, Jovan, sang pewaris, tengah pusing dituntut keluarga ayahnya untuk secepatnya memiliki anak. Jika tidak, hak warisnya akan jatuh ke tangan cucu adik tiri ayahnya yang beda ibu dari kakeknya.

"Jovan, setahun berlalu, keluarga Papa terus memaksa Papa menentukan pewaris berikutnya. Apa kau punya solusi, Nak?" kata Tuan Robert, duduk di hadapan Jovan, menyeduh tehnya yang dibuat istrinya.

"Sebaiknya Papa dan Mama bikin anak yang lain saja. Jovan tidak mau menikah dengan wanita lain lagi. Bagiku, tidak masalah kalau kami tidak punya anak asalkan Ghina tetap hidup bersamaku," jelas Jovan serius dan tulus mencintai Ghina. Namun dalam hatinya, Jovan merasa sedih mendambakan tangisan bayi di rumah besar itu.

Tuan Robert menarik napas lalu tersenyum. "Jovan, Papa dan Mama sudah tua. Untuk menghasilkan anak sudah tidak bisa," kata Tuan Robert terpaksa berbohong, sebab ia juga tidak ingin istrinya sakit lagi.

"Kalau begitu, jangan paksa Jovan menikah lagi!" kesal Jovan, berdiri lalu keluar dari ruang pribadi ayahnya. Jovan berhenti di depan tangga, kebetulan berpapasan dengan ibunya. Namun, Renata tidak bicara apa-apa, hanya melewatinya. Jelas ada permusuhan antara ibu dan anak itu akibat tuduhan Jovan pada ibunya, serta Jovan belum pernah meminta maaf.

Sebelum berangkat ke perusahaan, Presdir tampan itu pergi mengunjungi istrinya. Ketika tangannya hendak memutarkan kenop pintu, terdengar dari dalam pembantu kembali menenangkan Ghina yang lagi-lagi mengamuk.

"Lepaskan aku... lepaskan aku...! Biarkan aku bertemu anakku...! Mas Jovan... di mana kau, Mas...!"

Jovan menarik kembali tangannya. Matanya terpejam sejenak lalu berbalik. Ia tak jadi masuk. Tapi setelah membuka mata, dari sampingnya seseorang tertawa.

"Haha... melihatmu sekarang, Mama jadi kasihan padamu, Jovan. Tapi Mama lebih kasihan pada wanita gila itu," maki Renata dengan tatapan jengkel. Ia tidak habis pikir putranya masih ingin hidup dengan Ghina yang terkena gangguan jiwa.

"Pulangkan dia, Nak," mohon Renata, tapi Jovan hanya membuang muka dan berlalu pergi.

"Ck, tanpa kau sadari, kau hanya menyiksa dia, Jovan." Renata menatap kesal ke pintu kamar tidur menantunya.

"Asisten Lu, di mana kau sekarang?" tanya Jovan yang sudah tiba di kantornya, menghubungi Asisten Lu yang masih setia bekerja dengannya.

"Saya lagi di luar, Tuan," jawab Asisten Lu.

"Memangnya kenapa Anda mencari saya?" Asisten Lu tampak keluar dari rumah sakit setelah mengantar seorang nenek.

Jovan diam. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan, tapi pria itu ragu karena merasa Asisten Lu pasti akan tertawa.

"Apa mungkin Anda ingin tanyakan soal Nona Seina?" tebak Asisten Lu, membuat Jovan tersentak. Pria itu menjawab—iya. Jovan teringat Seina yang pernah mengatakan ada bayi dalam perutnya, bayinya.

"Mengapa Anda ingin menanyakannya?"

"Apakah Anda ingin dia kembali, Tuan?" Asisten Lu sedikit menggoda Jovan, tapi jawaban Jovan mematahkan harapannya.

"Tidak, saya ingin mengambil anaknya. Dia pasti sekarang sudah melahirkan anak itu," jawab Jovan, berniat merebut hak asuhnya.

"Tetapi, bukankah dulu Anda bilang anak dalam perutnya adalah hasil hubungan jin? Mengapa Anda tiba-tiba berubah pikiran sekarang, Tuan?" tanya Asisten Lu lagi.

"Asisten Lu, zaman sudah modern, untuk memastikannya kita hanya perlu melakukan tes DNA. Jika anak itu terbukti darah dagingku, sebagai ayahnya saya punya hak untuk mengambilnya!"

"Mengapa Anda ingin mengambilnya?" tanya Asisten Lu, membuat Jovan marah.

"Saya sudah bilang, saya ayahnya, Asisten Lu! Apakah saya harus mengatakannya seribu kali agar kau paham...?!!!"

Asisten Lu tersenyum kecut, ia tahu alasan itu bukan jawaban yang sebenarnya. Alasan yang dipikirkannya adalah Jovan ingin menghadiahkan anak itu pada Ghina sebagai pengganti anaknya yang tiada.

"Maaf Tuan Jovan, tapi saya tidak tahu ada di mana Nona Seina sekarang. Adik laki-lakinya juga tidak pernah kelihatan," tutur Asisten Lu.

"Arghhh... jangan bilang dia istri saya! Dia sudah bukan lagi istri saya, Asisten Lu."

"Sayangnya, Anda belum resmi bercerai, Tuan. Surat cerai yang Anda serahkan ke Nona Seina malam itu sudah dirobek terlebih dahulu sebelum ditandatangani," ucap Asisten Lu.

"Ck, aku tidak peduli."

Tuttt...

Asisten Lu menarik napas, lalu mengembuskannya pelan. Kepribadian Jovan makin ke sini semakin sombong.

Saat pria berkacamata itu hendak masuk ke mobilnya, sekilas Asisten Lu melihat seorang pemuda keluar dari rumah sakit. Asisten Lu mengerjapkan matanya, dan ia terkejut setelah mengenali pemuda tampan itu.

"Gara?"

Terpopuler

Comments

Misaza Sumiati

Misaza Sumiati

bingung namanya istri Jovan , ghina ganti Ayana ganti lagi ghina yang betul yang mana ?

2024-11-22

0

C2nunik987

C2nunik987

😅😅😅😅 jadi Ghina gilaaaa karma dr Seina dibayar tunai kan Jovan 😡😡😡

2024-12-25

0

Aty

Aty

yg. benar Ayana apa Gina istri kedua jovan. suka ganti2 namanya.. 😠😠😠

2024-09-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!