Jovan tiba di kamar Ghina, hatinya dipenuhi kecemasan, terutama untuk bayi mereka. Ia mematung di ambang pintu, menyaksikan Ghina menjerit-jerit histeris di hadapan para dokter dan suster.
"Dokter, tidak mungkin! Anak saya tidak mungkin meninggal!" Ghina meraung, bagai orang gila.
Jovan melangkah masuk, membuat Ghina menoleh padanya. "Mas..." lirihnya, diiringi isak tangis.
"Tuan Jovan, kami mohon maaf atas musibah ini. Kami sudah berusaha semampu kami, tapi nyawa bayi kalian tidak tertolong," jelas sang dokter.
"Maksudnya, istri saya keguguran, Dok?" tanya Jovan tak percaya.
Dokter mengangguk pelan. Seketika, Ghina kembali mengerang, menarik-narik rambutnya. "Tidak! Tidak! Bayiku masih hidup! Jangan katakan itu!" Ghina menunjuk dokter dan suster, lalu mengusap perutnya. "Hiks... hiks... bayiku masih ada, kan, Mas?" Ia menatap Jovan yang tampak terpukul. "MAS, JANGAN DIAM SAJA! BAYI KITA MASIH HIDUP, KAN?!" pekik Ghina lagi.
Perlahan, Jovan menarik Ghina ke pelukannya. "Kamu yang sabar, sayang." Belum sempat ia menenangkan, Ghina sudah pingsan. Ia tak sanggup menerima kenyataan janin yang belum genap tiga bulan itu telah tiada. Jovan pun hancur, anak yang mereka nantikan tak akan pernah lahir.
"Tuan Jovan, ada hal lain yang ingin saya sampaikan. Jika bersedia, ikut saya ke ruangan."
Jovan menolak. "Katakan saja di sini, Dokter."
"Baiklah. Dari hasil pemeriksaan, peluang Ghina untuk hamil kembali sangatlah kecil. Bahkan, kami menyarankan pengangkatan rahim secepatnya agar nyawa istri Anda tidak terancam, karena luka dalamnya bisa berakibat fatal."
Jovan terdiam, rahangnya mengeras. Ia hanya bisa menatap sedih istrinya dan Asisten Lu yang tampak syok. Setelah dokter pamit, Jovan duduk terdiam di samping Ghina, menanti istrinya sadar. Ia amat mencintai Ghina, wanita yang mengenalkannya pada arti cinta.
Namun, bagi Asisten Lu, atasannya masih bodoh dalam urusan asmara, terbukti dari keputusannya meninggalkan Seina.
"Asisten Lu."
"Ya, Tuan?" Asisten Lu mendekat.
"Katakan padaku, apa yang membuat Ghina jatuh dari tangga? Apa dia jatuh sendiri atau ada yang sengaja mendorongnya?" Nada suara Jovan semakin dingin, aura gelap menyelimutinya. Amarah, kekesalan, dan kekecewaan meluap, ingin rasanya ia membunuh pelaku yang telah mendorong Ghina.
"Kata pembantu..." Asisten Lu berbisik. Penjelasannya membuat mata hitam Jovan terbelalak. Jawaban Asisten Lu benar-benar mengejutkannya. Kemarahan tercetak jelas di wajah Jovan, membuat Asisten Lu sedikit takut dan cemas.
Beberapa jam berlalu, Ghina perlahan membuka matanya. Namun, semangat hidupnya seolah sirna. Dua minggu kemudian, Ghina sudah bisa pulang, tetapi keceriaannya telah menghilang.
"Sayang, kita pulang ya," kata Jovan lembut, membelai rambut panjang Ghina. Wanita itu hanya diam, menatap matanya.
Setibanya di rumah orang tua Jovan yang besar dan mewah, Jovan mengantar Ghina ke kamar tidur. "Sayang, kamu di sini dulu. Mas mau turun sebentar, mau masakin makanan kesukaan kamu," ucap Jovan penuh cinta, mencium kening Ghina yang terbaring pasrah.
Jovan menuju tangga. Raut wajahnya yang marah membuat para pembantu sedikit ketakutan. "Hei, kamu!" panggil Jovan, menunjuk salah satu pembantu muda.
"Ya, Tuan Muda?" Ia berdiri di hadapan Jovan, menundukkan kepala ketakutan.
"Mana Ibu dan Ayah saya?"
"I-bu sama Ayah Tuan ada di halaman belakang," jawab pembantu wanita itu terbata, menunjuk ke rumah kaca yang dipenuhi bunga.
Tanpa bertanya lagi, Jovan bergegas ke sana setelah menyuruh pembantu itu menjaga Ghina di kamar.
"MAAAA...!"
Deg!
Seorang wanita paruh baya yang masih tampak cantik terkejut. Ia perlahan berbalik, berdiri tegap di hadapan putra semata wayangnya.
"Jovan...? Kau sudah pulang? Mau bantu Mama sama Papa memetik bunga?" tanya seorang pria tua menghampiri istri dan anaknya. Di tangan kanannya, terdapat gunting khusus bunga.
"Jovan pulang bukan untuk membantu, tapi ingin tahu apa alasan Mama mendorong istriku dari tangga?! Kenapa Mama sejahat itu mendorong Ghina, Mah?!" bentak Jovan, membuat ibunya segera berdiri di samping suaminya.
"Kau salah, Jovan. Mama tidak pernah mendorongnya," bantah Renata.
"Jovan, kau baru saja pulang. Kau tidak seharusnya menuduh Ibumu seperti itu, Nak," tegur Robert Jexson.
"Papa, apa Papa tidak tahu? Gara-gara Ghina jatuh dari tangga, Jovan kehilangan anak, dan Ghina tidak akan bisa hamil lagi. Ini semua salah Mama, Mama yang membunuh calon cucunya sendiri, Pa!!!" Ungkap Jovan lantang, membuat kedua orang tuanya terperanjat.
"Itu artinya keluarga kita tidak dapat penerus baru?" Robert syok, menyentuh dadanya.
"Jovan, Mama bersumpah tidak pernah mendorong Ghina! Tuduhanmu ini salah dan fitnah besar!" Renata membantah serius. Air matanya berlinang melihat putra yang ia lahirkan setega itu menuduhnya.
"Halah... Mama kan tidak suka Ghina. Makanya Mama berani begitu. Jovan kecewa sama Mama!" tambah Jovan penuh benci. Ia pergi dari rumah kaca, tak tahan mendengar tangisan ibunya.
"JAHAT KAU, JOVAN!" pekik Renata sakit hati. Robert memeluk istrinya yang hampir pingsan. Pria tua itu bingung, rasanya ingin marah tapi percuma, calon cucunya tak akan hidup lagi.
"Papa, Mama sungguh tidak mendorongnya. Papa percaya, kan? Papa tidak marah, kan, sama Mama?" Isak Renata.
"Kalau begitu, bagaimana Ghina bisa terjatuh, sayang?" tanya Robert, mendudukkan istrinya di kursi taman.
"Saat itu Mama mau ke dapur. Mama melihat Ghina jatuh sendiri, lalu Mama cepat-cepat mendekatinya dan minta pembantu telepon ambulans, Pa," jelas Renata. "Lagipula, kalau Ghina tidak bisa hamil lagi, Jovan kan bisa nikahi wanita lain," lanjut Renata, sedih kehilangan cucunya tapi tidak terlalu memikirkannya karena dia memang tidak begitu menyukai Ghina dari awal. Berbeda dengan Robert yang menyukai Ghina dan Jovan sebagai pasangan serasi, karena Ghina adalah anak sahabatnya.
"Mama, kalau Papa di posisi Jovan, terus Mama sebagai Ghina, memang Mama mau diduakan, hm?" ucap Robert, merasa istrinya terlalu mudah menyuruh anaknya menikah lagi.
"Ya janganlah! Mama kan cinta sama Papa. Masa Mama sebodoh itu mengizinkan Papa nikah lagi," celutuk Renata, berdiri.
"Jadi, apa solusi Mama supaya kita punya pewaris?" tanya Robert serius. Renata diam, tak tahu harus menjawab apa.
"Hiks... Papa jahat! Kasih pertanyaan kok yang itu!" Renata menangis lagi, memukulkan tangannya ke dada suaminya.
"Makanya, mulutnya itu dijaga, sayang." Robert mencubit gemas bibir istrinya, lalu mengajaknya masuk karena cuaca mulai mendung. Awan hitam tampak memenuhi langit.
Rintik hujan jatuh perlahan membasahi bumi, lama-lama hujan turun deras. Hal yang sama terjadi pada Ghina yang belum tenang dari kesedihannya. Di sisinya, Jovan berusaha menenangkannya lagi.
"Kasihan Nona Ghina, belum ada setengah tahun mereka menikah tapi sudah mendapat kemalangan dari keluarga ini," gumam salah satu pembantu, tak tega mendengar tangis dan jeritan Ghina.
"Apa mungkin keluarga ini pernah dikutuk?" Seorang pembantu lain tiba-tiba menyela.
"Dikutuk bagaimana? Kamu jangan berpikir begitu!" ketus pembantu pertama.
"Yah... siapa tahu keluarga ini dikutuk hanya sampai generasi ketujuh. Apalagi Tuan Jovan adalah generasi ketujuh. Dia bisa saja menjadi generasi terakhir untuk mewariskan semua kekayaan keluarga yang sudah turun temurun ini," jelas pembantu kedua.
"Ekhem... sebaiknya kalian bekerja daripada bergosip di sini. Dan untuk kau, sekarang juga dipanggil Tuan ke ruangannya," sahut Asisten Lu tiba-tiba sudah berdiri di samping kedua pembantu itu, membuat mereka terperanjat kaget. Namun, pembantu kedua mulai cemas karena dialah yang memanggil ambulans, alias yang melihat Renata di dekat Ghina yang pingsan.
Benar saja, pembantu itu dipecat. Dari hasil CCTV, Ghina jatuh sendiri, bukan karena ulah Ibu Jovan. Pembantu itu memohon agar tidak dipecat, tapi Jovan tidak mau lagi mempekerjakan orang yang telah memfitnah keluarganya.
"Bajingan, kalian semua keluarga bajingan!" gerutu pembantu itu mengumpat setelah diusir. "Memang pantas mereka mendapatkan kemalangan itu!"
Jdaarr!
Petir menggelegar dahsyat, membuat pembantu itu cepat-cepat pergi.
"AKHHH... KAK SALWA TAKUUUT!" pekik Vara, keluar dari kamar karena lampu tiba-tiba mati. Bahkan satu kota padam.
"Woii... kutu, Kak Seina lagi tidur. Kamu bisa diam tidak sih?" Teriak Gara yang keluar dari kamar Seina.
Vara menghampiri Gara dengan cepat, dan sontak remaja itu terkejut karena Vara tiba-tiba memeluknya.
"Tolongin aku..." tangis Vara ketakutan.
"Cih... lepasin tidak?!" Gara menarik paksa tangan Vara, tapi Vara menggeleng, semakin erat memeluk Gara yang tanpa memakai baju.
"Astaga, selain cupu, kau ternyata penakut sama petir!" celutuk Gara, mendesis sebal.
"Aku tidak takut pada petir, aku takut gelap. Kamu yang tidak tahu sebenarnya, mending diam saja!" Omel Vara, menatap Gara yang menyoroti wajahnya dengan senter.
Gara sejenak terdiam, melihat dari mata sayu Vara seperti menyembunyikan alasan ketakutannya pada kegelapan. Tentu saja Vara takut, masa lalunya begitu kelam. Dari kegelapan ini, Vara teringat kematian orang tuanya yang dibunuh saat mati lampu.
Tiba-tiba, suasana berubah setelah jeritan terdengar dari kamar.
"Ihhhh siapa itu? Apa jangan-jangan hantu?"
"Dihh ngaco! Mana ada hantu, bodoh! Suara itu dari jeritan kakak aku yang bangun akibat kamu!" sentak Gara. Ia segera masuk, disusul Vara yang berdiri di belakang.
"Kak, kau kenapa?" tanya Gara cemas.
"Sakiiit.... perut kakak sakiittt... tolong bawa kakak malam ini ke rumah sakiit," mohon Seina dengan napas terengah-engah, tangannya mengusap-usap perutnya. Vara menelan ludah melihat perut Seina yang amat besar.
Atas permintaan Seina, Gara menghubungi Salwa yang masih di rumah sakit. Setelah memastikan rumah sakit bisa beroperasi tengah malam ini, Gara secepatnya membawa Seina ke tempat Salwa. Ia memakai mobil sewaan dan menyetir sendiri.
Tindakan untuk Seina jelas mendesak. Kini Gara terus mondar-mandir di depan ruang operasi persalinan. Air mata remaja itu sesekali menetes, memikirkan nyawa kakaknya dan ketiga anak kembarnya. Sampai-sampai Vara yang duduk di sana merasa terkesima pada kegigihan Gara yang hampir setahun ini bekerja keras demi kehidupannya dan Seina. Remaja itu juga sering membantu Salwa membayar tagihan listrik dan air.
"Beruntung sekali perempuan yang menjadi istrinya Gara. Dia cowok yang baik, gigih, dan sayang pada kakaknya. Walau dia cuek dan lumayan jutek, tapi dia ganteng," batin Vara tersenyum sendiri, namun sesaat kemudian gadis itu menampar wajahnya. "Bodoh, ada orang yang lagi meregang nyawa malam ini, tapi kamu bisa-bisanya memikirkan dia. Dasar bodoh kamu, Vara!" gerutu Vara.
Tidak lama kemudian, terdengarlah tangis bayi yang begitu indah secara bergantian. Air mata Salwa yang tertahan sejak tadi pun jatuh mengenai pipinya melihat tiga bayi kembar itu terlahir sehat dan lucu-lucu. Gara menutup wajah dan berusaha mengatur perasaannya, tapi embun yang turun ke wajah tampannya menjelaskan betapa senang dan bahagianya ia. Namun kini perhatiannya teralih pada kondisi Seina.
"Mbak Salwa, apa yang terjadi pada kakak saya? Kenapa Kak Sei tidak bangun-bangun juga?" Gara cemas melihat mata Seina terpejam. Sementara baby twins diurus oleh dokter bersalin.
"Kakak saya baik-baik saja kan, Mbak?" tanya Gara lagi, di samping Vara yang juga khawatir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
C2nunik987
smoga triplets baik baik saja kelak cerdas Tampan cantik dan bisa bls dendam ke Daddy Jovan 😅😅😅
2024-12-25
0
Birru
semoga baik baik saja
2024-06-17
0
Yu Nana
Semoga baik2 aj y
2024-06-05
1