NovelToon NovelToon

Dia Lelakiku

Tak di inginkan

Menikah dengan orang yang di cintai adalah keinginan semua orang tak terkecuali dengan Meta Tantiana.

Gadis manis itu akhirnya bisa melabuhkan cintanya pada lelaki pujaannya yang merupakan cinta pertamanya, Dipta Prayoga.

Bagi Meta, Dipta adalah dunianya. Ia yang sudah membayangkan indahnya kehidupan pernikahan perlahan justru harus sering meneguk pahitnya rasa kecewa.

Itu semua di karenakan ... Dipta tak pernah memperlakukannya seperti seorang istri.

Bahkan, usia pernikahan yang sudah menginjak enam bulan Meta belum sekali pun merasakan indahnya malam pertama.

Alasan yang selalu di berikan Dipta hanya, ia belum siap.

Kecewa tentu saja. Ada rasa rendah diri yang di alami Meta.

Apa dia tak cantik?

Apa dia tak menarik?

Apa dia ... Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan berkecamuk di benaknya.

Dipta yang ia kenal sejak kecil selalu bersikap baik dan menyayanginya, entah kenapa berubah drastis setelah mereka justru telah menikah.

.

.

"Aku ada lembur nanti Met, kamu ngga usah nunggu. Dan please, jangan tidur di sofa, badan kamu berat. Jujur aku cape kalau harus selalu mindahin kamu," keluh Dipta pagi ini yang membuat gerakan tangan Meta yang tengah membuka kaleng selai terhenti.

"Maafin aku Dip, ngga tahu kenapa kalau kamu belum pulang perasaan aku ngga tenang," jawab Meta sendu.

Tak ada panggilan sayang atau mas seperti pasangan yang lainnya. Sebenarnya Meta sudah pernah mencoba tapi Dipta menolak, dia merasa geli dengan panggilan itu katanya.

Geli? Apa di panggil istri dengan sebutan mas terdengar menggelikan?

"Lah nyatanya kamu bisa tidur. Kalau enggak, kamu beli sofa aja buat di kamar, mungkin kamu lebih suka tidur di sofa dari pada di ranjang," ejeknya.

Meta tersenyum kaku. Tak ada perbincangan lagi setelah itu, dulu Meta menganggap semua perkataan Dipta itu hal biasa.

Namun entah kenapa, akhir-akhir ini Meta merasa sensitif. Dia merasa jika Dipta sengaja sedang memojokkannya secara tak langsung.

"Tadi mamah telepon," ucap Meta sembari mengoles selai di rotinya.

Dipta yang tengah menguyah lantas menghentikan kegiatannya setelah mendengar ucapan sang istri.

"Ya seperti yang kamu pikirkan, dia bertanya apa aku sudah hamil?" cibir Meta yang merasa ironi dengan kehidupan rumah tangganya.

Dipta meletakan rotinya secara kasar. "Aku lelah di atur terus oleh mamah, tak bisakah dia berhenti? Aku udah nurutin apa yang dia mau!" sentaknya.

Mendengar ucapan sang suami tubuh Meta bergeming. Entah kenapa dia merasa jika ada makna tersembunyi dari ucapan suaminya itu.

Apa maksud Dipta, dia menikahiku karena keinginan mamahnya?

"Aku belum siap Met, kamu tahu itu!"

"Kenapa Dip? Adakah aku salah? Aku kurang menarik? Atau kurang agresif. Maafkan aku karena aku memang—"

"Aku belum siap memiliki anak!"

"Aku bisa ikut KB kalau itu maumu. Aku lelah Dip, kamu ngga tau gimana perasaanku selalu di tanya sama mamah. Apa kamu mau aku jujur!" ancam Meta.

Dipta bangkit berdiri. Lelaki yang sudah menjadi suami Meta selama enam bulan itu menatap sang istri sengit.

"Apa kamu ngga mau menunggu Met? Apa semua harus sesuai kemauan kamu?"

Meta merasa di pojokkan, entah kenapa ucapan suaminya seolah dirinya-lah yang egois di sini.

.

.

Setelah perdebatan singit pagi tadi, Meta hanya bisa mengeluh pada kakaknya, yang tak lain merupakan sekretaris suaminya juga.

"Sorry ya Met kakak terlambat. Suami kamu ngasih kerjaan ngga kira-kira," ucap Jelita setelah meneguk minumannya.

"Thanks, kamu emang selalu tahu yang aku suka," sambungnya.

Meta yang memang sedang banyak pikiran hanya bisa tersenyum kaku. Jelita yang paham dengan raut wajah sang adik lalu menggenggam tangannya.

"Kenapa lagi hemmm? Apa suami kamu itu buat masalah?" tebak Jelita yang tepat sasaran.

Meta mengangguk, hanya pada sang kakak dia berani bercerita. Jika dengan ibunya dia khawatir sang ibu akan langsung marah pada suaminya.

Jelita, gadis cantik itu memang sangat sesuai dengan namanya. Mata yang bulat dan jernih, dia seperti sosok peri dalam cerita dongeng.

Jelita menggenggam tangan Meta. "Apa masih dengan masalah yang sama?"

Meta mengangguk, tak lama air matanya pecah. Jelita yang panik segera pindah tempat duduk dan duduk di sebelah adiknya.

Jelita memeluk tubuh sang adik. Hanya itu caranya menenangkan adiknya yang tengah kalut.

"Aku ngga menarik ya ka? Apa aku terlalu kurus? Atau kenapa ka? Kenapa Dipta berubah seperti ini?"

"Enggak, mungkin dia butuh waktu Met. Ingat dia selalu bersama kita sejak kecil, mungkin dia masih menganggapmu adik kecilnya."

"Aku bukan adiknya ka, aku istrinya!" pekik Meta histeris.

Jelita melepaskan pelukannya dan menatap sang adik.

"Beri dia ruang. Jika kamu selalu menuntut seperti ini kakak takut Dipta jengah."

"Ka kamu ngga tahu perasaanku, aku lelah, apa salahku? Apa karena perjodohan ini? Kalau iya, bukankah dia bisa menolaknya? Aku tak mengerti dengan pikirannya!"

Jelita menarik napas panjang, "Aku juga ngga bisa bantu banyak Met. Dipta ... Sulit di tebak."

Meta mengusap air matanya kasar. "Apa mungkin Dipta mencintai wanita lain Ka?"

Jelita lalu menggeleng, "Kakak ngga tahu Met, semoga aja enggak."

"Tapi akhir-akhir ini dia semakin menghindariku Ka. Hatiku sakit. Kalau aku ada salah harusnya dia mengatakannya padaku dan kita selesaikan semuanya. Tapi enggak begini."

"Ok, kamu tenang ya, coba nanti kakak tanya sama dia baik-baik. Kamu harus lebih mengerti lagi ya. Perusahaan lagi banyak mengerjakan proyek. Banyak sekali yang harus di pikirkan Dipta—"

"Kamu, cobalah berlibur atau menenangkan diri sejenak. Kakak yakin Dipta ngga keberatan. Kita lihat setelah kamu ngga ada, apa dia berubah atau enggak, ok?" saran Jelita.

Meta terdiam. Berlibur untuk menenangkan diri bukan baru kali ini dia lakukan. Namun, tak pernah ada perubahan pada sikap Dipta.

Dipta memang tak pernah melarangnya menenangkan diri. Namun bukan itu yang Meta harapkan dia ingin sang suami berubah, tapi semuanya terasa sia-sia.

"Kakak harus balik, nanti kita ngobrol lagi bareng Vera ya. Dia juga kangen kamu loh, katanya udah lama kita ngga pernah kumpul bareng."

Meta hanya mampu tersenyum tipis. Vera? Sahabat yang tinggal satu kos dengan sang kakak itu lebih banyak menghabiskan waktu bersama sang kakak ketimbang dirinya.

Bahkan Meta merasa kini mereka semakin jauh. Justru Meta kini lebih dekat dengan Kiran teman bisnisnya.

Baru juga membahas sang sahabat, tiba-tiba ponselnya berdering. Tertera nama Vera di sana.

Jika dulu Meta sangat bersemangat saat menerima panggilan dari Vera, perlahan rasa itu menghilang dengan sendirinya.

"Iya Ver?" jawab Meta akhirnya.

"Kok kelihatan lesu gitu sih Met, kenapa say?"

"Kamu telepon karena di minta ka Lita Ver?" tebak Meta langsung.

Iya yakin sikap Vera saat ini pasti karena pemintaan sang kakak. Karena Vera tak pernah tiba-tiba menghubunginya seperti dulu.

Apalagi mendengar nada gugup sang sahabat yang dengan mudah Meta rasakan jika tebakannya benar.

"Aku baik-baik aja kalau itu yang mau kamu dengar. Ngga usah khawatir, aku ngga akan ngeluh kok Ver. Maaf ya ka Lita mungkin cemas sama aku."

"Bukan gitu Met, aku emang khawatir sama kamu kok. Apa kamu masih marah sama aku Met?"

.

.

.

lanjut

Fakta yang mulai terungkap

Flasback.

Meta yang tengah menangis di kosan sang kakak dan Vera tak sengaja mendengar ucapan sang sahabat pada kakaknya.

"Aku rasa Meta terlalu kekanak-kanakan. Aku jadi kasihan sama Dipta, dia pasti ngerasa punya adik kecil yang masih suka tantrum!"

Jelita lalu memukul lengan sahabatnya, menegur karena takut sang adik akan mendengar dan sedih.

Namun tanpa mereka sadari Meta mendengarkan keduanya. Meta pun tak berlalu dari sana karena tubuhnya terasa kaku.

Sakit sekali saat curhatanmu di anggap lebay oleh sahabat baikmu.

Meta merasa lemah, mungkin mereka bosan mendengar ceritanya.

"Meta?" ucap Jelita dan Vera dengan mata terbelalak.

"Aku pulang dulu ka. Maaf udah ganggu kakak sama Vera," lirihnya.

"Met tunggu Met, kakak mohon kamu jangan salah paham ya," ucap Jelita yang merasa tak enak hati.

Vera sebenarnya merasa bersalah. Namun dia malu untuk mendekati Meta. Dia tahu Meta pasti terluka dengan ucapannya.

"Ngga papa kak, aku lelah aja. Bentar lagi Dipta pulang lebih baik aku segera pulang."

Back to story.

"Met?" panggil Vera karena tak ada jawaban dari sahabatnya.

"Ah, iya nanti aku pikirkan Ver, sekarang aku sibuk," jawab Meta.

"Maafin aku Met, aku memang tak pernah meminta maaf langsung padamu, aku harap kita bisa kaya dulu lagi. Jujur aku ngga tahu kenapa dulu bisa ngomong kaya gitu sama kamu."

"Ngga papa Ver, aku emang terlalu terbawa perasaan. Aku ngerti kok, kamu ngga salah, orang juga kadang bisa bosan kalau selalu mendengar keluhan orang lain tentang masalah yang sama kan?"

"Met ngga gitu. Tolong Met, kita udah kenal sejak kecil, masa karena masalah kaya gini kamu menjauh?" rengek Vera.

Meta menghela napas panjang, dia tahu mungkin dirinya di anggap ke kanak-kanakan karena merasa tersinggung dengan ucapan Vera kala itu.

Namun mereka tak mengerti bagaimana rasanya jadi dirinya yang di abaikan sang suami.

Dia yang mengenal sosok Dipta tiba-tiba merasa asing. Lalu saat tengah menceritakan keluh kesahnya dirinya di anggap kekanak-kanakan, siapa yang mentalnya tak jatuh.

Sekarang Meta berusaha menerima kritikan dan mencoba merubah diri.

Dia tak membenci Vera, hanya saja berusaha dewasa seperti saran mereka.

"Ngga Ver, aku beneran sibuk, sekarang aku kerja di tempat teman," jawab Meta jujur.

"Kerja? Sejak kapan Met? Kok aku ngga tahu, biar pun kamu ngga pernah lagi curhat sama aku, aku selalu tahu kabar kamu dari Jelita. Tapi dia ngga pernah ngomong kalau kamu kerja?" cecarnya.

"Ah maaf Ver, aku juga baru magang beberapa hari kok."

"Dipta tahu?"

Meta menghela napas, "Iya dia tahu."

"Kok bisa Jelita ngga cerita. Apa jangan-jangan kalian sedang menjauhiku?" tuduhnya.

"Ngga semuanya Jelita harus tahu kan Ver. Lagi pula bukan sesuatu yang penting. Ya udah aku kerja dulu ya Ver."

Saat Vera hendak menjawab, panggilannya sudah di matikan sepihak oleh Meta.

Vera lantas berdecak sebal. "Kamu belum berubah Met, masih aja ngambekan. Aku malah khawatir lama-lama Dipta jenuh sama kamu. Aku kangen kamu Met," lirihnya.

Meta di seberang sana lalu menatap Kiran yang sejak tadi mendengar obrolan rekannya itu.

"Kenapa?"

"Makasih ya Ran, kamu mau jadi temanku. Semoga kamu ngga jenuh sama ceritaku," lirih Meta.

Kiran terkekeh, lalu dia kembali menepuk tangan temannya.

Kiran adalah teman semasa SMA Meta. Mereka saling kenal tapi tidak akrab, karena memang mereka beda kelas.

Namun kini keduanya di pertemukan kembali saat Kiran yang seorang pembisnis tengah mencari seorang desainer untuk koleksi butiknya.

Meta yang jenuh ikut mendaftar meski dia tak pernah sekolah di bidang itu. Namun untuk urusan fashion dia terbilang cukup berbakat.

Tak menyangka jika keduanya adalah teman saat remaja, membuat keduanya cepat beradaptasi dan akrab.

Kiran yang dewasa bisa mengayomi Meta yang terkadang masih bersikap cengeng.

Namun kini, berkat Kiran, Meta jauh bisa bersikap dewasa, tak mudah mengeluh dan menangis.

Sebenarnya itu yang di butuhkan oleh Meta. Harusnya Jelita dan Vera bisa melakukan hal itu untuk mendewasakan Meta. Bukan malah memojokkan dirinya.

Saat tengah menggambar, tiba-tiba ponselnya berdering, tertera nama Jelita di sana.

Lagi-lagi Meta sudah paham pola sang kakak dan sahabatnya.

Dulu dia benar-benar buta akan hal itu, tapi setelah berteman dengan Kiran, banyak hal yang membuatnya sadar jika sang kakak lebih dekat dengan sahabatnya.

"Met, kamu di mana?"

"Ada apa Ka?"

Terdengar Jelita menghela napas, sedikitnya Meta sudah tahu apa yang hendak di katakan kakaknya itu, tapi dengan sabar dia menunggu.

"Kamu di rumah?"

"Enggak," jawab Meta pendek. Dulu dia selalu menjelaskan tanpa di minta, kini dia mulai berubah sikapnya itu.

Di seberang sana Jelita mengernyit heran, tak biasanya sang adik bersikap menjauh seperti ini.

"Kamu marah Met?"

Meta terkekeh, "aku marah kenapa ka? Ya udah, aku tutup dulu ya ka, bukannya kakak lagi banyak kerjaan?"

"Kamu telepon siapa sayang?" tubuh Meta menenggang mendengar suara di seberang sana.

Tak lama panggilannya diputus sepihak oleh sang kakak.

Setelahnya Jelita mengirim pesan jika itu suara rekan kerjanya yang memanggil sayang pada rekannya yang lain.

Dia harus mengantarkan berkas ke atasannya yaitu Dipta. Tulisnya.

Namun entah kenapa, Meta seperti tak yakin dengan pembelaan sang kakak.

Instingnya sebagai seorang istri mengatakan ada yang tak beres di antara keduanya.

Tapi apa benar?

"Hei kenapa ngelamun? Kalau kamu lelah, lebih baik kamu istirahat aja," saran Kiran.

"Ran, apa mungkin suamiku selingkuh dengan kakakku?"

"Hah? Maksudnya? Kamu bisa jelaskan kenapa tiba-tiba kamu ngomong kaya gini?"

Meta menggeleng dan tersenyum kaku. Dia tak berani mengutarakan pendapatnya, meski hati kecilnya ingin menuntut lebih.

Dia teringat sang kakak pernah bercerita tentang kekasihnya dan dia juga pernah melihat Jelita di peluk oleh seseorang yang cukup tampan di sebuah restoran.

Hanya saja, Jelita tak pernah mau mengenalkan lelaki itu padanya atau orang tua mereka.

Alasan yang di berikan memang masuk akal, lelakinya belum cukup mapan dan dia khawatir akan mendapatkan penolakan dari ibu mereka.

Berbeda dengan dirinya dengan Dipta yang memang di restui dan di jodohkan oleh kedua belah pihak karena mereka kenal sejak kecil.

Kiran yang dewasa tak memaksa sang teman untuk bercerita. Dia memberikan ruang bagi Meta untuk memikirkannya terlebih dahulu, bisa saja itu hanya sekedar prasangkanya saja.

"Kamu harus tenang, kalau memang baru dugaanmu, aku harap kamu ngga tiba-tiba mencurigai mereka. Waspada boleh, karena memang banyak kasus seperti itu, apalagi katamu kakakmu adalah sekretaris suamimu kan?"

"Tenang diri kamu dulu deh, kamu mau aku anter balik apa gimana?"

"Eh ngga perlu bos, aku pesan taksi aja," tolaknya.

"Apa aku harus belajar nyetir ya? Agak repot juga kalau kaya gini," kelakarnya.

"Tuan putri kayak kamu pantesnya duduk anggun di belakang supir shay!" keduanya lalu terkekeh.

"Ya udah aku pulang dulu ya, nanti coba ku kerjain di rumah, thanks ya Ran."

"Always, see you."

Saat pulang Meta terkejut karena melihat keberadaan sang suami di rumahnya. Setelah kejadian tadi, kini dia memahami sesuatu.

Pola yang sama yang sering dia abaikan selama ini.

Ya, jika dia ada masalah dengan Jelita, maka entah bagaimana sang suami akan bersikap baik dan memperhatikannya.

Lalu secara perlahan memintanya mengalah dan kembali berbaikan dengan Jelita, meski itu hanya masalah sepele.

Entah apa yang Jelita ceritakan pada suaminya. Dulu Meta pikir suaminya sangat baik karena selalu menjadi penengah antara dirinya dan sang kakak.

Namun kini, Meta menyadari jika Dipta melakukan itu bukan untuk menengahi dirinya dan sang kakak tapi menenangkan Jelita.

.

.

.

Lanjut

Terkuak

"Kamu pulang Dip? Bukan kah kamu bilang lembur?" tanya Meta santai.

"Ah iya harusnya, tapi ternyata atasan minta di tunda," alibinya.

Tak ada tanggapan dari Meta, wanita manis itu merasa semuanya hampa, rasa cinta yang menggebu-gebu tak bisa dia rasakan lagi karena rasa curiganya.

"Mau makan malam di luar?" ajak Dipta tiba-tiba.

Meta berbalik dan merasa heran karena sang suami mau masuk ke kamarnya.

Ya selama ini mereka selalu pisah kamar. Alasannya Dipta takut mengganggu istirahat Meta.

Dipta lalu menatap kamar sang istri yang bernuansa cokelat. Dia cukup kagum dengan dekorasinya.

Dipta lalu tersenyum saat melihat sebuah bingkai foto pernikahan mereka yang besar di pajang oleh Meta.

Harusnya figura itu di pasang di ruang tamu, tapi Dipta melarang, dia berkata jika tak cocok dengan nuansa ruanga tamu mereka.

"Aku lelah," tolak Meta.

Dipta yang mendengarnya terkejut bukan main, pasalnya, baru kali ini sang istri menolak ajakkan-nya.

Biasanya Meta akan menyambutnya dengan suka cita bahkan akan berbicara tanpa henti dan membuat Dipta muak.

"Kamu nolak?" tanya Dipta tak percaya.

"Aku lelah, tugas dari Kiran juga belum aku selesaikan. Sorry," jelasnya.

Meta melewati sang suami menuju lemari pakaiannya. Dia ingin membersihkan diri dan setelahnya beristirahat, alasan belum mengerjakan pekerjaan dari Kiran hanya sebuah alibi baginya.

Dipta mencekal lengan sang istri membuat Meta mengernyit heran.

"Kamu salah paham, tadi itu bukan suaraku," ucap Dipta tiba-tiba.

"Apa maksudmu?" jawab Meta pura-pura tak mengerti.

"Yang kamu denger di telepon Jelita tadi bukan aku?"

Meta tertawa, sebenarnya dia merasa miris. Namun demi sebuah misi dia tetap berpura-pura bodoh.

"Aku ngga ngerti apa maksud kamu Dip? Memang Jelita bilang apa ke kamu?"

Dipta justru salah tingkah, ternyata ketakutannya dan Jelita sangatlah tak masuk akal karena terlihat jika Meta justru yang kebingungan.

"Oh ya udah, Maksud aku Jelita cerita katanya kamu berubah," elak Dipta.

"Memang Jelita ngomong apa sama kamu?" ulangnya lagi.

"Kamu ngga cerita kalau kamu kerja?"

Meta mengedikkan bahu, "aku kira dia pasti sudah tau dari kamu. Bukankah apa pun yang terjadi sama aku kamu pasti melaporkannya pada Jelita?"

"Meta ... Kamu berpikir seolah-olah—"

"Bukankah kalian mencemaskan aku?" sela Meta yang muak dengan kebohongan sang suami.

"Aku mau mandi Dip."

Dipta yang di todong sang istri hanya bisa melongo. Meta yang kesal lalu melirik pintu.

"Ah iya, astaga," jawabnya dengan wajah memerah.

Setelah Dipta keluar Meta bergegas membersihkan diri.

Dipta sendiri masuk ke dalam kamar. Dia menyadari sikap sang istri semakin berubah dingin.

Dipta mengerang frustrasi. Dia lalu memilih membuka laptopnya untuk melihat pekerjaannya tadi.

Fokusnya terpecah, dia tak bisa konsentrasi sama sekali.

Entah kenapa perubahan sang istri membuatnya tak nyaman. Meski dulu dia sendiri yang merasa terganggu dengan sikap Meta yang manja dan cengeng.

Namun saat Meta bersikap cuek dan dingin, dia justru merasa tak senang.

Tak berselang lama, ponselnya berdering. Perasaan yang tadi kacau tiba-tiba saja musnah begitu saja.

Dia segera mengangkat panggilan itu.

Tanpa Dipta sadari pintu kamar yang tak tertutup sempurna membuat Meta bisa mendengar percakapannya.

"Halo sayang? Kamu pasti cemas ya? Maaf aku baru selesai ngecek kerjaan tadi."

Dunia Meta terasa runtuh. Lelaki yang dia nikahi enam bulan lalu ternyata memiliki wanita idaman lain.

Siapa dia?

Apa ini alasan Dipta tak mau menyentuhnya?

Lalu kenapa Dipta menikahinya?

Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak Meta. Inginnya dia melabrak sang suami saat itu juga.

Namun dia sadar, dirinya tak boleh gegabah. Dia tak tahu apa yang membuat Dipta menikahinya.

"Ngga ada yang perlu kamu cemasin Je, dia ngga dengar apa-apa, kamu mungkin yang terlalu sensitif."

Je? Jelita maksudnya?

"Kamu kenapa? Aku segera ke sana!"

Saat mendengar kepanikan sang suami, Meta bergegas pergi dari sana.

Dia segera menghubungi pak Cipto, supir pribadinya untuk segera bersiap.

Cipto yang memang harus siap sedia tak mengeluh mendengar nona mudanya memintanya bersiap.

Dipta salah tingkah saat melihat sang istri tengah duduk santai di ruang keluarga.

"Eh Met, sorry ada berkas yang tertinggal di kantor. Aku ambil dulu ya," dustanya.

Meta yang sibuk dengan ponselnya hanya mengangguk. Meski heran, lagi-lagi Dipta harus menelan kecurigaannya sendiri. Sebab seseorang di seberang sana tengah membutuhkannya.

Konsentrasi Dipta saat menyetir terbelah, lagi-lagi dia memikirkan sikap Meta yang semakin aneh menurutnya.

Dulu, Meta akan membuat drama yang panjang saat dirinya akan keluar setelah pulang kerja.

Terkadang, bahkan dia harus menggagalkan rencananya, karena meta menggunakan sang mamah sebagai senjata untuk menghentikan kegiatannya.

Namun kali ini, Meta terlihat tak peduli.

"Ada apa denganmu Met? Apa kamu sudah tahu?"

"Tidak, kamu enggak boleh tahu dulu Met," monolognya.

Dipta tiba di sebuah kosan mewah. Tanpa dia sadari jika Meta juga sudah berada di belakangnya.

Dipta pasti tak menyangka, sebab Meta meminta sang sopir mengganti mobil milik tetangganya tadi.

"Mau apa kamu ke sini Dip? Apa benar sesuai prediksiku? Jika benar mengapa Dip?"

Benar saja tak lama Dipta keluar sambil memapah Jelita.

Hati Meta semakin hancur. Ia yang ingin tak mempercayai penglihatannya, tapi tak kuasa menolak kebenaran yang ada.

Pak Cipto yang tahu kesakitan hati nona mudanya lantas memberikan sebuah tisu padanya.

"Coba di cari tahu dulu Non, jangan berpikiran buruk dulu," nasihatnya.

Bukan hanya sang suami yang terlihat mencemaskan kakaknya, terlihat di sana juga ada sang sahabat yang ikut membantu kakaknya.

Setelah Dipta membawa masuk Jelita ke dalam mobilnya. Meta lalu sengaja membuka jendela mobilnya.

Vera yang melihat keberadaan sang sahabat, syok bukan main. Tubuhnya menegang, otaknya tak bisa berpikir jernih untuk bergegas menghampiri sang sahabat yang memandang datar dirinya.

"Meta? Mampus aku!"

Tanpa ingin bertanya pada sang sahabat, Meta segera meminta Pak Cipto untuk berlalu dari sana.

Barulah tubuh Vera bisa di gerakan dan dia berusaha mengejar mobil Meta untuk menjelaskan.

Karena dia tak bisa menyusul mobil Meta, Vera menerang frustrasi.

"Selesai udah! Ah pusing aku!"

Meta kembali mengikuti mobil sang suami. Ternyata mereka menuju rumah sakit.

Air mata meluncur begitu saja saat dia kembali melihat sang suami membantu sang kakak untuk berbaring di ranjang ruang UGD.

Apa yang membiatnya sakit, yaitu Dipta yang mencium kening Jelita.

Beuntung semua di abadikan oleh Meta dengan ponselnya. Ia tak mau berbicara tanpa bukti.

Cipto yang tadi berusaha berpikir tenang, kini tak bisa lagi membela suami dan kakak majikannya itu.

Terlihat jelas di sana jika kedua orang itu memiliki hubungan yang spesial.

Tak lama Dipta keluar dan mencari sesuatu sambil memegang ponsel di telinganya.

Dia tahu sang suami mencarinya. Jadi dengan sengaja meta kembali membuka jendelanya kacanya dan meminta Pak Cipto untuk jalan tanpa berhenti.

Melihat keberadaan sang istri yang menatapnya dengan datar, Dipta segera berlari menyusul Meta, tapi sayang Meta tak memedulikannya.

Ponsel Meta berdering, tertera nama sang suami di sana.

"Non yang sabar ya. Apa non ngga mau melaporkan ini sama nyonya?"

"Dan membuat Jelita tersingkir dari dunia ini pak?" jawab Meta yang membuat Cipto menghela napas.

Dia tahu nyonyanya tak sekejam itu, tapi entah untuk kesalahan yang satu ini.

Cipto telah lama bekerja di keluarga Meta. Dia dulu bahkan merasa kasihan pada Jelita yang sering di abaikan oleh nyonya mereka.

Bahkan dulu, dia sangat tahu bagaimana Jelita di salahkan jika ada sesuatu yang buruk terjadi pada Meta hanya karena gadis itu berada di sekitar nona mudanya

Apa ini balas dendamu non Jelita? Pikir pak Cipto.

.

.

.

Lanjut

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!