Dipta sampai ke rumah dalam keadaan kacau. Dia yakin sang istri tak ada di rumah.
Namun dia tak tahu harus ke mana mencari, jadi dirinya memutuskan pulang untuk menenangkan pikiran.
Tak lama Cipto pulang. Mendengar suara mobil milik sang istri Dipta bergegas keluar untuk melihatnya.
"Pak Cipto, di mana Meta?" cecarnya.
Cipto tetap berusaha tenang dan sopan. "Saya tidak tahu pak. Bapak jelas paham kapasitas saya sebagai seorang bawahan."
Dipta yakin Cipto tahu di mana keberadaan istrinya. Namun Dipta yakin Cipto tak akan mudah memberitahunya. Terlebih lagi Cipto bekerja pada mertuanya bukan dirinya.
Ia tak mungkin memaksa, karena sangat tahu seloyalitas apa sopir istrinua itu.
"Ya sudah, terima kasih pak," jawab Dipta lemah.
Dia kembali masuk ke dalam rumah. Kamar sang istri menjadi tujuannya.
Dia menatap setiap jengkal kamar sang istri yang baru dua kali ia injak.
Dipta duduk di ranjang sang istri dan menatap foto Meta yang tengah bersama dengan Jelita.
Dia sadar sudah sangat keterlaluan pada Meta. Namun apa mau di kata, dirinya tak mencintai Meta.
Dia menyayangi Meta selayaknya seorang adik meski ia tahu Meta sangat memujanya sejak kecil.
Meta yang ia kenal adalah gadis manis yang energic dan ceria. Mereka tumbuh bersama, hingga tak lama Jelita datang dan di kenalkan sebagai sosok kakak dari Meta.
Dia tak begitu tahu banyak, meski wajah keduanya tak begitu mirip, tapi jika di lihat sekilas, keduanya memiliki lekuk garis yang sama.
Jika Meta adalah gadis periang maka Jelita adalah kebalikannya. Gadis itu lebih cantik dari pada Meta, tapi raut wajahnya selalu sendu.
Entah dorongan dari mana, Dipta selalu merasa terikat dengan Jelita padahal dia lebih lama mengenal Meta.
"Maafin aku Met, harusnya enggak kaya gini. Aku akan melepasmu, bukan dengan cara seperti ini. Tapi kalau sudah seperti ini aku harus gimana Met?"
"Pulanglah Met, ayo kita selesaikan semuanya baik-baik. Kamu boleh membenciku, kamu boleh memakiku Met, tapi jangan begini. Kalau kaya gini rasa bersalahku malah semakin besar," lirihnya.
Dipta mengerang frustrasi, dia mengingat bagaimana wajah polos Meta saat malam pertama pernikahan mereka.
.
.
Tubuh Dipta mematung saat melihat siluet tubuh Meta yang sangat sempurna di balik lingeri hitamnya.
Menantang, jelas itu yang ada di benak Dipta.
Namun, dia tak mau mengkhianati cintanya pada Jelita.
Bohong jika dia tak terpancing oleh kemolekan tubuh sang istri, tapi sekuat tenaga Dipta tahan karena tak ingin menjadi lelaki brengsek yang meniduri wanita yang tidak ia cintai.
Kecewa, jelas Dipta sadar akan tatapan mata Meta saat dirinya menolak memberikan nafkah batin padanya.
Meski ada alasan yang ia berikan, senyum kaku Meta jelas tak bisa menutupi perasaan gadis itu kalau dia tak baik-baik saja.
.
.
Ponsel Dipta berdering, tertera nama Jelita di sana.
"Iya Je, kamu belum belum tidur? Kamu harus banya istirahat, jangan pikirkan apa-apa dulu nanti lambung kamu ngga sembuh-sembuh."
"Bagaimana sama Meta Mas, apa udah ketemu?"
"Kamu jangan pikirkan dia, mas yakin dia baik-baik aja. Berikan dia waktu untuk menenangkan diri."
"Tapi aku takut mas, bagaimana kalau mamih tahu," jawab Jelita cemas.
"Kamu jangan khawatir, urusan mamih biar nanti aku yang akan menghadapinya."
.
.
.
Di tempat lain, Meta tengah menatap langit di teras balkon kamarnya.
Dia bingung mengapa sang ibu bisa memilki tempat yang dia sembunyikan dari ayahnya.
"Mih, aku sekarang tahu kenapa mamih punya vila ini, apa rasanya sesakit ini Mih?"
Meta menghela napas, dia tak tahu harus bagaimana, ponsel sengaja dia matikan, karena itu adalah pesan sang ibu dulu kalau dirinya hendak menenangkan diri di sana.
"Mamih berharap, kamu ngga perlu datang ke tempat ini untuk menenangkan diri. Tapi kalau ternyata dunia terlaku kejam, bersembunyi-lah di sini. Matikan ponselmu agar tak ada yang mengetahui keberadaanmu."
Meta merasa jika sang ibu sepertinya bisa menebak jika suatu saat mungkin dirinya membutuhkan tempat ini.
Dia tak pernah tahu tempat ini, sang ibu justru memberitahu tempat persembunyiannya tepat tiga hari sebelum acara pernikahannya dengan Dipta.
"Apa mamih tahu kalau aku akan mengalami kejadian ini? Tapi kenapa mih? Kalau mamih tahu bukankah harusnya mamih menggagalkannya saja?"
Lelah dengan pikirannya sendiri, Meta memutuskan untuk beristirahat.
Besok dia akan mengabari Kiran. Sebenarnya dia tidak enak dengan Kiran karena sikap tidak profesionalnya.
Namun mau bagaimana, dia manusia biasa yang juga bisa rapuh karena sesuatu.
Meta berjanji, setelah ini tak akan lagi ada air mata. Dia tak tahu siapa yang salah, dirinya, Dipta atau Jelita.
Satu hal yang pasti, dia hanya merasa di curangi saja saat ini.
.
.
Keesokan harinya dengan wajah kusut Dipta bangun dan segera menuju dapur.
Seperti biasa, Bi Ina sudah menyiapkan sarapan di meja makan.
Pembantunya itu juga adalah pembantu yang di bawa Meta dari rumah ibunya.
Bi Ina tak banyak bicara. Bahkan seolah sudah tahu apa yang terjadi dengan dirinya dan sang istri.
Ina paham jika majikannya tengah memperhatikan dirinya. Namun dia berusaha mengabaikannya.
Cih, mau apa Anda Tuan? Mau bertanya di mana nona Meta sekarang? Maaf, sampai mati pun saya ngga akan memberitahu keberadaannya.
"Bi," panggil Dipta kaku.
"Iya Tuan," jawab Ina datar tanpa senyuman. Dipta baru menyadari jika Ina hanya bersikap ramah pada Meta, sedangkan dengan dirinya Ina terlihat sekali menjaga jarak.
"Ah tidak, bisakah bibi buatkan bubur dalam rantang?"
Ina mengernyit heran tapi tak urung tetap mengangguk.
"Buat siapa tuan?"
Dipta menggaruk belakang kepalanya. "Emmm ... Saya mau bawakan buat Jelita Bi."
Tak ada jawaban. Ina tak menjawab apa pun hanya mengangguk dan berlalu dari sana.
Dipta menghela napas kasar, sungguh dia kini merasa seperti seorang penjahat. Bahkan dia merasa tak ada harga dirinya sama sekali di hadapan pembantunya.
Setelah selesai menikmati sarapannya, Dipta memilih kembali ke kamar dan bersiap untuk berangkat kerja.
Saat akan bertanya pada Ina, sebuah rantang sudah berada di meja. Ia yakin itu adalah bubur buatan Ina yang tadi ia pesan.
Sebelum berangkat dia memutuskan untuk menjenguk Jelita terlebih dahulu. Meski tahu Jelita dapat makanan dari rumah sakit.
Dipta yakin jika sang kekasih tak akan suka makanan rumah sakit.
Saat memasuki kamar Jelita, dia hanya melihat keberadaan kekasihnya. Entah sedang berada di mana Vera.
"Je?" panggilnya lembut.
Jelita yang mengetahui jika Dipta telah datang tiba-tiba saja menangis membuat Dipta cemas bukan main.
"Kamu kenapa Je?"
"Mas, mamih," lirihnya.
Mendengar nama sang mertua, tubuh Dipta menegang.
Apa mertuanya telah mengetahui masalah rumah tangga mereka?
.
.
.
Lanjjut
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
🍾⃝ͩᴢᷞᴜᷰɴᷡɪᷧᴀకꫝ 🎸🎻ଓε🅠🅛⒋ⷨ͢⚤
moga aja ketahuan biar mamam tuh
2024-06-11
0
Soraya
harusnya dri awal Dipta jujur klo dia mencintai jelita
2024-06-09
0
Devi ana Safara Aldiva
lebih baik pisah saja daripada harus tersakiti terus menerus... biarkan dipta dan jelita bersatu, meta dengan lelaki yang bisa membuat kebahagiaan untuk meta
2024-06-07
1