Dulu pernah sekali dua kali berpikir, apakah berteman dengan dia adalah sebuah kesialan sejak kecil. Bahkan setelah keluar dari perut Bu Aiman, ibuku, dia orang ketiga yang tertangkap di mataku setelah ayah dan ibu. Ya, aku dan dia lahir dengan waktu dan tempat bersamaan, namun dari Rahim yang berbeda.
Aku tinggal di sebuah rumah yang terletak di pinggiran desa Semarang, dikelilingi oleh pepohonan yang rimbun dan udara segar yang mengalir menyegarkan. Rumahku memiliki halaman yang luas dengan taman kecil di depan rumah yang dihiasi dengan berbagai jenis bunga warna-warni. Di belakang rumah, terdapat kebun sayur yang dikelola dengan baik oleh ibuku, memberikan aroma segar yang menyenangkan di udara.
Jika ditanya kesukaanku apa, aku menyukai lingkungan rumahku, terasa damai dan tenteram, jauh dari keramaian kota besar. Desaku tempat tinggal yang menawarkan keheningan yang sesekali hanya terganggu oleh suara riuh rendah anak-anak bermain di sekitar atau suara gemericik air sungai kecil yang mengalir di dekatnya. Orang-orangnya saling mengenal satu sama lain dan memberikan suasana kekeluargaan yang hangat dan ramah.
Di tengah siang, aku sedang memanjakan tubuh di atas rumput kecil taman belakang rumah. Di bawah matahari, aku merasakan kehangatan yang pelan-pelan menyerap ke kulit. Mataku pun sudah hampir tertutup. Tiba-tiba ada teriakan kencang dari arah berlawanan.
"Ah! Ulat bulu, ulat bulu!"
Aku langsung terlonjak, berasa terkejut dari mimpi paling asyik.
"Apaan, sih? Ulat bulu doang, Eja, nggak usah dijadiin sehisteris itu," gerutuku sambil menyisir rambut yang kusut gara-gara tiduran. Tanpa berpikir panjang, aku buru-buru mengambil daun di sebelah untuk menyingkirkan si ulat. "Nih, udah aku buang. Tenang aja, Eja," ucapku sambil menunjuk daun tadi. Eja cuma melihat daun itu layaknya tatapan baru melihat hantu.
"Makasih," bisiknya pelan.
Aku hanya geleng-geleng, mikir, 'Bisa ya, ada cowok se-letoy Reza Ramadan.'
Jujur, sebenarnya banyak hal tentangnya yang sangat di luar nalar. Sesuatu yang seharusnya gampang untuk dihadapi semua laki-laki, tapi Eja justru menganggapnya sebuah kesulitan. Lalu siapa lagi yang membantu menyelesaikannya? Kalau bukan aku, saudari tak serahim yang baginya adalah darah dan udara untuk seorang Eja, sangat dibutuhkan.
Nama panjangnya Reza Ramadan. Kalian tahu kenapa dipanggil Eja? Karena dia mempunyai lidah tulen menjiwai Jawa. Huruf F dibaca P, contoh, Syifa menjadi Syipa. Huruf Z dibaca J, contohnya, namanya dan namaku sendiri. Dia selalu menyebut dirinya menjadi Eja, dan namaku Eliza menjadi Elija. Lidah Jawa sekali, bukan?
Aneh tapi nyata. Eja itu si fobia segala hal. Takut tanah basah, ulat, kaki tanpa sandal, bahkan rambut kering alias gimbal, sekiranya nampak tidak terawat, dia takut. Aku tahu pasti ada alasan di balik semua rasa takutnya. Tapi waktu itu usia kita masih menginjak 11 tahun, yang pastinya sulit buatku memahaminya.
Akan aku ceritakan satu per satu tentang Eja. Namun mungkin kupersingkat karena tidak mau buku ini habis menceritakan ratusan dramanya yang terlalu sia-sia untuk dituliskan. Karena masih banyak orang terpenting dalam hidupku yang akan kuceritakan nanti.
Dulu, entah sekarang masih ada atau tidak, setiap dua bulan sekali di musim panen, sebuah kebun besar yang menanam puluhan buah selalu membuka kebun secara cuma-cuma dan membebaskan pengunjung mencabut buah sesenang hati, secara gratis. Itu yang selalu aku tunggu-tunggu setiap bulan. Ya, hanya Eja satu-satunya teman terbaik yang mudah diajak ke mana-mana.
“Eja! Dengar baik-baik! Aku ke kanan ambil semangka, kamu ke kiri ambil Melon.” Eja mengangguk paham. Tapi setelah matanya melihat situasi dari ujung ke ujung kebun, wajahnya nampak bimbang. Aku tanya pelan-pelan, "kenapa?" Dia malah menunjukkan matanya yang berkaca-kaca.
"Memang harus, ya, mencar-mencar?" wajahnya gelisah. Astagfirullah, mataku rasanya ingin sekali melotot, terus memukul kepalanya biar sadar.
"Apaan sih, Ja. Biar lebih cepat, mangkanya harus pisah, bagi-bagi tugas," gerutku setengah melotot.
"Tapi di sana ramai," ujar Eja gelagapan. Jari telunjuknya mengarah ke sembarang tempat.
Aku menghela napas lalu berusaha meyakinkan si Eja. "Ya sudah gini, aku ralat, kamu ambil semangka, aku yang ambil melon, di bagian semangka gak ada orang, sepi, kamu aman, kamu tinggal pilih yang besar, terus tarik, langsung aja ke sini lagi," jelasku seksama.
Eja lagi-lagi mengangguk paham. Daripada dia mengalami kebimbangan lagi, aku langsung lari tanpa aba-aba menuju Barisan para melon. Namun sedikit-sedikit aku melirik jauh mengamati Eja yang masih berjalan pelan mencari semangka pilihan. Yang jelas, berjalan pelan-pelan dengan wajah bingungnya seperti biasa. Huh, sebenarnya dia yang terlalu ke putra soloan atau aku yang terlalu putri mekanik?
Aku sudah excited banget mencari melon, sementara Eja harus ngurusin semangka dengan segala keruwetannya. Sudah gitu, beberapa menit kemudian, pas aku lagi sibuk seneng-senengnya mencabut melon, tiba-tiba teriakan Eja nyaring banget, sampai semua orang nengok ke arah kita.
"Elija!" teriakannya mirip di film horor yang tengah klimaks. Aku langsung mempercepat gerakan mengambil melon lalu berlari mendekatinya.
“Kenapa Eja?" tanyaku melihatnya sudah mengeluarkan aliran deras air mata. Tangannya gemetar, dan semangka yang ia target belum terlepas dari akar.
"Tanahnya Elija!"
Dia teriak kepadaku. Oh, aku lupa. Eja takut tanah basah. Kenapa sedari tadi dia diam saja kalau memang aku belum menyadari hal itu.
“Kenapa sih, kamu selalu maksa aku melakukan hal-hal aneh kayak begini, aku sudah bilang, aku gak suka tanah basah, jijik. Aku sama kamu beda El, nggak bisa disamakan.” Eja marah-marah, lantas pergi tanpa aku. Meninggalkanku bersama semangka dan melon, beserta sorotan mata semua pengunjung.
***
Kalian tahu, wajar tidak di usiaku yang saat itu menduduki 13 tahun sudah dihadang pengalaman memalukan yang akan membekas mungkin seumur hidup. Dia bilang hal aneh? Sejahat itu ternyata seorang Eliza yang pemberani di mata Reza, anak laki-laki teraneh yang pernah aku temui. Tapi sejujurnya semua harus tahu, di balik keberanianku itu, pasti ada banyak ketakutan saat merasakan kelakuan Reza akan terbawa sampai dia dewasa.
Setelah di kebun, tidak ada lagi tempat lain atau hal lain yang aku kunjungi bersama Eja selain di sekolah. Dia enggan menyapaku, menatapku, dan mengajak berbicara. Bahkan dia rela terus-terusan mendapat nilai merah karena tidak mau meminta bantuan padaku. Semarah itu ternyata hanya karena tanah basah.
Kalian tahu grup band terkenal, namanya Dewa 19? Beberapa lagunya sering diputar Ayah, enak, kadang tenang, kadang nadanya terasa brutal. Saking sering masuk ke telingaku, satu persatu lirik masuk ke otak hafal sampai nama personilnya. Ayah juga begitu, beliau pecinta Dewa 19, katanya semua lagu Dewa kadang jadi relate di kehidupan, apalagi soal cinta.
Ayah mematikan televisi, berhenti bersenandung lalu membaca majalah sambil menyeruput kopi buatan Ibu.
“Aku rela... wo, aku rela.” Senandungku berhenti saat melihat Eja sibuk memetik bunga di depan rumahnya. Awalnya aku kira dia membantu ibunya memotong daun kering, tapi setelah aku mengamati, kenapa malah mencabut bunga sebatangnya. Aku yakin dia sedang diam-diam mencuri bunga koleksi ayahnya. Lantas aku melangkah ke jendela mengintip kelakuan Eja yang mencurigakan.
“Eja ngapain? Buat apa bunganya?” tanyaku berteriak dari jendela. Eja menoleh kaget dan langsung menyembunyikan beberapa bunga curiannya ke belakang punggung.
“Kepo, sana gak usah lihat-lihat,” tukasnya kasar. Memang begitu, semenjak setahun lalu, aku dan Eja tetap berteman, tapi tidak sebaik dulu. Dia lebih sering menghindar jika ada aku. Kebersamaanku dan Eja juga banyak berkurang.
“Idih, takut ketahuan nyuri, kan.” Aku lalu menutup jendela kesal. Yang aku pikirkan saat itu sebagai anak 13 tahun adala ‘awas kalau butuh’. Ibu bahkan setiap hari menasehatiku, ‘Elija, jangan begitu sama Eja, kamu kan tahu betul dia pengecut, tapi kamu harus paham.’
Ibu bilang begitu karena pasti merasa interaksiku dan Eja menghilang. Sekaligus Bu Diara, ibunya Eja sering mengeluh anaknya selalu dapat nilai buruk jika tidak belajar denganku.
***
Aku sedang tertidur pulas dengan tangan bertumpu di atas meja, menikmati udara damai di ruangan kelas. Temanku lainnya sangat sibuk, di ujung kanan ada yang saling bertukar binder, di ujung kiri yang lain ada para teman-teman anak orang kaya yang pamer apapun aksesoris barunya. Hanya aku yang merasa damai, tenang, sunyi, dan menikmati jam kosong pelajaran Seni Kebudayaan keterampilan. Hingga kedamaian tiba-tiba terganggu oleh keributan yang makin lama makin ribut di luar kelas.
Perlahan-lahan suara ricuh itu meningkat, mengundang seluruh teman sekelasku berbondong-bondong keluar mencari tahu sumber keramaian. Aku yang baru saja terlelap, akhirnya terganggu. Aku yang tadinya ingin diam saja, memutuskan beranjak bangkit ikut keluar.
“Ada apa?” tanyaku ke semua anak.
“Tadi guru BK ke sini, katanya si Eja dipukul Benny sama Dirga,” jawab Ani, teman sekelasku.
“Kenapa dipukuli?” tanyaku lagi. Tidak mungkin Eja dipukul tanpa alasan, sedangkan aku tahu Eja bukan anak yang suka cari masalah.
“Si Eja kasih bunga ke Septia, terus bunga sama suratnya diambil Dirga dan Beny, dibacain kenceng di depan kelas, si Eja marah, eh, Dirga sama Benny malah yang mukul.” Ani menjelaskan sesuai cerita yang beredar. Aneh, drama SMP apa sudah berani mukul-mukul. Tapi, ya, wajar juga, mereka anak laki-laki.
“Terus Eja luka-luka?”
“Yang luka si Beni, dipukul Eja pakai tepak pensilnya sampai berdarah,” jawab Ani dengan bangga.
Jujur aku kaget. 'Yes' gitu kataku dalam hati. Kalian tahu kotak pensil viral tahun 2012-an? Yang terbuat dari stainless, gaya serbaguna, dan banyak tombolnya. Itu kotak pensil legendaris. Rautan, kalkulator, kaca, tempat pensil, dan penghapus di modis jadi satu, yang pastinya sakit banget kalau dipukulkan.
“Pintar si Eja,” kataku lalu pergi.
***
Sepulang sekolah, aku langsung meletakkan semua barangku di atas kasur. Siang itu matahari menyinari dapur kami dengan lembut, menciptakan suasana yang hangat dan menyenangkan. Aroma segar dari buah dan sayuran yang baru ibu petik mulai mengisi udara, membuatku semakin tergoda untuk membantu ibu membuat salad. Dengan semangat yang membara, aku melompat ke samping ibu, siap untuk beraksi. Ibu langsung menggapai kursi kayu untuk kupijak agar bisa sampai ke meja.
“Eliza tahu kronologi baku hantam Eja di sekolah?” tanya ibu sembari mengaduk air. Spontan alisku menyatu. Kronologi baku hantam? Apa yang dimaksud Ibu dengan keributan di sekolah tadi?
“Baku hantam Eja yang mana, Bu?” Aku menatap ibu, mengurungkan niatku memotong semangka.
“Tadi Eja pulang dari rumah sakit, wajahnya memar-memar, masih diberi alat bius gitu, kayaknya, sih, dia rawat jalan di rumah,” jelas Ibu menceritakan. Gigiku menggigit bibir. Masalahnya yang aku dengar dari teman-teman justru Eja yang memukul kepala Beni sampai berdarah, tapi kenapa Eja yang terluka?
“Kamu jaga Eja, dong, nak! Kamu tahu sendiri, Eja itu penakut, pendiam. Jangan biarkan sampai begitu. Pasti dipukuli teman-temannya, kasihan kalau sampai luka begitu, apalagi nanti di SMA kalian, teman-temannya akan semakin banyak.” Ibu memberi nasihat. Aku hanya terpatung, mengangguk-ngangguk seolah mengerti, padahal pikiranku terhantui keadaan Eja sekarang.
“Bu, ada salad yang sudah jadi belum?” tanyaku. Tanpa menjawab, ibu buru-buru menyodorkan semangkuk salad seolah tahu apa yang akan aku lakukan selanjutnya.
***
Setelah mendengar kabar tentang Eja, aku segera mengunjungi rumahnya. Tentu, aku harus mengumpulkan keberanian dan memperbaiki citra terlebih dahulu, karena pertemananku dengan Eja memburuk sejak kita masuk sekolah SMP.
Aku menghampiri pintu kamar Eja dengan hati-hati, membawa semangkuk salad segar buatan Ibu. Jujur, aku merasa gugup, tidak sabar untuk melihat responnya antara ‘Hai, Elija,’ dengan wajah gembira, atau malah, ‘kamu ngapain ke sini,’ dengan wajah tidak tulus.
Sambil membatin membaca Basmalah, aku memukul pintu dengan hati-hati meminta izin untuk masuk, dan aku bisa mendengar suara lemah di baliknya. Ketika pintu terbuka, aku melihatnya terbaring di tempat tidur dengan beberapa luka merah campur biru di muka dan tangannya, yang membuatnya terlihat lebih rapuh dari biasanya. Meskipun terlihat kesakitan, dia memaksa senyum ke arahku dan berkata, “Aku keren, kan, Elija?” seketika air mataku perlahan keluar. Eja yang lemah setelah mengeluarkan keberanian kini nampak semakin lemah. Belum pernah aku melihat Eja sebangga ini.
“Keren banget,” jawabku lalu berjalan mendekatinya. Eja mendadak mengubah posisi duduknya. Dia tidak sabar ingin menjelaskan banyak hal.
“Awalnya, aku dengar kabar bahwa si Septia marah ke ayahnya karena tidak diizinkan membeli bunga tulip. Aku dengan senang hati menawarkan bunga tulip punya ayah,” ujar Eja menjelaskan, padahal aku belum memintanya untuk menceritakan. Lantas aku menggelengkan kepala heran. Oh, ternyata Septia Anindya penyebabnya. Cewek itu teman sekelas Eja sejak masuk SMP, sedangkan aku berpisah dengannya. Septia adalah anak semata wayang kepala sekolah. Siapapun pasti ingin dekat dengannya karena kita berpikir, dekat dengan anak kepala sekolah akan mendapat banyak keuntungan, tetapi itu salah, salah besar.
“Terus?” tanyaku penasaran.
“Si Septia bilang, ‘Boleh dengan senang hati,’” lanjut Eja. Aku mendengus sedikit kesal. Sejak awal masuk sekolah, Septia adalah anak yang sangat menyebalkan. Aku bisa membayangkan wajahnya saat mengatakan kepada Eja, ‘Boleh dengan senang hati,’ pasti wajahnya agak memucat, bibirnya tersenyum miring persis psikopat. Selain itu, dia juga sering sombong. Dengan membawa nama ayahnya, dia sering menindas anak-anak yang duduk di tempat favoritnya di kantin, seolah-olah semua yang ada di sekolah adalah milik ayahnya, padahal tidak. Dia juga tidak pernah mencari masalah dengan aku, mungkin karena aku lebih menakutkan. Walaupun bukan anak kepala sekolah, selain Septia, aku adalah anak perempuan yang paling ditakuti di sekolah. Alasannya, karena aku pandai bermain silat.
“Besoknya, tepat hari ini, aku membawa bunga tulip. Eh, saat aku hendak memberikannya kepadanya, Dirga dan kawan-kawan mengganggu. Mereka bilang aku ingin mendekati si Septia, lalu merebut bunganya. Jelas aku tidak terima. Aku mengejar mereka, tetapi ketika aku mendekati Dirga, Beni malah melempar batu,” lanjut Eja panjang sembari menunjuk luka di pipinya. Aku yakin itu bukan luka yang kecil, karena perbannya cukup besar.
“Kamu ingat, tidak, batu yang dilempar Beni? Besar atau kecil?” tanyaku.
“Segini,” Eja mengepalkan tangannya, memberikan gambaran ukuran batu yang jatuh ke pipinya.
“Si Septia melihatmu, tidak?” Aku bertanya sampai ke inti.
“Ya, itu yang membuatku kecewa, dia melihat, tetapi tidak membantu,” jawab Eja. Wajahnya berubah, nampaknya dia sangat kecewa kepada Septia. Sontak aku memukul lengannya.
“Itu karena kamu mengambil tulipnya diam-diam, kan? Itu namanya mencuri, rasakan.” Aku membentaknya lalu pergi tanpa pamit. Jujur, aku juga sedikit kecewa. Sepenting itu ternyata Septia sampai Eja rela mencuri tulip ayahnya dan dipukul oleh teman-temannya.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!