Setelah mengantar anak dan istrinya pulang ke rumah, Dirga pamit untuk pergi. Tentu saja Eva keberatan.
"Ini udah malem Pak. Kita semua capek dan butuh istirahat, kamu juga. Masa mau pergi lagi," kata Eva dengan suara rendah.
"Sebentar aja Bu. Bapak pusing," sahut Dirga sambil memijit keningnya.
"Tuh kan, kalo pusing ya tidur bukan malah keluyuran. Kalo tambah sakit gimana?" tanya Eva cemas.
Dirga tersenyum lalu menarik Eva ke dalam pelukannya.
"Pusingku bukan karena sakit Bu. Tapi pusing gara-gara denger ocehannya kak Eli tadi. Ga tau kenapa kesel aja ngingetnya," kata Dirga sambil mengurai pelukannya.
"Kak Eli emang keterlaluan. Aku juga kesel Pak. Bukannya bantuin malah ngatain. Aku sih lebih suka sama Mbak Nia ya, ga banyak omong tau-tau ngasih. Nih, buktinya aku dikasih uang tiga ratus ribu tadi," sahut Eva sambil memperlihatkan amplop berisi uang di tangannya.
"Alhamdulillah," kata Dirga sambil tersenyum.
"Makanya Bapak ga usah pusing lagi. Uang ini cukup buat bayar bukunya Desi sama Erman. Sisanya masih bisa dipake buat beli beras, lauk dan jajan anak-anak," kata Eva sambil menyentuh wajah Dirga.
Dirga pun balas mengusap jemari Eva dengan lembut.
"Syukur lah. Tapi Bapak masih butuh udara segar Bu. Sebentar aja. Ga sampe jam dua belas Bapak udah di rumah kok," janji Dirga.
Eva pun mengangguk pasrah karena tahu tak bisa mencegah Dirga pergi. Setelah mengecup kening istrinya, Dirga pun keluar dari rumah.
Dirga melangkah tanpa arah dan tujuan. Rasa marah dan sakit hati yang bercokol di hatinya serasa ingin meledak. Dan Dirga mencari tempat untuk melampiaskan semuanya.
Akhirnya langkah kaki Dirga membawanya ke warung kopi yang buka 24 jam. Di sana kerap berkumpul pria-pria dengan profesi dan latar belakang kehidupan yang beragam. Jika boleh jujur, Dirga tak terlalu menyukai kopi di warung itu. Karena menurutnya rasa kopi di sana getir dan tak seenak buatan Eva. Tapi suasana warung membuat Dirga betah. Karena di sana lah dia bisa tertawa tanpa beban bersama rekan-rekannya. Selain itu Dirga juga tak perlu membayar kopi yang diminumnya. Karena itu adalah 'imbalan tetap' yang diberikan pemilik warung kepada Dirga setelah membantunya mengusir musuhnya dulu.
Ya, Dirga memang berhasil memukul mundur musuh pemilik kedai kopi yang bernama Amran itu.
Saat itu Dirga yang sedang kalut pikiran mampir ke warung untuk minum kopi. Saat sedang menunggu pesanannya diantar, tiba-tiba musuh Amran dan antek-anteknya datang mengacau. Dirga pun melampiaskan kemarahannya yang tertahan sejak tadi kepada musuh Amran. Dalam waktu singkat musuh Amran terkapar di lantai warung dalam kondisi babak belur.
Amran pun menggunakan kesempatan itu untuk mengancam musuhnya. Setelahnya mereka pergi. Sesekali mereka masih datang ke warung tapi urung masuk saat melihat Dirga. Belakangan Dirga tahu Amran pernah terlibat jual beli tanah secara ilegal. Dan musuh Amran mengira kegagalannya mendapat 'proyek' karena Amran telah menyerobot haknya.
Dirga menghentikan langkahnya. Dia ragu untuk masuk saat melihat kondisi warung yang ramai. Dia pun memilih duduk di kursi panjang yang ada di luar warung. Amran yang kebetulan melihatnya pun datang menghampiri.
"Kenapa ga masuk?" sapa Amran.
"Gapapa. Lagi pengen di luar aja, enak kena angin," sahut Dirga.
"Apa ada masalah?" tanya Amran.
"Biasa lah," sahut Dirga sambil tersenyum kecut.
Amran pun ikut tersenyum karena paham masalah yang dimaksud Dirga.
Tak lama kemudian sekelompok pria datang lalu duduk di hadapan Dirga dan Amran. Dari cara berpakaian dan tas yang mereka bawa, Dirga menduga mereka adalah para pendaki gunung. Namun karena usia mereka yang tak lagi muda membuat Dirga juga sedikit bingung sekaligus kagum.
Di samping Dirga terlihat Amran yang sigap menyambut lalu mencatat pesanan para pria berpakaian serba gelap itu.
"Mau mendaki kemana Pak?" tanya Dirga basa-basi.
Para pria berpakaian gelap itu menoleh lalu tersenyum.
"Apa kami keliatan kaya orang yang mau naik gunung Mas?" tanya salah seorang pria sambil tersenyum.
"Lho, emangnya bukan ya. Maaf kalo gitu," kata Dirga.
"Gapapa. Bukan Mas aja yang ngira kami pendaki gunung," sahut pria itu.
Tak lama kemudian Amran dan karyawannya datang membawakan pesanan para pria itu termasuk kopi dan rokok untuk Dirga.
"Kopi hitam dan mie rebus. Hidangan paling mantap di malam dingin kaya gini. Bukan begitu Mas?" tanya salah seorang pria.
"Betul Pak," sahut Dirga sambil tersenyum.
"Kalo gitu kami makan dulu ya Mas," kata pria itu dengan ramah.
"Silakan Pak," sahut Dirga sambil bangkit dari duduknya.
"Eh, mau kemana. Di sini aja," kata pria itu sambil menahan tangan Dirga.
"Saya mau ngopi di sana aja Pak. Saya khawatir Bapak-bapak ga nyaman kalo ada saya di sini," sahut Dirga.
"Ga ada yang ga nyaman. Tunggu dan duduk si sini sebentar. Saya punya sesuatu buat kamu. Tapi tolong ijinin saya makan dulu ya, saya lapar banget," pinta pria itu sungguh-sungguh.
Dirga pun mengangguk lalu duduk di tempat semula. Sambil duduk dia menyeruput kopinya perlahan. Sesekali dia mencuri dengar pembicaraan pria di depannya. Sedikit mengerutkan kening karena Dirga tak paham sama sekali dengan apa yang mereka bicarakan.
Sepuluh menit kemudian pria itu selesai dengan makannya.
"Kenalin nama saya Tarmo," kata Tarmo sambil mengulurkan tangannya.
Dirga pun menyambut uluran tangan Tarmo sekaligus menyebut namanya. Sesaat kemudian satu per satu teman Tarmo pun menyingkir seolah ingin memberi ruang kepada Tarmo dan Dirga bicara berdua.
Pada kesempatan itu Tarmo mengaku dirinya sebagai 'orang pintar' yang bisa membaca nasib orang. Dirga pun tersenyum.
"Kenapa, keliatannya kamu ga percaya sama Saya," kata Tarmo.
"Maaf Pak. Tapi ini bukan kali pertama saya ketemu orang kaya Bapak. Saya ga masalah dengan kemampuan yang Bapak miliki. Tapi kalo Bapak mau membaca nasib saya ke depan, saya ga tertarik," sahut Dirga.
"Begitu ya. Jadi kamu udah lupa sama yang kakak iparmu bilang tadi?" tanya Tarmo.
"Kakak ipar saya?" ulang Dirga sambil mengerutkan keningnya.
"Iya. Wanita itu bilang minjemin uang sama orang miskin kaya kamu itu sia-sia karena bakal menguap tanpa pernah kembali," sahut Tarmo sambil tersenyum penuh makna.
Tentu saja ucapan Tarmo membuat Dirga terkejut. Dirga memang mendengar langsung kalimat itu meski pun Eli mengucapkannya dengan lirih tadi. Dan dia tak mengerti bagaimana Tarmo bisa tahu hal itu.
Meski terkejut tapi Dirga masih bisa menguasai diri. Dia pun bangkit dari duduknya karena mulai tak nyaman dengan ucapan Tarmo.
"Ga ada yang mau pinjem uang sama dia. Aku atau Eva juga ga kepikiran sama sekali minjem uang sama orang pelit itu," batin Dirga gusar.
"Jadi gimana Mas Dirga?" tanya Tarmo.
"Apanya yang gimana Pak?" tanya Dirga tak mengerti.
"Apa kamu ga mau balas ucapan kakak iparmu itu ?. Ya ... paling tidak buktikan lah kalo apa yang dia tuduhin itu salah," kata Tarmo.
"Ga perlu. Saya ga suka ribut apalagi sama keluarga sendiri," sahut Dirga tegas sambil melangkah menjauhi Tarmo.
"Begitu ya. Terus gimana sama ucapan temanmu beberapa hari yang lalu. Dia ga cuma nolak ngasih kamu kerjaan, tapi dia juga menghina kamu. Dia bahkan memintamu menyerahkan istrimu jika kamu mau uangnya. Iya kan?" tanya Tarmo sambil menyeringai.
Lagi-lagi ucapan Tarmo membuat Dirga terkejut. Dia menghentikan langkahnya sambil mengepalkan kedua tangannya erat. Beruntung tak ada siapa pun yang mendengar ucapan Tarmo selain Dirga, karena orang-orang nampak sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Dirga kembali teringat perkelahiannya dengan mantan sahabatnya. Dirga marah karena pria itu meminta dia menyerahkan Eva untuk menemaninya tidur sebagai imbalan dari uang yang akan dia berikan. Jika tak dilerai, Dirga yakin sudah mendekam di penjara sekarang karena telah membunuh mantan sahabatnya itu.
"Siapa kamu sebenarnya?" tanya Dirga sambil menatap Tarmo lekat.
Bukannya menjawab Tarmo hanya tertawa. Suara tawanya terdengar aneh dan membuat bulu kuduk Dirga meremang.
\=\=\=\=\=
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Ali B.U
next.
2024-08-14
1
💎hart👑
hmm keknya Tarmo mulai menebar jerat sesat neh.
gas ummibebs Jan ksh kendor ya🤭
2024-05-26
2
Guntar Nugraha
Lanjuuuttt thooorrr @UmmiQu👍👍👍🙏🙏🙏
2024-05-25
2