...-Selamat Membaca-...
Luna menatap layar ponselnya dengan perasaan yang campur aduk. Baru saja dia mengetik pesan yang panjang dan penuh perasaan kepada Sebastian, orang yang telah lama dia cintai. Luna ingin sekali berbicara tentang perasaannya, tentang betapa pentingnya Sebastian baginya, tapi dia tidak yakin apakah Sebastian akan memahami.
Namun, Luna memutuskan untuk mengirim pesan itu juga. Dia menekan tombol "Kirim" dengan getaran hati yang cepat. Menunggu balasan dari Sebastian seperti menunggu hujan di gurun pasir.
Waktu berlalu, satu menit, dua menit, dan tidak ada balasan dari Sebastian. Luna merasa jantungnya semakin berdebar. Apakah Sebastian tidak akan membalasnya? Ataukah pesannya terlalu berlebihan?
Akhirnya, ponselnya bergetar. Tapi bukan dari Sebastian, melainkan pemberitahuan dari aplikasi YouTube. Sebastian pasti sibuk dengan tugasnya, seperti biasa.
Merasa kecewa, Luna mencoba untuk menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangganya juga. Tapi pikirannya terus kembali pada Sebastian. Dia merasa seperti ada beban besar di dadanya yang tidak bisa dia ungkapkan.
Hari-hari berlalu, dan Luna tetap merasa tertekan. Dia ingin sekali berbicara dengan Sebastian, tapi setiap kali dia mencoba, Sebastian selalu tampak sibuk atau tidak tertarik.
Suatu hari, Luna memutuskan untuk menemui Sebastian secara langsung. Dia pergi ke kantor Sebastian, berharap bisa mendapatkan waktu untuk berbicara dengannya.
Luna melangkah ringan menuju gedung perkantoran yang menjulang tinggi di pusat kota. Dengan dress biru muda yang anggun, ia tampak elegan. Pintu lobi terbuka otomatis ketika ia mendekat, dan angin dingin AC langsung menyambutnya.
Luna tersenyum kepada resepsionis dan menyebutkan tujuannya. "Saya ingin bertemu dengan Sebastian," katanya ramah.
Resepsionis mengangguk. "Silakan Ibu Luna, Bapak sedang ada di ruangannya." Luna mengangguk dan berterima kasih, lalu melangkah ke lift.
Di dalam lift, ia memikirkan berbagai hal yang ingin dibicarakannya dengan Sebastian. Luna keluar dan langsung melihat ruangan 1704 di ujung koridor. Ia mengetuk pintu dengan lembut.
"Masuk," suara Sebastian terdengar dari dalam.
Luna menghela napas panjang kemudian membuka pintu dan melihat Sebastian sedang duduk di belakang mejanya, sibuk dengan berkas-berkas.
"Sebastian," panggil Luna dengan suara yang gemetar.
Sebastian mengangkat kepala, "Ada apa? Kenapa ke kantor?"
Luna menelan ludahnya, mencoba untuk menemukan kata-kata yang tepat. "Aku ingin berbicara denganmu tentang sesuatu yang penting," ujarnya dengan ragu.
Sebastian mengangguk, tapi Luna bisa melihat bahwa perhatiannya terbagi antara laptopnya dan dirinya. "Tentu, apa yang ingin kamu katakan?"
Luna menarik napas dalam-dalam. Ini saatnya. "Aku merasa... aku merasa seperti hubungan kita tidak seperti dulu lagi. Aku merindukan waktu bersama kita, waktu ketika kita bisa berbagi segalanya, tapi sekarang kamu selalu sibuk dengan pekerjaanmu. Aku merindukan hubungan kita yang layaknya suami istri, Sebastian."
Sebastian mengangguk, tapi ekspresinya tetap datar. "Kamu ke sini cuma buat ngomong hal sepele ini, Luna? Aku sibuk dengan pekerjaan. Kamu tahu, proyek ini penting bagi perusahaan. Jangan menggangguku, Luna, kecuali jika memang benar-benar penting," kata Sebastian dengan nada tajam, tidak menggubris ekspresi sedih Luna sama sekali.
Luna merasa kecewa. Dia berharap Sebastian akan mengerti perasaannya, tapi tampaknya pekerjaan selalu menjadi prioritas utama baginya.
"Sebastian, kamu memang sibuk, tapi apa kau pikir aku tidak lebih penting dari pekerjaanmu itu? Aku butuh kamu, kebersamaan kita, aku membutuhkanmu, Sebastian."
Sebastian menghela nafas, "Maaf, Luna. Tapi aku sibuk sekarang. Kita bicara nanti di rumah."
Luna mengangguk, tapi hatinya hancur. Dia merasa seolah-olah dia berbicara dengan dinding. Dia berharap Sebastian akan mendengarkannya, tapi tampaknya Sebastian hanya peduli pada pekerjaannya.
Dengan langkah yang berat, Luna meninggalkan kantor Sebastian. Dia merasa hampa, seolah-olah segalanya tidak berarti lagi. Tapi dia tahu, dia harus memutuskan apa yang terbaik baginya.
...****************...
Malam menjelang,
Dalam keheningan malam yang sunyi, Luna duduk di tepi tempat tidur, memandang jendela yang kabur oleh tetesan hujan. Air matanya juga mengalir tanpa henti, menciptakan sungai kesedihan di pipinya.
Rasa sakitnya tak tertahankan saat dia menyadari bahwa segala usahanya untuk berbicara dan menyampaikan perasaannya sia-sia belaka.
"Dia bahkan tidak mencoba untuk mengerti," bisik Luna dengan suara yang gemetar, hatinya terasa berat seperti batu.
"Aku berjuang sendirian, memegang harapan palsu, hanya untuk melihatnya hancur di hadapanku."
Dalam gelap yang menyelimuti kamar, Luna menangis sepanjang malam, membiarkan rasa sakit dan kekecewaannya merayap ke setiap pori-pori tubuhnya. Dia merindukan Sebastian suaminya...
............................
...Sampai jumpa di part selanjutnya guys 😋...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
selena d'flonce
aaaa proud of you Luna! kamu ga sendiri, ada readers yang setia nemenin kamu!!/Determined/
2024-07-02
0