Kenzie Dan Goresan Takdir
Di ambang sebuah peradaban yang megah, langkah kecil seorang anak dipandu oleh kehangatan dua sosok yang menjadi sandaran utamanya, sebuah perjalanan dari dunia yang dikenal menuju gerbang yang baru terbuka di depannya. Rumah besar berdiri megah dengan warna abu-abu yang menenangkan, seolah menjadi tempat perlindungan bagi siapa pun yang datang mengunjunginya.
Sambutan yang hangat menyapa kedatangan mereka, menyiratkan keakraban dan kedekatan yang telah lama terjalin. Dalam pangkuan rumah yang megah, langkah mereka dipandu ke sebuah ruangan yang dipenuhi dengan aura kemurnian, sebuah tempat yang memancarkan kedamaian dan kebahagiaan.
Dalam keheningan ruangan, sorot mata seorang bocah laki-laki terpaku pada sebuah objek yang mempesona, sebuah box yang menyimpan misteri dan keajaiban di dalamnya. Di dalam box itu terletak seorang bayi kecil yang menawan, dengan kecantikan yang memukau hati siapa pun yang melihatnya.
Dengan langkah penuh antusiasme, bocah berusia dua belas tahun itu mendekati box itu, membawa sebuah hadiah yang membawa arti tersendiri. Ketika tangannya menyentuh dunia yang baru lahir itu, dunia yang penuh dengan keajaiban dan kelembutan, sentuhan itu seolah menjadi jalinan yang tak terputus antara dua jiwa yang baru saja bertemu.
Tertawa gemas melihat interaksi mereka, keempat orang dewasa itu merasakan kehangatan yang memenuhi ruangan, sebuah kebahagiaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Rani, sang ibu, dengan lembut mengelus rambut anaknya, menyaksikan betapa bersemi cinta dalam sentuhan mereka.
“Sangat cantik, ‘kan?”ujar Rani dengan penuh kasih, dan Rayhan hanya bisa menjawab dengan senyuman yang tak tertandingi.
“Iya, sangat cantik,”bisiknya, jemarinya meluncur lembut menyusuri pipi bayi yang mempesona di dalam box bayi itu.
Kedatangan mereka bukanlah kebetulan semata, melainkan sebuah perayaan akan kehidupan baru yang telah lahir ke dunia ini. Sementara mereka menyambut kedatangan sang bayi yang baru lahir, mereka juga merayakan kebahagiaan bersama sahabat lama, Nadya, yang baru saja melahirkan seorang putri cantik. Hubungan persahabatan mereka telah bertahan sejak masa sekolah, menjadi benang merah yang mengikat hati mereka seperti saudara kandung.
“Selamat, Nadya. Putrimu begitu cantik,”kata Rani sambil memberikan pelukan hangat pada sahabatnya yang kini telah menjadi ibu.
“Terima kasih, Ran. Aku begitu bahagia, akhirnya impianku dan Farhan menjadi kenyataan. Aku bersyukur dia lahir dengan selamat.”
Dalam arena kebahagiaan yang memenuhi ruangan, dua pria dewasa itu hanya bisa memperhatikan dengan penuh kekaguman bagaimana isteri-isteri mereka terbawa dalam riuh suasana yang menggembirakan. Namun, di balik kehangatan itu, Renra, dengan senyum lembut di bibirnya, juga merasakan kegembiraan yang meluap-luap melihat perjuangan panjang mereka selama sepuluh tahun lamanya, di mana kebahagiaan memiliki keturunan belum juga menjadi bagian dari kisah hidup mereka.
Dalam kesibukan menyaksikan momen yang penuh makna itu, keempat pria dewasa itu bahkan tak menyadari bahwa sepanjang waktu, Rayhan telah terlibat dalam percakapan yang hangat dengan sang bayi kecil. Namun, bukan jawaban yang diterima oleh Rayhan dari sang bayi, melainkan hanya mata yang berkedip-kedip lucu dan senyum yang kadang ikut meramaikan suasana.
“Adik bayi, pastinya ketika sudah besar nanti akan menjadi seorang yang sangat cantik,”ucap Rayhan dengan penuh keyakinan.
“Rayhan ingin memiliki kekasih yang cantik. Apakah adik mau menjadi kekasih Rayhan nanti?”
“Maukah adik hidup bersama Rayhan nanti, sehingga kita bisa bermain bersama sepanjang waktu?”
“Apakah adik mau menjadi istri Rayhan nanti, ketika kita sudah dewasa? Papa mengatakan, untuk bisa bersama seseorang, kita harus menikah terlebih dahulu, dan Rayhan ingin menikahi adik nanti.”
“Karena adik bayi begitu cantik.”
Perkataan dari anak berusia dua belas tahun itu mencapai telinga sang ayah dengan jelas, namun ia berusaha untuk tidak menanggapi dengan serius. Meskipun, dalam kedalaman hatinya, ia menyadari bahwa mungkin saja Rayhan tengah merasakan sebuah perasaan yang nyata, bukan hanya sekadar lelucon biasa.
Dalam keheningan yang menggantung di udara, panggilan lembut dari Renra memecah keheningan yang terjalin di antara mereka. Rayhan, dengan penuh penasaran, memalingkan wajahnya untuk menatap ayahnya dengan penuh perhatian yang mencerminkan kepolosan jiwa seorang anak.
“Apa yang Rayhan katakan pada adik bayinya tadi?”Renra menanyakan dengan lembut, matanya mencari makna di balik kata-kata yang diucapkan oleh anaknya.
Dengan tatapan yang mencari-cari jawaban di dalam benaknya, Rayhan merenung sejenak, berusaha mengurai benang-benang pikiran untuk menemukan jawaban yang tepat. Akhirnya, dengan kejujuran yang tulus, dia menjawab pertanyaan ayahnya.
“Rayhan bilang bahwa adik bayinya cantik,”ucapnya dengan penuh keyakinan.
Namun sebelum Renra bisa menindaklanjuti pertanyaannya, Nadya dan Rani ikut memperhatikan percakapan itu dengan penuh perhatian, wajah mereka penuh dengan rasa ingin tahu yang sama seperti Renra.
“Lalu apa lagi yang Rayhan katakan, Nak?”Nadya bertanya, matanya terpancar keingintahuan yang tidak bisa dibendung.
Rayhan meraba-raba pikirannya sejenak sebelum menjawab dengan penuh kepolosan,“Rayhan bilang, Rayhan mau menikah dengan adik bayinya nanti.”
Namun, ketika Rayhan mulai menyadari keheningan yang terjadi di antara mereka, kegelisahan mulai merasukinya. Dengan penuh kekhawatiran, dia mencoba memahami apa yang sedang terjadi.
“Apakah Rayhan melakukan kesalahan? Kenapa kalian diam? Mama selalu diam saat marah, jadi Rayhan merasa mama marah karena perkataan Rayhan,”ungkapnya dengan kekhawatiran yang menghantui.
Mendapati keragu-raguan yang melanda Rayhan, Nadya tidak bisa menahan diri untuk tidak bergerak mendekatinya, ingin memberikan kejelasan atas apa yang sedang terjadi.
“Tidak, Nak. Rayhan tidak salah,”ucapnya dengan lembut, mencoba meyakinkan Rayhan akan kebenaran perkataannya.
Namun, ketika Rayhan masih belum yakin, Nadya pun melanjutkan, “Tapi, Rayhan, kamu belum bisa menikah dengan adik bayinya. Dia masih kecil-“
Dalam gemerlap cahaya yang menghiasi ruangan, tawa kecil Rayhan mengalun menghiasi udara, diiringi dengan tatapan penuh antusiasme yang menyala di matanya. Dengan suara yang penuh harapan, dia bertanya,"kalau sudah besar, bolehkah?”
Nadya tersenyum lebar, namun tatapannya tetap mantap saat dia menganggukkan kepala. “Ya, tentu saja. Boleh.”
“Wah, serius, Tante?”tanya Rayhan dengan sorot mata yang berbinar seperti bintang di langit malam.
“Tentu saja, Sayang. Nanti, ketika adik bayi sudah dewasa, Rayhan boleh menikah dengan adik bayi,”jawab Nadya dengan keyakinan yang tidak tergoyahkan.
Rani memperhatikan pertukaran kata antara Rayhan dan Nadya dengan tatapan khawatir yang melintas di wajahnya. “Nadya!”tegurnya pada sahabatnya dengan suara yang penuh kekhawatiran.
Nadya berpaling, tersenyum lembut, dan dengan lembutnya menanggapi ekspresi marah Rani,"tidak apa-apa, Rani.”
“T-tapi bagaimana jika apa yang dikatakan oleh Rayhan bukan hanya sebuah candaan biasa?”protes Rani dengan suara yang menggambarkan ketidakpastian dan kekhawatiran yang mendalam.
“Entah itu candaan atau bukan, itu tidak masalah bagiku. Aku akan merasa sangat bersyukur jika Rayhan menjadi menantuku. Bayangkan saja betapa lucunya menunggu mereka tumbuh dewasa dan menjalin cinta,”ujar Nadya dengan suara yang penuh keyakinan.
“Apakah kamu yakin, Nad?”
“Mengapa harus ragu? Aku tahu Rayhan adalah lelaki yang cocok untuk anakku. Aku bisa merasakan ke-serius-an-nya bahkan di usia dini seperti ini. Aku bisa melihat tekadnya untuk melindunginya. Sebagai pasangan, bukan sebagai adik.”
“Aku tidak yakin Rayhan bisa menjaga anakmu. Bagaimana jika dia menyakitinya nanti?”desak Rani dengan nada yang masih penuh kekhawatiran.
Nadya tersenyum, namun matanya menyiratkan kepercayaan yang tak tergoyahkan. “Aku percaya pada Rayhan, Rani. Dan aku yakin dia akan menjaga putriku dengan setia, tanpa cela.”
Dalam keremangan yang menggelayut di ruang tamu, Renra memandang Rani dengan tatapan penuh keyakinan, suaranya terdengar lembut namun penuh makna. “Yang penting, dia bisa mempertanggungjawabkannya. Kita pernah berjanji, kan? Jika anak pertama kita berupa putra dan putri, kita akan menikahkan mereka. Itu bukan hanya sebuah janji, Ren. Itu takdir dari Tuhan.”
Rani hanya bisa menghela nafas, mengingat janji yang pernah mereka buat bersama. Memang benar, mereka telah berjanji untuk menjodohkan anak-anak mereka jika Tuhan memberikan mereka anak laki-laki dan perempuan. Tapi, entah mengapa, Rani merasa ragu dan takut. Bukan karena ia tidak setuju dengan pilihan Rayhan sebagai pasangan putri Nadya, sebaliknya, ia sangat setuju. Tetapi, Rani ingin anaknya menemukan cinta sejati dari hatinya sendiri, bukan karena sebuah perjanjian atau perjodohan. Ia tidak ingin memaksakan kehendaknya.
“Tante Nadya,”panggil suara ceria Rayhan, memecah keheningan di ruangan, membuat kedua wanita itu menoleh padanya. Rayhan sedang tersenyum gemas di samping bayi cantik yang sudah dipindahkan ke kasur.
“Siapa nama adik bayinya?”tanya Rayhan dengan rasa ingin tahu yang khas anak-anak.
“Queenara,”jawab Nadya dengan lembut.
“Mengapa Queenara?”tanya Rayhan dengan penuh rasa ingin tahu.
“"Queenara adalah perpaduan yang memikat antara kekuatan dan keanggunan,”jelas Farhan dengan senyuman bangga.
“Ah, Queenara, nama yang sangat cocok,”ujar Rayhan, matanya bersinar penuh kagum.
“Halo, adik Queenara. Namaku Rayhan,”sapa Rayhan dengan lembut, seolah mengobrol dengan bayi yang sedang tertawa lepas.
“Adik Queenara, kamu sungguh cantik. Aku sangat gemas padamu.”
“Apa adik Queenara mau menjadi teman Rayhan selamanya? Rayhan sangat suka padamu.”
Perkataan hangat Rayhan membuat Nadya tersenyum penuh kebahagiaan. Melihat kesungguhan dan kelembutan dari anak sahabatnya itu, hatinya terasa dipenuhi oleh kehangatan. Setidaknya, di tengah kekhawatiran dan keraguan, ada seseorang yang sungguh-sungguh menyayangi putrinya dengan tulus.
Dalam keheningan yang menghiasi ruang tamu, Nadya memandang Rayhan dengan tatapan penuh harapan dan keyakinan. “Rayhan, jika suatu hari nanti kau dan Queenara memang ditakdirkan bersama, tante berharap kau akan menjaga dan menyayanginya dengan tulus.”
Rayhan, yang masih belum sepenuhnya memahami makna dari kata-kata itu, hanya mengangguk sambil menyimak dengan penuh perhatian, sebelum kembali larut dalam dunianya yang penuh warna, bermain dengan Queenara yang menggemaskan.
Di sudut ruangan, Rani menatap ke arah jendela dengan tatapan penuh kerinduan dan harapan. Dalam diamnya, dia memohon pada Sang Pencipta, “Tuhan, segala hal yang terjadi adalah takdir dari-Mu. Termasuk jika Engkau mentakdirkan janji antara aku dan sahabatku, Nadya, untuk terwujud. Aku berharap mereka suatu hari akan saling menyayangi dan menjaga satu sama lain dengan tulus.”
Sementara itu, Nadya duduk di samping Rani, matanya terarah pada Rayhan dan Queenara yang tengah asyik bermain. Dengan suara yang hampir sirna ditelan oleh keheningan, dia menggumam,"biarlah waktu yang menentukan.”
Dalam kesunyian yang melingkupi ruang tamu itu, terdapat sebuah harapan yang tersemat dalam hati mereka. Harapan akan sebuah takdir yang membawa kebahagiaan dan kasih sayang di antara mereka, sebuah takdir yang akan ditentukan oleh waktu dan kehendak Tuhan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Lady Orlin
awalan yg kerennn, panasaran next nyaa🤩
2024-05-10
0
Lady Orlin
hehehee emng banyak kayaknya nih para ortu yg jdohin anaknya sedari bayi😆
2024-05-10
0
Lady Orlin
nah lho ... malah anggap bneran😧
2024-05-10
0