Di ambang sebuah peradaban yang megah, langkah kecil seorang anak dipandu oleh kehangatan dua sosok yang menjadi sandaran utamanya, sebuah perjalanan dari dunia yang dikenal menuju gerbang yang baru terbuka di depannya. Rumah besar berdiri megah dengan warna abu-abu yang menenangkan, seolah menjadi tempat perlindungan bagi siapa pun yang datang mengunjunginya.
Sambutan yang hangat menyapa kedatangan mereka, menyiratkan keakraban dan kedekatan yang telah lama terjalin. Dalam pangkuan rumah yang megah, langkah mereka dipandu ke sebuah ruangan yang dipenuhi dengan aura kemurnian, sebuah tempat yang memancarkan kedamaian dan kebahagiaan.
Dalam keheningan ruangan, sorot mata seorang bocah laki-laki terpaku pada sebuah objek yang mempesona, sebuah box yang menyimpan misteri dan keajaiban di dalamnya. Di dalam box itu terletak seorang bayi kecil yang menawan, dengan kecantikan yang memukau hati siapa pun yang melihatnya.
Dengan langkah penuh antusiasme, bocah berusia dua belas tahun itu mendekati box itu, membawa sebuah hadiah yang membawa arti tersendiri. Ketika tangannya menyentuh dunia yang baru lahir itu, dunia yang penuh dengan keajaiban dan kelembutan, sentuhan itu seolah menjadi jalinan yang tak terputus antara dua jiwa yang baru saja bertemu.
Tertawa gemas melihat interaksi mereka, keempat orang dewasa itu merasakan kehangatan yang memenuhi ruangan, sebuah kebahagiaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Rani, sang ibu, dengan lembut mengelus rambut anaknya, menyaksikan betapa bersemi cinta dalam sentuhan mereka.
“Sangat cantik, ‘kan?”ujar Rani dengan penuh kasih, dan Rayhan hanya bisa menjawab dengan senyuman yang tak tertandingi.
“Iya, sangat cantik,”bisiknya, jemarinya meluncur lembut menyusuri pipi bayi yang mempesona di dalam box bayi itu.
Kedatangan mereka bukanlah kebetulan semata, melainkan sebuah perayaan akan kehidupan baru yang telah lahir ke dunia ini. Sementara mereka menyambut kedatangan sang bayi yang baru lahir, mereka juga merayakan kebahagiaan bersama sahabat lama, Nadya, yang baru saja melahirkan seorang putri cantik. Hubungan persahabatan mereka telah bertahan sejak masa sekolah, menjadi benang merah yang mengikat hati mereka seperti saudara kandung.
“Selamat, Nadya. Putrimu begitu cantik,”kata Rani sambil memberikan pelukan hangat pada sahabatnya yang kini telah menjadi ibu.
“Terima kasih, Ran. Aku begitu bahagia, akhirnya impianku dan Farhan menjadi kenyataan. Aku bersyukur dia lahir dengan selamat.”
Dalam arena kebahagiaan yang memenuhi ruangan, dua pria dewasa itu hanya bisa memperhatikan dengan penuh kekaguman bagaimana isteri-isteri mereka terbawa dalam riuh suasana yang menggembirakan. Namun, di balik kehangatan itu, Renra, dengan senyum lembut di bibirnya, juga merasakan kegembiraan yang meluap-luap melihat perjuangan panjang mereka selama sepuluh tahun lamanya, di mana kebahagiaan memiliki keturunan belum juga menjadi bagian dari kisah hidup mereka.
Dalam kesibukan menyaksikan momen yang penuh makna itu, keempat pria dewasa itu bahkan tak menyadari bahwa sepanjang waktu, Rayhan telah terlibat dalam percakapan yang hangat dengan sang bayi kecil. Namun, bukan jawaban yang diterima oleh Rayhan dari sang bayi, melainkan hanya mata yang berkedip-kedip lucu dan senyum yang kadang ikut meramaikan suasana.
“Adik bayi, pastinya ketika sudah besar nanti akan menjadi seorang yang sangat cantik,”ucap Rayhan dengan penuh keyakinan.
“Rayhan ingin memiliki kekasih yang cantik. Apakah adik mau menjadi kekasih Rayhan nanti?”
“Maukah adik hidup bersama Rayhan nanti, sehingga kita bisa bermain bersama sepanjang waktu?”
“Apakah adik mau menjadi istri Rayhan nanti, ketika kita sudah dewasa? Papa mengatakan, untuk bisa bersama seseorang, kita harus menikah terlebih dahulu, dan Rayhan ingin menikahi adik nanti.”
“Karena adik bayi begitu cantik.”
Perkataan dari anak berusia dua belas tahun itu mencapai telinga sang ayah dengan jelas, namun ia berusaha untuk tidak menanggapi dengan serius. Meskipun, dalam kedalaman hatinya, ia menyadari bahwa mungkin saja Rayhan tengah merasakan sebuah perasaan yang nyata, bukan hanya sekadar lelucon biasa.
Dalam keheningan yang menggantung di udara, panggilan lembut dari Renra memecah keheningan yang terjalin di antara mereka. Rayhan, dengan penuh penasaran, memalingkan wajahnya untuk menatap ayahnya dengan penuh perhatian yang mencerminkan kepolosan jiwa seorang anak.
“Apa yang Rayhan katakan pada adik bayinya tadi?”Renra menanyakan dengan lembut, matanya mencari makna di balik kata-kata yang diucapkan oleh anaknya.
Dengan tatapan yang mencari-cari jawaban di dalam benaknya, Rayhan merenung sejenak, berusaha mengurai benang-benang pikiran untuk menemukan jawaban yang tepat. Akhirnya, dengan kejujuran yang tulus, dia menjawab pertanyaan ayahnya.
“Rayhan bilang bahwa adik bayinya cantik,”ucapnya dengan penuh keyakinan.
Namun sebelum Renra bisa menindaklanjuti pertanyaannya, Nadya dan Rani ikut memperhatikan percakapan itu dengan penuh perhatian, wajah mereka penuh dengan rasa ingin tahu yang sama seperti Renra.
“Lalu apa lagi yang Rayhan katakan, Nak?”Nadya bertanya, matanya terpancar keingintahuan yang tidak bisa dibendung.
Rayhan meraba-raba pikirannya sejenak sebelum menjawab dengan penuh kepolosan,“Rayhan bilang, Rayhan mau menikah dengan adik bayinya nanti.”
Namun, ketika Rayhan mulai menyadari keheningan yang terjadi di antara mereka, kegelisahan mulai merasukinya. Dengan penuh kekhawatiran, dia mencoba memahami apa yang sedang terjadi.
“Apakah Rayhan melakukan kesalahan? Kenapa kalian diam? Mama selalu diam saat marah, jadi Rayhan merasa mama marah karena perkataan Rayhan,”ungkapnya dengan kekhawatiran yang menghantui.
Mendapati keragu-raguan yang melanda Rayhan, Nadya tidak bisa menahan diri untuk tidak bergerak mendekatinya, ingin memberikan kejelasan atas apa yang sedang terjadi.
“Tidak, Nak. Rayhan tidak salah,”ucapnya dengan lembut, mencoba meyakinkan Rayhan akan kebenaran perkataannya.
Namun, ketika Rayhan masih belum yakin, Nadya pun melanjutkan, “Tapi, Rayhan, kamu belum bisa menikah dengan adik bayinya. Dia masih kecil-“
Dalam gemerlap cahaya yang menghiasi ruangan, tawa kecil Rayhan mengalun menghiasi udara, diiringi dengan tatapan penuh antusiasme yang menyala di matanya. Dengan suara yang penuh harapan, dia bertanya,"kalau sudah besar, bolehkah?”
Nadya tersenyum lebar, namun tatapannya tetap mantap saat dia menganggukkan kepala. “Ya, tentu saja. Boleh.”
“Wah, serius, Tante?”tanya Rayhan dengan sorot mata yang berbinar seperti bintang di langit malam.
“Tentu saja, Sayang. Nanti, ketika adik bayi sudah dewasa, Rayhan boleh menikah dengan adik bayi,”jawab Nadya dengan keyakinan yang tidak tergoyahkan.
Rani memperhatikan pertukaran kata antara Rayhan dan Nadya dengan tatapan khawatir yang melintas di wajahnya. “Nadya!”tegurnya pada sahabatnya dengan suara yang penuh kekhawatiran.
Nadya berpaling, tersenyum lembut, dan dengan lembutnya menanggapi ekspresi marah Rani,"tidak apa-apa, Rani.”
“T-tapi bagaimana jika apa yang dikatakan oleh Rayhan bukan hanya sebuah candaan biasa?”protes Rani dengan suara yang menggambarkan ketidakpastian dan kekhawatiran yang mendalam.
“Entah itu candaan atau bukan, itu tidak masalah bagiku. Aku akan merasa sangat bersyukur jika Rayhan menjadi menantuku. Bayangkan saja betapa lucunya menunggu mereka tumbuh dewasa dan menjalin cinta,”ujar Nadya dengan suara yang penuh keyakinan.
“Apakah kamu yakin, Nad?”
“Mengapa harus ragu? Aku tahu Rayhan adalah lelaki yang cocok untuk anakku. Aku bisa merasakan ke-serius-an-nya bahkan di usia dini seperti ini. Aku bisa melihat tekadnya untuk melindunginya. Sebagai pasangan, bukan sebagai adik.”
“Aku tidak yakin Rayhan bisa menjaga anakmu. Bagaimana jika dia menyakitinya nanti?”desak Rani dengan nada yang masih penuh kekhawatiran.
Nadya tersenyum, namun matanya menyiratkan kepercayaan yang tak tergoyahkan. “Aku percaya pada Rayhan, Rani. Dan aku yakin dia akan menjaga putriku dengan setia, tanpa cela.”
Dalam keremangan yang menggelayut di ruang tamu, Renra memandang Rani dengan tatapan penuh keyakinan, suaranya terdengar lembut namun penuh makna. “Yang penting, dia bisa mempertanggungjawabkannya. Kita pernah berjanji, kan? Jika anak pertama kita berupa putra dan putri, kita akan menikahkan mereka. Itu bukan hanya sebuah janji, Ren. Itu takdir dari Tuhan.”
Rani hanya bisa menghela nafas, mengingat janji yang pernah mereka buat bersama. Memang benar, mereka telah berjanji untuk menjodohkan anak-anak mereka jika Tuhan memberikan mereka anak laki-laki dan perempuan. Tapi, entah mengapa, Rani merasa ragu dan takut. Bukan karena ia tidak setuju dengan pilihan Rayhan sebagai pasangan putri Nadya, sebaliknya, ia sangat setuju. Tetapi, Rani ingin anaknya menemukan cinta sejati dari hatinya sendiri, bukan karena sebuah perjanjian atau perjodohan. Ia tidak ingin memaksakan kehendaknya.
“Tante Nadya,”panggil suara ceria Rayhan, memecah keheningan di ruangan, membuat kedua wanita itu menoleh padanya. Rayhan sedang tersenyum gemas di samping bayi cantik yang sudah dipindahkan ke kasur.
“Siapa nama adik bayinya?”tanya Rayhan dengan rasa ingin tahu yang khas anak-anak.
“Queenara,”jawab Nadya dengan lembut.
“Mengapa Queenara?”tanya Rayhan dengan penuh rasa ingin tahu.
“"Queenara adalah perpaduan yang memikat antara kekuatan dan keanggunan,”jelas Farhan dengan senyuman bangga.
“Ah, Queenara, nama yang sangat cocok,”ujar Rayhan, matanya bersinar penuh kagum.
“Halo, adik Queenara. Namaku Rayhan,”sapa Rayhan dengan lembut, seolah mengobrol dengan bayi yang sedang tertawa lepas.
“Adik Queenara, kamu sungguh cantik. Aku sangat gemas padamu.”
“Apa adik Queenara mau menjadi teman Rayhan selamanya? Rayhan sangat suka padamu.”
Perkataan hangat Rayhan membuat Nadya tersenyum penuh kebahagiaan. Melihat kesungguhan dan kelembutan dari anak sahabatnya itu, hatinya terasa dipenuhi oleh kehangatan. Setidaknya, di tengah kekhawatiran dan keraguan, ada seseorang yang sungguh-sungguh menyayangi putrinya dengan tulus.
Dalam keheningan yang menghiasi ruang tamu, Nadya memandang Rayhan dengan tatapan penuh harapan dan keyakinan. “Rayhan, jika suatu hari nanti kau dan Queenara memang ditakdirkan bersama, tante berharap kau akan menjaga dan menyayanginya dengan tulus.”
Rayhan, yang masih belum sepenuhnya memahami makna dari kata-kata itu, hanya mengangguk sambil menyimak dengan penuh perhatian, sebelum kembali larut dalam dunianya yang penuh warna, bermain dengan Queenara yang menggemaskan.
Di sudut ruangan, Rani menatap ke arah jendela dengan tatapan penuh kerinduan dan harapan. Dalam diamnya, dia memohon pada Sang Pencipta, “Tuhan, segala hal yang terjadi adalah takdir dari-Mu. Termasuk jika Engkau mentakdirkan janji antara aku dan sahabatku, Nadya, untuk terwujud. Aku berharap mereka suatu hari akan saling menyayangi dan menjaga satu sama lain dengan tulus.”
Sementara itu, Nadya duduk di samping Rani, matanya terarah pada Rayhan dan Queenara yang tengah asyik bermain. Dengan suara yang hampir sirna ditelan oleh keheningan, dia menggumam,"biarlah waktu yang menentukan.”
Dalam kesunyian yang melingkupi ruang tamu itu, terdapat sebuah harapan yang tersemat dalam hati mereka. Harapan akan sebuah takdir yang membawa kebahagiaan dan kasih sayang di antara mereka, sebuah takdir yang akan ditentukan oleh waktu dan kehendak Tuhan.
Di lautan pikiran yang gelap, janji-janji terucap bagaikan bintang-bintang gemerlapan di malam yang sunyi. Namun, satu kesalahan fatal seolah menghempaskan segalanya ke dalam jurang keputusasaan. Di antara reruntuhan hati yang hancur, sang bocah yang masih belia hanya mampu menatap masa depan dengan tangan terlipat, menunggu datangnya takdir yang menghampiri.
****
18 Tahun Kemudian...
Sementara itu, di pelukan hangat waktu, Bandara Internasional Soekarno-Hatta, menjadi saksi kedatangan seorang pria dewasa dan seorang remaja, membawa senyuman cerah yang merefleksikan kegembiraan mereka. Di tengah keramaian, sosok wanita paruh baya, penuh dengan kecantikan yang tak tergerus oleh usia, dengan penuh kerinduan merentangkan tangannya untuk menyambut dua orang yang telah begitu lama ia nantikan.
Dengan lembutnya, sang ibu membiarkan pelukan hangat merangkulnya, membiarkan kata-kata cinta dan kerinduan tercipta dalam sentuhan yang penuh makna. “Aku datang, ma,”seruan pertama sang pria dewasa terucap begitu hangat di tanah kelahirannya, memenuhi ruang dengan kehangatan yang tak terkira.
“Mama selalu menantimu, nak,”sahut sang wanita, suaranya penuh dengan getaran rindu yang terpendam selama bertahun-tahun tanpa kehadiran sang putra.
Setelah melepas pelukan yang penuh makna, matanya kemudian memandang pada sosok remaja di sampingnya. Tubuhnya tegap, namun wajahnya tersembunyi di balik masker dan kacamata hitam. Namun, di balik kedua penutup itu, air mata tak tertahan jatuh begitu saja, tanpa isak sedu yang terdengar. Dalam momen yang singkat namun penuh dengan makna, remaja itu memeluk sang wanita dengan penuh kerinduan, membiarkan rasa cinta dan kehilangan memenuhi ruang di antara mereka.
Dalam gemuruh emosi yang memenuhi ruang, suara lembut terucap di antara isakan pilu.
“Aku merindukanmu, ibu,”lirihnya, suaranya agak sesak karena sebuah tangisan yang tak terbendung.
Wanita itu, dengan hati yang tersentuh oleh kepedihan di balik suara remaja yang akrab baginya, langsung mendekap erat tubuh si remaja empat belas tahun ini. Isakan pilu yang memenuhi ruang membuat hatinya ikut teriris, merasakan setiap getaran dari kesedihan yang terlukis di wajah sang anak.
“Kau... K-Kenzie?”wanita paruh baya itu bertanya, suaranya gemetar seakan tak percaya dengan apa yang kini ia lihat, dengan kehadiran yang begitu dinanti-nantikan.
Anggukan pelan dari si remaja, Kenzie, membuat wanita paruh baya itu semakin tak mampu menahan tangisnya. Suara mereka berdua terdengar begitu keras, menciptakan harmoni dari emosi yang terlukis dalam sebuah pertemuan yang begitu dinanti.
“Kau Kenzie ku? Anak imutku?”bibirnya gemetar, terhanyut dalam keajaiban pertemuan yang begitu tak terduga.
Mendengar penuturan sang ibu, Kenzie tersenyum lebar, mengkonfirmasi kehadirannya dengan penuh kebahagiaan.
“Iya, ibu, aku Kenzie.”
Keduanya sama-sama menangis terharu, melepas pelukan itu untuk melihat wajah satu sama lain, menyaksikan keajaiban pertemuan yang telah mengubah dunia mereka.
“K-kau begitu tampan, dan juga sudah sangat tinggi dari sebelumnya,"wanita paruh baya itu tak mampu menutupi keheranannya, tak percaya dengan perubahan yang terjadi di hadapannya.
“Padahal dulu kau begitu kecil, imut. Tapi sekarang kau sudah tinggi, bahkan sudah hampir menyamai tingginya Rayhan,”ucapannya terhenti sejenak di hadapan keindahan perubahan yang terjadi.
Kenzie terkekeh pelan, merasakan kehangatan dan cinta dari sosok ibu yang telah lama ia rindukan. Wanita yang sangat berjasa dalam hidup Kenzie yang telah merawatnya dari bayi.
“Ya sudah, ayo kita pulang,”wanita paruh baya itu menghapus jejak air matanya, menggenggam kedua tangan lelaki berbeda usia itu dengan perasaan bahagia yang tak terhingga, menyatukan kehadiran mereka dalam cinta yang tak terpisahkan.
Langit kota jakarta, memancarkan keindahan yang tak terbantahkan, memancarkan sinar senja yang memeluk kota dengan lembutnya. Di tengah gemerlapnya kota, mereka bertiga berjalan menuju mobil, langkah-langkah mereka penuh dengan kehangatan dan antusiasme yang memancar dari setiap sudut hati mereka.
Setelah sampai di mobil, mereka disambut oleh seorang supir pribadi, Pak Adit, yang setia mengantarkan kemana pun Rani pergi. Dengan cekatan, pak Adit membuka pintu mobil, mengundang mereka untuk memasuki kereta kendaraan yang akan membawa mereka pulang menuju rumah yang sudah lama kedua laki-laki ini tinggalkan.
“Silahkan masuk, Nyonya Rani, Tuan muda Rayhan, dan Tuan kecil, Kenzie,”sambut supir itu dengan sopan, menyinari wajah mereka dengan senyum yang hangat.
Ketiganya masuk ke dalam mobil, sambil mengucapkan kata terima kasih. Selama perjalanan, Rani mengisi ruang dengan cerita yang mengalir begitu alami, membawa tawa dan keceriaan di antara mereka. Sejak kecil, Rani adalah sosok yang sangat berharga dalam keluarga mereka, mengajarkan mereka untuk menghormati siapa pun, tanpa memandang status atau profesi seseorang.
Di tengah percakapan yang mengalir lancar, Kenzie tiba-tiba bertanya tentang kehadiran ayahnya, Renra. Rani menggelengkan kepalanya pelan, menjelaskan bahwa ayahnya sedang sibuk dengan urusan bisnisnya.
“Jangan sedih, Kenzie. Ibu selalu ada untukmu,”kata Rani sambil mengusap lembut rambut hitam Kenzie dengan kasih sayang ibu.
“Mmm.. Ibu, apakah di sini banyak tempat yang seru untuk dikunjungi?”tanya Kenzie, matanya melihat keluar jendela, merindukan petualangan di negeri yang sudah lama tak ia jelajahi. Terakhir ia berada di negera ini ketika usianya 10 tahun. Dirinya terpaksa pindah ke luar negeri bersama Rayhan, karena alasan yang dirinya pun tak tahu.
“Tentu saja, Kenzie. Nanti ibu akan membawamu keliling Jakarta, ke tempat-tempat yang indah dan menarik,”jawab Rani dengan senyum cerah, merasakan kebahagiaan melihat kegembiraan dalam senyuman Kenzie.
"Bu, andai aku bisa tinggal bersamamu dulu, dan tidak harus pergi meninggalkanmu,”ungkap Kenzie, merasa menyesal karena jujur saja, ia tak bahagia ketika meninggalkan ibunya.
“Lalu kamu akan meninggalkan Rayhan sendirian?”goda Rani dengan senyum. Namun, tatapan Kenzie beralih ke arah Rayhan yang tengah terdiam, membuat Rani menyadari bahwa kehadiran mereka berdua sangat berarti satu sama lain.
“Bukan begitu, bu. Sejak ibu pergi, aku selalu merasa kesepian,”ujar Kenzie dengan suara yang penuh dengan kehangatan dan rasa sayang. Namun Rani tak menyadari ada luka ketika Kenzie mengungkapkan itu.
Melihat kegelisahan yang menghiasi wajah Kenzie, Rani dengan lembut membawa pemuda itu kedekapannya, seolah mengatakan bahwa tak ada lagi alasan untuk merasa kesepian, karena mereka akan bersama-sama dalam setiap langkah.
“Kamu adalah anak yang baik, Kenzie. Jangan biarkan kesedihan menghampiri dirimu lagi, nak. Ibu akan selalu menjadi sandaran nomor satu bagimu, ketika kau merasa sendiri di dunia ini,”ujar Rani dengan penuh kasih sayang, matanya bersinar memancarkan kehangatan yang tak terbantahkan.
Senyum yang terukir di bibir Kenzie menjadi sebuah penanda kebahagiaan yang terpancar dari dalam hatinya. Kehadiran Rani dalam hidupnya adalah sebuah berkah yang tak tergantikan, membawa cahaya dan kehangatan dalam setiap langkahnya. Meskipun ia tahu bahwa ia adalah anak yang tak dih*ar*apkan pada awalnya, namun cinta dan kasih sayang Rani telah mengubah segalanya. Tapi di suatu sisi, Kenzie selalu berpikir, andai saja ia tidak terlahir, keluarga ini akan bahagia.
"Ibu, mengapa kita harus pindah dan tinggal di Paris? Keluargaku ada di sini, mengapa kami berdua harus hidup di negara asing?”tanya Kenzie, rasa kebingungan terpancar jelas di wajahnya.
Rani hanya tersenyum singkat, menahan rahasia yang masih tersembunyi di dalamnya. “Belum saatnya, Kenzie. Saat tiba waktunya, ibu akan ceritakan semuanya.”
Kenzie tak bisa menentang, akhirnya ia hanya tersenyum pahit, merenungkan kehidupannya yang penuh dengan misteri dan rahasia yang belum terungkap sepenuhnya.
Sementara itu, Rayhan yang duduk di samping supir, tenggelam dalam pikirannya sendiri, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Senyum kecil terukir di bibirnya, meskipun di balik senyum itu tersembunyi kepedihan yang tak terucapkan.
“Mungkin ini kali pertama setelah sekian lama aku menginjakkan kaki di tanah kelahiranku,”bisiknya, mengingat kejadian masa lalu yang membekas dalam ingatannya. Meninggalkan segalanya karena sebuah pengkhianatan yang terjadi di masa lalu.
Queenara, nama yang terpatri dalam ingatannya dengan kekuatan yang tak terbantahkan. Meskipun begitu, ia tak pernah berani untuk kembali ke tempat yang pernah ia panggil sebagai rumah, tak pernah berani untuk menghadapi kenyataan yang tersembunyi di balik masa lalunya.
Dengan perasaan campur aduk, Rayhan tak bisa menahan air mata yang tiba-tiba membasahi pipinya. Hidupnya telah menjadi labirin yang rumit, di mana ia terpaksa menjadi d*ew*as*a dan mengerti tentang kehidupan, bahkan ketika usianya masih terlalu muda untuk mengerti.
Menetap di Paris selama bertahun-tahun adalah sebuah pengorbanan yang harus ia lakukan, atas sebuah kesalahan yang tak pernah ia inginkan. Di j*eb*ak oleh teman-teman sekelasnya, ia terpaksa meninggalkan segalanya.
Dan di tengah keheningan itu, bayangan Queenara kembali menghantui pikirannya, membuatnya merenung tentang keputusan yang harus ia ambil, tentang kesalahan yang harus ia perbaiki, tentang rahasia yang harus ia ungkapkan. Namun, ketakutan dan keraguan selalu menghampirinya, membuatnya terdiam dalam kegelapan yang menghantui.
Masih terhanyut dalam perjalanan yang membawa mereka menuju kediaman keluarga Pratama, suasana dalam mobil terasa seperti sebuah lukisan yang terhampar dengan warna-warna yang berbaur, menciptakan lapisan kedamaian yang rapuh. Di antara sepi yang melengking, Kenzie merasa tersentak oleh keinginan tiba-tiba untuk menikmati sebuah es krim. Namun, keberaniannya meredup seiring dengan kehadiran Rayhan yang teguh di sebelahnya.
Walau hati Rani dipenuhi dengan keinginan untuk memenuhi segala keinginan Kenzie dengan sukacita, namun kemarahan Rayhan mencegahnya. Ingatan akan insiden terakhir di mana Kenzie dengan nakalnya memakan es krim dengan jumlah yang banyak dan berakhir dengan sebelah pipi yang merah karena hantaman lembut dari Rayhan, membuatnya ragu untuk bertindak.
Kenzie, dalam kebijaksanaannya yang masih belia, menyadari bahwa segala tindakan yang diambil Rayhan adalah untuk kebaikannya. Namun di tengah kebijaksanaan itu, tersembunyi rasa kekecewaannya yang meluap-luap, menyalurkan pertanyaan tak terjawab tentang makna hidup dan kenapa dia harus mengalami segala sesuatu dengan begitu pahit.
“Nak, ada yang mengganggumu?”suara lembut Rani memecah keheningan, mencari jawaban atas perubahan drastis dalam sikap Kenzie. Mata Kenzie, penuh dengan pertanyaan yang tak terucapkan, berpaling ke arah Rani.
“Tidak, Ibu,”desisnya pelan, mengubur perasaannya dalam-dalam.
Rayhan, dalam kediamannya yang sunyi, hanya menyelipkan pandangan singkat sebelum meredupkan diri di balik layar ponselnya, seolah menjauh dari dunia yang berkeliaran di sekitarnya.
“Tidak apa-apa, kok. Kenzie pasti menginginkan sesuatu, bukan?”Rani meraba dari ekspresi wajah Kenzie yang terbata-bata.
Kenzie terkejut dengan kecerdasan batin Rani yang mampu menembus jauh ke dalam hatinya. Namun, tanpa sepatah kata pun, dia hanya melempar pandang ke arah Rayhan yang tampak tak terpengaruh di depannya.
"Sampai kapan?”bisik Kenzie dalam hati, meratapi kekosongan yang melanda.
“Kenzie?”sentuhan lembut Rani di pundaknya membuyarkan lamunan Kenzie.
“Tebakan Ibu tepat, 'kan? Katakan saja apa yang kamu inginkan, jangan takut,”dorongan Rani memecah keheningan, mengetahui bahwa di balik senyuman ceria Kenzie, terselip beban yang berat untuk dipikul seorang diri.
“M-mau ice cream,"gumamnya dengan suara hampir menghilang, mengukir permohonan sederhana namun dalam di tengah keheningan yang membelenggu
”Ice cream?"ulang Rani dengan hati-hati, takut mengambil kesimpulan yang salah karena jawaban Kenzie yang hampir tidak terdengar.
Dengan kekakuan yang terasa di setiap gerakannya, Kenzie mengangguk. Rasanya seperti ia menakutkan dirinya sendiri dengan mengungkapkan keinginannya, tetapi hasrat untuk mencicipi es krim begitu kuat dalam dirinya. Sudah lebih dari seminggu sejak ia terakhir kali menikmati manisnya es krim, semua karena larangan keras yang digaungkan oleh Rayhan, dengan berbagai ancaman yang membuanya tak berani melawan.
“Pak Adit, tolong berhenti sejenak di depan toko es krim. Kenzie menginginkannya,”putus Rani, memberi instruksi tegas kepada sopir mereka untuk membuat henti sesaat, demi memenuhi keinginan Kenzie.
Sebuah senyuman merekah di wajah remaja empat belas tahun itu, menyulapnya menjadi bayangan kebahagiaan yang tak terbantahkan. Keimutan yang terpancar dari wajahnya sungguh menggemaskan, membuat siapapun yang melihatnya tak bisa menahan senyum.
Berapaoun usia Kenzie, ia tetap memancarkan pesona dan kepolosan seorang anak kecil. Wajahnya, yang tak hanya tampan tapi juga menggemaskan, membuatnya begitu memikat. Inilah Kenzie, yang tidak hanya menawan hati dengan penampilannya, tetapi juga dengan kepribadiannya yang hangat.
“Baiklah-“
“TIDAK. Tidak perlu!”suara tegas Rayhan memotong ucapan sopir mereka, dengan sikap diam yang telah ia pertahankan sejak awal.
Kedengaran ucapan itu menggetarkan hati sang sopir dan membuat Kenzie merasa bergetar. Seperti kilat yang menyambar, ketakutan merasuki mereka dalam sekejap. Namun, yang tak terduga adalah reaksi Rani yang memandang putranya dengan tatapan marah. Dalam benaknya, ia bertanya-tanya bagaimana Rayhan bisa menjadi sosok yang begitu tegas dan tak terkalahkan, yang bahkan tidak boleh ditantang.
“Mengapa tidak, Rayhan? Mengapa kamu melarang Kenzie melakukan sesuatu yang diinginkannya?”tanya Rani dengan suara yang menuntut jawaban.
Tiba-tiba, ruangan mobil terasa tegang, hampir mematikan, diwarnai oleh konfrontasi antara ibu dan anak.
"Ice crean tidak sehat jika dikonsumsi secara berlebihan. Dan kebiasaan itu hanya akan memberinya kesenangan sesaat. Dan jika terus menuruti keinginannya ia akan meluncak, jadi tidak tau diri,”jawab Rayhan dengan tenang, tanpa ekspresi berlebihan.
“Rayhan, mengapa kamu selalu mengabaikan keinginannya? Mengapa kamu selalu bertentangan dengan apa yang diinginkan Kenzie? Padahal kamu tahu sendiri bahwa Kenzie-“
“Ya, aku tahu, ma. Tidak perlu diulangi. Aku tahu apa yang aku lakukan,”potong Rayhan sekali lagi, tanpa memberikan ruang untuk melanjutkan pembicaraan.
Rani merasa frustrasi dengan sikap anaknya. Namun, di balik kekesalan itu, ia menyadari bahwa dalam hubungan mereka dengan Kenzie, status dan kekuasaan lebih condong kepada Rayhan. Ia hanya memiliki peran untuk memberi arahan kepada Rayhan tentang bagaimana mengurus Kenzie, tetapi anak itu memiliki cara sendiri dalam menangani segala hal.
“Ibu, tidak usah. Kenzie tidak ingin kalian bertengkar karena Kenzie,”Kenzie segera menengahi, merasa bahwa ini adalah tanggung jawabnya. Sebelum situasi semakin memanas, ia memutuskan untuk mengambil langkah mundur.
Demikianlah, demi kebaikan Kenzie, Rani memilih untuk diam, dan Rayhan juga kembali merendahkan diri.
“Hoaamm.”
“Aku merasa mengantuk, ibu. Bolehkah Kenzie tidur sekarang?”setelah menguap, Kenzie meminta izin. Tubuhnya terasa begitu lelah dan butuh istirahat segera. Dengan perlahan, ia menutup kedua matanya, merasa lelah setelah semua pertarungan itu.
Bagi Kenzie, tidur adalah momen yang istimewa. Di dalam dunia mimpi, segalanya menjadi mungkin, dan keindahan yang tercipta tidak terbatas oleh batasan dunia nyata. Setiap detail tentang kehidupannya terurai dalam cerita yang tak terkalahkan. Dia percaya bahwa apa yang dilihat oleh orang lain tidak akan pernah sama dengan apa yang dia alami di dalam mimpinya.
Tidak butuh waktu lama sebelum suara halus dengkuran mengisi ruangan, mengungkapkan bahwa Kenzie telah terlelap dalam tidurnya. Rani menyapu rambut lembut sang anak dengan penuh kasih, dalam keheningan yang menyejukkan. Rayhan, di sisi lain, memilih untuk terdiam, menjadi seperti patung yang tak bisa bicara.
Perjalanan terus berlanjut, dan Rani tidak ragu untuk memerintahkan sopirnya. “Pak, tolong berhenti di toko ice cream seperti yang saya minta tadi,”ucapnya tanpa peduli pada pandangan Rayhan.
“Dengan senang hati, Nyonya.”
Mobil berhenti di depan sebuah toko es krim yang menawarkan berbagai jenis dan rasa. Sang sopir hendak turun untuk membelikan es krim untuk tuan kecilnya, Kenzie yang sedang tertidur pulas.
“Tidak perlu. Rayhan yang akan membelikannya,,”suara Rani menggema di ruang yang hening.
Rayhan memalingkan wajahnya, tatapannya tanpa sengaja jatuh pada Kenzie yang terlelap dengan wajah yang damai.
“Turunlah sekarang dan belikan Kenzie ice cream!”perintah Rani dengan tegas.
“Tidak, ma. aku tidak ingin melakukannya. Aku sudah melarangnya tadi. Dia juga sudah mau mengalah, 'kan?”sahut Rayhan, tanpa ragu.
“Rayhan, mengapa kamu selalu menentang keinginannya?”tnya Rani dengan suara penuh penyesalan.
“Segala sesuatu yang aku lakukan adalah untuk kebaikannya dan juga untuk aku sendiri,"jjawab Rayhan dengan mantap.
Rani menghela nafas berat, merasa bahwa semuanya menjadi semakin rumit.
”Namun, untuk kali ini, mama mohon kamu belikan dia ihhhhhh ce cream. Kalau kamu yang turun dan membelinya, pasti Kenzie akan sangat senang jika dia tahu,”Rani masih memegang teguh permintaannya kepada anaknya.
Rayhan akhirnya menyerah. Ia merasa bahwa terus menolak ibunya hanya akan membuatnya semakin lelah. Dengan langkah yang berat, ia memutuskan untuk memasuki toko es krim.
Setelah memilih dan membeli satu es krim, sengaja hanya satu, karena menurut Rayhan es krim tidak sebaiknya dikonsumsi secara berlebihan, ia melangkah keluar dari toko.
Bruk!
Namun, sebelum ia bisa menghindar, seseorang menabraknya dengan keras. Es krim yang baru saja ia beli jatuh ke tanah, bersamaan dengan seorang gadis yang turut terjatuh. Namun, Rayhan tetap tegak, tak tergoyahkan oleh benturan itu.
Sadar akan kesalahannya, gadis yang terjatuh itu segera mengambil es krim yang jatuh dari tangannya. Namun, es krim itu sudah hancur dan tidak layak untuk dimakan.
“Maafkan saya. Saya tidak bermaksud untuk menabrak anda,”ucap gadis itu dengan nada yang sangat sopan. Namun, tak ada respons dari Rayhan. Ia hanya diam, matanya menatap gadis itu dengan intens, menyelidiki setiap ekspresi di wajahnya yang panik.
“Tolong maafkan saya, tuan. Saya akan menggantinya, tunggu sebentar-“
Gadis itu mendongak, dan tiba-tiba kata-katanya terpotong. Matanya terkunci pada mata hitam pekat Rayhan, dan wajahnya seolah membeku dalam pesona yang tak tergoyahkan.
“Wow... Dia sungguh tampan.”
“Inikah yang namanya takdir,”bisik hati gadis itu yang terpesona, yakin bahwa pertemuan ini adalah takdir yang tak bisa dihindari.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!