Sore itu, saat hujan mengguyur Jakarta, aku memutuskan untuk pergi dari rumah. Bukan tanpa alasan, Aku pergi karena tidak tahan dengan ceramah ayah. Meskipun dalam hal ini aku yang salah karena telah berkelahi, aku tetap tidak bisa menerima kemarahan ayah tadi.
Berjalan tanpa arah, diiringi rintik hujan, aku tidak mempedulikannya. Hujan yang dimulai dari siang tadi belum juga reda, angin yang berhembus terasa sejuk menembus pori-pori ku yang tengah berjalan mengitari sudut-sudut kota Jakarta yang ramai. orang-orang terlihat berjejer di pinggir jalan menghiasi kedai-kedai penjual makanan terlihat ada yang berpasangan ada juga yang berkumpul dengan teman-temannya sembari bersenda gurau dan saling menebar kehangatan satu sama lain.
Dari banyaknya muda-mudi, hanya aku yang sendirian berjalan tanpa tujuan dengan hoodie abu-abu yang melindungi ku dari tetes demi tetes air hujan. Tubuhku yang menjulang tinggi telah basah kuyup. Hoodie milikku tidak mampu lagi menahan terjang hujan yang semakin deras membuat tubuhku mulai kedinginan. Pada akhirnya aku memutuskan untuk pulang.
Di sepanjang jalan banyak peristiwa yang dapat aku saksikan. Salah satunya ada seorang ayah yang memohon kepada polisi untuk tidak membawa anaknya pergi. Aku mendengar bahwa polisi menangkapnya karena mengkonsumsi narkoba. Ayah itu mencoba meraih tangan anaknya namun tangannya hanya tergantung di udara karena polisi terlebih dahulu menyeret anaknya ke dalam mobil. Aku pernah di posisi anak itu. Keluar masuk penjara merupakan hal biasa yang kulakukan. Ayah! tiba-tiba aku teringat dengan ayah rasa sesal di dalam hatiku mulai muncul. Aku menyadari suatu hal ternyata selama ini aku sering mengecewakan ayah.
Aku ingin memperbaikinya, semoga saja tidak terlambat.
Aku dan kakak kandungku adalah dua pribadi yang berbeda Aku terlahir sebagai anak yang super aktif, bertolak belakang dengan Kak Asta yang memiliki sifat pendiam dan penurut. Sejak kami kecil, perhatian ayah hanya tertuju pada Kak Asta apa-apa selalu kak Asta yang diprioritaskan. Ayah berbeda dengan ibu, beliau selalu ada untukku. Setelah kakak Asta dan Ibu meninggal dalam kecelakaan pesawat ayah malah menikahi pengasuhku. Ditambah lagi ayah membawa orang asing tanpa seizinku telah menyandang status Kak Asta
Hidupku benar-benar kacau setelahnya. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara mengekspresikan rasa kesal ku yang tidak berkesudahan ini. Aku telah kehilangan tujuan hidup, status narapidana sudah pernah kudapatkan, trouble maker kampus juga status yang melekat kepadaku saat ini. Perlu dicatat kenakalanku tidaklah sampai menyentuh dunia malam seperti seks bebas dan narkoba.
"Sudahlah setiap orang mempunyai dosa yang berbeda, bukan?"
Perjalananku terhenti ketika melihat seseorang tiba-tiba terjatuh dengan kondisi yang mengerikan. Wajahnya pucat matanya melotot, tubuhnya menggigil, dan mulutnya berbusa. Kakiku gemetar ketakutan, di tambah rasa dingin meruak dalam tubuhku.
"Apa zombie beneran ada," Tanyaku dalam hati. bisa-bisanya Aku memikirkan hal bodoh.
"Kamu kenapa?" tanyaku sembari mendekatinya hati-hati.
Pria itu tidak menjawab Dia malah menyerahkan beberapa bubuk yang tersimpan di dalam plastik berukuran kecil. Aku mengambilnya dan melihat isinya. Keningku mengerut.
"Apa ini? Jangan-jangan narkoba" Belum sempat aku bertanya, pria itu tak sadarkan diri.
"Tolooong!!" Teriakku dengan keras. Panik, itulah yang aku rasakan.
Aku kembali berteriak, tidak ada satupun orang yang melewati gang ini. Aku ingin meninggalkan orang ini namun aku tidak tega melakukannya. Kaki ku maju mundur antara pergi dan tidak. Namun, jiwa baik ku tiba-tiba muncul membuat ku tak tega meninggalkannya.
Tiba-tiba aku dikejutkan dengan kehadiran seseorang wanita muda yang memakai payung hijau. Dia jongkok dan mengambil tubuh pria itu dari tanganku.
"Dia kenapa?" Tanya nya .
"Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja sudah seperti ini."
"Kita harus cepat bawa dia kerumah sakit. Dia overdosis," Ujarnya tiba-tiba.
Aku menghentikan tangannya yang mencoba membopong tubuh pria itu.
"Kamu siapa?" Tanyaku penuh selidik.
"Ayo cepat, nanti temanmu tidak tertolong."
"Dia bukan teman sata. Saya hanya kebetulan lewat. Dari mana kamu tahu dia overdosis?"
"Saya seorang dokter."
Aku terdiam, aku langsung membantu wanita itu membopong tubuh pria ini. Di bawah rintik hujan. Kami menunggu taksi lewat. Saat taksi berhenti tepat di depan kami aku membopong tubuh pria itu dan memasukkannya ke dalam mobil.
"Rumah sakit Bunda Husna," Ujarku pada sopir taksi. Setelah sampai di rumah sakit, Aku menyerahkan urusan pria itu kepada dokter tadi.
Malam sudah larut, sepertinya aku harus pulang. Rasanya hari ini begitu melelahkan. Padahal aku tidak melakukan apa-apa. Mungkin, hatiku yang lelah.
Sampai di rumah ayah langsung menatapku dengan tatapan tidak suka.
"Dari mana saja kamu? Kenapa bisa basah kuyup seperti ini?"
"Jangan diam Raftha! jawab ayah!"
Bukannya menjawab, Aku malah memeluk ayah. Tubuhku spontan melakukannya. Bagaikan terdorong naluri hati, aku memeluk ayah sambil menangis. Aku dapat merasakan reaksi terkejut dari ayah karena ini kali pertamanya aku memeluk beliau semenjak meninggalnya Ibu dan kak Asta.
"Yah, maafkan Raftha karena selama ini menyusahkan ayah," ujarku.
Aku merasakan tangan ayah yang membalas pelukanku. Ayah hanya diam dia tidak mengeluarkan suara satupun. Malam itu aku merasa kacau sekaligus. Pelukan erat yang ayah berikan membuat rasa kacau ku selama ini perlahan hilang. Sepertinya aku harus berdamai dengan ayah. Mencoba menerima semua hal baru di rumah ini. Aku melepas pelukan ayah. Tanpa melihat ayah, aku buru-buru mendekati pintu kamar. Sebelumnya aku melihat tante Helna yang tersenyum tidak jauh dari kamarku aku sempat membalas senyuman beliau sebelum menutup pintu kamar. Ah, aku benar-benar malu.
Bagaimana bisa aku memeluk ayah sambil menangis begini. Itu bukan karakterku. Tapi, kenapa, setelah ayah membalas pelukanku. Hatiku cukup tenang.
Aku membuka pakaian ku, guna membersihkan diri. Tubuhku kedinginan. Jadi aku mandi pakai air hangat. Tiba-tiba bibirku tersenyum dengan sendirinya. Entahlah, seperti nya hatiku cukup senang. Aku berharap, rasa ini terus bisa aku rasakan selamanya. Aku rindu, rasa hangat ini.
Aku ingat dengan jelas, rasa ini hilang perlahan setelah kepergian Ibu dan kak Asta. Aku berharap, mereka berdua berada di tempat terindah.
Aku bertekad akan berubah dan menunjukan jika aku anak yang bisa di banggakan juga. Aku ingin di puji, seperti ayah memuji dokter Asta.
Sekarang tubuhku terasa hangat, aku memejamkan kedua mata. Menarik selimut dan terlelap.
Aku tersenyum kembali, seolah menanti hari baru yang akan aku lalui dengan penuh semangat. Akan aku buktikan jika aku mampu menggapai semuanya.
"Tunggu saja, yah. Rafhta akan membuktikan semaunya pada ayah." Batinku dengan kesadaran yang mulai menghilang.
Bersambung ...
Jangan lupa Like, Hadiah, komen dan Vote, Terimakasih ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments