"Kamu mau ngapain? Jangan turun, Nak!" cegah Umi Mae.
"Aku mau nganter Gisel periksa ke dokter, Umi. Kasihan dia."
"Umi aja yang nganter, kamu pasti masih lemes, Nak. Jadi istirahat saja."
"Enggak usah ke dokter, Bang, Umi. Aku udah sembuh kok," tolak Gisel. Dia tersenyum menatap suami dan mertuanya secara bergantian.
"Kamu yakin, Yang?" Evan tampak tidak percaya. Dia menatap dalam mata istrinya.
Masih bisa-bisanya Evan mengkhawatirkan Gisel, sementara kondisinya saja masih belum sepenuhnya pulih.
Itu memang sudah membuktikan bahwa cintanya kepada Gisel begitu banyak. Hanya saja, Gisel seolah menutup mata dan telinga. Tidak ingin membuka hatinya kepada sang suami.
"Yakin." Gisel mengangguk cepat. "Mangkanya semalam itu aku pulang, karena memang kalau lagi diare cuma ramuan dari Mama aja yang bisa nyembuhin aku, Bang." Dia berbicara asal saja, meneruskan kebohongan dari Arga.
"Waahh hebat banget Mama ya, Yang. Bisa nyembuhin orang yang kena diare."
"Ya 'kan Mamaku dokter, Bang. Wajar kalau bisa," jawab Gisel dengan nada yang terdengar sombong.
"Eh serius? Mamamu dokter, Yang?" Evan terkejut, tapi juga takjub mendengarnya.
"Iya, Mama seorang dokter, Bang. Tapi dia dokter kandungan."
"Enak dong ya, Yang. Nanti kalau kamu hamil ... periksanya bisa ke Mama, nggak perlu ke orang lain." Evan kembali mengelus perut Gisel dengan penuh kasih sayang. Berharap jika sudah ada calon anaknya di dalam sana, meskipun usia pernikahannya baru setengah bulan.
'Amit-amit. Siapa juga yang mau hamil anakmu,' batin Gisel tersenyum sinis.
'Jangan sampai deh si Gisel hamil. Semoga aja dia memang pakai KB,' batin Arga.
"Umi mau panggilkan suster dulu deh, ya, buat nganterin Evan sarapan. Soalnya tadi suster sempat ke sini dan berpesan kalau kamu udah bangun Umi diminta untuk memberitahunya," ucap Umi Mae berdiri dari duduknya.
Evan mengangguk, lalu tersenyum. "Terima kasih ya, Umi."
"Sama-sama, Nak." Umi Mae lantas melangkah keluar dari kamar.
"Kalau begitu Papa pulang ya, Sel, Van ...." Arga mendekat, dia juga hendak pamit pulang. Lalu menatap ke arah Evan sambil tersenyum manis. "Semoga kamu cepat mati, e-ehh ... maksud Papa cepat sembuh." Segera dia meralat, bisa-bisanya Arga keceplosan.
"Amin. Terima kasih ya, Pa, udah nganterin Gisel. Papa hati-hati dijalan," kata Evan dengan penuh perhatian.
"Nggak usah berterima kasih, Gisel 'kan anak Papa. Ya udah, assalamualaikum."
"Walaikum salam," jawab Evan dan Gisel berbarengan, keduanya menatap punggung pria itu yang tak lama kemudian menghilangkan dari balik pintu.
"Papamu ternyata suka bercanda juga ya, Yang."
"Suka bercanda?!" Gisel perlahan duduk dikursi kecil, menatap suaminya dengan heran. "Maksudnya gimana?"
"Ya tadi itu, masa Papa ngucapin semoga aku cepat mati." Evan tertawa kecil, dia memang berpikir positif. Menganggap Papa mertuanya tadi mengajaknya bercanda. "Tapi agak serem juga, ya, Yang. Bercandanya."
"Oohh ... iya. Maafin Papa, ya, Bang. Dia memang kalau bercanda nggak tau aturan."
"Nggak apa-apa. Justru aku senang, karena itu berarti keluarga kamu sedikit demi sedikit mau menerimaku."
Gisel mengangguk pelan, memerhatikan ekspresi wajah Evan yang terlihat senang. 'Padahal Papa nggak bercanda lho, Bang. Dia memang mau kamu mati. Bahkan semua keluargaku termasuk aku juga,' batinnya.
"Oh ya, aku sampai lupa. Umi tadi bilang ... kalau aku udah sembuh, dia kepengen tinggal bersama kita untuk sementara waktu. Aku harap kamu mengizinkannya ya, Yang?" pinta Evan penuh harap. Dia juga mengenggam tangan Gisel.
"Lho, ngapain Umi mau tinggal bersama kita? Memangnya rumahnya kenapa?"
Dari nada suaranya saja, Gisel menunjukkan ketidak setujuan. Evan dapat merasakannya.
"Mungkin Umi lagi kangen sama aku, Yang. Karena emang dari dulu, semenjak aku menduda ... aku jarang pulang dan bertemu dengannya."
"Memangnya selama ini Umi tinggal di mana, Bang? Rumahnya jauh?" Sebenarnya tidak penting juga Gisel tahu, cuma tidak mungkin dia terlalu cuek. Karena itu bisa saja membuat Evan curiga.
"Deket kok, Yang. Tapi sebenarnya Umi itu selama ini tinggalnya di rumah Bang Yunus, karena pas almarhum Abi meninggal ... rumahnya langsung dijual."
"Kok malah dijual? Pasti karena Umi terlilit hutang, ya?"
"Bukan, bukan karena terlilit hutang." Evan menggelengkan kepalanya. "Umi sendiri bukan tipe ibu-ibu yang doyan ngutang sana sini, Yang. Tapi alasan rumah itu dijual karena Umi selalu nangis tiap malam dan nggak pernah bisa tidur. Dia inget terus sama Abi, sampai akhirnya sering jatuh sakit."
"Terus, Bang Yunus ... Mbak Sari dan aku berdiskusi, enaknya gimana. Dan setelah kami bicarakan secara matang-matang demi kebaikan Umi, kami memutuskan untuk menjual rumah itu," tambah Evan bercerita. Gisel juga sepertinya perlu lebih banyak tahu tentang keluarganya.
"Oohh, terus uangnya kalian bagi tiga?"
"Ya enggaklah, Yang. Aneh-aneh aja kamu ini." Evan tertawa, merasa lucu dengan pertanyaan Gisel.
"Lho, ya 'kan biasanya kalau orang tua udah meninggal ngasih warisan gitu, Bang, ke anak-anaknya. Bisa berupa rumah juga."
"Itu berlaku kalau ada wasiat sebelumnya, Yang. Tapi kalau ini nggak ada. Ya lagian kami sebagai anak pun nggak mau warisan dari orang tua, malah kalau ada ya mending kita yang ngasih. Kan jauh lebih berpahala."
"Iya sih bener." Gisel mengangguk. Tak menyangka rasanya bahwa Evan bisa memiliki pikiran yang begitu dewasa. "Ah tapi aku nggak mau deh, Bang, tinggal bareng Umi."
"Kenapa nggak mau? Cuma sementara doang kok, Yang."
"Risih tau, Bang, tinggal bareng-bareng begitu. Ditambah biasanya mertua itu cerewet. Aku malas kalau sampai Umi nanti ngoceh." Selain karena alasan yang telah dia sebutkan, Gisel juga tidak mau rencananya gagal karena wanita itu.
"Umi orangnya pendiam, Yang. Dia juga nggak cerewet. Kamu tenang saja kalau soal itu."
"Tapi tetep aku nggak mau, Bang!" tegas Gisel menolak.
"Kamu nggak boleh begitu ah, cuma beberapa hari doang. Harus setuju."
Meskipun Gisel menolak, Evan tetap akan kekeh mengizinkan Umi Mae tinggal bareng. Karena memang jarang-jarang dia bisa menghabiskan lebih banyak momen dengannya, Evan juga merasakan kerinduan itu.
"Ih, Abang ini ngeselin ...." Gisel menggertakkan gigi, mulai marah.
"Udah nggak apa-apa, Yang. Kamu juga harus nurut lho apa kata suami. Aku jamin seratus persen pokoknya ... kamu akan betah tinggal bareng Umi."
"CK!" Gisel hanya bisa berdecak, lalu memalingkan wajah. Kesal sekali rasanya, karena pendapatnya seperti tak dihargai oleh sang suami. Kalau begitu untuk apa dia meminta izin awalnya?
*
*
Malam menyapa.
Semuanya sudah makan malam, Evan juga langsung terlelap tidur sesudah makan dan minum obat yang disuapi Gisel tadi.
Diluar kamar ada Ustad Yunus bersama Soni—Kakak ipar Evan, yang berjaga. Sementara di dalam ada Gisel bersama Umi Mae.
Keduanya kini sama-sama berada di atas kasur busa yang ada di lantai. Gisel terbaring dengan mata terpejam, sementara Umi Mae duduk dengan sikap tenang, sibuk membaca sholawat dengan suara merdu yang memenuhi ruangan.
"Allahumma sholli 'alaa sayyidinaa Muhammadin sholaatan tunjiinaa bihaa min jamii'il-ahwaali wal-aafaati wa taqdhii lanaa bihaa jamii'al-haajaati wa tuthahirunaa bihaa min jamii'is-sayyi'aati wa tarfa'unaa bihaa 'indaka a'lad-darajaati wa tuballigunaa bihaa aqshal-gaayaati min jamii'il-khairaati fil-hayaati wa ba'dal-mamaati."
Suaranya memang indah, namun karena sholawat itu terus menerus dilantunkan, Gisel merasa bosan dan penat sendiri. Apalagi sekarang dia tengah menyiapkan mentalnya, untuk bisa menyuntik mati Evan kalau semuanya sudah lengah.
'Ah lama-lama kepalaku pecah ini, dengerin Umi sholawatan mulu! Lagian apa faedahnya coba, malam-malam begini sholawatan?? Bukannya tidur,' batin Gisel yang kesal pada keadaan.
...Pakai nanya, ya biar kamu ga jadi nyuntik mati anaknya lah🤣...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Anik Trisubekti
Biar kamu tobat Sel
2024-04-30
0
ajiu jiu
Thor , ap bnr kamu it botak ....maaf y pertanyaan ku agk melenceng 😂😂😂
2024-04-30
1
fee2
gisel gisel jangan buruk sangka dulu sama umi mae kalo kamu udah rasain nasi uduk buatan umi mae yakin gak mau berpaling.....
2024-04-30
1