Tubuh Gisel seketika gemetar, jantungnya berdegup kencang melihat apa yang terjadi. Entah mengapa, dia jadi takut.
Buru-buru, Gisel mengambil ponselnya. Dengan tangan gemetar, dia mencoba menelepon Arga. Karena bingung harus berbuat apa.
"Papa, Evan muntah-muntah dan dia nggak sadarkan diri," ucap Gisel memberitahu.
"Bagus. Pasti racunnya sudah berhasil menjalar keseluruh tubuh. Sekarang kamu keluar, lalu meminta tolong pada pihak hotel untuk membantumu membawa Evan ke rumah sakit."
"Kenapa harus ke rumah sakit? Bukankah Papa bilang Evan harus mati." Gisel berpikir, kalau Evan dibawa ke rumah sakit itu akan bisa menyembuhkannya dan tidak jadi mati.
"Perjalanan ke rumah sakit pasti akan memakan waktu. Evan nggak mungkin selamat. Sekarang turuti saja ucapan Papa, kamu keluar meminta tolong. Nanti Papa menyusulmu dari belakang."
"Iya." Gisel dengan patuhnya segera menutup telepon dan berlari keluar untuk meminta tolong. Dan kebetulan, saat dia hendak naik lift, di dalam lift itu ada seorang satpam.
"Pak, kebetulan ada Bapak. Tolong aku, Pak!" Gisel mengatur napasnya yang tersengal-sengal.
"Minta tolong apa, Nona? Nona kenapa?" Satpam itu terlihat khawatir.
"Suamiku ... dia muntah-muntah lalu pingsan. Tolong bantu aku bawa dia ke rumah sakit, Pak."
"Apa?! Evan pingsan??" Seseorang dari kejauhan menyeru, membuat mereka menoleh. Gisel sontak terbelalak lantaran orang itu adalah Mbah Yahya—bosnya Evan. "Mana?! Di mana Evannya??"
Pria paruh baya itu dengan cemas langsung berlari masuk ke dalam kamar, lalu satpam yang bersama Gisel ikut masuk dan membantunya.
"Ayok, bantu aku bawa dia ke mobilku. Kita ke rumah sakit!"
"Baik, Pak."
*
*
Di perjalanan menuju rumah sakit, Gisel yang berada di kursi belakang tampak gelisah, keringat dinginnya bercucuran deras, memerhatikan Evan yang berbaring di sampingnya dengan pucat namun banyak sekali ruam merah di wajahnya.
Situasi ini sungguh membuatnya tidak nyaman, karena ada Mbah Yahya. Gisel benar-benar takut padanya.
Selain pria itu seorang dukun sakti mandraguna, dia juga pernah mengancam Gisel untuk tidak menyakiti Evan kalau tidak mau menerima akibatnya.
'Kalau sampai Evan beneran mati terus Pak Yahya tau penyebabnya karena aku yang meracuni, dia pasti akan marah dan membunuhku. Bagaimana ini? Papa ... Papa juga di mana? Katanya Papa mau menyusulku di belakang, tapi kok belum muncul juga?' Gisel mengigit bibir bawahnya dengan jantung yang berdebar-debar. Dia memutar kepalanya ke belakang, mencari-cari keberadaan mobil Arga karena siapa tahu dia sudah mengikutinya. Namun, sayangnya Gisel tak dapat menemukannya.
Sesampainya di rumah sakit, Evan langsung dimasukkan ke dalam ruang UGD. Secara tiba-tiba, tangan Gisel pun ditarik oleh Mbah Yahya, membawanya untuk duduk bersama di kursi tunggu.
"Kenapa Evan bisa pingsan? Apa kau meracuninya??" tuduhnya dengan tajam, langsung mengenai sasaran.
Gisel terkejut, matanya membulat sempurna.
"Jawab!!" tekan Mbah Yahya berteriak.
"Mana mungkin ... mana mungkin Gisel seperti itu, Pak!" sahut Arga yang datang diwaktu yang tepat. Karena bisa saja, Mbah Yahya mendesak Gisel sampai-sampai membuatnya berkata jujur.
Gisel juga merasa tak habis pikir, mengapa pria itu bisa tahu rencananya. Tahu dari mana? Atau hanya menebak sajakah?
"Nggak usah membela anakmu. Aku tau betapa jahatnya Gisel!" hardik Mbah Yahya marah.
"Bapak jangan sembarang kalau bicara!" geram Arga tak terima. Lalu menarik tangan Mbah Yahya untuk melepaskan Gisel, sebab perempuan itu tampak kesakitan karenanya. "Putriku perempuan yang baik, hatinya putih seperti salju. Lagian, mana ada seorang istri yang meracuni suaminya sendiri. Bapak pikir anakku nggak waras, hah?!" bentaknya melotot.
"Berani sekali kau membentakku!!" Mbah Yahya sudah mengangkat kepalan tangannya, hendak dia daratkan ke wajah Arga yang kurang ajar. Namun, melihat ada seorang suster yang sejak tadi memerhatikannya, dia jadi mengurungkan niat. Perlahan-lahan, Mbah Yahya menghela napas dan menurunkan tangannya kembali. "Pokoknya, kalau terjadi sesuatu pada Evan. Kamu adalah orang pertama yang menanggung akibatnya!" tambahnya mengancam, menatap tajam Gisel.
Perempuan itu menelan ludah, lalu menundukkan wajahnya.
'Cih!' Arga berdecih dalam hati, geram dengan tingkah Mbah Yahya yang menurutnya sok jadi pahlawan untuk Evan. 'Evan 'kan cuma kacungnya, kenapa juga dia berlebihan banget. Dasar aki-aki bau tanah!'
Tak lama, pintu UGD perlahan dibuka. Keluarlah seorang dokter pria berkacamata.
Mbah Yahya segera berdiri. "Bagaimana kondisi Evan, Dok? Dia baik-baik saja, kan?"
"Sepertinya Pak Evan punya riwayat asam lambung ya, Pak. Dan saat ini, asam lambungnya sedang naik. Untunglah Bapak cepat membawanya kemari."
"APA?! ASAM LAMBUNG??" Penjelasan dari dokter itu seketika membuat Gisel dan Arga terkejut, sampai menyeru bersama. Keduanya pun saling memandang dengan raut heran.
'Kok malah asam lambung, sih? Ini gimana coba si Gisel. Beneran dikasih racun apa enggak si Evan,' batin Arga.
'Jelas-jelas Evan meminum minuman dariku, tapi kenapa asam lambungnya justru naik? Apa efek racun itu baru mengenai lambungnya?' batin Gisel.
Keduanya saling bertanya-tanya dalam hati.
"Kalau asam lambung kayak gitu pasti karena telat makan ya, Dok?" tebak Mbah Yahya, Dokter pun mengangguk.
"Benar, Pak. Selain itu ... setelah dicek, Pak Evan juga meminum minuman berupa jus. Dan dia mengalami alergi."
"Jus?!" Mbah Yahya mengerutkan keningnya, sorot matanya pun berpindah kepada Gisel dan langsung melotot padanya. "Evan minum apa tadi, Sel?"
"Jus mangga, Pak," jawab Gisel pelan.
"Apa kau masukkan sesuatu ke dalam jusnya? Pasti Evan juga keracunan 'kan, Dok?" Mbah Yahya berpindah menatap Dokter.
"Enggak, Pak." Dokter menggeleng. "Dia nggak keracunan kok, hanya sepertinya alergi pada buah mangga."
"Tapi sekarang kondisinya baik-baik saja, kan? Boleh langsung pulang atau enggak, Dokter?"
"Sepertinya harus dirawat untuk beberapa hari lebih dulu, Pak. Kalau begitu saya permisi ya, Pak ... Nona." Setelah memberikan penjelasan, Dokter itu pun pamit masuk lagi ke dalam ruang UGD.
"Kamu harus telepon keluarganya Evan, Sel. Beritahu mereka kalau Evan masuk ke rumah sakit. Ayok!!" perintah Arga lalu menarik tangan Gisel untuk bersama-sama menjauh dari Mbah Yahya.
Pria itu sampai membawanya keluar dari rumah sakit dan masuk ke dalam mobil yang berada di parkiran. Karena tujuan utamanya bukan meminta Gisel untuk menelepon, tapi bicara empat mata. Dan di sanalah tempat yang paling aman.
"Kamu ini beneran udah netesin racun belum sih, Sel, ke minuman Evan? Jangan bilang belum," tanya Arga penasaran.
"Udah kok, Pa." Gisel mengangguk cepat.
"Berapa tetes kamu kasih?"
"Kata Papa lima."
"Tapi kok Evan nggak keracunan sih, Sel? Aneh banget. Itu 'kan Papa beli racunnya yang paling mahal!" kesal Arga.
"Aku nggak tau, Pa. Mungkin si Evan kebal kali sama racun," tebak Gisel asal.
"Mana ada orang kebal sama racun. Aneh deh kamu."
"Ya mungkin aja. Evan 'kan asistennya dukun, Pa."
"Asisten dukun juga manusia. Dukunnya juga manusia, Sel. Jangan ngawur ah kamu!" Arga tak percaya. Dia menggeleng cepat.
"Ya itu 'kan buktinya si Evan belum mati. Bahkan Dokter sendiri mengatakan kalau dia nggak keracunan."
^^^Bersambung....^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Anik Trisubekti
bang Evan bagi resepnya bisa kebal sama racun 😄
2024-04-29
0
Ana
tepat waktu mbah yahya
2024-04-29
0
ajiu jiu
bini oon 😅😅😅
2024-04-28
1