Trauma

Reyvan mengantar Anira sampai di depan asramanya, lalu ia menghampiri gadis itu bermaksud untuk sedikit berbicara dengannya.

"Anira ..." Belum sempat Reyvan melanjutkan ucapannya, Anira segera menghindarinya, masuk ke asrama tanpa menghiraukan Reyvan maupun perempuan cantik yang memboncenginya tadi.

Reyvan tidak mengerti mengapa, gadis yang ia kenali namanya melalui kartu pelajarnya saat ia membawanya ke rumah sakit sekitar seminggu yang lali menjadi seperti ini.

"Ayo kita pergi, dia sudah masuk. Apakah kamu mau mengajakku ke suatu tempat?" kata kasir cantik yang dimintai tolong oleh Reyvan.

"Ini imbalannya." Reyvan hanya mengeluarkan beberapa lembar uang senilai lima puluh ribu rupiah dan langsung memberinya kepada perempuan itu, segera setelah itu ia pergi dengan wajah yang agak kesal. Belum sempat ia mengajak Anira ke suatu tempat yang ia inginkan, namun suatu masalah datang.

Anira memandang buku pelajarannya dengan tatapan kosong. Bayangan masa lalu yang suram membuatnya depresi.

Flashback on

Anira berada di tempat yang sangat gelap, kepalanya sangat pusing. Tiba-tiba lampu di nyalakan. Anira melihat teman-temannya laki-laki maupun perempuan sedang menatapnya sedang duduk di sebuah kursi. Mereka menatapnya penuh amarah, terlihat jelas dari wajah mereka. Bau rokok, minuman keras dan juga suara musik dinyalakan sangat keras. Anira mengingat terakhir sebelum berakhir di ruangan yang tak dikenal, ia berada di dalam mobil bersama Asna, Jeran, Mirani, Vion, dan Ken. Teman-temannya mengajak ia mengerjakan tugas kelompok disuatu tempat yang mana Anira tidak tahu, alasannya Asna si pemilik ide masih mencari-cari tempat sambil keliling kota B, setelah itu Anira tidak ingat lagi dan berakhir sadar di tempat asing yang sekarang dalam keadaan pusing.

"Anira, sudah sekian lama aku menanti waktu yang tepat. Sekarang saatnya kamu harus menerima takdir. Ken, Vion, Jeran kemarilah kita hajar dia." Temannya yang bernama Asna memanggil Ken, Vion dan Jeran, tiga teman laki-laki yang langsung menghampiri Anira.

Anira sudah curiga dengan pergerakan tiga laki-laki itu, terbayang ingatan di benaknya ketika ia pernah menonton film horor dimana tokoh protagonis yang mati di rusak oleh teman akrabnya kemudian dibunuh secara sadis di rumah kosong. Adegan itu nyata terjadi padanya.

"Ken, Jeran, Vion. Kalian bertiga temanku, kan? Tolong bawa aku pulang." Anira berusaha menyadarkan tiga temannya.

"Nir, mereka bertiga teman gue bukan teman Lo. Mereka cuma nurut sama gue." Teriak Asna dengan suara lantang agar kedengaran oleh Anira.

"Asna, Mir. Tolong aku, bawa aku pulang." Lirih Anira merasakan kepalanya pusing ditambah lagi bau alkohol dan asap rokok mendesak pernapasannya sampai ke saraf-saraf.

"Pulang aja sendiri kalau bisa." Jawab Asna, Mirani hanya diam menyaksikan Anira yang terkulai lemah sementara tiga teman lelakinya menahan Anira dan Jeran mengeluarkan beberapa pil lalu membuka mulut Anira dengan paksa.

"Kamu terlalu pintar, jadi dengan obat ini kamu bisa mengurangi daya ingatmu agar kamu tidak menguasai kelas." Kata Ken.

Anira melihat pil berwarna hijau di tangan jeran sangat banyak, biwsa overdosis jika pil-pil itu berhasil menerobos tenggorokannya.

"Tidak!" Anira menggigit tangan Jeran sebelum pil-pil itu lolos masuk kerongkongannya. Sekuat tenaga ia melayangkan kedua tangannya sehingga lumayan menjadikan serangan menyakitkan mengenai tubuh ketiga lelaki itu. Untuk memanfaatkan waktu, Anira segera pergi menuju pintu tetapi Mirani dan Asna sudah siap menghalangi didepan pintu.

"Sial beraninya melepaskan diri." Asna geram langsung menghampiri Anira mengajak Mirani memasung Anira. Namun Anira yang masih sadar dan merasa sudah berada diambang menuju bahaya segera beraksi menepis tangan Mirani dan Asna.

"Au." Asna dan Mirani merasa kesakitan, Anira ternyata cukup kuat meskipun sudah mereka beri minuman keras yang telah dicampuri obat-obatan terlarang.

Anira melihat tiga teman laki-lakinya sudah bangkit siap menyerangnya sehingga ia harus mengambil langkah lebih cepat, meraih kursi tempat duduknya tadi, melayangkan kursi itu ke arah lima teman pengkhianat dengan membabi buta seperti orang kesurupan. Beruntung kemenangan berpihak padanya dan lima temannya hanya berbekal pil, miras, dan rokok tidak berbekal senjata sehingga Anira mampu menumpas kejahatan mereka oleh serangannya memukul mereka dengan kursi.

"Maafkan aku Ya, Tuhan. Mereka mengancam hidupku." Anira berlutut sambil menangis lalu mengecek masing-masing teman pengkhianat itu semoga tidak ada yang mati oleh serangannya. Syukurlah mereka semua hanya pingsan. Anira kemudian pergi meninggalkan mereka dengan air mata yang deras, kenyataan pahit pertemanan yang berkhianat membuatnya rapuh.

"Aku akan waspada kepada siapapun dan tidak akan mudah percaya kepada siapapun." Anira melepas rasa sosialnya dan tidak ingin percaya pada siapun lagi. Ternyata selama ini Asna mendekatinya karena ingin mencelakainya. Asna adalah saingan prestasi sekelasnya, namun Asna selalu mendapat peringkat dua jadi tidak heran rasa iri membuatnya melakukan tindakan ini.

Mulai dari saat itulah, Anira mengambil keputusan meninggalkan kotanya, tanah kelahirannya lalu pergi ke kota M melanjutkan SMA disana.

Flashback off

"Tidak!" Anira menutup kedua telinganya, berteriak sekencang mungkin mengingat kejadian buruk itu. tiga orang teman sekamarnya, yaitu Lora, Adel, dan Nela terkejut. Nela yang mengira Anira kerasukan langsung memercik minyak suci kepada Anira.

"Anira, kamu nggak apa-apa?" Lora segera memeluk Anira, Anira menangis menyerahkan sandarannya pada Lora.

"Anira, tidak apa. Jelaskan padaku apa yang terjadi?" tanya Lora. Lora, Adel, dan Dela berbeda sekolah dengan Anira, maka mereka bertiga tidak pernah tahu apa yang terjadi pada Anira di luar sana, kecuali jika Anira memberi tahu.

Tetapi Anira menangis semakin kencang, malahan sampai sesegukan.

"Anira apa ada orang yang mencoba melukaimu?" tanya Adel ikutan panik, namun Anira menggeleng.

"Apa kamu habis ketemu hantu?" tanya Nela dengan pendapat yang berbeda, gadis penakut ini selalu halu akan keberadaan hantu. Lora dan Adel menatap Nela secara bersamaan atas pertanyaan konyol itu membuat Nela harus menyambung lagi kalimatnya.

"Maaf guys, aku melihat tadi Anira pulang di waktu peralihan kira-kira lewat dari jam lima sore atau jam enam sore kurang. Konon katanya waktu-waktu seperti itu hantu-hantu bangun dari tidurnya dan akan memulai aktivitas mereka." lanjut Nela bermaksud menjelaskan agar pertanyaanya di anggap logis.

"Aku tidak mau membicarakannya. Yang jelas aku tidak mau masa lalu yang buruk itu terulang lagi, aku nggak mau." Ucap Anira sesegukan, Lora segera mengerti ucapan itu, yang mana artinya Anira memiliki trauma masa lalu. Lora setelah tahu bahwa Anira mengingat memori masa lalu yang mungkin sangat menyakitkan, meminta dua temannya agar tidak bertanya lagi, tujuannya agar Anira tidak tertekan.

Keesokan harinya, Anira masih berbaring di ranjang dalam keadaan tubuh ditutupi penuh oleh selimut.

"Nir ... Nira. Ayo bangun, gak biasanya kamu bangun telat. Sekolah loh." Lora bermaksud membangunkan Anira dengan menarik selimutnya, tetapi Anira malah mengencangkan selimut itu kembali, ditubuhnya.

Lora, teman yang paling bijak segera mengecek kondisi Anira, ia curiga kalau-kalau temannya ini sakit. Lora menempelkan telapak tangannya di dahi Anira, namun tidak panas.

"Aku tidak sakit. Aku lelah tidak ingin ke sekolah."

"Oh baiklah. Aku mengerti, aku akan menulis surat ijinmu dan meminta ibu Wini untuk menandatanganinya." Lora bergerak cepat menulis surat ijin Anira, lalu meminta tanda tangan ibu asrama, Ibu Wini lalu mengantarnya ke sekolah Anira.

Anira tengah tertidur pulas, padahal ini masih pukul sepuluh pagi, ia telah tidur sejak jam tujuh tadi. Namun ia terbangun oleh suara klakson motor yang mengganggu telinganya.

"Aduh, siapa sih di depan. Berisik amat." Anira turun dari ranjangnya, lalu mengikat rambutnya dengan terburu-buru.

Anira terlanjur melangkah ke depan pintu untuk melihat pengendara motor yang terus membuyikan klakson. Ia menyesal ke luar, seharusnya ia mengintip dulu dari jendela. Karena yang ada di luar pagar bukanlah kurir atau semacamnya, tetapi Reyvan, lelaki yang kemarin bersikeras mengajaknya ke suatu tempat. Anira tidak mau menemuinya, ia masuk lalu membanting pintu mengungkapkan rasa tidak senang atas kehadiran Reyvan.

"Anira tunggu. Apa yang salah?, aku tidak bermaksud melukaimu. Kemarin aku hanya ingin mengajakmu ke suatu tempat. Tapi kalau kamu tidak mau, aku tidak memaksa. Aku minta maaf." Teriak Reyvan dari luar pagar. Ia menahan malu menjadi pusat tontonan orang-orang ketika lampu merah. Belum pernah ia seperti ini sebelumnya, seperti pengemis memohon dimaafkan seorang cewek.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!