Dasar Orang Gila

Anira menepis tangan Reyvan dari bahunya ketika pintu lift sudah terbuka lebar menunggu mereka melangkah secepatnya mengosongkan ruangan sempit itu.

“Jangan macam-macam.” Anira melayangkan tatapan tajam kepada Reyvan. Lelaki itu hanya menunjukkan senyum getirnya.

“Kamu yang ketakutan butuh rangkulan jadi jangan marah-marah.” Tegur Reyvan lalu menarik tangan Anira untuk melangkah sebelum lift tertutup kembali.

“Kenapa harus ke apartemen?” Tanya Anira masih dengan pikiran waswas takut Reyvan akan macam-macam.

“Mau ganti baju. Masa iya jalan-jalan pakai seragam.” Jawab Reyvan.

“Jalan-jalan ke mana?” Anira tidak menyangka Reyvan akan membawanya jalan-jalan, sebenarnya ia suka jalan-jalan tapi kendatipun begitu, ia tetap berpegang teguh untuk waspada jangan sampai mudah percaya dan terjebak lagi.

“Ke rumah sakit jiwa.” Jawab Reyvan sambil tersenyum geli dengan jawabannya sendiri, ia sudah menyangka ekspresi kesal dari Anira.

“Rumah sakit jiwa? Rupanya kamu akan mengunjungi orang gila. Pantas saja tadi sikapmu agak gila memanjat pagar. Rupanya kamu teman orang gila.” Ujar Anira dengan tersenyum getir, meskipun awalnya merasa Reyvan menjawab begitu seolah ingin mengantarnya ke RSJ, ia tahu bahwa jawaban itu memancing amarahnya, jadi ia berusaha untuk tidak terpancing.

“Untuk mengantarmu, karna kamu yang sakit jiwa menganggapku orang jahat.” Jawab Reyvan yang juga menahan diri, meskipun jawaban Anira cukup menyebalkan dan memancing amarah. Baginya, menahan diri untuk tidak terpancing emosi oleh lawan bicara adalah cara menang dari beradu mulut. Memang benar perkataannya tadi sengaja memancing Anira, hendak membuat mulut gadis yang dibawanya itu komat-kamit akan omelan, entah mengapa ia merasa tertarik saat Anira marah.

“Aku nunggu di sini. Cepatan ganti bajumu. Anira melepaskan tangan Reyvan, jujur ia merasa kesal di anggap memiliki gangguan kejiwaan selepas kejadian lima tahun yang lalu, akankah perbuatannya melumpuhkan lima orang teman pengkhianat membuatnya seperti orang yang memiliki gangguan kejiwaan, hal itu mengingatkannya kembali pada adegan saat dirinya melayangkan sebuah kursi mengenai lima pengkhianat itu.

“Ayo masuk, ntar di culik kalau nunggu diluar. Aku tidak mau nanggung risiko dituntut sama Ibu Wini.” Reyvan menarik tangan Anira secara paksa menuju pintu apartemen bernomor 1414. Lalu menekan beberapa nomor pada gagang pintu apartemen. Anira takjub melihatnya, ternyata bukan hanya smartphone yang bisa pakai pin ternyata pintu juga. Walaupun ia melihat jemari Reyvan memencet beberapa angka di gagang pintu tersebut, ia segera lupa berapa pinnya. Padahal kalau ia ingat, bisa jadi kesempatan buat kabur kalau Reyvan berbuat macam-macam.

“Nggak, aku tetap nggak mau masuk.” Anira menjauh dari Reyvan merasa kuatir kalau ia masuk ke dalam apartemen lelaki itu.

“Kenapa?” tanya Reyvan.

“Bahaya kalau Cuma berdua di dalam. Kalau kamu macam-macam aku gak bisa kabur, pintu aja nggak pakai kunci, harus pakai pin.” Anira menatap pintu yang sudah dibuka Reyvan.

Reyvan tersenyum melihat wajah panik Anira, ia akui Anira lucu kalau panik. Kemudian Rey mengambil kunci dari kantong jaketnya dan memberikannya kepada Anira.

“Ini kuncinya.”

“Bisa aja ini palsu.” Anira menerima kunci itu dengan tatapan sinis.

“Coba aja dulu.” Kata Reyvan sembari menutup pintunya agar Anira mencocokkan kunci yang ia berikan.

Anira awalnya tidak percaya, namun kunci tersebut cocok setelah di coba membuatnya lega.

“Oke kali ini aku percaya.” Anira mengikuti langkah Reyvan masuk ke dalam melihat suasana di dalam sana dengan takjub. Jujur ini untuk pertama kali ia melihat ruangan mewah dipenuhi berbagai fasilitas seperti televisi, kulkas, AC. Senyumannya mulai mekar.

“Dasar semua cewek sama aja suka sama hal mewah. Tapi untuknya aku tidak merasa rugi membawanya kemari, jasanya untuk nyawaku cukup membuatku berhutang.”

Reyvan mengamati tingkah Anira yang takjub melihat isi apartemennya sambil perlahan melepas jaket kulitnya sebelum di lempar ke atas sofa. Reyvan memang hidup berkecukupan, jadi selain tampangnya yang tampan hartanya juga cukup tampan untuk diincar para cewek matre. Jadi Reyvan tidak takut jika jatuh hati kepada cewek matre sekali pun asal ia bersama seseorang yang telah menang meluluhkan hatinya.

Wah! Kalau begitu apakah Anira adalah cewek yang meluluhkan hati seorang Reyvan?

Anira berakhir mendaratkan dirinya di atas sofa empuk berwarna navy. Pandangan matanya tidak lepas mengabsen setiap sudut ruangan tersebut sampai ia dikejutkan oleh sebuah benda yang jatuh di pangkuannya.

Sontak matanya langsung melihat roti lapis dalam kemasan yang agak berat menyakiti pangkuannya, tentu saja roti tersebut jatuh dalam keadaan sudah rusak alias agak hancur.

“Dasar orang gila. Untung saja aku tahu kamu orang gila sehingga aku akan menerima roti ini. Aku maklumi.” Anira nyerocos ketika mengetahui dari kejauhan sekitar dua meter, Reyvan berdiri tegak di depan kulkas sambil memakan roti yang sama tersenyum manis melihatnya. Anira ingin marah tapi menurutnya bukan waktu yang tepat untuk berdebat sebab roti yang ia pegang sekarang mengundang salivanya untuk ditelan.

“Tentu saja kamu akan menerimanya karena lapar.” Ujar Reyvan, lelaki itu tanpa rasa malu segera menghampiri Anira lalu berbaring di pangkuan gadis itu. Salah Anira juga duduk di sofa panjang di bagian sisi. Kalau saja tadi ia memilih duduk di bagian sofa tengah atau bahkan tidak duduk, lelaki menyebalkan itu tidak akan baring di pangkuannya.

“Numpang, kamu merebut tempat berbaringku.” Kata Reyvan sembari menunjukkan deretan gigi putihnya dan satu gigi taring tajam di sebelah kanan bagian sudut bibir membuat pria itu semakin manis ketika tersenyum.

“Ba-baiklah. Tapi aku akan berpindah ke sofa yang lain.” Ucap Anira sedikit terbata hendak berpindah, namun matanya tidak lepas menatap wajah tampan di atas pangkuannya yang berhasil memompa detak jantungnya.

“Tidak usah. Nanti kamu akan kabur.” Ucap Reyvan sembari meletakkan bantal di pangkuan Anira untuk mengalas kepalanya yang keras lalu ia menyalakan televisi.

“Tapi aku tidak bisa-“ Anira ingin mengatakan ia tidak bisa menikmati roti lapis di tangannya kalau Reyvan berbaring di pangkuannya.

“Udah, diam! Aku capek. Lebih baik aku tidur sebentar.”

“Tapi katanya tadi mau jalan-jalan?” protes Anira atas situasi yang berubah. Reyvan mengubah semuanya.

“Ya, tapi tidak mungkin kita jalan-jalan kalau aku sedang mengantuk. Memangnya kamu mau jalan-jalan berakhir pergi ke neraka?” jawab Reyvan yang sudah memejamkan matanya berbaring menampilkan wajahnya yang sempurna kepada Anira.

“Idih, kamu aja yang pergi ke neraka.” Jawab Anira, meskipun ia paham akan risiko mengendara dalam kondisi mengantuk, lagi pula ia tidak dapat mengambil alih posisi Reyvan untuk menyetir karena masih ragu mengendara di kota besar. Jawabannya tidak mewakili isi hatinya yang tidak tega jika laki-laki tampan di pangkuannya berakhir ditelan api neraka. Reyvan menunjukkan senyumannya saja sebagai respons atas ucapan Anira. Mungkin rasa kantuknya membuat Reyvan malas berdebat, kapan lagi mimpi indah kalau waktu berharga untuk tidur dipakai untuk beradu mulut.

“Yah cepet amat tidurnya. Dasar mata ayam.” Gumam Anira sedikit cekikikan sebentar merasa geli dengan ucapannya mengatakan ‘mata ayam’.

Seorang yang dijuluki mata ayam disebabkan oleh mudahnya terlelap dalam waktu yang sangat singkat. Anira terpesona dengan wajah tampan Reyvan yang berbaring di pangkuannya, senyumannya pun melebar, jemarinya secara refleks menyentuh alis rapi Reyvan yang tipis, alis yang unik karena wajah putih Reyvan juga unik dimata Anira saat ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!