Saat itu:
“Lya, kamu mau kan jadi istriku?” Aku yang jauh dari keluarga dan mendapat perhatian lebih dari mas Reza di kota ini, merasa memiliki pegangan baru.
“Iya mas aku mau. Ucapku kala itu tanpa ragu.” Aku memang baru dekat dengan mas Reza dalam tiga bulan, tapi entah mengapa rasanya aku yakin saat itu untuk menerimanya sebagai suamiku.
“Kita dipanggil sama umi dan mamiq dek.” Ucapnya padaku dengan ekspresi senang dan santai, tangan hangatnya menggenggam erat tanganku yang dingin.
“Memang kenapa kak?” Tanyaku penasaran.
“Paling mau bahas masalah pernikahan kita.” Jawab mas Reza dengan senyum sumringah.
Kamipun akhirnya bertemu calon mertuaku saat itu.
Ku langkahkan kakiku dengan pasti. Tak tak tak.
Aku berusaha duduk dengan nyaman. Ku letakkan tanganku menyilang tepat di atas paha.
Umi yang tadinya menyenderkan punggung pada kursi kayu panjang yang begitu klasik lengkap dengan ornamen berwana kecokelatannya mulai mrnyondongkan badannya padaku yang duduk tepat di depannya. Jemarinya yang masih terlihat lentik dengan setengah kerutan mulai memainkan gagang kacamata plus yang dipakainya. Kaki sebelahnya pun diletakkan diatas kaki sebelahnya lagi dengan posisi ujung kaki menyilang sehingga rok sempit yang beliau gunakan terlihat seperti tegak lurus.
Beliau mencoba untuk mulai berbicara. Dengan lipstik berwarna gelap di bibirnya, rasanya apapun yang akam beliau katakan terdengar sedikit galak di telingaku.
“Ananda, bisa tidak ya beritahu orang tuanya. Kok mintanya banyak sekali sih. Sebenarnya kalian mau beneran nikah atau tidak? Kok kayak orang nggak berpendidikan aja sih tahan-tahan harga.” Meski terdengar begitu manis, namun tentu saja ia saat ini sangat marah. Aku terdiam. Ku gigit bibir bawahku dengan gigi taringku yang tajam.
“Jangan dipersulit dong kalau memang mau nikah. Kalau memang mau ya." Kini kedua tangan beliau telah terlipat di depan dada. Beliau berusaha memicingkan kacamatanya dengan tatapan tajam padaku.
Ayah mertuaku yang sedari tadi hanya diam, kini ikut menambahkan. Beliau mengangguk-nganggukkan kepala sambil membuang nafas panjang.
“Maksudnya umi, supaya kita sama-sama enak saja nanda.” Tatapan beliau lebih teduh dari ibu mertuaku.
Ku lirik suamiku yang sedari tadi hanya asyik dengan ponselnya. Entah ia menyimak percakapan kami atau tidak. Jarinya masih asyik menekan tombol-tombol pada layar ponselnya.
Sambil menundukkan kepala ku coba untuk menjawab mereka kala itu.
“Baik, umi, mamiq. Nanti saya coba sampaikan.” Sambil terus memainkan kedua jari telunjukku, rasanya tidak nyaman sekali saat itu. Berkali-kali ku lirik mas Reza, namun tak ada reaksi. Mas Reza hanya terpaku dengan ponselnya. Sesekaliia tersenyum-senyum sendiri.
Kamipun berpamitan.
Seketika tangisku pecah saat dalam kesendirian. Rasanya sedih sekali jauh dari keluarga mendekati acara pernikahan kami.
Aku masih saja teringat wajah calon ibu mertuaku yang menatapku dari sudut kiri matanya. Beliau memperhatikan dari ujun kepala hingga ujung kakiku dengan senyum sinis yang nyata.
Saat ini:
Permintaan talak ini tidak hanya kali ini aku mintakan, bahkan tepat di hari saat kami menikahpun aku telah meminta suamiku untuk menalakku.
Awal mulanya adalah karena wanita itu.
“Wah Iin, kamu di sini?” Bi Eli yang merupakan adik ipar dari suamiku menyapa seseorang yang datang menghampiri kami. Wajah bi Eli begitu sumringah, namun terlihat seperti ada sesuatu yang membuatnya harus mengernyitkan hidungnya.
“Wah kita pikir kalian yang akan bersama setelah kalian bertunangan, tapi ternyata nggak ya.” Lanjut beliau kembali dengan samar. Terlihat beliau berbisik pada wanita yang dipanggil Iin itu. Namun bisikan itu masih bisa terdengar olehku.
Mas Reza menatap wanita itu dari ujung rambut hingga ujung kaki sedari tadi.
“Sepertinya aku yang bodoh menyia-nyiakan wanita sempurna seperti Iin.” Celetuk mas Reza tanpa sadar. Terdengar sekali nada bersalahnya yang menimbulkan kobaran api di hatiku. Mataku spontan melotot menyaksikan mereka berdua yang saling tatap dengan penuh cinta.
Bi Eli menyikut lengan suamiku yang tengah asyik saling pandangan dengan wanita yang dipanggil Iin itu, namun aku masih saja mematung dengan wajah merah padam. Bi Eli melirik mas Reza dan melirikku bergantian. Memberikan isyarat pada lelaki yang telah sah menjadi suamiku itu.
“Eh iya Lya, perkenalkan ini Iin. Sepupu aku.” Ucap mas Reza segera memperkenalkan wanita tinggi, cantik nan anggun di depannya.
Perempuan itu hanya mengangguk dan tersenyum tipis padaku. Akupun demikian.
Mas Reza berusaha mengajakku masuk ke dalam kamar. Aku menepis tangan mas Reza ketika sampai di dalam kamar. Mas Reza terlihat kesal, namun menahannya.
“Jadi dia tunangan kamu mas?” Tanyaku dengan dada bergemuruh. Kini rasanya kakiku telah mati rasa. Sulit untukku gerakkan.
“Iya, tapi kan aku nikahnya sama kamu Ly.” Jawab mas Reza dengan senyum nakalnya.
“Jadi kamu menyesal kehilangan wanita sempurna itu mas?” Tambahku lagi dengan air mata berlinang yang ku usap berkali-kali.
“Kamu kenapa sih? Baru aja kita nikah udah begini. Apalagi besok." Bentak mas Reza dengan mata melotot.
“Tidak akan ada hari esok mas. Ayo ceraikan aku sekarang saja! Talak aku mas!" Sudah gelap rasanya aku melihat dunia ini saat itu.
“Apa? Kamu gila? Nggak bisa. Kita bahkan belum melangsungkan acara resepsi. Apa kata orang? Umi sama mamiq pasti malu sekali kalau kita bercerai sekarang. Ayolah kamu jangan begini! Kita baru saja akad lho. Kamu jangan gila. Semua sudah dipersiapkan. Jangan begini ya.” Ucapnya setengah memelas.
******
Saat ini:
"Mas aku lelah. Talak aku!" Aku sungguh sangat ingin di talak saat ini lebih dari sesaat setelah akad kami.
“Tidak Lya. Aku tidak akan pernah mau. Lalu siapa yang akan mengurusku?” Mas Reza dengan wajah memelasnya yang pucat berusaha menahanku lagi.
Seperti saat itu mas Rezapun saat ini tak mau menjatuhkan talak karena memikirkan dirinya dan keluarganya, tidak pernah memikirkan aku dan kebahagiaanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments