4. Parkiran dan Apartement lucknut

Mey_Munah Calling......

"Damn!" Anin menerima panggilannya dengan enggan, "Hmm … Masih pagi ini."

"Ampun nyonya, Ampun." Mei terkekeh di ujung sana.  "Gue cuma mau mastiin, kalau kamu nggak tidur di jalanan. Soalnya kata Mamih-mu, Kamu udah jalan ke Jekardah semalam," lanjut Mei yang berhasil membuat Anin tersadar dimana dia sekarang berada.

"Iya, aku di rumah mas Bim, Semalam ketiduran."

"OMG, Anindira Pearly Otis. Nyonya Bima Aji, Udah bobok bareng suami? Udah nggak perawan dong, Lu?" Tanya Mei usil pada sahabatnya. Dan terdengar di seberang sana gelak tawa jahat sahabatnya.

"Aku jahit mulutmu itu lama-lama."

"Uuh, atut. By the way, kamu masih inget kamasutra bab 9 kan?! Praktekin ya, jangan lupa."

"Mei, baru jam enam pagi dan kamu udah bahas kamasutris segala. Gila lo ya."

Tut.

Anin mematikan sambungannya. Temannya yang satu itu memang bener-bener rusak dan gila!

Dilihatnya jam di nakas sekilas. 06.17 Pagi. "Kira-kira sudah bangun belum ya?" gumam Anin.

Baru saja ia hendak bergeser dari posisinya, sosok yang ditunggu muncul dari balik pintu.

Bikin Kaget saja, "Pagi," Sapa Anin.

Senyum Anin mengembang melihat sosok tinggi kekar di hadapannya. “Biarpun masih pagi dan sepertinya belum mandi, tetep gantengnya luar biasa ya…Malah terkesan sexy dengan rambut yang berantakan. Ini apa sih …  kok malah kemana-mana otakku.'' Gumam Anin lirih.

"Pagi," Jawab Bima singkat. "Sarapan," ajaknya.

"Wait a minute. I'll be right there,"  jawab gadis itu tak kalah singkat. Dan ia segera bergegas menuju ke kamar mandi.

Namun bagai tak terpengaruh oleh perubahan sikap Bima yang mendadak acuh dan dingin, Anin pun mengekor menyusul suaminya menuju ruang makan dengan perasaan bahagia, berbunga-bunga, entah karena apa.

Selesai mandi, Bima menyantap Nasi goreng buatan mbok Jum dengan datar dan tanpa ekspresi.

Disusul Anin kemudian.

"Hm, enak aroma nasi gorengnya." Anin membuka obrolan. Namun tak ada tanda-tanda kehidupan dari lawan bicaranya.

Anin mendengus kecewa. Ini orang kenapa deh, perasaan semalam baik-baik saja, kenapa mendadak jadi serem gini yak. Oh mungkin ada masalah sama pekerjaannya.

Bima tiba-tiba berdiri dan mengambil kunci mobilnya, tak ayal membuat Anin kaget.

"Saya mau berangkat sekarang dan nanti pulang malam."

"Oh, ya sudah. Nanti gue -eh -- aku bisa naik taxi."

"Oke." Jawab Bima singkat dan tak kalah dingin dari suhu di dalam kulkas. "Anggap saja rumah sendiri," tambahnya.

Bima berlalu meninggalkan istrinya yang masih syok di depan sarapannya. Anin Syok dengan perubahan sikap suaminya yang dirasa aneh dan mendadak.

Di dalam Mobil.

"Shit," Bima memukul stir mobilnya kesal dan menyesali sikap bodohnya.

Bahkan bangun tidurnya pun terlihat begitu manis dan bagaimana saya bisa berpindah fokus pada bibirnya, bagian dadanya, kulitnya, tubuhnya, Semuanya.

Kejadian semalam membuat Bima benar-benar gila dan tak bisa memejamkan mata. Belum lagi dewa perangnya, makin menyiksanya. Dan dengan terpaksa malam itu Bima mencari kebebasannya sendiri. Di kamar mandi.

***

Sepeninggal Bima, Anin pun memutuskan untuk menghubungi sahabatnya.

Dan tak lama terdengar jawaban dari ujung sana. “Apa?”

"Mei... siang nanti jemput aku dong," pinta gadis itu.

"Dih, males. Kemana suami, mu?"

"Udah berangkat, pagi-pagi tadi. Mai, please... yaaa," rajuk Anin pada sahabat gilanya itu.

"Yaudah iye-iye, tunggu beres visit sama dokter Bambang dulu yak, abis itu baru gue jemput dirimu. whatsapp in alamatnya," Ucap Mei pura-pura kesal.

"Thankiss bebeb Aku yang paling baik." jawab Anin terkekeh.

"Kalau ada maunya."

"Hehe … aku tunggu," Ucap Anin dan kemudian mengakhiri sambungan teleponnya.

Ini enaknya gue ngapain yah, lumayan juga nunggu Mei munah jemput. Masih sekitar 3 jam lagi, apalagi visit sama dokter Bambang si Killer itu, pasti bakal makin lama.

"Non," sapa mbok Jum.

"Ya ampun mbok, ngagetin aja deh," jawab Anin yang setengah kaget.

"Maaf Non, saya cuma mau pamit, mau kepasar sebentar."

"Jauh mbok?"

"Deket Non, 10 menitan naik angkot."

"Oh, yasudah mbok, ati-ati ya...."

"Eh iya, Kenapa semalam kalian tidur terpisah. Kan sudah sah suami istri. Pake pisah-pisah segala." protes mbok Jum yang sedari tadi malam menahan rasa herannya.

"Oh iya mbok," jawab Anin yang tak kalah heran dengan pertanyaan yang diucapkan mbok Jum. Namun Anin seketika ingat akan cerita mamih mertuanya, Bahwa Bima diasuh oleh mbok Jum dari bayi merah. Maklum orang tuanya sibuk, Jadi mbok Jum sudah seperti ibu kedua baginya.

"Saya tinggal dulu ya Non, jangan sungkan. Disini kan, Non, nyonya rumahnya," ucap mbok Jum terkekeh.

"Hehe ... iya mbok," Jawab Anin dengan rona merah di pipinya.

Anin akhirnya memutuskan pindah ke kamar suaminya. Berharap disana dapat menemukan kegiatan yang asyik untuk sekedar menghilangkan rasa bosan.

Dan sekali lagi gadis itu terkagum dengan suasana kamar suaminya.

Ah, bahkan aromanya masih tertinggal dan mimpi semalam itu, Ya tuhan! membayangkannya saja sudah bikin bergidik badanku, bagaimana kalau seandainya benar-benar terjadi. Sadar Nin sadar.

Gadis itu menepuk pelan pipi nya sendiri.

Anin menyusuri deretan buku koleksi suaminya. Komik, Majalah, Desain modern interior dan entah apalagi. Dan semua itu tidak ada yang menarik minat dirinya untuk membaca.

Anin melangkahkan kakinya menuju pintu yang tak tertutup rapat. Penasaran ada apa dibalik pintu itu. Seingatnya, semalam dia tidak mendapati adanya ruangan lain atau dia saja yang tidak teliti.

"Oh my god." Anin  dibuat terkagum lagi ketika melebarkan pintu itu.

Dia berjalan menyusuri ruangan itu, menyentuh setiap inci perabotan yang ada disana. Sungguh indah dan yang ini lebih pantas disebut ruang tidur di dalam kamar mandi.

Anin melanjutkan langkahnya mendekati jendela dan membuka tirai serta jendela kacanya.

Tampak panorama taman yang indah, bunga entah apa namanya, warnanya memanjakan mata, hijau daunnya dapat menyegarkan mata dan aroma rumputnya yang menyegarkan suasana. Terasa begitu Asri dan ia pun terlena dimana dirinya sekarang.

Yap.

Ibukota, yang syarat akan asap kendaraan, panas, macet dan tentu saja polusi dimana mana.

Pilihan tepat, jika suaminya memutuskan menyulap halaman belakangnya menjadi ruang hijau dan dia sangat setuju.

"It's A beautiful." Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya. Tak salah pilih suami, batinnya. Rasanya Aku betah berlama-lama disini. di rumah ini. Dikamar ini.

Seolah tersihir, Anin mulai melepaskan pakaian yang ia kenakan, dan mulai mengisi Jacuzinya dengan air hangat, tak lupa juga menambahkan aroma disana.

Tanpa menunggu lama, Anin sudah berada di dalamnya, menikmati air hangat yang menyentuh kulitnya. Tak lupa ia menyalakan TV kabel yang juga tersedia disana. Mendengarkan acara gosip kegemarannya sambil menikmati panorama di luar jendela.

Lelah akibat perjalanan dan acara pernikahan kemarin pun hilang, kabur seketika dari badannya.

“Dan bahkan dia mengisi lemari pendinginnya dengan berbagai macam makanan,” gumam Anin

Entah berapa lama Anin berendam dan hingga tertidur di sana. Dia lupa Handphone nya, lupa panggilannya, lupa jemputannya. Lupa semuanya.

Dasar tukang tidur!

Dengan tergesa-gesa, Bima melangkah masuk ke rumah dan mengarahkan kakinya menuju ke kamarnya.

sekilas Bima melihat Mbok Jum sedang menata meja makan. Dan kemana istrinya?

"Mbok, masak apa?" tanya Bima sambil lalu. Namun langkahnya terus menuju ke kamar.

"Anu Nak Bim...." kata-kata mbok Jum yang menggantung tak pernah didengar oleh Bima.

"Ada non Anin di kamar," lanjutnya.

Lah sudahlah, urusan mereka. batin mbok jum yang kemudian melanjutkan pekerjaannya.

**

Bima mencari berkas nya yang tertinggal, dia lupa meletakkannya entah dimana.

“Oh mungkin aku taruh di atas kulkas,” gumannya.

Bruaak!!

Suara pintu yang memantul menutup sendiri sebab terdorong dengan kencang oleh Bima yang memang sedang sangat terburu-buru.

Hening.

Bima terpaku dengan apa yang dia lihat.

"Mas!" seruan Anin yang tak kalah kaget mampu mengembalikan nyawa Bima yang sempat terloncat dari raganya.

"Sorry, saya cuma mau ambil ini." menunjuk map yang ternyata ia letakan di atas nakas, bukan di atas lemari pendingin.

"Silahkan lanjutkan," ucap Bima sedatar mungkin dan pergi tanpa menoleh lagi ke arah istrinya. “Bisa gawat kalau gue sampe lepas kendali,” gumamnya.

"Aduuhh, memalukan sekali kamu Anin," Gumam gadis itu seraya menutupi muka dan merutuki dirinya sendiri atas kejadian tadi.

Anin melompat keluar bathtub dan langsung menyambar handuk, bergegas mencari pakaiannya dan segera memakainya.

Dan dia ingat, dia telah melupakan sesuatu. Anin segera berlari ke kamarnya.

Bima menatap nanar ke arah jalanan yang macet, ciri khas Ibukota.

Menggeram karena tubuhnya bereaksi dengan apa yang tadi dilihatnya dan kali ini masih harus berlama-lama di mobil.

“Shit, Jakarta sekali aja nggak macet napa,” gerutunya.

Masih jelas dalam pikirannya, sosok istrinya yang tertidur dengan santainya, tanpa mengenakan busana yang membalut tubuh indahnya. Lenjang kakinya yang nampak menggoda tak terendam air busa, bagian dadanya yang.... “Damn!! kenapa jadi ngaco gini pikiran gue?” Bima mengacak-acak rambutnya frustasi.

Entah sudah sejak kapan ia jatuh cinta pada sosok wanita itu. Dari pertama kali melihatnya, Atmosfer dunianya telah berpindah, terserap pada satu pusat. Manis, pikirnya saat itu. Melihatnya yang selalu ceria dan tersenyum.

Sosok yang ramah, cerdas dan aktif dalam kelas, serta berbakat dan terlalu memikat lawan jenisnya.

"SIAL!!!"

***

"Ya ampun beib, akhirnya kau angkat juga, lagi ngapain sih, Sibuk banget? sampai kau acuhkan drivermu ini," Gerutu Mei di seberang sana.

"Sorry, sorry ... aku ketiduran dan aah.. memalukan." Anin memegangi jidatnya, mengingat kembali kejadian sesaat lalu. "Ntar aku ceritain. Buruan jemput, Aku udah siap nih."

"Sabar nyonya, macet ini di cililitan. Tunggulah."

Tut.

Tiba-tiba Sambungan telepon terputus.

“Ah kampret ni bocah, siapa yang telpon siapa yang matiin.” Mei mendengus kesal.

***

Selesai berhias, dilihatnya jam di tangannya,14:20 siang. “Pantes saja cacing perutku protes,” gumamnya sendiri.

Tak lama terdengar bunyi klakson dari luar, Pasti itu si Mei. Anin keluar sambil menenteng tas dan koper nya. "Mbok, mbok jum..."

"...Ooh, disini rupanya," ucapnya lega karena akhirnya ketemu juga orang yang dicarinya. Sedang asyik cuci piring

"Ya dimana lagi neng, kalau ndak di dapur yo di sumur," cicit si mbok.

"Mbok, aku pamit pulang dulu yah, tolong sampaikan sama mas Bim, aku di jemput sama Mei, balik ke apartemen dulu."

"Lho, ndak tinggal disini saja, nak Bim kasian nanti kedinginan lho," ucap mbok Jum menggoda.

Dan keduanya saling bertukar senyum, senyum malu-malu dan senyum iseng godain.

"Saya pergi ya, Mbok."

"Iya neng, Ati-ati." "...Waalaikumsalam." tambahnya.

"Ah.. iya, Assalamualaikum." jawab Anin malu.

Setelah memasukan barang bawaannya ke bagasi, Anin pun segera menyusul sahabatnya masuk kedalam mobil dan segera meluncur pergi meninggalkan pelataran rumah.

"Mau cerita apa-an tadi." ucap Mei membuka obrolan. Dilihatnya sahabatnya hanya diam asyik memainkan ponselnya.

"Yaelah, dia malah bengong." tambahnya. Meilani pun memutuskan untuk membiarkan sahabat yang sedang berkencan dengan pikirannya yang sepertinya enggan diganggu.

Sepanjang perjalanan, Anin asyik dengan pikirannya, dia acuhkan sahabatnya yang rela jadi supir diadakannya itu.

Sebaiknya aku telpon atau jangan? atau aku whatsapps aja. Ah, tapi kenapa harus aku? dia aja adem ayem aja, nggak ngasih kabar apa-apa. suami macam apa, kelakuannya begitu. Menguntit istrinya. tapi, aku juga sih, lancang memakai kamarnya.

"Hhmmm, oke-oke. Iya, baiklah!! aku yang salah," gumamnya.

Anin membuka ponselnya, mengetik kalimat, lalu memencet tombol send.

 

 

***

Bima merasakan Telepon selulernya bergetar. Siapa yang lancang mengganggu jam kerjanya, bahkan kedua orang tuanya saja tak berani. Pentingkah?

[Mas, Aku balik ke apartement dulu,maaf untuk yang tadi, Aku pakai tempatmu. Sorry}

Dan pemuda itu membalas tak lama kemudian

[Maaf diterima.]

[Oh ya, dan lain kali jangan lupa ajak-ajak! ]

Bima tersenyum lalu menoleh kembali pada partner rapatnya. "Oh ya, sampai dimana tadi..." ucapnya kembali semangat.

***

Anin menekan kesal tombol On di ponselnya dan menunggu dengan percuma, karena layar hitamnya tidak mau menyala. Baterai ponselnya benar-benar habis.

Kalau saja tadi tidak ketiduran!

Anin mengerang frustasi. Ia butuh sisa baterai terakhirnya untuk bisa sekedar tau apa reaksi si Kingkong itu.

Suara de'hem di sebelahnya membuatnya sadar bahwa sahabatnya masih di sana sejak tadi. Gadis itu duduk dengan raut aneh di belakang kemudinya.

"Nyonya, kita sudah sampai tujuan dan nyonya harus segera turun, karena saya sudah harus kembali jadi dokter." Lantas, "Buruan turun!" seru Mei yang pura-pura marah tentunya.

Anin menebar senyum pamungkasnya yang dispesialkan untuk sahabatnya itu. Lalu ia merasa sangat bersyukur bahwa nyatanya dia masih punya sahabat gilanya. "Thank ya Maemunah," bisiknya.

Anin menyeret kakinya dengan susah payah menuju blok A Lt.5 No.17 Apartemennya, di kawasan Dewi sartika - Jatinegara yang ia tempati dengan sahabat gilanya itu.

Anin kaget ketika masuk dan mendapati ruangannya jauh dari kata rapi dan harum. "Ya tuhan … Aroma apa ini!!"

"Meilani Sundari, kenapa ini!!!!” teriaknya pada ruangan itu.

Sementara itu, Meilani dari balik kemudinya membayangkan ekspresi Anin yang melihat seberapa hancurnya ruangan itu.

"Hahaha, sorry Anin-ku sayang. Niikmatilah sisa aroma permainan kita," ucap Mei.

***

Entah pukul berapa sekarang.

Anin terlalu lelah untuk membuka kedua matanya Setelah kerja rodi akibat ulah sahabatnya.

Rasa pegal menyeluruh dirasakan disekujur tubuhnya. Namun berbanding terbalik dengan mata yang susah terbuka, telinganya justru telah siaga.

Suara berisik dari kamar sebelah telah mengganggu ketenangan tidurnya.

"Yasss honey!"

Tiba-tiba dirasakannya bulu kuduknya meremang. Terlintas kembali mimpi anehnya.

"Aaakk! tidak bisakah aku dibiarkan tidur sebentar," Teriak Anin frustasi.

Suara berisik kembali terdengar. Kali ini dengan diikuti suara nafas menderu. Dan suara benda terjatuh.

Oh god. bukan mimpiku rupanya. Sialan si Monyong, ngapain lagi dia disebelah?!

Heran? jelas nggak. Anin sudah terbiasa dengan kelakuan temannya itu. Walaupun kadang merasa terganggu juga. Dan kalau sudah begitu paling Ia menginap di Ruang Jaga dokter di rumah sakit tempat tugasnya.

Anin pun meraih ponselnya yang masih menancap pada charger yang entah sudah berapa lama.

Diaktifkannya ponsel itu dan rupanya sudah banyak notifikasi dari beberapa aplikasi chatting. Salah satunya dari kontak yang ia beri nama ‘calon_suami’. Padahal status terbarunya sudah berubah jadi ‘suami’.

[Maaf diterima]

[Oh ya, Dan lain kali jangan lupa ajak ajak.]

Anin merona. Dan kembali otaknya memutar kejadian siang tadi.

Selama ini, walaupun dia hidup di kota besar yang syarat akan dunia malam, pergaulan bebas, namun hal itu tidak berpengaruh terhadapnya. Walaupun tak sedikit lelaki tampan, mapan yang tergoda akan kecantikan dan keindahan tubuhnya dan menawarkan kenikmatan dunia, Anin tak bergeming.

Dan Anindira Pearly Otis bukanlah gadis polos yang tidak tahu hal yang berbau sex, sesekali dia juga membaca kisah roman dan menonton adegan semi, apalagi salah satu mata kuliah yang ia ambil pun tak jauh dari pembahasan mengenai hal itu.

Namun Anin tetap menjaga miliknya, utuh. Yang hanya boleh disentuh oleh seseorang yang mencintainya yang kelak jadi suaminya tentunya.

Tok tok tok...

tok tok..tok....

Terdengar suara ketukan pintu yang makin lama makin kencang dan menuntut untuk segera dibuka pemiliknya.

"Siapa pula yg bertamu malam-malam begini," gumam Anin. "Ya, sabar...." dan tak ayal Anin pun akhirnya melangkah untuk membukakan pintu

"Kamu...." sapanya, yang  terdengar kaget seperti melihat hantu.

"Hai," ucap laki-laki itu kikuk.

Dan lagi-lagi suara gaduh benda jatuh juga artikulasi abstrak tidak jelas intonasinya kembali terdengar.

Bukan cuma Anin, Bima juga mendengarnya.

"Aa\, Itu ___" Bima tergagap dan semakin kikuk.

"Ah, iya itu ... hahaha." Mudah-mudahan mas Bima nggak curiga macem-macem. Meilani matilah kau!

"Mas, kenapa malam-malam kesini? oh, Maksudku, ada apa? Apa ada yang penting?!"

Anin kemudian menutup pintu dan menggeser tubuhnya ke samping suaminya, sengaja tak membiarkan tamunya masuk. Bahaya, pikirnya.

"Apa saya mengganggu? Dan ini baru lewat waktu isya, masih terlalu dini untuk disebut malam."

"Ah\, ya yaa … sorry\, Mas. aku baru aja bang____" Dan Anin menyadari kesalahannya. Pantas saja dari tadi Bima seperti\, dia melihat kondisiku\, pakaianku dan ____ aaduh!

"Mas. Mas masuklah dulu." Kemudian Anin buru-buru masuk ke kamar sambil menutupi bagian dadanya yang setengah terbuka akibat kebiasaan tidurnya.

Pada akhirnya dibiarkannya juga tamunya masuk. Dan ikut mendengarkan desahan-desahan dari kamar sebelah yang entah kapan usainya.

Bima merubah lagi posisi duduknya untuk yang ke tak terhitung kalinya. Dia merasa tak nyaman di ruangan itu.

Kenapa Anin lama sekali dan kenapa disini panas sekali.

Bima melonggarkan dasinya.

Bima merasa sudah berada di titik didihnya. Dewa perangnya hampir berontak ketika Istrinya keluar dengan terlihat lebih rapi dan cantik di matanya.

Dengan rambut yang dibiarkan terjatuh menutupi bahunya dan sedikit lebih tertutup dengan dress selutut yang ia kenakan, Ya…walaupun bagian punggungnya tetap terbuka.

"Mas... Yuk,"

"Ah. Ya!" Bima terkesiap. "Kemana?"

"Kemana aja, yang penting keluar."

Ah, Aku tahu, ternyata kamu juga tak nyaman rupanya, istriku.

"Saya lupa, saya kesini mau ajak kamu ke acara temanku."

"......." Anin tampak bingung.

"Oh… Itu, peresmian hotel baru, dekat kok, di kalibata situ," ucap lembut.

Tuh kan aneh lagi. Ini berasa orang yang berbeda dengan yang tadi pagi. "Oh, Ada ya?"

"Ada, itu lho, yang di komplek Woodland park Residence, Kan ada hotelnya juga di situ," jelas Bima.

"Tapi,  Aku? Pakaianku?"

"Kenapa dengan pakaianmu?" Meneliti dari atas hingga ujung kaki istrinya. "Nggak ada yang salah. Cantik."

Ya tuhan. "Seenggaknya mampir dulu sebentar ke salon buat ngerapihin rambutku ini."

"Ya sudah, ayo. Disini panas." Bima menarik tangan istrinya dengan tidak sabaran.

Sesampainya di parkiran mobilnya suara heels Anin menjadi tidak teratur ketika tiba-tiba Bima meraih kedua bahunya. Mendorongnya mundur ke sisi mobil. Dan menempelkan bibirnya pada Anin sebelum gadis itu sempat mengatakan sesuatu.

Dan tidak seperti kemarin, ketika Anin hanya merapatkan bibirnya. Kali ini Gadis itu membuka bibirnya membalas dan menyambut suaminya.

Aroma Anin tidak lagi aroma mint. secara bibirnya terbalut lips gloss. Namun bagi Bima rasanya tetap sama seperti saat ciuman pertama yang menggetarkan jiwa.

Tak berapa lama, tertangkap oleh mata dan telinga Anin, suara langkah kaki seseorang yang sepertinya sedang berbincang dengan ponselnya.

"M-mas ... ada- orang," ucapnya terbata, tersengal.

Bima menangkup wajah Anin dengan kedua tanganya. Meraup dan kembali merasakan bibir gadis itu sebanyak-banyaknya. Tubuh mereka melekat dan mendesak tidak sabaran.

Bima kembali melanjutkan pagutannya. Anin meronta, sadar dengan kehadiran orang lain di sekitarnya.

Peduli setan. Bima menggeram kesal.

Dengan sadar Bima menarik pinggang Anin dengan salah satu tangannya, hingga gadis itu terkesiap. Tangan lainnya meraba-raba kebagian bawah mobil mencari handle pintu dan kemudian membukanya. Mendorong gadisnya membawanya masuk dan mendudukkannya, mengurungnya di dalam mobil..

Anin membisu dan hanya bisa mengamati tingkah suaminya.

Bima melihat bagaimana cantiknya istrinya, yang sedang dilingkupi rasa penasaran dan penuh tanya apa yang selanjutnya akan Bima lakukan.

Bima menunduk, kembali untuk menautkan bibir mereka, menikmati bibir ranum mempesona milik istrinya.

Bima menyapukan lidahnya dan memberi beberapa gigitan kecil di sana, hingga Anini mendesah pelan di depan wajahnya.

Desahan pelan yang mampu membangunkan gairah disekujur tubuh pria itu.

Bima kembali menempelkan bibirnya pada kulit leher istrinya. Berlama-lama bermain disana dengan kecupan-kecupan kecil, sementara tangannya mulai meraba dari betis hingga lutut sampai paha hingga akhirnya menghilang masuk kedalam gaun yang dikenakan Anin.

Bima menunggu, mengira akan ada penolakan atas aksinya.

Melihat Anin hanya diam saja tak bereaksi, dan seolah menunggu kelanjutannya. Ia pun dengan berani melanjutkan aksinya,

Menikmati bahunya, sementara tangannya tak berhenti meraba hingga ke pangkal paha. Anin mengalungkan kedua tangannya pada pinggang suaminya. Dan memandangnya dengan penuh putus asa.

"Tidak disini," bisik Anin ketika dirasakannya tangan Bima mulai mencoba menarik turun kain dalam yang dikenakannya.

"Kenapa?" Tentu saja dia tidak mau melakukannya di dalam mobil. Basar bodoh. Bawa pulang ke rumah.

"Karena aku tidak mau pengalaman pertamaku berakhir di tempat parkir seperti ini."

Tuh kan bener\, dia tidak mau pengalaman pertamanya di ___ apa tadi? Apa dia bilang tadi?!

-Pengalaman pertama-

Bima menegakkan tubuhnya, menjauhkan punggungnya. matanya terbelalak kaget.

"He-hem, Aku tidak mau mendapat pengalaman pertamaku disini," ucap Anin datar. Tak terlihat malu ataupun kecewa.

Jadi Anin masih perawan sodara sodara. Haloooo ... istriku masih murni suci. Still virgin. Oh god.

Ya iyalah  Bas Bima Aji, Kamu pikir Meilani? Dia sih, aki-aki ompong juga tahu, sebinal apa dirinya. Tampang nya aja yang sok polos.

What the hell! Bima masih terduduk, kaget.

Dia masih Pe-ra-wan. Dan kamu pikir dia wanita yang bagaimana Bima?

God. forgive me! dan aku telah salah sangka.

Ternyata dia….

"Mas!"

"...."

"Mas  Bim."

"Hah! Ya."

"Jadi… bisa kita pergi? Dan aku benar-benar butuh untuk ke salon."

"Besok kamu masuk?"

"He hem… kenapa?" jawab Anin sekenanya dengan tangan yang sibuk merapikan tatanan rambut dan gaunnya yang terlihat sedikit kusut dan berantakan.

"Besok saya antar. Dan malam ini kita pulang ke rumahku. Tidak sehat tinggal di apartemen ini."

"Apa?!"

Tanpa mengacuhkan jawaban istrinya, Bima mulai membawa mobilnya pergi dan sudah hilang ditelan kegelapan di belokan depan gang Apartemen.

Diam-diam dalam hatinya Bima tak henti hentinya merasa bersyukur pada Tuhan karena telah menjaga istrinya dari jahatnya ibukota.

Dan sepanjang perjalanan, Bima pun masih tak habis pikir, Anindira masih Pe-, Sedangkan kehidupan diri nya, pergaulannya. Teman-temannya.

Ya tuhan, Saya merasa sangat berdosa.

Bima kembali menyentuh bibirnya.  Sisa-sisa rasa istrinya masih tertinggal disana. Dan sekali lagi dari dalam hatinya yang paling tersembunyi naun jauh disana, Ia meledak oleh rasa syukur bahwa istrinya Anindira, tidak pernah dimiliki oleh laki-laki manapun di dunia ini. Termasuk si kampret mantan pacarnya itu.

Ia pun akhirnya tahu mengapa saat malam pernikahannya, hari pertamanya,  dia sibuk beralibi dan pura-pura sakit. Dia benar-benar belum siap waktu itu. Bukan Sok jual mahal semata.

Bima tersadar dari lamunan begitu ia menangkap kilauan cahaya dari sebuah benda kecil yang dipegang oleh petugas pemeriksaan.

"Kita sampai."

"????" Untuk yang kesekian kalinya Anin bingung oleh sikap suaminya sendiri.

Bima membawa pulang mobilnya. Tidak ke salon tidak juga ke acara temannya.

***

Terpopuler

Comments

beti

beti

bahasanya sedikit membingungkan,, perlu konsentrasi penuh untuk memahaminya

2021-07-04

0

Geta Andesiska

Geta Andesiska

masih disini

2020-09-15

0

Siska Feranika

Siska Feranika

Masih betah baca...

2020-09-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!