Pakde Wiro

"Astaghfirullah mendengar ceritanya saja sudah membuatku bergidik ngeri. Bu, jadi Raka itu anaknya juragan Karto?" tanya Hanum.

"Iya Nak, setelah kejadian itu mau tidak mau juragan Karto beserta Ningsih legowo dan menerima imbalan yang diberikan. Tiga hari setelah ritual sesajen itu petir menggelegar terdengar nyaring seantero jagat. Lalu bres hujan tudung sangat derasnya. Semua penduduk desa terlihat senang dan mandi hujan bersama. Mereka kembali mulai menanam sayur dan buah. Begitu juga dengan juragan Karto yang tadinya hanya seorang buruh ia bisa membeli sebidang tanah hasil pengorbanan Raka. Semua tumbuhan yang ditanam terlihat subur. Setiap kali datang waktu panen kebun miliknya yang paling banyak menghasilkan. Juragan Karto kemudian semakin memperluas kebun, ia juga memelihara binatang ternak. Kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat mengalahkan kekayaan Pakde Wiro yang dikenal sebagai dukun ampuh" ucap Ibu Dwi.

"Lalu Bude kemana perginya semua kekayaan milik Pakde Wiro?" tanya Lili.

"Entahlah Bude juga kurang paham. Dengar dari para orang tua dulu ia melanggar suatu pantangan sehingga kesaktian ilmu hitamnya melemah. Pelanggan yang dulu sering meminta wejangan tiba-tiba menghilang setelah mendengar rumor tersebut. Pakde Wiro juga sering dicemooh warga. Ia kemudian pergi entah kemana arahnya. Ada yang bilang ia bertapa di gunung meminta kembali kesaktiannya" jawab Ibu Dwi.

"Bude pernah lihat Pakde Wiro membawa sesajen setiap malam Jum'at ke desa Kenanga?" tanya Gugun.

"Bude sering mendengar tapi tidak tahu kebenarannya. Beberapa puluh tahun setelah desa Kenanga terbengkalai barulah Pakde Wiro kembali dan tinggal disini. Memang ada yang bilang ia masih setia melakukan ritual" kata Ibu Dwi.

"Mereka semua pernah melihatnya secara langsung Bu. Itulah sebabnya nanti malam kami akan menguntitnya. Kami ingin melihat apa yang Pakde Wiro lakukan di tengah malam nanti" jelas Hanum.

"Iya Bude kami akan membuktikannya" kata Doni

"Beberapa warga desa mengalami penyakit yang aneh dan diantaranya meninggal bukankah itu ulah Pakde Wiro Bu" ucap Hanum.

"Hus jangan sembarang menuduh kita tidak punya bukti anakku" ujar Ibu Dwi.

"Tapi Bu, apakah tidak aneh seorang laki-laki sudah sepuluh kali menikah dan semua istrinya meninggal saat akan melahirkan anak pertama. Hanya Ibu ustadzah Anisa yang berhasil bertahan hidup setelah 5 tahun merawat bayinya. Lalu kemudian terjangkit penyakit aneh pada akhirnya juga meninggal secara tidak wajar" kata Hanum.

"Iya Bude, menurut Lili aura Pakde Wiro itu menyeramkan" cetus Lili.

"Ibu hanya berpesan jika itu sudah keputusan kalian berhati-hatilah Nak! Ibu akan selalu siaga dan menunggu kalian pulang" kata Ibu Dwi yang artinya menyetujui keputusan Hanum dan teman-temannya.

"Terima kasih Ibu" ucap Hanum.

Masih di bawah pohon besar mereka berunding untuk rencana nanti malam. Setelah sepakat mereka memutuskan untuk pulang dan mempersiapkan diri. Kebetulan saat malam Jum'at mereka tidak mengaji di pondok karena ustadz Hanif ada pengajian rutin.

Saat tengah malam tiba mereka sudah berkumpul dibelakang pos ronda untuk mengintai Pakde Wiro.

"Aduh nyamuknya banyak banget, mana sih Pakde Wiro ga keliatan. Jangan-jangan dia tahu kalau kita mau ngintip" keluh Doni sambil menggaruk kakinya yang digigit nyamuk.

"Sssttt pelankan suaramu tuh lihat!" kata Gugun menunjuk ke jalan.

"Nah itu dia" kata Lili

"Eh tapi siapa mereka yang di belakang Pakde aku tidak bisa melihatnya dengan jelas mereka semua memakai penutup kepala dan wajah. Dan apa itu yang mereka bawa, tandu? Ada siapa didalamnya?" bisik Hanum.

"Iya, tidak biasanya banyak sekali yang ikut. Entahlah mungkin seekor kambing" kata Gugun.

Kita tunggu sebentar lagi, pastikan mereka tidak melihat kita" ujar Hanum.

Tak berapa lama setelah rombongan Pakde Wiro mulai memasuki hutan desa Kenanga, Hanum dan teman-temannya memulai misinya. Mereka berjalan perlahan mengendap-endap takut ketahuan.

"Hii gelap sekali kenapa belum sampai juga kemana Pakde Wiro akan pergi?" kata Lili melihat sekeliling.

"Iya kenapa belum sampai bukankah kita sudah masuk desa Kenanga. Lihat banyak sekali rumah warga yang ditinggalkan. Lapuk dan ambruk tak terurus" ucap Hanum.

"Kita ikuti saja mereka, perhatikan langkah kalian!" ujar Gugun.

Sampailah mereka di sebuah lahan kosong terlihat ada sumur tua dan sebuah bangunan berbentuk makam. Rombongan yang bersama Pakde Wiro dengan sigap menyalakan beberapa obor dan menata sesajen.

"Aku penasaran dengan tandu itu?" kata Hanum.

"Teman-teman bukankah kita terlalu jauh masuk ke dalam hutan aku takut kita tersesat dan tidak bisa pulang" rengek Doni.

"Kita berdo'a meminta perlindungan kepada Allah SWT" ucap Gugun.

"Lihat mereka sudah mulai ritualnya" ujar Hanum.

"Cih bau menyan membuat hidungku terasa gatal ha ha ha.." kata Doni sambil menggosok-gosok hidungnya dengan sigap Lili menutup mulut Doni karena ia tahu Doni akan bersin.

"Tunggu jangan bersin disini!" bisik Lili.

"Lihat siapa mereka membuka kain tandunya!" kata Gugun pelan.

"Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Eh tunggu bukankah itu.. astaghfirullah itu ustadzah Anisa. Mau apa mereka membawa ustadzah" gumam Hanum.

"Jangan-jangan kali ini tumbalnya ustadzah" kata Gugun.

"Ayo kita segera lapor ke Ibu dan Pak RT!" ajak Hanum.

"Tolong..tolong..tolong lepaskan aku" teriak ustadzah Anisa.

"Kalian dengar kan ayo kita pulang tunggu apa lagi cepat!" ajak Hanum lagi.

"Aaaaaa" teriak ustadzah Anisa.

"Apa? Apa itu..tidak ustadzah. Ustadzah Anisa mereka memotong kepala..itu kepala" tunjuk Lili menyaksikan sebuah kepala diangkat keatas.

"Ussss..." teriak Doni tiba-tiba.

Menyadari hal itu akan membuat mereka ketahuan dengan sigap Gugun mematikan penerangan dan meminta temannya yang lain untuk tiarap.

"Sssttt" bisik Gugun.

Sontak hal itu membuat Pakde Wiro dan rombongannya terkejut.

"Siapa? Siapa disana, keluar..mau cari mati ya. Keluar atau kalian akan bernasib sama seperti ini hahaha" teriak Pakde Wiro sambil menjunjung kepala anaknya tanpa rasa bersalah.

Darah segar itu masih menetes dari leher yang baru saja terputus. Hanum dan teman-temannya rasanya tidak sanggup untuk berdiri dan berlari mereka diam membeku dibalik semak-semak.

"Lanjutkan ritualnya mungkin saja hanya tikus" ucap seseorang dari rombongan tersebut.

Entah apa yang terjadi tiba-tiba saja mata mereka terasa berat dan samar-samar untuk melihat.

"Kenapa aku terasa mengantuk tiba-tiba, aku mau pulang" kata Hanum pelan.

Pakde Wiro beserta rombongannya melanjutkan ritual sampai selesai. Sementara Hanum dan teman-temannya tertidur di hutan desa Kenanga.

Pagi itu matahari masih sedikit bersinar sekitar pukul setengah enam Gugun yang terlebih dahulu bangun mencoba membangunkan teman-temannya yang lain

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!