Suara pintu yang dibuka membuat Danzel menoleh. Sorot matanya sejenak menatap Luna dengan tatapan tajam. Setelah itu, di kembali fokus pada handphonenya, membalas pesan dari Kakek Berto.
"Kamarmu bagus," ucap Luna yang diabaikan Danzel.
"Oh ya, dimana aku harus menyimpan baju-bajuku?" Lagi-lagi Danzel mengabaikannya. Laki-laki itu menyimpan handphonenya lalu melepaskan jas yang melekat di tubuhnya. "Aku tidak—"
Ucapan Luna langsung terhenti saat Danzel malah melangkah meninggalkannya. Kesal? Tentu saja Luna rasakan. Tapi, Luna tidak akan diam saja. Dia mengikuti langkah Danzel yang sepertinya akan ke kamar mandi. Sebelum laki-laki itu meraih gagang pintu kamar mandi, Luna dengan cepat menghalanginya dan berdiri tepat di depan laki-laki itu.
"Apa yang kau lakukan!" Suara Danzel terdengar sangat kesal.
"Kau marah? Sama sepertiku. Aku juga marah karena kau tak menjawabku!" balas Luna. "Apa susahnya kau mengatakan di mana aku harus menyimpan baju-bajuku? Aku tidak mungkin membiarkannya di koper terus."
Danzel tak menjawab. Dia menatap tajam Luna, kemudian berbalik dan melangkah menuju salah satu pintu selain pintu kamar mandi yang ada dalam kamarnya itu.
Luna mendengus kesal dalam hati. Dia harus menebalkan kata sabar dalam dirinya untuk menghadapi Danzel.
Sementara Danzel, ia membuka pintu tersebut, lalu menatap Luna. "Simpan bajumu disini," ucapnya.
Senyum manis langsung tercetak di bibir Luna. Dengan cepat dia mengambil kopernya dan mendekati ruangan tersebut. Sementara Danzel, laki-laki itu segera menggeser tubuhnya dan berjalan menuju kamar mandi.
"Waah... ternyata ini walk in closet," gumam Luna, kagum melihat ruangan penyimpanan sekaligus ruang ganti yang cukup besar baginya. Hampir setengah bagian ruangan tersebut masih kosong. Dan setengah bagian lagi dipenuhi dengan barang-barang milik Danzel.
Luna masuk dan segera menyusun baju-bajunya. "Walaupun kalian aku beli dengan harga murah, kalian tetap yang terbaik. Jangan insecure sama tetangga, okey?" ucap Luna pada baju-bajunya.
Setelah selesai menata baju-bajunya, Luna keluar dan seketika terkejut melihat Danzel sudah berada di depan pintu dengan tubuh yang hanya berbalut handuk. Menampakkan tubuh bagian atasnya yang kekar dan memiliki otot di beberapa bagian tertentu. Luna menundukkan wajahnya karena malu. Dan sialnya, ia malah melihat perut kotak-kotak Danzel yang semakin membuatnya malu.
"Minggir!"
Tanpa banyak bicara, Luna langsung bergeser dan berjalan menjauhi Danzel. Jantungnya benar-benar tidak aman sekarang.
"Hampir saja jantungku terlepas dari tempatnya," gumam Luna.
***
Luna terbangun pukul 5 pagi. Tidak ada Danzel di kamar itu. Semalam, dia dan Danzel terlibat perdebatan kecil mengenai tempat tidur. Dia tidak mau tidur di sofa dan mau tidur seranjang dengan Danzel. Sementara Danzel, laki-laki itu bersikeras menolak. Dan akhirnya, Danzel memilih untuk tidur di kamar lain.
Luna meringis mengingat kejadian semalam. Dia seperti gadis yang tidak memiliki rasa malu sama sekali. Memaksa-maksa laki-laki untuk tidur dengannya.
Mengabaikan itu, Luna bergegas ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya dan menyikat gigi. Setelah itu, dia turun ke lantai bawah.
"Nyonya muda," sapa seorang wanita yang sepertinya seusia Ibunya, Vaela.
Luna tersenyum. "Hallo, siapa nama Ibu?"
Wanita itu menatap Luna. Entah kenapa, dia merasa senang melihat gadis ceria ini. "Saya Berna, Nyonya."
"Saya Luna," ucap Luna. "Apa Bibi sendiri yang mengurus rumah ini?"
"Tidak. Ada sorang lagi seusia saya. Namanya Merry. Dia sedang di dapur, Nyonya. Terus ada dua orang laki-laki lagi. Seorang bertugas sebagai security, seorang lagi bertugas sebagai tukang kebun. Mereka juga merangkap menjadi supir ketika dibutuhkan.”
Luna mengangguk. "Baiklah. Aku akan berkenalan dengan mereka nanti."
"Oh ya, apa yang bisa aku bantu?"
"Hah? Tidak perlu Nyonya. Nyonya cukup diam atau berolahraga saja."
"Tidak. Aku sudah terbiasa membantu Ibuku memasak dan bersih-bersih di pagi hari. Dan karena hari ini aku tidak bekerja, aku akan membantu kalian memasak dan membersihkan rumah."
"Tapi Nyonya, tuan Danzel pasti akan marah."
"Jangan pikirkan dia. Ayo, tunjukkan aku di mana dapurnya." Luna langsung menarik tangan Bibi Berna, memaksa wanita itu memberitahunya dimana letak dapur.
Sampai di sana, Luna kembali dibuat kagum dengan desain dapur dan segala perabotannya. Gadis itu juga berkenalan dengan Bibi Merry yang sedang memasak untuk sarapan.
Sementara di salah satu kamar, Danzel terbangun. Dia terduduk di pinggir ranjang, mengumpulkan kesadarannya. Dan di saat-saat seperti itu, dia malah teringat perdebatannya dengan Luna semalam.
"Gadis itu. Kenapa Kakek memilih gadis sepertinya menjadi istriku? Dia sangat jauh dari kata baik seperti yang kakek katakan," guman Danzel.
"Baru semalam, aku sudah dibuat pusing olehnya. Ku harap hari ini bisa berlalu dengan cepat. Aku sangat pusing jika terus bersamanya. Beruntung aku menolak permintaan Kakek untuk mengambil cuti seminggu."
Danzel terbangun dan langsung berjalan keluar kamar lalu berjalan menuju kamarnya yang semalam ditempati Luna. Dia tak menemukan gadis itu disana. Danzel tak peduli. Dia bergegas mandi dan berpakaian. Setelah itu, Danzel keluar menuju lantai dasar.
"Selamat pagi, Danzel," sapa Luna.
Danzel cukup terkejut saat tahu yang sedang mengepel di dekat tangga adalah Luna. Wajahnya berubah dingin.
"Apa yang kau lakukan?" tanyanya dingin.
Luna tersenyum manis. "Aku sedang bersih-bersih rumah."
"Tinggalkan pekerjaan itu!" Suara Danzel terdengar dingin. Dia benar-benar tidak suka melihat Luna mengerjakan pekerjaan itu. Bagaimana jika tiba-tiba kakeknya datang? Pasti dia yang akan disalahkan, dan kakeknya akan kecewa.
"Danzel, aku sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan ini."
Danzel mengeraskan rahangnya, kemudian berjalan meninggalkan Luna. Wajahnya semakin dingin. Dan itu membuat kedua ART nya meneguk ludah ketakutan.
Danzel menarik kursi yang ada di ruang makan, lalu mendudukinya. "Apa yang Luna lakukan pagi ini selain mengepel?"
"I-itu, Tuan. Nyo-nyonya memasak, membersihkan dapur, terus membantu mengepel," jelas Bibi Berna.
"Apa yang kalian lakukan sehingga dia yang mengerjakannya?"
"Bukan salah mereka. Aku yang ingin," sahut Luna, berjalan mendekati Danzel. "Aku juga tidak mengerjakan semua itu sendiri."
Danzel berdecak, lalu bangun dari duduknya. "Marry, bawa sarapan ke ruang kerja."
"Baik Tuan,"
"Aku juga mau sarapan di ruang kerja," ucap Luna cepat, yang seketika mendapat tatapan tajam Danzel.
Luna tak peduli dengan reaksi laki-laki itu. Dia malah membalas dengan tersenyum. "Matamu sangat bagus," puji Luna. Namun Danzel tetap menatapnya tajam.
"Tidak ada salahnya kita sarapan bersama. Aku hanya ingin menjadi istri yang baik, yang menemani suaminya sarapan."
Bibi Marry dan Bibi Berna tersenyum melihatnya. Baru kali ini mereka melihat seseorang yang berani dengan Tuan mereka. Semoga Nyonya muda mereka itu bisa meluluhkan Danzel.
Tak ingin berdebat dengan Luna, Danzel meninggalkan ruang makan. Luna diam-diam merasa lega. Bagaimana pun, tatapan tajam Danzel, sangat menakutkan.
***
Danzel melirik Luna yang memakan sarapannya dengan lahap. Gadis itu tidak sedikitpun merasa malu.
"Kenapa? Apa aku cantik?" tanya Luna yang sontak membuat Danzel berdecak. "Aku tahu, kau terus melirikku sejak tadi. Tidak perlu malu. Akui saja kau terpana melihat gadis cantik sepertiku."
"Cih!"
"Kenapa berdecih?"
"Karena kau aneh!" jawab Danzel yang seketika membuat Luna cemberut.
"Mulutmu sangat tajam," balas Luna, kemudian lanjut memakan sarapannya. Danzel sampai terheran melihat reaksi dan kelakuan dari Luna.
Setelah sarapan, Luna membereskan piringnya dan juga piring Danzel. Dia kemudian membawa piring bekas itu keluar.
Waktu bergulir dengan cepat. Luna baru saja bangun dari tidur siangnya. Dia langsung turun ke lantai bawah, ingin menemui Danzel di ruang kerjanya. Namun, dia malah bertemu dengan Bibi Berna yang membawa secangkir kopi.
"Untuk siapa, Bi?"
"Untuk Tuan, Nyonya."
"Danzel suka kopi?"
"Iya, Nyonya. Tuan suka kopi. Dia sering minum kopi. Sehari hampir beberapa kali dia meminumnya."
Luna terdiam. Dia jadi teringat Ayahnya yang juga suka minun kopi. Tapi, akhir-akhir ini Ayahnya hanya sesekali mengkonsumsi kopi. Dia meminta Ayahnya untuk mengganti kopi dengan jus sayur.
"Bibi, berikan kopinya padaku, biar aku ganti dengan jus."
"Nyonya, tuan—"
"Aku yang akan bertanggung jawab. Aku juga yang akan membawanya ke ruang kerja Danzel."
Bibi Berna tak bisa membantah lagi. Dia mengikuti ucapan Luna dan membiarkan wanita itu mengganti kopi dengan jus.
Setelah selesai membuat jus sayur, Luna segera membawanya menuju ruang kerja Danzel. Gadis itu mengetuk pintu sebelum masuk.
"Kenapa lama— kau? Apa yang kau lakukan disini?"
"Aku membawakan jus untukmu."
"Aku tidak butuh!"
"Kau pasti membutuhkannya." Danzel terdiam dengan perasaan kesal. Namun, laki-laki itu berusaha menahan rasa kesalnya. "Kau meminta Bibi Berna membuatkan kopi kan? Aku juga meminta Bibi Berna membawa kembali kopi itu," ucap Luna, meletakkan segelas jus itu di meja Danzel.
Danzel mendongak dengan perasaan marah. Luna ini benar-benar memancing amarahnya.
"Kau—"
"Mengkonsumsi kopi berlebihan tidak baik. Lebih baik kau meminum jus ini. Ayahku juga pencinta kopi sepertimu. Tapi, sekarang dia sudah membatasi dirinya untuk minum kopi dan memilih meminum jus."
"Itu ayahmu!!" seru Danzel dingin.
"Iya, itu Ayahku. Dan aku menjadikannya sebagai contoh untuk—"
"Keluar!"
"Kenapa?"
"Ku bilang keluar, Luna!!"
"Iya-iya, aku akan keluar. Selamat menikmati jusnya, suami."
Danzel mengusap wajahnya frustasi. Dia sangat kesal dengan Luna. Tapi, dia tidak bisa melukai gadis itu seperti yang dia lakukan kepada wanita-wanita yang suka menggodanya. Dia merasa stok kesabarannya bertambah dalam menghadapi Luna. Dan itu tidak terjadi pada wanita-wanita lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
ira
ada-ada aja sih Luna ini 🤣🤣🤣
2024-12-13
0
ira
bgs Luna😁😁
2024-12-13
0
🍏A↪(Jabar)📍
/Facepalm/
2024-09-01
0