...(Comment tiap paragraf, ya...)...
...Harap hati" karena typo bertebaran...
...-HAPPY READING-...
Pulangnya dari kampus, Angga membuka pintu rumahnya usai tiba di dalam komplek Permata. Mungkin untuk kesekian kalinya, dalam rumahnya sepi dan tak terdapat penghuni yang mengisi keramaian. Ke mana orangtuanya?
Namun, pada saat menutup pintu perlahan dari dalam, Angga rada dikejutkan oleh sentuhan kecil pada sesuatu di bawah kakinya. Ditambah lagi suara khas binatang, berhasil membuat lelaki itu menolehkan kepala ke belakang lalu merunduk.
“Elo, Kesh?” Dengan senyuman bahagianya, Angga membungkukkan badan untuk menggendong kucing peliharaannya yang rupanya sedang menyambut kepulangan dirinya dari gedung Dhambaswa Akshara.
Takeshi yang diangkat tinggi oleh tuan majikannya, membentangkan kedua tangan bulu hitamnya ke depan dengan sepasang kaki yang meronta-ronta, sementara Angga nampak menunjukkan raut tengilnya kepada hewan kesayangannya. “Cieeee! Kangen sama gue, yaaaa?”
Anggara Sayang? Akhirnya kamu sudah pulang, Nak
Pemuda itu yang asyik mengangkat tubuh besar Takeshi, menoleh ke arah sendang suara wanita paruh baya dengan aura muka tenangnya. “Mama!” Angga lekas menghampiri Andrana bersama kedua tangan membawa kucing spesialnya.
“Gimana kuliahnya? Lancar-lancar aja, kan?” tanya lembut Andrana, waktu punggung tangan kanannya dicium sopan oleh putra semata wayangnya.
“Pastinya dong, Ma! Gak ada hambatan sedikitpun, tapi besok lusa sudah kembali mengikuti ajaran materi dosen.”
Andrana menganggukkan kepala dengan membulatkan mulut, paham. “Oh, setelah event di kampus-mu selesai, ya?”
Angga tersenyum meringis kepada sang ibu usai mencium punggung tangan beliau. “Iya, Mama. Masa mau ada event melulu? Kapan dimulainya lagi untuk menyongsong lulus wisudanya jika begitu?”
Wanita yang awet mudanya tak pernah luntur itu meski telah berkepala empat, meraih pucuk kepala putranya untuk mengusap-usapnya lembut. “Iya, deh. Udah, yuk kita makan dulu. Pasti kamu lapar! Tuh, Mama sudah masak banyak untukmu.”
“Sip!” seru Angga, lalu memarani meja makan. Tampak di atas tersebut telah banyak disuguhkan beberapa masakan lauk yang masih mengepul nan tercium aroma lezatnya.
Dengan hati semangat bersama bola mata berbinar, lelaki berkekuatan Indigo itu melepaskan ransel hitamnya dan hendak meletakkannya di kursi kosong. “Ayah di mana? Tumbenan sore ini gak kelihatan, Ma?”
“Ayah lagi di dalam kamar, sakit.” Ucapan Andrana yang terdengar pakai nada standar, membuat Angga terbelalak seketika dengan menolehkan kepala ke arah wanita itu.
“Ayah sakit?! Kok, gak bilang dari tadi?!”
Andrana mengerjapkan mata saat terkena sentakan putra kesayangannya yang akibat kaget. “Kamu gak nanya du- e-eh, Angga!” Wanita itu syok saat Angga dengan asal memberikan Takeshi agar ia gendong ke pelukannya.
“Takeshi dibawa dulu, Angga mau ke kamar ayah!”
Sang ibu dari pemuda Indera keenam itu, melongo waktu tatapannya mengamati Angga yang berlari tergesa-gesa naik ke atas tangga untuk menjumpai Agra di dalam salah satu kamar tidur. Andrana dibawah bersama kucing jantan, juga memperingati anaknya buat berhati-hati jika menaiki anak tangga yang panjang tersebut.
Setibanya Angga di depan pintu berbahan kayu kamper dengan lapisan warna blok cat hitam, ia membuka pintu kamar orangtuanya sembari mengeluarkan nada pekikan. “Ayah kenapa bisa sakit, sih?!”
Agra yang posisinya sedang terbaring posisi menghadap kiri, tersentak kejut lalu menoleh ke sosok putranya yang berdiri di ambang pintu kamar sembari memegang handle pintu. “Ga?! Dasar anak nggak punya sopan santun ya, kamu! Ketuk pintu dulu sebelum masuk.”
“Gak sempet,” singkat Angga menjawab, lalu mendatangi sang ayah yang nampak berbaring lemah di atas kasur bersama balutan selimut tebal untuk menghangatkan tubuh.
Agra menghela napasnya dengan wajah pucat seraya memperhatikan anaknya yang mulai menduduki pantat ditepi kasur. “Kamu udah pulang? Gimana kuliahnya tadi?”
“Pake ditanya 'udah pulang' segala? Pastinya udah lihat kalau Angga sampai kamar. Emangnya siapa yang Ayah lihat, arwahnya anakmu?!” sewot Angga.
Mata pria paruh baya itu, melotot. “Jaga mulutmu!”
“Hehehehe! Iya-iya, maaf. Oke, sekarang Angga tanya lagi. Ayah kenapa bisa sakit? Jarang-jarang Ayah sendiri sampe kayak gini, apa penyebabnya?”
Itu, penyebabnya karena ayahmu ngotot benerin atap yang bocor. Padahal ayah udah banyak kerja rodi bantuin Mama ini-itu, tapi masih dipaksain meskipun Mama udah ngelarang suruh berhenti
Mulut Angga menganga saat menatap Andrana yang muncul dari pintu dan mengeluarkan suaranya. “Oh, itu sebabnya? Kenapa gak nunggu Angga pulang aja dari kampus, biar Angga yang benerin atapnya. Daripada ayah yang ngelakuin, kan? Lagian udah tua, tapi berlagak sok muda!”
“Ngomong apa, tadi kamu barusan?! Ulangi! Beneran mau jadi anak Durhaka dirimu, Ga?!” kesal Agra.
“Lah, kan itu faktanya!”
Pria tersebut lagi-lagi dibuat terkejut oleh nada tinggi yang dimunculkan oleh sang istri, membuat dirinya merosot dan memilih mengalah saja. Takut, diamuk. Sementara Angga nampak tertawa melihat ekspresi pasrahnya Agra, lalu ia menyentuh lengan tangan ayahnya yang terasa hangat kendatipun telah dilapisi pakaian.
“Ayah dibanyakin istirahatnya, jangan marah-marah terus, entar sakitnya nambah parah. Sekarang, Ayah udah makan apa belum?” tanya Angga, tulus sebagai anak.
Agra menggeleng lemah. “Belum, makan aja hambar. Lebih baik kamu makan saja, sana sama mama dibawah. InsyaAllah nanti ayah nyusul isi perut.”
Angga termenung sejenak dengan menunduk kepala, lalu berselang detik kemudian ia bangkit dari kasur. “Angga tinggal sebentar, ya?”
“Loh, mau ke mana, Nak?”
“Bentar doang kok, Ma ...”
Anak putra dari Agra maupun Andrana itu melenggang pergi meninggalkan kamar dan berbelok ke arah kanan, hal itu membuat mereka berdua kompak saling melemparkan pandangannya, bingung. Ingin ke mana ia?” Tapi 5 menit kemudian, Angga datang lagi sembari menenteng nampan berisi tiga mangkuk dengan gelas air putih sekaligus.
Agra yang menatap putranya, sontak bangun dari baring tidurnya dengan kontak mata tercengang, begitupun Andrana yang sedikit terbelalak. “Lho, Sayang! Kok, makanannya dibawa ke sini?”
Angga terkekeh geli sambil kembali duduk di posisinya tadi. “Kalau ayah sakit, kita makannya di dalem sini dong, Ma. Iya masa kita berdua dibawah, sedangkan ayah di atas? Sendirian, lagi.”
“Ga, Ayah lagi tidak nafsu makan. Kan, sudah dibilang tadi, makannya sama mama dibawah. Ayah pasti nyusul,” tolak Agra, walau belum dikomando untuk memakan.
Angga melirik Agra dengan tatapan lumayan sinis. “Ayah gak boleh menolak kesehatan, begini kan biar Ayah cepat sembuh. Emangnya, mau sakit gini terus? Gak ada kata penolakan, suruhannya Angga kali ini harus dipatuhi.”
Andrana dengan hati harunya, tersenyum di sebelah anak semata wayangnya sembari mengambil mangkuk sup yang penuh kaldu segar dengan beberapa sayuran untuk suaminya. “Baru kali ini, kamu tegas sama ayah.”
“Ayah kalau gak digituin, keras kepalanya makin beludak! Kayak Angga, sih ...” akunya.
Wanita itu dengan riangnya, tertawa mendengar penjelasan detailnya Angga yang ujung-ujungnya mengakui sifat negatifnya. “Kamu, ini. Gak ada habis-habisnya buat hati Mama terhibur. Yasudah, sekarang Ayah makan dulu, mau disuapi atau sendiri?”
“Halah, makan sendiri! Nanti kalau disuapin, manjanya banyak banget ke Mama. Kan, udah dewasa, bukan bayi lagi.” Sepertinya lelaki itu sedang sengaja memancing emosinya Agra. Padahal ia sendiri yang menyarankannya untuk tidak marah melulu, bagaimana ini jalan pikirannya?
“Anggaaaaaa! Awas saja kalau Ayah sudah sembuh, ya. Ayah akan balas perkataanmu!” geramnya.
Angga dengan raut getirnya, meneguk ludah. “Astaghfirullah ! Gak bisa bedain mana bercanda dan mana yang serius ya, Yah? Tua-tua semakin garang, aja.”
“Ya, biarin galak! Anak cowok kayak kamu emang pantes digarangin seperti itu,” sembur Agra.
“Ehe! Digarangin, atau ... digaramin?”
Melihat kedua insan hidupnya, membuat Andrana berdecak pelan lalu melerai perdebatan antara anaknya dan suaminya yang ingin meributkan suasana kamar. Hingga pada akhir waktunya, mereka bertiga mulai menjalankan rutinitas di senja hari dengan mengisi perut yang kosong untuk dileburkan oleh lambung.
Di sela-sela menghabiskan sup masakan dari istrinya, Agra mendongakkan kepala lalu menoleh ke arah Angga. “Ga? Kamu melakukan itu tadi buat anterin makanan dan minuman segala ke kamar Ayah sama mama, buat apa? Padahal gak usah repot-repot seperti itu, kan?”
“Memangnya tindakannya Angga salah?” tanyanya dengan seutas senyum, “Lagipula anak kalian berbuat seperti ini karena juga mau ngasih rasa terimakasih untuk Ayah dan mama.”
Andrana yang tengah menyeruput kuah hangat sup, lekas menurunkan sendok. “Terimakasih, apa yang membuatmu ingin berterimakasih kepada Mama sama ayah, Nak?”
Angga semakin melebarkan senyuman dengan wajah aura terenyuh sekaligus kepala yang menunduk, lagi. “Ini peristiwa yang udah silam banget, ya. Dulu waktu Angga masih Koma di RS Medistra Kusuma, kalian sudah terlalu bekerjasama untuk mendukung kesembuhannya Angga, terutama Ayah yang selalu mengeluarkan biaya yang jumlahnya tidak sedikit.”
Tatapan mata kedua orangtuanya, kini menjadi sayu walau ikut mengukirkan senyuman di bibir. Lagipula itu demi keselamatan nyawa anaknya mereka, jadi tak ada kata lelah untuk mendukung.
“Pasti habisin jutaan, gara-gara Angga terlalu lama menempati ruang ICU hingga dua belas bulan. Berasa jadi jahat banget gak, sih bikin batin kalian tersiksa karena mengkhawatirkan kondisi Angga yang parah sekali?” ulas dirinya, melanjutkan kalimat.
Andrana mendengus senyum lalu mengelus puncak kepala putranya yang justru mengeluarkan keluh kesah hatinya. “Jahat dari mana, ih? Mama sama Ayah gak mau peduli gimana kondisi hati ini seperti apa, kami lebih peduli ke dirimu, Sayang.”
“Iya, Ga. Ayah juga gak peduli dan masalah kalau uang Ayah habis karena untuk pengobatan intensif-mu di rumah sakit, uang bisa dicari lagi. Gampang, gak usah dipusingin! Yang penting, kamu sanggup bertahan di Koma itu.”
Angga yang mendengarkan itu, nyengir dengan telapak tangan mengusap tengkuknya lambat. “Iya ...”
‘Anjir, ini gue kenapa jadi baper gini kayak Reyhan, sih? Kena karma cacian mulut apa, ya? Sorry deh, Rey.’
Agra dan Andrana yang masih mampu mendengar ucapan suara di relung hatinya Angga, tertawa geli lalu merangkul lembut tengkuk putra hebatnya secara bersamaan. Mereka rupanya memang keluarga kecil yang harmonis tanpa adanya bentrokan ataupun perpecahan.
...‹‹---𝔗ℜ𝔒---››...
Keesokan harinya, di dalam gedung kampus tepatnya di ruang perpustakaan yang sangatlah luas dan nyaman. Sekelompok empat remaja, sedang memilih-milih buku cerita novel untuk dibacanya di ruangan tersebut. Nampak senyap karena hanya dihuni beberapa mahasiswa dan mahasiswi itu.
Setelah mendapatkan buku yang dimau, Reyhan segera duduk di salah satu kursi dan meletakkan benda baca itu. “Novel ini kalau gak salah, gue udah punya. Keluaran tahun dua ribu dua puluh tiga, anjir. Hahahaha!”
“Wow, sampe hapal dirilisnya kapan! Tapi kalau dilihat dari segi cover, itu kayaknya jenis genre Thriller, ya?” tanya Angga, memandangi buku yang ada di atas meja.
Kedua mata Reyhan melotot dengan berbinar, menatap ke arah sahabat Indigo-nya. “Wih, tebakan yang keren! Lo tau dari mana kalau buku ini genre Thriller? Pernah baca, kah?”
“Enggak juga, tapi kayak udah berasa aja dari segi ilustrasi cover sama isinya.”
Freya yang telah duduk manis di hadapannya para lelaki tampan tersebut, tertawa halus sambil memegang salah satu buku novel bergenre Fantasy. “Loh, kamu gak ingat? Angga, kan cowok Indigo. Tanpa mengikuti alur cerita itu, pastinya dia sudah tahu, dong.”
“Yap!” seru kekasihnya Freya.
Reyhan yang melihat itu, hanya tertawa bersama menggaruk kepalanya. Bisa-bisanya ia lupa kalau sahabat satunya tersebut memiliki mata gaib. Di sisi lain, Jova nampak tengah berdiri di sebuah rak buku yang tinggi dan juga lebar, hingga setelahnya membuat gadis Tomboy itu menyeringai dengan anggukan kepala.
“Woy, cowok yang pernah Koma!”
Angga maupun Reyhan yang merasa terpanggil dan tersindir pada teriakan suaranya Jova, segera mengalihkan kontak mata dari lembaran naskah buku ke wajahnya perempuan itu dengan malas. “What?”
Freya hanya mengedipkan netranya beberapa kali dengan mulut membulat kecil, memperhatikan sahabat barbarnya yang berlari-larian untuk menghampiri kedua pemuda itu. Sesudahnya, Jova menyingkirkan buku novel yang sedang Reyhan-Angga baca dan menggantikannya dengan buku lainnya.
“Mendingan kalian pada baca buku ini, deh. Udah pasti kejadiannya mirip!” ria Jova.
Bukannya di salah satu dari lelaki itu membuka lembaran buku novel untuk membaca atas rekomendasinya Jova, mereka justru malah melongo dengan saling melemparkan kontak matanya masing-masing. Jelas bingung, hingga Reyhan menaikkan kedua alis tebalnya dan kepalanya serta Angga yang menggelengkan kepalanya tuk merespons gerakan tubuh sahabat.
‘Eh, itu cewek ngapa lagi, Bro? Maksudnya apaan?’ tanya Reyhan, membatin seraya tetap menatap mata Angga.
Sahabatnya dari pemuda humoris itu, mengernyitkan dahi. ‘Katanya suruh baca karena kejadiannya mirip kita. Tapi mending lo pergi ke apotek, deh. Soalnya pacar lo kehabisan obat, kasihan otak Stresnya gak sembuh-sembuh.’
Jova yang ada di belakang mereka berdua, melibatkan kedua tangan kulit mulusnya di tepat dada. Meskipun tak mempunyai kelebihan istimewa yang gaib, ia tahu bahwa sahabat lelakinya dan kekasihnya sedang mengobrol via telepati.
“Malah ngoceh batin, cepet dikit mikirnya!” sungut Jova, dengan langsung menempelkan kencang antara kepala Angga dan Reyhan sehingga terjadilah benturan.
Duakh !
“Argh!” Bagaimana tidak sakit? Kepala Angga dibenturkan kencang ke kepala Reyhan, begitupun sama dengan sahabatnya. Sampai membuat Freya terkejut dan spontan berdiri dari kursinya.
Dengan meringis kesakitan sembari mengusap-usap kepalanya yang berdenyut-denyut, kedua lelaki nang telah menjadi korbannya Jova menoleh ke sang pelaku. “Sakit, Va!”
Freya dengan kesal yang tersulut di hati, mulai berjalan menghampiri sahabat Tomboy-nya lalu mencubit pinggang Jova yang telah memperlakukan mereka bersama bahayanya. “Ada cara lain, gak selain nyakitin kepala orang?! Nanti kalau mereka berakhir cedera, gimana? Siap tanggung jawab?!”
“Tahu, tuh tega banget! Iya masa kepalaku cedera lagi untuk kedua kalinya? Untung gak sampe memar,” protes Angga tanpa henti meredakan rasa ngilu di sakitnya.
“Pusing, anjir kepala gue!” rutuk Reyhan.
Freya yang mendengar omelan rengek dari sahabat lelakinya, auto menunjuk kencang untuk Jova. “Tuh, sampe pusing! Jangan diulangi lagi, ah yang tadi. Apalagi ke Angga!”
“Lho, kok jadi bawa-bawa aku?”
Freya mendengus. “Kamu udah lupa sama yang empat tahun lalu? Meskipun kepalamu sudah pulih dari cedera, tapi di dalam sana masih ada bekasnya. Kalau luka lagi, kan malah berujung fatal! Ya, kan?”
Angga hanya tersenyum hampa lalu kembali fokus melumas sisi kepalanya yang telah kena benturan dari tempurung kepala sang sahabat. Sementara Jova yang menyadari kesalahannya terhadap para lelaki itu, sepasang tangannya segera mengusap-usap kepala mereka dengan nyengir kuda.
“Maaf, ih! Lain kali aku gak gitu lagi, deh. Oke?! Harus mau, ya maafin aku yang tadi?!” pinta Jova.
“Iya, nggak apa-apa.”
“Hm!”
Angga menoleh gesit ke atensinya yang menolak permintaan mohon Jova sampai gadis itu mengeluarkan nada rengekan dan ekspresi melas. “Gak ikhlas banget maafin-nya?”
Reyhan menegakkan badannya lalu menghempaskan napas dan meraih tangan Jova di mana tubuh gadisnya itu telah berada di samping kirinya. Ia mencium telapak kekasihnya sebelum berkata sambil mendongakkan kepala ke arah tatapan matanya Jova.
“Aku maafin kamu, kok, Ayang! Aku menerima permintaan maafmu dengan secara Ikhlas Lillahi Taala.”
Jova yang takjub mendengar pengucapan pujaan hatinya yang tumben alim, tersenyum berseri dan gembira lalu kedua tangannya dengan refleks sengaja menarik gemas pipi-pipi kulit putih nan bersihnya Reyhan.
“Aaaaaa, makacii!”
Freya begitupun juga Angga yang sama-sama posisinya mengangkat tangan di atensi keinginannya mereka, menurunkannya dengan mulut kembali menganga di saat harus mendapatkan pemandangan adegan romantis itu.
“Lah? Bucin lagi, mereka!”
...‹‹---𝔗ℜ𝔒---››...
Pukul Jam 16.45 PM
♫ Don't surrender, 'cause you can win
In this thing called love ♫
♫ When you want it the most
There's no easy way out
When you're ready to go
And your heart's left in doubt
Don't give up on your faith
Love comes to those who believe it
And that's the way it is
That's the way it is ♫
Mereka berempat tampak bahagia dan seronok menyanyikan lagu Barat tersebut yang pernah dirilis tahun di mana dulu orangtuanya masih menikmati masa indah remajanya. Mereka bernyanyi dengan konvensional bersama dipadukan alunan gitar yang Angga mainkan.
Hingga tiba di reff terakhir, mereka semua bertepuk tangan dengan gembira dikombinasikan sorakan riang. Lihatlah betapa bahagianya para remaja itu, termasuk Angga.
“Rasanya amazing banget kalau lagunya ini dinyanyiin berbarengan, woy!” pekik Jova usai menghentikan suara tepuk tangannya.
“Hahahaha, bener! Kita berempat juga udah jarang nyanyi bersama kayak gini. Kalau kalian berdua?” tanya Freya, menatap Reyhan dan Angga secara bergantian.
Reyhan yang menyenderkan punggung kokohnya di sofa sambil meneguk sirop rasa melon segar, menaikkan satu aliasnya dengan bibir sumringah. “The best, lah pokoknya! Lebih senengnya lagi aku, ngeliat bahagianya Angga dan ketawanya yang kayak kesurupan Barongsai.”
“Sialan, lo!” respons Angga dengan tawa, sambil menaruh alat melodis miliknya Jova di sebelah kursi sofa yang juga berpojokan bersama tembok dalam rumah.
Kemudian, lelaki Indigo ikut bersandar seperti Reyhan lalu menatap ketiga atensinya dengan aura teduh macam pohon yang rindang. “Berkat kalian semua, kok. Gue menggapai kebahagiaan yang sesungguhnya karena para personel terbaik gue di sini. Tanpa adanya kalian, seperti apa bentuk kehidupan gue yang diselimuti masa lalu?”
Freya, Jova, dan Reyhan yang duduk bersampingan dengan makhluk dari ciptaan Tuhan nang spesialis itu, hanya menarik sepasang sudut bibir sehingga membentuk lengkungan ke atas. Pula tersenyum dengan kalbu yang penuh keharuan.
Cklek !
“Assalamualaikum, aku pulang!” salam Novaro dengan mengayunkan kaki kanannya kencang hingga sepatu hitam sekolahnya yang telah longgar, terlempar kuat ke depan.
“Weh, santai! Entar kalau kena vas bunganya mama terus pecah, mampus diomelin sampe Subuh!” ungkap sang saudara kandung perempuannya yang lebih tua dari Novaro.
Novaro mendengus lalu menatap tajam kakaknya yang duduk bersama para lainnya. “Kakak diem, ya! Hatinya Novaro lagi ambyar!”
“Ambyar napa? Diputusin doi?” tanya Reyhan dengan tersenyum kucing, alias mencemooh.
“Cih, sok tau! Novaro belum punya pacar, masih Jomblo!”
Jova menggelengkan kepalanya dengan menyeringai, siap menghina adik kandung lelakinya yang sekarang tengah masuk di usia 18 tahun dan duduk di bangku kelas XII SMA Galaxy Admara. “Ya, mana mau bisa punya pacar? Secara, kan mukamu terlalu jelek di mata cewek!”
“Ku banting, nih lama-lama tuh gitar ungunya Kakak!” ancam Novaro dengan wajah merah padam.
Freya yang sedari tadi diam bersama Angga, mencoba melemparkan senyuman hangatnya ke Novaro di mana rambut lelaki itu nampak berantakan sekali. “Ceritain, sini. Kamu ada masalah apa? Kok, sampe gitu keselnya?”
“Gak dibully, kan pas di sekolah?” tanya Angga.
Novaro yang mendengar pertanyaan dari sahabat lelakinya sang kakak perempuan, langsung menjatuhkan keras diri di lantai lalu menggoyang-goyangkan kedua kaki seolah sedang merengek. “Apanya yang gak dibully?! Novaro tadi di sekolah dibully sama temen-temen di kelas lah, Baaaaaaang!”
“Lah?! Seriusan dibully sama temen, Nov?!” kejut Reyhan.
“Kok, bisa?” timpalnya Freya, walau dengan pakai nada lengang.
Angga yang tidak tega melihat adiknya Jova yang terus merengek seperti anak usia dini, bangkit dari sofa lalu menghampiri Novaro yang masih duduk resah di lantai. Setelahnya, lelaki dengan rupa wajah tampan itu berjongkok di sampingnya bersama senyum lara.
“Kamu dibully kenapa?”
Novaro yang menekuk wajahnya, lekas melepas tas ransel krem punyanya lalu membuka resleting buat mengeluarkan sebuah benda tipis nan panjang untuk diserahkannya ke Angga. “Gara-gara soal ini, Bang.”
Angga membelalakkan kedua matanya waktu mengamati isi secarik lampiran kertas putih tepatnya di pojok atas kanan. Terdapat satu buah angka berwarna merah serta dua strip di bawahnya, dengan senyum hambar ia mengalihkan pandangan mata ke Novaro.
“Ulangan Matematika kamu dapet nilai ... nol?”
Dengan menggigit bawah dinding bibir, Novaro mengangguk. “Makanya mereka langsung hujat yang enggak-enggak, gimana gak mau kesel?”
“Hahahaha, nggak apa-apa! Kan, masih bisa diperbaiki lagi,” hibur Angga dengan mengusap-usap bahu Novaro.
“Iya, sih masih bisa diperbaiki lagi. Kata pak Harry yang dapet nilai ulangan di bawah KKM, harus remedial pake PR yang soal esainya kayak di kertas Abang pegang,” jawab Novaro dengan lesu.
Angga menganggukkan kepalanya dan beralih menepuk punggung lemas lelaki yang lebih muda darinya. “Gitu, ya? Oke, sekarang kamu ikutin arahannya Abang. Kamu naik ke atas, mandi terus Salat Asar, biar hatimu tenang. Belum Salat, kan tadi?”
“Nggak sempet, Bang. Tapi emang nanti mau Salat,” responsnya.
“Mantap! Gih, sana ke atas. Habis semuanya kelar, baru kerjain PR yang disuruh sama guru. Mengerjakannya di ruang keluarga aja, ya? Biar Bang Angga bantuin.”
Novaro yang awalnya bermuka muram bak lap belum dijemur, kini semangat sembari menatap Angga dengan mata yang berbinar-binar terang. “Ini beneran, Bang?! Nanti mau membantu Novaro selesain PR?!”
Angga merespons adiknya Jova dengan gerakan tubuh, yakni mengangkat semua alis hitamnya tanpa lupa menyegarkan senyuman ramahnya. Di mana rasa letih dan lunglainya lelaki berumur 18 tahun itu ada, sekarang menjadi berkurang karena motivasi Angga yang disumbangkannya.
“Asyik, mah kalau gitu! Yaudah, Novaro mau ke atas dulu ya, Bang?! Tungguin, gak bakal lama, kok!” bungahnya.
“Oke, tapi Sholatnya jangan cepet-cepet kalau kamu gak mau tercatat makhluk Tuhan yang munafik. Paham, kan?”
Novaro yang sedang berlari ke tangga bersama menenteng tas dan sepatu sebelahnya, menoleh ke arah Angga selintas untuk menjawabnya. “Hahahaha, siap!”
Seorang kekasihnya Angga yang hanya diam mendengar segala rentetan ucapan dan sarannya, sebetulnya hati kecil itu tengah memberikan sebuah pujian harumnya. Hal tersebut tak mungkin Freya tega melepaskan ikatan cinta dari hatinya Angga, dan tak menyesal dulu menerima ungkapan cintanya yang menjadikannya pasangan jiwa.
“Buset, dapet nilai nol beneran, toh?! Kapan, tuh telor mata sapinya di goreng? Hahahahaha, kocak!”
Angga yang telah kembali berdiri, menolehkan kepalanya cepat ke arah sahabatnya dengan tatapan tajam. “Rey!” geramnya.
“Hehehehe, ampun!”
Lelaki Indigo itu menggelengkan kepalanya lalu berjalan untuk balik duduk di kursi sofa panjang bersama mereka. Hingga kesenyapan suasana itu terpecahkan oleh Jova yang sedari tadi berpikir. “Kok, bisa tuh anak dapetin nilai zero dari tangannya pak Harry? Kena hukum gak, ya?”
“Emangnya kenapa kalau adikmu dikenakan hukuman sama guru? Seneng, kah? Lagian itu saudaramu sendiri, tapi kamu gak tahu dia kena masalah bully apa,” ujar Freya.
Jova menghela napas. “Aku bakal tau kalau dia ngasih kabar ke aku lewat chat di WhatsApp! Tumbenan aja, tuh bocah diem ae kayak-”
“Anggara Veincent Kaivandra? Iya?” jawab Angga, cepat mendahului kalimat Jova yang belum selesai terucap.
Gadis Tomboy yang rambutnya tetap digulung dari sejak berangkat ke kampus hingga sekarang, menegakkan badan dengan membulatkan bola mata ke arah sahabat lelakinya. “Ih, gak adil! Kok tau, si- oh iya, deng! Indigo ...”
Freya begitupun Angga menghempaskan napas laun dan menggelengkan kepalanya secara bersamaan, sementara Reyhan mengudarakan tawa kencang riangnya. Sepertinya humor ia sebatas 'lupa kalau salah satu sahabatnya Indigo'. Hal itu membuat Jova mendengus sebal.
“Apaan sih, Ay malah ketawain aku?!”
Reyhan menghentikan gelak tawanya lalu menyerong badan ke hadapan kekasihnya. “Habisnya kamu pikun banget, sih masa gitu aja lupa kalau Angga anak titisan dari mbah dukun?”
“Ha? Titisan mbah dukun ...” lambat Freya berkata, auto mengarahkan kepalanya ke arah Angga yang lelakinya itu nampak siap mengangkat kepalan tangan.
“Ngomong apa tadi lo, Nyuk?! Ngajak bertumbuk di dalem rumahnya Jova? Ayo, sini cepetan maju!”
Reyhan yang merasa ditantang, berdiri gesit dari sofa lalu menatap tajam sahabatnya. “O, ayo! Siapa takut?!”
“Nggak jadilah. Gue mana tega ngajak babak belur sama sahabatnya sendiri, dikira musuh bebuyutan!” urung Angga, sembari menurunkan tangannya lalu kembali menyenderkan punggung di sandaran sofa.
Aksi yang dilenyapkan oleh Angga dengan singkat, sukses membuat Reyhan balik duduk di tempatnya. “Baguslah, cepet sadar juga, lo! Biasanya enggak.”
“Otak lo cetek! Yang sulit menyadari, kan elo. Kenapa jadi gue yang ditodongkan?!” sentak Angga, lagi.
“Congor lo, Anjir! Ngomong sekali lagi, coba!”
“OTAK CETEK!! Puas, lo?”
Jova yang merasa terusik, segera mengambil headset dari kantong kecil pakaiannya lalu memasangkannya di telinga sesudah menyetel musik favoritnya di ponsel. Sementara Freya hanya pasrah melihat kedua lelaki tampan itu balik berargumen seperti biasanya yang dilakukan, lelah juga ia melerai. Karena pastinya insiden tersebut kembali diulang dengan mereka.
Hingga 15 menit kemudian....
Bang Anggara, Novaro udah selesai! Jadi gak, nih bantu kerjain PR-nya?! Hehehehehe
Angga yang berkutat dengan ponsel Androidnya, mendongak ke arah atas tangga lalu tersenyum dan melambaikan tangan di atas kepala. “Sini.”
Bersama hati semangat yang membaranya, lelaki itu turun dari undakan tangga dengan berlari. Nampak juga sang adiknya Jova mengenakan baju serta celana pendek dan membawa beberapa keperluan untuk menggenapi PR.
Pemuda Indigo tersebut yang sudah melihat Novaro duduk di kursi sofa panjang nang lumayan berjarak jauh, lekas menghampirinya agar mudah membantunya. Angga setelah itu, meraih kertas ulangan milik Novaro yang ada di atas meja lalu memperhatikannya sejenak.
“Persamaan linear, ya?”
Novaro mengangguk dengan wajah kembali sedih. “Susah banget, Bang mikirnya. Ditambah lagi Novaro lupa total rumus-rumusnya yang pernah dikasih sama pak Harry di papan tulis kelas.”
“Oke, terus semua rumus materinya dicatat, gak di buku?” tanya Angga lagi, dengan nada tulusnya.
“Ada kok, Bang. Bentar, Novaro cari dulu di buku!” Secara gerakan yang antusias, ia membuka-buka tiap lembaran buku catatannya untuk mencari contoh-contoh rumus pada sesuai materi bab di pelajaran Matematikanya.
Ketiga insan yang Angga sayangi, terlihat tenang nengok pemandangan molek tersebut di mana ia begitu tulus dan Ikhlas membantu siswa SMA itu yang dalam masa kesukaran. Hingga berselang detik kemudian saat Angga mengecek segala rumus, Novaro menoleh.
“Gimana, Bang? Padahal udah dikasih kemudahan, tapi otaknya Novaro masih aja belum nangkep.”
Angga kembali tersenyum dengan menerapkan aura wajah ramahnya. “Jalan versi kepintaran orang, kan beda-beda. Gak masalah kalau kamu masih belum ngerti. Abang bakalan ajarin, sampe kamu paham! Mau?”
Mata Novaro mengerjap, lalu nyengir. “M-mau sih, Bang. Tapi, kan ini ada dua puluh soal esai di kertas ulangan. Abang pasti tau juga kalau otak dipunya Novaro dangkal banget. Entar bukan cuman capek doang yang didapet Bang Angga, tapi emosi karena ngadepin kebodohan ini.”
‘Jyah, dramatis !’ batin Reyhan.
“Lho? Kok jadi gitu? Hei, dengerin Abang. Abang, tuh orang yang nggak gampang marah apalagi sampe emosi karena kekurangan yang diterima. Ya, malah justru itu Bang Angga pengen ngebantu untuk ngasih solusi sekaligus menyusutkan masalah kecil maupun besar. Hahahaha, kayak baru pertama kenal sahabat cowok kakakmu aja, kamu!”
“Dah, ayo mulai belajar. Jangan malah mikirin yang negatif-negatif seperti tadi, gak baik,” tegur Angga, halus seraya mengusap beberapa kali ujung atas kepalanya Novaro.
Novaro yang mendengarkan nasihatnya Angga dengan saksama, menganggukkan kepala nurut sambil sedikit melayangkan sebuah sunggingan senyum di bibir. Mereka berdua kemudian fokus pada hadapan yang harus dituntaskan hari ini, walau hanya sekadar mengajari tapi Angga ingin sekali membantu adik sahabat perempuannya hingga mencapai keberhasilan penuh.
“Ooooo, berarti angka ini dihitung dulu sesuai rumus biar ketemu hasilnya berapa. Gitu ya, Bang?”
“Pinter! Pokoknya kamu harus ingat di antara dua huruf antara X dan Y ini, di sini kamu akan diberikan alat bantu untuk mempermudahkan ngerjain soal esai kayak di kertas ulanganmu. Sampai sini udah ngerti, belum?”
Novaro meringis dengan kepala manggut-manggut. “Lumayan, Bang! Ternyata gampang juga, gak seperti yang Novaro kira.”
Angga kembali menepuk pundak kanan lelaki itu yang senyumannya masih berseri. “Esainya pasti mudah, kalau kamu ingat semua rumus-rumusnya, itu adalah kunci utamanya.”
“GOOD JOB, GA!!” sorak bangga antara Freya, Jova, dan Reyhan di mana mereka saling mengacungkan kedua jari jempol untuk diberikannya ke Angga.
Angga yang disumbangkan pujian sederhana namun meriah tersebut, tertawa kecil. “Thanks, all.”
“Eh, Nov! Itu soal yang ada di ulanganmu ada berapa tadi? Kakak mendadak lupa-lupa ingat,” cakap Jova.
Freya yang memperhatikan wajah serta menajamkan telinga untuk mendengar suara sahabat Tomboy-nya, auto merotasi bola netranya. “Apaan, tuh lupa-lupa ingat?”
“Udah gaje, tuh anak. Dapet kosakatanya dari mana, coba?” tanggap Reyhan, menimpali.
Novaro yang tengah sibuk mengisi jawaban soal esai di buku tugasnya pada sesuai diajarkan oleh Angga, menghentikan kerjanya lalu menoleh ke arah sang kakak. “Dua puluh, Kak. Emangnya napa?”
“What?! Seriusan cuman dikasih segitu doang? Wah, gak adil sih, pak Harry! Dulu waktu masih sekolah di kelas dua belas, Abang sama lainnya malah di tumplek lima puluh soal!” protesnya Reyhan.
Angga menepuk keningnya agak keras. “Tapi, kan itu bukan ulangan, Kampret! Lagian dulu kita ngerjainnya secara pilihan ganda, bukan esai kayak Novaro sekarang. Toh, buatnya bukan di sekolah tapi di rumah.”
“Oh, iya aku ingat pas dulu itu. Ngerjain PR Matematika soal tentang bab linear yang disuruh sama pak Harry, jujur selesainya tepat mau jam larut malem. Mana, kan ada lima puluh soal. Tapi, syukur gunain pilihan ganda.”
“Duh, tapi kan meskipun modelnya bukan esai, kita semua harus ngerjainnya pake cara juga, Frey! Tau, gak? Mikir jawaban yang bikin ruwet pikiran, kepalaku sampe mau meledak dari tempatnya,” omel Jova.
Reyhan menjentikkan jarinya cepat. “Sumpah, bener! Aku aja nyelesain PR itu harus butuh empat jam untuk kelar.”
“Masa, sih? Lah gue waktu mengerjakan semua itu, cuma membutuhkan setengah jam aja. Bagi gue juga, soal tugas itu gampang, kok. Enggak susah yang diduga.”
Reyhan menghempaskan napas kasar. “Gue gak tanya lo dengan mudah selesain PR keramat dari guru dulu. Elo, kan Indigo, udah pasti dominan otak lo ada di kanan! Semuanya bakal bisa dikuasai, musik aja oke.”
“Yang memiliki otak dominan sebelah kanan, pasti mampu menguasai beberapa bidang di antaranya musik, hitungan, dan sebagainya. Intinya yang punya kekuatan Indigo, luar biasa banget, deh!” ria Freya.
Angga menghembuskan napas dengan lesu. “Bener, tapi ada bahayanya juga.” Setelah itu, ia menoleh ke arah kedua sahabatnya yang ribut soal masa SMA-nya. “Udahlah, lagian itu sudah tahun dulu. Yang penting, kita berempat telah lulus dengan nilai akademik terbaik!”
“Hohooo, betul bet, Cuy!” jawab mereka berdua, kompak.
Pemuda tampan dengan rambut hitam itu, menggelengkan kepalanya bersama senyuman tipis lalu menoleh ke arah Novaro yang sudah kembali fokus mengerjakan PR bersama sesekali mengintip catatan rumus yang ada di buku. “Sampe mana?”
“Ini Bang, kurang ngasih jawaban doang di dalem buku. Yes, SELESAI!” girangnya lalu menyerahkan buku tugas pelajaran Matematikanya ke Angga, “Coba, Abang koreksi hasil jawaban sama caranya Novaro.”
Angga menerima buku itu dengan tak kasar, alias santai untuk mengecek segala pekerjaannya dari adik lelakinya Jova. Apa yang ia lihat dengan teliti, berjaya membuatnya bangga serta takjub hingga Angga mengangkat salah satu anggota tangannya lepau mengajak Novaro high five.
“Weh, selamat PR-nya betul semua! Ayo, tos!” ceria Angga.
Novaro tertawa bahagia lalu mulai ber-tos di telapak tangan sahabat kakaknya yang telah lama ia anggap sebagai saudaranya sendiri. Rasanya sangat lega, karena tugas yang dikiranya membebani otak sudah dinafikan oleh Angga, kecerdasan lelaki yang membuat orang lain mati kutu seketika.
“Gampang apa susah, hayo?” Angga bertanya.
“Gampang pake banget, Bang! Hehehe, kagak sia-sia kak Jova punya sahabat cowok kayak Abang. Cerdasnya gak ketulungan, daripada otaknya bang Reyhan yang tolol.”
Angga melongo lalu cepat-cepat menutup mulutnya pakai kepalan tangan untuk menahan tawa yang ingin bebas. Sedangkan Reyhan yang tengah nikmat mengorek kuping dengan jari kelingkingnya, terkejut bukan main. Enak saja ia dikatakan 'otak tolol'.
“Wah! Academic humiliation, nih. Lupa, siapa yang suka nemenin kamu main game PS? Oke, mulai hari ini Abang udah gak mau gitu lagi! Biar, noh ditemenin Genderuwo!”
Mata Novaro membelalak dramatis. “Lho! Kok gitu, Bang? Ck! Jahat banget, lah gak mau main lagi sama Novaro ...“
“Rey! Lembut dikit sama yang lebih muda, jangan dikasih nada kenceng. Punya nurani hati gak, sih? Toh, dia cuma bercanda. Heran, cowok tapi baperan!” kesal Angga, usai menyikut keras lengan sahabatnya.
Angga kemudian mengalihkan suasana dengan cara bertanya sesuatu pada Novaro seraya tangannya menempel di atas kepala lelaki 18 tahun itu. “Tadi pas dibully, kamu ngelakuin apa? Atau, hanya diam?”
“Mana ada Novaro ditindas bakal diem?! Tantang mereka semua buat Novaro hajar satu persatu, dong!”
Rongga netra milik Angga melebar, lalu tawanya langsung mengudara tanpa hambatan. “Wow, sangar! Tapi gak sampe kena babak belur, kan?”
“Sans, cuman ditendang sampe nabrak kenceng tembok doang. Gak adanya babak belur, adanya justru takut terus auto mode minta maaf. Hahahahaha!” bangga Novaro.
“Ngeri, ya kalau udah jengkel. Tapi yang penting sekarang kamu udah paham dan mudah menguasai materi di mata pelajaran Matematika-mu, kamu bukan siswa yang bodoh. Justru, kamu itu adalah siswa yang hebat dengan versi tersendiri! Jadi, kamu jangan menganggap kalau dirimu lemah di akademik manapun. Abang yakin, waktu yang akan datang nanti kamu bakal lulus dengan nilai terkeren!”
Novaro begitu tertegun pada ucapan panjang-lebarnya Angga yang membuat kalbu dirinya amat semangat. “Makasih, Bang Angga! Motivasinya membantu Novaro banget untuk kembali bangkit, emang dulu suka negatif soal akademik yang rendah, sih. Tapi! Setelah Abang kasih ini semua, pikiran dan semangat apinya Novaro nyala lagi.”
“Iya, sama-sama.” Dengan senyuman analistis, Angga merespons.
“Pokoknya gini ya, Bang! Impian dan harapan mutlaknya Novaro hanya satu, pengen jadi kayak Abang yang macho. Pemberani, jiwanya kuat dan tangguh, intinya semua karakteristik Bang Angga yang spektakuler, dah!” tuturnya, dengan hiperbola.
Angga terkekeh geli seraya mengusap rambut cokelat carob lelaki tersebut. “Berarti sikapnya Abang membawa pengaruh positif buat kamu, ya sampe-sampe kamu ingin menjadi seperti sosoknya Abang?”
Novaro menganggukkan kepalanya semangat dengan kedua tangan mengangkat jari jempol, sementara seperti Reyhan hanya memandangnya bersama sepasang tangan saling melipat di dada bidangnya, wajah juga ia tekuk.
“Tuh, coba kamu lihat. Angga yang anak tunggal dari tante Andrana sama om Agra, tahu tentang solidaritas persaudaraan. Nggak kayak kamu, apa-apa ribut sama Novaro yang berujung mirip seperti petasan malam!”
“Santai, aku punya mata!” sewot Jova, untuk Freya yang telah komplain kepadanya.
Kini, Novaro menurunkan kedua tangannya dan menatap mata sahabat lelakinya sang kakak yang juga memberikan tatapan. “Andaikan Novaro jadi adek iparnya Bang Angga aja, gak usah bang Reyhan.”
Angga tersentak kejut, kala mendengar keluhan lawan bicaranya yang ada di tepat samping duduknya. “Lho, itu artinya kesimpulannya ... otomatis pacarnya Bang Angga selain kak Freya, kak Jova juga, dong!”
“Enak aja! Jova itu punya gue! Lo, kan udah ada Freya! Jangan serakah, dong jadi sahabat!” sentak Reyhan, tidak terima apa yang dikatakan oleh Angga.
Pemuda Indigo itu, langsung gesit menyerongkan badan ke hadapannya Reyhan yang semakin emosi karenanya. “Slow, napa?! Lagian ge-er banget, siapa juga yang mau merebut cinta lo? Gue padahal cuman nanya.”
“Y-ya, gue hanya ambil antisipasinya doang. Lu, kan cowok jadi siapa tau gampang banget nusuk dari belakang dengan selingkuh sama cewek lain!” tukasnya.
“Ngadi-ngadi lu, dasar Hulk Reog!” berang Angga, dengan menjitak kepala sahabat Friendly-nya.
Tak ada yang namanya suasana obstruktif di rumah ini, justru melainkan tercipta kondusif setiap gelagat tawa yang dimunculkan antara Jova, Freya, dan Novaro. Memandang visi argumentasi dari kedua lelaki tampan itu membuat dalam rumah ramai serta tak berasa hampa. Di sisi lain, kedua orangtuanya gadis Tomboy itu sedang ada acara di luar komplek, tak ayal mereka memuaskan diri untuk bersorak-sorai gembira lepau menyegarkan fuad.
Tak ada masalahnya bila Novaro rendah di mata akademik, terutamanya adalah tentang Matematika. Karena walaupun demikian, ia mempunyai segala sesuatu kehebatan dalam bakat versi lelaki itu sendiri. Toh, di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna macam malaikat. Mereka pastinya di bawah Bumi juga memiliki kelemahan tertentu.
TRO—To Be Continued »
•••
Kalian gak ada yang insecure pada diri sendiri, kan? Jang kayak authornya yang suka banget seperti itu. Buktinya, mempublikasikan cerita novel ini harus membuang rasa keraguan. Maklum, takut gak ada hasil dan pembaca yang mau membaca karya horor ini, hehehehe
Makasih yang udah read tanpa skip
{Lope You All } 🖤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Callestra Viorica
Lope you too~ 😍
2023-12-12
1
Callestra Viorica
Macama,, Sayaaaaaaang! 🥰🥰
2023-12-12
1
Callestra Viorica
Loh ini udh ad pembacanya, Thor! jgn coba utk insecure ok? Author Ansya hebat bgt loh,, msh muda kek gue tp udh habisin smp 20 bab di crita novel ini! Meski begitu y, Thor? Tp gue ttp mau bc urut kok... Penasaran si alur yg terakhir lo up,, tp gue mau ttp bc sesuai urutan bab dulu aj, biar gk ada alur satu pun yg terlewatkan! Semangat always, Thor Ansya 😘🤗
2023-12-12
1