Episode 3- Bayang Malam di Balik Pintu

Mamak berdiri mematung beberapa saat, sorot matanya tajam namun seperti berusaha menyembunyikan sesuatu. Nafasnya tersengal pelan, lalu ia mendekatiku.

“Lian, tolong jangan banyak bertanya malam ini… besok kamu akan mengerti,” ucapnya dengan suara lirih namun tegas.

Aku mengernyit, “Tapi, Mak… ada yang aneh. Tadi Mak bilang habis rewang di rumah Bukde Yati, sekarang Mak bilang dari pengajian… mana yang benar?”

Mamak menghela napas panjang, jemari tuanya menggenggam tanganku erat, lebih erat dari biasanya. “Yang penting sekarang kamu di rumah, itu sudah cukup.”

Degup jantungku tak karuan. Pesan dari Ajeng kembali terngiang di kepalaku: “Pergilah mas… semuanya sudah berubah… mereka bukan…” Siapa yang ia maksud dengan “mereka”?

Suasana rumah mendadak terasa lain. Lampu-lampu menyala redup, namun bayang-bayang yang tercipta di sudut ruangan seperti bergerak sendiri. Angin malam merayap lewat celah atap yang dulu tak pernah bocor.

Aku menelan ludah, “Mak… siapa wanita tadi sore itu? Yang aku temui di jalan dekat sawah… jalannya tanpa alas, wajahnya pucat. Aku kejar, tapi hilang begitu saja.”

Tubuh mamak menegang seketika. Ia menoleh pelan, wajahnya pucat pasi. “Kamu… kamu melihatnya?”

“Melihat siapa?” tanyaku cepat.

Mamak tidak langsung menjawab. Ia justru bergegas menuju dapur, mengaduk-aduk sesuatu di rak kayu. Kudengar bunyi botol kaca dan aroma wangi kemenyan samar menyeruak.

“Mamak…” panggilku lagi, kali ini suaraku bergetar.

Ia berbalik dengan mata yang kali ini tampak sangat serius. “Lian, dengarkan baik-baik. Jika besok ada yang memanggilmu keluar rumah… siapa pun itu… jangan hiraukan! Jangan buka pintu, jangan jawab! Mengerti?”

Aku mengangguk ragu, “Mak… sebenarnya ada apa? Ini tentang Ajeng? Tentang wanita tadi?”

Mamak mendekat, menyentuh wajahku dengan telapak tangannya yang dingin. “Bukan semua yang tampak itu benar, Nak… kampung ini sudah tidak seperti dulu lagi. Ada yang berubah sejak kau pergi sepuluh tahun lalu.”

Seketika bulu kudukku berdiri. Dari jendela belakang, aku melihat sekelebat bayangan putih melintas cepat… seperti sosok yang kutemui di jalan tadi

Mamak menatapku dalam-dalam, matanya redup seperti menyimpan sesuatu yang tak ingin ia katakan. Nafasnya memburu, bibirnya bergetar seolah berusaha mencari kalimat yang tepat.

“Lian… ada hal yang nggak bisa mamak jelasin sekarang,” ucapnya lirih, hampir seperti bisikan.

Aku mengernyit. “Kenapa nggak bisa? Dari tadi mamak aneh, terus-terusan ngunci pintu, nutup jendela, kayak ada yang dikejar…”

Mamak tiba-tiba menggenggam tanganku erat, jemarinya dingin, sangat dingin, seperti baru saja menyentuh air es. “Percaya sama mamak, ya. Jangan keluar malam ini. Jangan buka pintu kalau ada yang manggil, siapa pun itu.”

Deg. Jantungku berdegup makin cepat. Kata-kata Ajeng yang baru saja kubaca berputar di kepalaku. ‘Pergilah mas… semuanya telah berubah… mereka bukan…’

“Mamak… siapa yang mamak maksud?” suaraku parau, hampir tertelan oleh rasa takut yang mulai merayap.

Tiba-tiba, terdengar suara gesekan di luar rumah. Suara langkah kaki, lambat… menyeret… mengitari rumah. Aku refleks berdiri, mataku menyapu ke arah jendela yang sudah tertutup rapat.

“Mamak denger nggak?” bisikku.

Mamak tidak menjawab. Tubuhnya kaku, matanya menatap kosong ke arah pintu depan. Aku mulai mundur perlahan, meraih ponselku yang tadi sudah kucolokkan ke charger—tapi layar tetap hitam. Mati.

Trak! Suara sesuatu jatuh di teras. Mamak mendadak bangkit, matanya liar. “Naik ke kamar! Sekarang!”

Aku tercekat. “Mak… apa yang sebenernya terjadi? Siapa yang di luar?”

Mamak tak menjawab, hanya mendorongku ke arah tangga. Tapi sebelum aku sempat menaiki anak tangga pertama, terdengar suara ketukan pelan di pintu. Tok… tok… tok…

Aku dan mamak sama-sama membeku.

“Lian… buka pintunya… ini Ajeng…”

Suaranya lirih, serak, seperti tertahan tangis.

Aku menoleh ke mamak, wajahnya pucat pasi, matanya membulat penuh teror. Ia menggeleng pelan, sangat pelan.

“Jangan dibuka…” bisiknya.

Tok… tok… tok…

“Mas… aku kedinginan di luar… tolong bukain…”

Suara itu lagi. Tapi kali ini… terdengar lebih dekat, seolah bibirnya tepat menempel di celah pintu. Aku bisa mendengar napasnya… berat… panas.

Bulu kudukku meremang. Ada sesuatu yang tak beres. Ajeng tidak mungkin ada di sini secepat itu. Bahkan, aku tak pernah memberi tahu dia aku pulang ke desa.

Kuambil napas panjang. Tanganku gemetar ingin menyentuh gagang pintu, namun suara mamak kembali memotong gerakanku, kali ini lebih keras, hampir seperti bentakan, “JANGAN, LIAN!”

Suasana rumah mendadak sunyi. Tak ada suara lagi di luar. Hanya detak jantungku yang terasa menggema di dada.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!