Di Rumah Sakit
Setelah melewati beberapa jam yang panjang, akhirnya Raven lewat dari masa kritis dan kini sudah dipindahkan ke ruangan rawat inap. Walaupun masih banyak alat yang menempel pada tubuh Raven, dan kondisi Raven yang lumayan parah membuat dirinya mungkin akan melewati masa pemulihan yang cukup panjang.
Seluruh urusan rumah sakit sudah diurus oleh Bryan dan Dion yang dari siang di rumah sakit. Sampai saat ini, Januar belum juga datang ke rumah sakit.
Dion bersumpah akan segera menghajar sahabatnya itu jika bertemu, ingat baik-baik. Dion sudah lama sekali tidak bertemu dengan Januar, Dion hanya sesekali bertukar kabar dengan Januar, dan juga Dion masih sering bertukar kabar dengan anak-anak Januar. Dion pikir Januar akan berubah seiring berjalannya waktu, ternyata itu hanya pikiran Dion saja. Buktinya Januar tidak berubah.
Begitu pula dengan Bryan ,emosi masih menguasai dirinya. Kalau membunuh tidak dosa, ia akan segera membunuh Januar malam ini juga. Raven sedang berjuang di rumah sakit dan Januar dengan entengnya menolak untuk datang? Benar-benar keterlaluan.
Pukul 10 malam akhirnya Dion pamit pulang dan berjanji akan datang besok. Sebelum pulang ia masih melihat Jeje dan Atha berpegangan tangan di ruang tunggu. Belum berani masuk, karna Atha yang sedang perang batin dengan dirinya sendiri. Masuk ke dalam ruangan atau tidak.
“Masuk aja, Dek. Ayo temuin Mas Raven nya, dia belum bangun, nanti kalo bangun gak ada Adek gimana? Marah loh Mas Raven nanti?” ucapnya membujuk Atha, yang berujung Atha mau masuk bersamaan dengan Bryan yang juga keluar dari ruangan Raven. Bryan akan pulang sebentar untuk mengambil beberapa barang karna ia akan menginap di rumah sakit menemani Arkananta bersaudara.
Setelah Bryan dan Dion pulang, di dalam ruangan Raven hanya ada Arkananta bersaudara. Tanpa Papa.
Bian tak habis pikir, dalam keadaan Raven yang seperti ini bahkan sang Papa belum hadir juga di rumah sakit. Harus bagaimana agar saat Raven bangun Papa nya ada disini?
Atha dan Jeje yang baru masuk langsung mendekat ke arah Raven yang masih tertidur tenang dengan perban serta selang oksigen di tubuhnya. Demi tuhan, Atha ingin menangis melihat Raven terbaring seperti ini di ranjang rumah sakit.
Jeje hanya memandang wajah Raven lalu kemudian mengambil tangannya dan mengusapnya
Lalu kemudian Atha membalikkan badannya.
“Aku keluar sebentar.” ucapnya sambil berjalan keluar pintu. Yang lain hanya melihat sekilas dan membiarkan Atha pergi keluar, mereka sudah tidak ada tenaga lagi untuk melakukan apapun.
Atha terus berjalan sampai akhirnya ia sudah berada di luar rumah sakit, lalu ia belok ke arah taman rumah sakit. Duduk di sebuah kursi kayu yang ada disana.
Atha terlalu takut, Atha terlalu takut untuk hal yang bernama kehilangan.
Atha masih duduk di sana sampai akhirnya mendengar suara yang datang dari arah kanannya. Ada Kavin disana sedang berjalan kearahnya.
Lalu kemudian Kavin mengambil posisi duduk di sebelah Atha. Kavin tau Atha pasti membutuhkannya untuk saat ini
“Kenapa diluar?” tanya Kavin, yang ditanya hanya diam sebelum akhirnya menjawab
Kavin mengadahkan kepalanya ke arah langit, melihat bintang yang malam itu kebetulan banyak sekali.
“Gak ada yang perlu Adek takutin, Mas Raven baik-baik aja. Dia gak akan kemana-mana, Dek.”
Atha menoleh ke arah Kavin yang masih memandang langit.
“Jangan ngomong kayak gitu, Adek gak suka dijanjiin kalo ujung-ujungnya ingkar, Mas.” jawab Atha.
Kavin terkekeh kemudian menoleh ke arah Atha yang kini sudah memainkan tali sepatunya.
“Kan yang ini bukan janji dari Mas Raven? Tapi Mas Kavin yang bilang. Kok gak percaya sih? Males ah.” ucap Kavin sengaja seperti menjahili Atha.
Atha hanya memasang wajah masam, lagi gak pengen becanda..
“Mas Raven tuh kuat, buktinya dia cuci piring, cuci baju yang banyak, belum lagi ngurusin banyak kerjaan rumah sama ngerjain tugas kuliah dia yang seabrek, masa kecelakaan doang gak kuat? Adek ngeremehin dia?"
“Nanti dia bangun Mas laporin nih kalo Adek ngeraguin Mas Raven. Overthinking!” lanjutnya kembali meledek Atha.
Atha langsung membulatkan matanya, “Ih enggak! Bukannya ngeraguin, takut mah wajar, Mas! Kayak Mas gak pernah takut aja!”
Kavin kembali tertawa melihat respon Atha yang sewot, Berhasil!
“Hmmm kalo gak takut, ya masuk dong ke dalem temuin Mas Raven, masa di luar, mau tidur di sini? Mas Kavin sih gak mau nemenin tidur disini, dingin, banyak nyamuk lagi. Enakan tidur di kamar inap nya Mas Raven. Terus kalo di rumah sakit malem-malem gini biasanya banyak hantu tau, Dek. Apalagi di luar gini.”
Atha langsung berdiri dari kursi, lalu ia menghentakkan kakinya ke rumput, “Tuhkan suka ngomong yang aneh-aneh! Udahlah Atha kabur aja, males sama Mas Kavin hobi banget bikin Adek takut!”
Kavin terkekeh kemudian ia kembali menakuti Atha, “Yaudah sana masuk duluan nanti Mas Kavin nyusul. Buruan sebelum didatengin hantu, lorong rumah sakit serem kalo malem, Dek. Hiiiiiii.”
“Mas Kavin ih kebiasaan! Udahlah bye!” ucap Atha yang langsung berlari ke arah pintu utama rumah sakit, meninggalkan Kavin yang masih tertawa di tempatnya.
🌱_Jangan mengucap janji dengan mudah.
Hanya untuk kali ini?
Baiklah, untuk kali ini._🌱
---------------------------------------------------
Sebetulnya tidak ada meeting selanjutnya, tidak ada kegiatan apapun setelah meeting pertama siang tadi. Januar hanya berbohong. Januar hanya menjadikan meeting sebagai alasan.
Ia terlalu takut untuk datang ke rumah sakit, menyaksikan anaknya yang berjuang di rumah sakit. Ia tahu dirinya salah saat ini, ia tahu betul.
Setelah berdiam diri di kantor dari sore sampai sekarang, akhirnya Januar memberanikan dirinya untuk datang ke rumah sakit. Kali ini saja. Untuk Raven
Sesampainya di rumah sakit, Januar belum mau turun dari mobilnya. Masih berdiam diri sambil menatap lurus parkiran yang hanya ada beberapa mobil disana.
Akhirnya setelah 30 menit berdiam diri di dalam mobil, Januar turun dan masuk ke dalam rumah sakit. Menyusuri lorong demi lorong untuk mengetahui dimana Raven berada. Beruntung rumah sakit ini menaruh nama pasien di setiap pintu sehingga memudahkan Januar mencari kamar inap Raven.
Begitu sampai di depan ruangan Raven, ia melihat dari kaca yang ada di pintu kamar. Gelap, keadaan kamar Raven saat ini gelap. Pasti semua sudah tidur, hanya ada sebuah lampu yang tidak begitu terang di dekat kepala Raven, menampilkan jelas wajah Raven yang sedang tertidur dan selang oksigen yang menempel di wajahnya.
Sungguh, pemandangan yang Januar sangat tidak suka. Pemandangan yang selalu Januar benci.
Januar membuka perlahan pintu ruangan Raven, ia berjalan dengan hati-hati. Begitu sampai di dalam, ia melihat keadaan anak-anaknya yang sedang tidur di lantai beralaskan kasur persediaan rumah sakit.
Semua anaknya ada disini. Menjaga Raven. Sedangkan ia baru berani datang saat ini, tidak ada yang tahu, dalam kesunyian.
Sebutlah Ia Brengsek,Karna Dia Memang Brengsek
Januar berjalan mendekati ranjang Raven, lama ia berdiri disebelah Raven sambil memandang wajah anaknya yang sedang tertidur tenang. Lalu ia meraih satu tangan Raven yang kemudian ia usap dengan lembut.
“Mas Raven, maaf Papa baru datang...” ucapnya dengan suara yang nyaris tak terdengar
Januar mengusap rambut Raven yang sebagian kepalanya ditutupi perban.
“Maaf, perhatian Papa hilang untuk Mas Raven... Maaf, Papa belum bisa ada untuk saat ini, maaf Papa belum bisa ya, Mas...”
Ada air mata yang jatuh dari pelupuk matanya, merasa gagal, namun tak bisa apa-apa. Karna beginilah realitanya.
Januar kembali menggenggam tangan Raven.
“Mas, cepet sembuh ya.. Jangan bikin Papa kehilangan. Papa sayang Mas Raven, dulu, sekarang, bahkan selamanya... Maaf untuk sekarang Papa belum bisa kembali jadi Papa yang dulu. Maaf Papa masih mementingkan ego Papa. Maaf Papa belum bisa berubah.” kini air matanya sudah keluar dengan deras, tak mampu ia tahan lagi.
“Mas Raven anak kuat, anak hebat, berjuang tanpa Papa ya, Mas? Papa doain dari jauh, Papa tau anak Papa kuat. Makasih tadi udah bertahan ya, Mas. Papa sayang Mas Raven. Cepat sembuh ya, Jagoan...” lanjutnya...
Januar datang hanya untuk mengucapkan kalimat singkat, tak mau banyak bicara. Ia melepaskan genggaman tangannya dari tangan Raven dan segera keluar dari ruangan Raven.
Tanpa Januar sadari, ada sepasang telinga yang ikut mendengarkan diiringi air mata yang turun begitu deras dari matanya.
Satu jam setelah kepergian Januar, pintu kamar Raven kembali terbuka, kali ini sosok Kavin yang masuk ke dalam ruangan Raven.
Kavin berjalan lalu kemudian duduk di kursi sebelah kanan Raven, melihat ke arah Raven yang masih tertidur.
Ia berdiri kemudian mendekatkan wajahnya ke arah Raven, menarik sedikit rambut Raven lalu kemudian memutar-mutarnya dengan gemas. Hanya ia sendiri, di kegelapan ruangan malam itu.
“Ah coba bisa ngerasain rambutnya gue giniin, bangun dong!” ucapnya pelan
Lalu ia kembali duduk, dan menaruh kedua tangannya di dagu, masih memperhatikan Raven dengan waktu yang cukup lama.
“Ganteng juga lo kalo ada lecet-lecet gini, tapi jangan sering-sering! Bikin khawatir tau gak?” omelnya
Itu juga sebuah pujian jujur, Raven ganteng banget pas wajahnya lecet-lecet gini, Ya tapi nanti kalo bisa jangan lecet-lecet lagi sih. Bikin panik.
Merasa bosan, Kavin menggerakkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan, bingung mau ngapain.
Lalu ia menoleh lagi ke arah Raven, “Oh iya! Tau gak tadi Papa kesini, kayaknya diem-diem deh, soalnya tadi pas gue diluar dia kaburnya cepet banget! Kayaknya Papa nangis, sayang banget lo gak lihat!” ucapnya sambil mendecak, padahal itu momen yang gak bisa dilewatkan, tapi sayangnya gak ada keajaiban kayak di sinetron yang biasanya pasien tiba-tiba bangun terus jadi sesi mellow bersama. Ah gak seru.
Masih dengan tingkah laku Kavin yang aneh, kali ini ia menggoyangkan kakinya kayak anak TK lagi nunggu jemputan.
“Masa tadi Atha duduk di taman depan, sedih, terus gue datengin deh. Sorry janjinya gue wakilin, kalo enggak dia udah macem-macem, nanti tidur diluar tuh gak mau masuk ke dalem!” ia menceritakan kejadian tadi dengan menggebu-gebu.
“Terus ya gue bilang aja mau laporin ke lo karna dia ngeremehin lo! Masa dia bilang gak mau kehilangan lo, padahal gak akan ada yang hilang ataupun kehilangan tau. Gue takutin aja di sini banyak hantu, yang penting dia mau masuk!” lanjutnya.
Sebenarnya aneh dan bosan rasanya bercerita pada orang yang gak bisa respon omongan kita, itu yang Kavin rasakan.
Akhirnya ia berdiri dan berpikir, sebaiknya kemana dia saat ini, tetap duduk di kursi ini atau memilih keluar dari ruangan?
“Cepet bangun ya, kasian tuh pada tidur di lantai, enakan kasur rumah, empuk, disini dingin, gak enak! Lihat tuh selimutnya pada bagi-bagi mana badannya pada gede-gede lagi.” ucapnya menunjuk ke arah adik-adiknya yang sedang tertidur pulas. Lalu ia cekikikan sendiri karna melihat Abel yang hanya tertutup setengah selimut, gak muat.
Lalu Kavin Kembali Menoleh Kearah Raven Lagi...
“Cepet kembali ya, Mas Raven.” ucap Kavin sebelum akhirnya melangkahkan kaki keluar dari ruangan Raven.
🌱_Keep it silence.
Why?
Just because._🌱
"Lorong Nya Sepi Banget Anjir Gaada Siapa" Kek? Jadi Takut Gw Keluar Dari Kamar Hawa Nya Langsung Lain Njir!" Ucap Kavin
"Coba Gw Aga Sedikit Ke Bagian Tengah Rumah Sakit,Kayaknya Masih Ada Orang? Mau Gw Ajak Ngobrol Soalnya Bosen"
"Daripada Tidur,Tanggung Jam Setengah 3 Bentar Lagi Udah Mau Pagi"
"Oke Gajadi Kita Balik Aja Kekamar"
---------------------------------------------------
Mama,Suruh Raven Bangun Dong
Bilang Raven Banyak Yang Nungguin Dan Sayang Sama Raven..
Ayo Mama Paksa Raven Buat Bangun
****** Lo Ga Dikasih Makan?
Kalo Ga Bangun Gw Kobok" Sampe Mampus
Serem Juga Ya Banyak Banget Alatnya
Kalo Udah Bangun Gw Yang Gantiin Cuci Piring Janji Deh
--------------------------------------------
Come On, Get Up And Go Back
Ayo Bangun Dan Kembali....
Comments