Masalah Rumah
Maaf Tapi Disini Bakal Sedikit Banyak ASIDE Nya🙏🙏🥺
Bian melangkahkan kakinya ke dalam rumah yang terlihat sedikit sepi, biasanya ada Atha, Jeje, dan Raven yang akan selalu duduk di ruang keluarga sambil menonton TV. Setelah Rei menelfon dan dengan bantuan Abel yang terdengar berbeda dari biasanya, akhirnya Bian mau pulang kerumah.
Bian terus berjalan ke arah tangga, sampai akhirnya ia berhenti saat melihat semua orang sedang duduk di meja makan.
“Apalagi ini..” ucap Bian dalam hati, kemudian ia melangkahkan kakinya ke arah ruang makan. Lalu ia menarik kursi dan segera duduk, setelah di beri kode oleh Abel untuk segera duduk.
Januar berdeham, “Sudah merasa hebat? Tiap saya pulang kamu gak ada dirumah?” tanya Januar tajam.
“Jawab!” lanjutnya lagi. Bian masih diam sambil menunduk di kursinya, sampai akhirnya Abel menyenggol tangannya, menyuruhnya untuk segera menjawab sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi.
Bian mengangkat kepalanya dan menatap tepat ke arah Januar, “Aku gak mau ketemu Papa.”
“Aku gak mau ketemu dan berurusan sama Papa” lanjutnya lagi. Keadaan disekitar mulai terasa dingin kala Januar menatap tajam ke arah Bian.
“Atas dasar apa kamu gak mau ketemu saya dan berurusan sama saya? Sudah menjadi orang hebat? Saudara kamu gak ada yang seperti kamu, Bian.” ucap Januar dengan tajam.
Atha yang daritadi memperhatikan hanya bisa berharap dari dalam hati agar pertengkaran ini tak kembali membawa topik lama.
“Buat apa juga Bian ketemu Papa kalo ujung-ujungnya Papa cuma marahin Bian? Lebih baik Bian pergi duluan daripada harus ketemu Papa.” ucap Bian lagi.
“Hari-hari bian gak pernah balik kayak biasanya kalo ada Papa, cuma sama yang lain hari Bian bisa lebih baik. Capek tau, Pa.”
Januar sedikit terkekeh, “Kamu pikir hari-hari saya saat ini bisa berjalan seperti biasanya?”
Arkananta bersaudra kembali mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Januar.
“Jangan lagi.” ucap Rei dari dalam hati sambil menatap penuh harap ke arah Januar yang sedang saling tatap dengan Bian yang emosinya mulai terpancing.
“Apa yang kamu lewati sekarang tidak sebanding dengan yang saya lewati! Harusnya kamu bisa berfikir, Fabian!” teriak Januar telak di hadapan Arkananta bersaudara.
Bian dengan tatapan nyalang berdiri dari duduknya, “IYA! Terus aja merasa Papa yang paling tersakiti disini! Aku juga sakit, yang lain juga sakit! Bukan cuma, Papa! Gak pernah ada yang mau kejadian kayak gini! Papa kira aku mau kayak gini? EMANG AKU TERUS YANG SALAH! PAPA GAK PERNAH SALAH! ITUKAN YANG MAU PAPA DENGER?”
“Jaga mulut kamu, Fabian!” ucap Januar setelah tangannya mendarat di pipi Bian, diikuti oleh tatapan terkejut dari Arkananta yang lain. Sungguh mereka tak menyangka Januar akan kelepasan begini.
“LO APA APAAN?” teriak Bryan yang baru saja masuk ke ruang makan, ia sampai di rumah Januar tepat saat Januar berteriak tadi.
“Gak gini caranya bangsat!” ucap Bryan menarik Januar dari meja makan.
Bian tersenyum sambil memegang pipinya, “Ini udah kali kedua Papa nampar Bian, makasih ya, Papa.” ucap Bian yang kemudian langsung ditarik Abel dan Raven menuju ke tangga untuk naik ke kamarnya.
Jeje menghadap ke arah papanya, “Jeje gak suka kalo Papa begini, kenapa sih Pa?”
Rei segera berinisiatif menarik Jeje dan Atha yang masih terdiam di kursinya naik ke kamar. Membiarkan Bryan yang masih menatap Januar emosi.
“Lo goblok!” ucap Bryan setelah melayangkan sebuah tinjuan di pipi Januar
Setelah pertengkaran hebat tadi, Bryan segera menarik Januar ke ruang kerja nya.
Bryan menghela nafasnya kasar, kemudian ia menatap ke arah Januar yang ada di depannya.
“Lo bahkan udah gak berhubungan baik dengan dia dari 6 bulan yang lalu kan? Jeje bilang ke gue, and now you starting another fight with him?” ucap Bryan yang sedikit menaikan suaranya.
Emosinya sedikit mencuat setelah mengingat yang diceritakan Jeje kemarin lalu dengan apa yang terjadi hari ini.
“I didn’t start the fight, dia yang mancing emosi gue.” ucap Januar sambil menatap ke arah Bryan.
Bryan menggelengkan kepalanya, “Wah lo bener-bener gila, gak tau lagi gue sama diri lo.”
“Bukan salah gue, gue gak pernah buat kesalahan apapun.” ucap Januar dengan tenang, Bryan masih menatap Januar dengan tatapan kesal.
“Sumpah lo gue tonjok lagi deh!”
Januar menoleh ke arah Bryan. “Dia yang selalu ngehindar dari gue, kalo gue pulang ke rumah dia gak pernah ada, pergi gak pernah izin.”
Bryan kembali menghela nafasnya, “Karna dia gak mau ketemu lo dan berurusan sama lo. Masih gak paham?”
“Bian itu anak lo, dia punya mental, dia juga manusia. Gak seharusnya lo marahin dia, gak seharusnya lo ngungkit hal yang udah terjadi. Dia itu juga manusia nu, dia gak pantes diginiin. Lo harus ngerti itu,” ucap Bryan.
“Dari awal gue udah berat banget buat ninggalin lo sama anak-anak lo disini, karna kalo bukan gue siapa yang bakal bersikap baik selayaknya Ayah ke anak lo? Mau ngeharapin lo? Apa yang bakal gue dapet?” Januar menatap ke arah Bryan dengan tatapan yang menyiratkan ketidak sukaan dengan kalimat Bryan. Lalu Bryan menatap balik ke arah Januar seperti menyiratkan kalimat, “Apa? Bener kan apa yang gue bilang?"
“Mau lo bilang, gue gapernah ada di posisi lo makanya gue bisa bilang kayak gini, terserah gue gak peduli. Tapi gue ingetin sekali lagi, Bian itu anak lo. Masih anak lo, dan akan selalu jadi anak lo. Itu gak akan berubah. Begitu juga dengan kakak dan adek-adeknya.” lanjutnya lagi.
Januar hanya diam sambil memainkan jarinya.
“Dia gak mau pulang karna dia capek. Dia males. Dia gak mau ketemu lo kalo akhirnya yang lo lakuin cuma buat marahin dia, ngungkit hal yang udah terjadi, dan ngancurin diri dia. Lo kayak ngasi dia beban.“
Bryan menoleh ke arah Januar yang sekarang sudah menyender pada sofa.
“Sadar gak sadar, lo yang bikin dia gak nyaman sama rumah dan lo juga yang ngehancurin diri dia perlahan-lahan.” kemudian Bryan berdiri dari duduknya dan kembali melanjutkan kalimatnya.
“Jangan sampe diri gue bener-bener marah sama lo dan akhirnya gue bawa semua anak lo pergi dari sini, biar sekalian hidup lo tenang, tenang kan lo kalo mereka gak ada?”
“Tapi gue lebih memohon lagi kepada lo untuk kembali jadi Januar yang dulu, sebelum terlambat, sebelum anak lo hancur satu persatu.”
Bryan lalu meninggalkan ruangan dan juga meninggalkan Januar yang masih diam seribu kata.
--------------------------------------------------
Setelah Rei menarik Jeje dan Atha ke lantai dua, mereka masuk ke kamar Atha bersamaan. Namun Rei kembali keluar untuk menyusul ke kamar Bian.
Jeje dan Atha masih terdiam diatas ranjang dengan pikiran masing-masing. Sampai akhirnya Jeje berdiri dan bersuara.
“Atha, Jeje ke kamar aja ya. Atha di sini aja, Jeje mau sendiri dulu.” yang kemudian tanpa menunggu jawaban Atha, Jeje langsung beranjak keluar dan menutup pintu kamar Atha. Atha mengerti, Jeje sedang kesal dan marah sama seperti dirinya.
Atha berbaring di kamarnya menjadikan salah satu tangannya sebagai bantal dan menatap lurus ke arah atas kamarnya. Lalu tak lama kemudian ia menoleh ke arah kirinya yang ternyata sudah ada Kavin berdiri di dekat pintu. Atha segera duduk kembali di ranjangnya, kemudian Kavin mendekat dan ikut duduk di ranjang Atha.
“Are you okay?” tanya Kavin kepada Atha, yang ditanya diam sejenak sebelum menggelengkan kepalanya,
“Capek banget Atha, Mas. Selalu kayak gini, Atha gak suka. Papa gak pernah berubah, Atha pengen Papa berubah. Jangan kayak gini lagi, apalagi ke Bang Bian.”
Atha menunduk lalu melanjutkan kalimatnya, “I really want to hug you right now.”
“Gapapa, semua bakal baik-baik aja. Percaya kata Mas Kavin, ya? Pasti bakal berubah kok, Adek jangan khawatir. Do you trust me?” ucap Kavin sambil tersenyum, Atha mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah Kavin lalu ia menganggukan kepalanya,
“I trust you, Mas... Tapi kapan?” tanya Atha.
Kavin memainkan jarinya, kembali menoleh ke arah Atha yang sekarang masih melihat Kavin.
“Suatu saat, kan Atha udah percaya sama Mas Kavin. Mas mau bantu tapi susah banget tau, Mas kasian sama Abang Bian. Tapi gak bisa apa-apa, susah.”
Atha menghela nafasnya, memang tidak ada yang bisa menghentikan hal seperti ini. Siapa lagi yang bisa? Atha pernah berpikir mungkin dirinya bisa jika saja dia bukan seorang pengecut, tapi sulit.
Kavin melihat Atha yang kini kembali menunduk dalam, Kavin tau apa yang dipikirkan oleh adik bungsunya ini.
“Bukan salah Atha kalo gak bisa buat hal kayak gini berhenti. Bukan salah siapa-siapa, jangan nyalahin diri sendiri, oke?”
Atha mengangguk yang kemudian selanjutnya Kavin berdiri dan segera keluar dari kamar Atha.
Kavin benar, ini bukan salah Atha, dan bukan salah siapa-siapa.
---------------------------------------------------
Bryan (Uncle)
Jeje Ayo Pergi Sama Uncle Bryan
Bryan (Uncle)
Main Apa Ya Hari Ini
Jeano(Jeje)
Jeje Lagi Dikamar Jeje
Jeano(Jeje)
Atha Lagi Dikamarnya
Bryan (Uncle)
Terserah Jeje Mau Kemana
Jeano(Jeje)
Yaudah Deh Uncle
Jeano(Jeje)
Jeje Ajak Atha Dulu Ya
Bryan (Uncle)
Uncle Tunggu Bawah Ya Buruan
Comments