Di sisi lain, Di dalam ruangan rapat yang luas, dr. Andi berdiri di depan puluhan dokter ahli bedah saraf lainnya. Ia baru saja menjelaskan tentang kasus aneurisma otak yang kompleks dan berisiko tinggi yang memerlukan operasi segera. Wajah-wajah di ruangan itu tampak serius dan penuh pertimbangan.
"Saya memahami risikonya, namun pasien membutuhkan operasi ini. Siapa yang bersedia untuk mengambil kasus ini?" tanya Dr. Andi.
Namun, satu per satu, dokter-dokter di ruangan itu mulai menolak.
Dr. Ravi, seorang dokter senior, berbicara pertama, "Saya tidak bisa mengambil risiko ini. Saya punya tanggung jawab terhadap keluarga saya. Jika sesuatu terjadi pada saya saat operasi, mereka akan menderita."
Dr. Lisa, seorang dokter muda, juga mengungkapkan kekhawatirannya, "Saya baru saja memulai karir saya dan saya belum siap menghadapi kasus sekompleks ini. Saya khawatir jika ada kesalahan, reputasi saya akan hancur."
Dr. Omar, seorang dokter berpengalaman, menambahkan, "Saya sudah dekat dengan pensiun dan saya tidak ingin menghabiskan tahun-tahun terakhir karir saya dengan stres dan risiko yang tinggi ini."
Namun, di antara penolakan dan alasan, satu suara berbeda muncul. Dr. Jina, seorang dokter yang dikenal karena sifat materialistis nya, berdiri dan berkata, "Saya akan melakukannya. Tapi saya harap rumah sakit dan keluarga pasien memahami bahwa ini akan memerlukan biaya yang sangat besar. Dengan risiko tingkat ini, saya yakin bisa menanganinya. Namun dengan syarat, dr. Andi, akan menjadi asisten saya."
Semua orang di ruangan itu terdiam, menatap dr. Jina dengan ekspresi campuran antara kagum dan skeptis. Sementara itu, dr. Andi merasa lega bahwa ada satu orang yang bersedia mengambil kasus ini, meskipun dengan alasan yang kurang mulia.
Suasana di ruangan rapat menjadi semakin tegang. Dokter-dokter yang sebelumnya menolak kini mulai memojokkan dr. Andi dengan berbagai pertanyaan dan hinaan.
Dr. Ravi, dengan nada sinis, bertanya, "Andi, apakah kamu yakin kamu bisa menangani kasus ini? Kamu masih muda dan kurang pengalaman."
Dr. Lisa menambahkan, "Andi, apa kamu tidak takut reputasi mu akan hancur jika operasi ini gagal? Kamu tahu kan, dunia medis ini kejam."
Dr. Omar, dengan nada merendahkan, berkata, "Andi, kamu ini terlalu naif. Kamu pikir ini seperti di sekolah kedokteran? Ini nyawa pasien yang berada di tanganmu. Jangan berpikir karena kamu murid dari dr. Surya, kau bisa berbuat seenaknya dengan nyawa pasien."
Beberapa dokter lain juga menimpali dengan hinaan dan pertanyaan mereka sendiri, mencoba meremehkan dr. Andi dan meragukan kemampuannya.
Namun, di tengah hujan hinaan dan pertanyaan itu, dr. Andi tetap tenang. Ia tahu bahwa ini bukan tentang dirinya, tetapi tentang pasien yang membutuhkan bantuannya. Ia berdiri teguh, siap untuk menjawab setiap pertanyaan dan hinaan yang dilemparkan kepadanya.
Ketika dokter-dokter lain mulai memojokkan dr. Andi dengan pertanyaan dan hinaan, ia memutuskan untuk menghadapi situasi tersebut dengan tenang dan percaya diri.
Ia sadar bahwa menjaga fokus pada kepentingan pasien adalah prioritas utama. Seperti yang di ajarkan dr. Surya kepadanya.
Dr. Andi, dengan suara yang tenang namun tegas, menjawab, "Saya mengerti kekhawatiran dan keraguan Anda semua. Namun, kita di sini sebagai dokter memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan nyawa pasien. Saya percaya bahwa dengan dukungan dari tim medis, dr. Jina sebagai pemimpin operasi dan saya sebagai asistennya, kita dapat menghadapi kasus ini dan memberikan hasil terbaik untuk pasien."
Ia melanjutkan, "Saya tidak akan membiarkan ketakutan dan keraguan menghalangi saya untuk melakukan yang terbaik bagi pasien. Saya akan belajar dari pengalaman ini dan terus mengembangkan keterampilan saya sebagai dokter. Saya berharap kita semua dapat bekerja sama untuk mengatasi tantangan ini, bukan saling menjatuhkan."
Dengan jawaban yang matang dr. Andi berhasil meredam suasana tegang di ruangan rapat. Beberapa dokter mulai merasa malu dan sadar bahwa mereka seharusnya lebih mendukung rekan mereka. Meskipun masih ada keraguan, suasana di ruangan itu mulai berubah menjadi lebih positif dan konstruktif, karena mereka semua menyadari bahwa mereka memiliki tanggung jawab yang sama untuk membantu pasien yang membutuhkan.
"Besok pagi kita akan memulai operasinya, jadi..." Sebelum Andi dapat menyelesaikan ucapannya, tiba tiba dering telepon masuk ke semua ponsel dokter yang ada di ruang rapat tersebut.
Di tengah rapat yang sedang berlangsung, dr. Andi duduk di antara rekan-rekan dokternya, mendengarkan pembahasan yang sedang berlangsung. Tiba-tiba, ponselnya bergetar di atas meja. Ia melihat layar dan melihat bahwa ada panggilan masuk dari rumah sakit.
Dr. Andi merasa panggilan ini mungkin penting, jadi ia meminta izin untuk menjawabnya.
Dr. Andi berkata, "Maaf, sepertinya ini panggilan penting dari rumah sakit. Izinkan saya menjawabnya."
Rekan-rekan dokternya mengangguk, dan dr. Andi beranjak dari kursinya, berjalan ke sudut ruangan untuk menjawab panggilan tersebut.
"Halo, ini dr. Andi. Ada apa?"
Di seberang telepon, suara rekan kerjanya terdengar cemas. "Andi, ada kabar buruk. Dr. Surya baru saja meninggal dunia."
Mendengar kabar ini, dr. Andi merasa seolah dunia berhenti berputar. Ia merasa terkejut dan sedih."Oh, tidak... Tidak mungkin. Apa yang terjadi?"
"Kami belum mendapatkan detail lengkap, tapi sepertinya dr. Surya mengalami kecelakaan yang tak terduga. Kami harus memberi tahu semua orang."
Dr. Andi menghela nafas, mencoba menenangkan diri.
"Terima kasih telah memberi tahu saya." Setelah mengakhiri panggilan tersebut, dr. Andi berjalan kembali ke meja rapat dengan wajah pucat. Ia memberi tahu rekan-rekannya tentang kabar duka tersebut dan rapat pun segera diakhiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Tina Purba
semoga tim dr berhasil dgn baik
2023-11-15
0
Bundanya Litha
seru kisah nya jadi tegang
2023-10-22
0
Gadih Hazar
semangat kakak.. hadiah maeat untuk mu agar tetap semangat menulisnya..
2023-10-03
1