Es Kul- Kul Penyambung Hidup
"Es kul-kul nya berapa Mbak"
"Ini dua ribu satu, dan ini lima ribu tiga tusuk Neng" Ucapku Seraya menunjuk Es Kul - Kul yang sudah di kemas berbeda ukuran.
"Yang lima ribu satu Mbak"
Ku usap kasar wajah yang mulai basah oleh gerimis. Ya, Aku tengah mengadu nasib dengan berjualan Es Kul- Kul. Di sekolah Madrasah. Sudah menjadi rutinitas anak - anak yang bersekolah agama, Kala sore hari di mulai dari jam 2 siang hingga jam 4 sore.
Sekarang baru jam 1, aku berjualan dua kali dalam sehari pagi hari ketika jam istirahat. Dan siang Hari sebelum anak anak masuk sekolah madrasah.
Memanfaatkan keadaan aku mencoba mencari peruntungan dengan berjualan dari sekolah satu ke sekolah lainnya.
Asar mulai menjelang, namun jualan ku masih cukup banyak.
"Es kul-kul nya satu Mbak, yang harga lima ribu"
Sepertinya ini pelanggan terakhirku di sekolah madrasah, anak- anak kebanyakan tak bersekolah, ada yang bersekolah namun sudah di jemput orang tuanya. tak seperti hari biasa.
Sayup sayup suara azan Sudah berkumandang. gegas aku mencari musola terdekat untuk melaksanakan kewajiban ku sebagai umat muslim, selesai melaksanakan panggilnya gegas aku menuju danau rintik hujan sudah berkurang semoga di danau nanti banyak yang beli.
Setibanya di danau , rupanya tak begitu banyak pengunjung namun ku tetap berjualan mungkin satu atau dua akan ada yang beli.
"Mbak es kul _ kul nya satu yang harga lima ribu"
Gegas aku melayani pembeli, dua jam berlalu hanya ada beberapa yang membeli entah bagaimana nasibnya nanti, mungkinkah akan sama seperti hari kemarin. Yang berakhir di perut anak anak yang kurang beruntung hidupnya.
Cuaca hari ini menang kurang mendukung, Langit seolah bermuram durja. Titik - titik air mulai membasahi bumi.
sepertinya ini memang pelanggan terakhirku hari ini, sayup-sayup terdengar suara azan magrib berkumandang.
Gegas ku pacu sepeda motor butut milikku, titik-titik air kembali menimpa wajah ini sesekali ku sapu kasar.
Di tepi jembatan ku hentikan kendaraan ku, seperti biasa, kulihat anak - anak itu sudah berkumpul di sebuah tenda tepat di bawah jembatan.
ku lambaikan tangan , salah seorang dari mereka menyadari keberadaan ku. anak itu langsung keluar dari tenda, berlari naik ke atas jembatan di mana aku tengah berdiri.
"Es kul-kul nya bagi ke temen temen ya" ku ulurkan sekantung Es kul Kul kepada anak lelaki itu.
"Terima kasih banyak Bu, ini bisa jadi makanan kami malam Ini, kami tidak bisa Mulung karena Hujan" Anak itu menatapku berbinar, satu titik air melompat dari netranya walau gerimis, sama sekali tak bisa menyamarkan hal itu.
Aku lantas mengangguk, seraya tersenyum. Mana mungkin aku bisa mengeluh atas jalan hidup yang telah di gariskan. Nyatanya ada yang hidupnya lebih sulit dariku.
Kembali ku pacu sepeda motor, hendak kembali pulang.
🍉🍉🍉
Setibanya di rumah, aku di sambut dengan pemandangan yang menambah sesak di dada. Anak semata wayangku yang berusia tiga tahun tengah menangis sesenggukan.
Bocah itu, langsung berlari kala melihat kedatangan ku. "Mamah...”
"Eh anak mama, sudah bangun ya?" Ku angkat bibit tubuhnya hendak aku Gendong.
"Mama kemana, kenapa Nana di tinggal" tanya Nana Masih terisak.
"maaf sayang tadi Nana masih tidur, mamah takut ganggu, mangkanya mama berangkat sendiri."
Biasanya aku jualan dengan mengajak Nana, berhubung tadi sore dia masih tidur, dn di tambah cuaca yang kurang mendukung, jadilah Nana ku tinggal. Sebab, di rumah juga ada sang papa, hingga aku tak begitu khawatir.
"Safira... Aku ingin ke kamar mandi!" teriak Mas Deden - suamiku.
Ku Turunkan Nana yang masih dalam gendongan" Sebentar ya sayang, mama temui papa dahulu," Nana mengangguk dengan sisa isak tangis
Aku berjalan mauk ke kamar, emas Deden, sudah duduk dibibir ranjang. kedua tangannya terangkat, aku mendekat, menyampirkan salah satu tangan ke bahu ini.
🍉🍉🍉🍉
Beberapa bungkus Es kul - kul telah usia ku buat. Hari ini aku tidak berjualan di tepi danau hanya ke sekolah - sekolah saja jam istirahat nanti aku akan berjualan di desa sebelah, cukup jauh memang namun di sana biasanya lumayan cukup pendapatanku.
Sebenarnya aku juga ingin berjualan di tepi danau, tetapi sayang modalku sudah habis, jadi aku memilih berjualan di sekolah dahulu yang penghasilannya sudah pasti, tidak seperti di tepi danau walau ramai tetap saja yang membeli jajananku sedikit, karena bersaing dengan pedagang lain. di tambah pula, sudah dua hari ini daganganku selalu bersisa, sama sekali tidak memulangkan modal ku.
"mamah kenapa sedih?" pertanyaan Nana, berhasil membuyarkan lamunanku.
Tanpa sadar, rupanya netra ini telah banjir oleh air mata, Aku begitu lemah. rasanya hidup tengah bermain main denganku
"ah tidak Sayang, mata mamah kemasukan debu, mangkanya jadi berair," Cepat ku usap kasar netra serta pipi ini.
"sini Nana tiup, Ma," Ucap nana seraya mendekat
Aku tersenyum getir, ku biarkan sja bocah kecil itu meniup satu per satu mata ini. meski sesekali liurnya ikut-ikut muncrat, membasahi wajah ini.
Meski usianya masih sangat kecil, Namun Nana ku punya perhatian yang begitu luar biasa. Melihat wajahnya yang begitu polos, menjadikan kuat kembali. Aku tidak boleh lemah, aku harus kuat untuk suamiku, untuk anakku, juga untuk diriku sendiri, jika aku ikut lemah siapa yang akan menopang kehidupan kami,
usai berjualan, aku kembali sebelum azan Dzuhur berkumandang walau hanya dapat beberapa puluh ribu saja, alhamdulilah uang ini sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan ku besok dan untuk berjualan lagi.
Usai mendirikan kewajiban tiga rakaat, aku menengadahkan tangan ini ke langit, memohon ampun atas segala dosan dan khilaf. Memohon kepada pemilik alam semesta, agar menguatkan hati juga bahu ku. Kuat menerima kenyataan, cobaan serta ujian datang tak kenal lelah.
tak henti hentinya aku memohon, agar di berikan kemudahan dalam segala urusan, kemudahan dalam rezeki, serta perlindungan di mana pun aku berada.
Dalam khusyuknya berdoa, terdengar suara ketukan pintu. Gegas ku tutup doaku. Melepas mukena , lantas meraih hijab instan ku.
"Assalamualaikum...."
"Waalaikumsalam.."
"maaf Fira, saya datang di waktu magrib begini"
"Oh tidak apa Bi, mari masuk" Rupanya Bi Hasna yang datang, entah ada keperluan apa perempuan paruh Baya ini datang magrib- magrib ke rumahku.
"Di sini saja Fir, saya tidak lama kok."
"Ada perlu apa ya Bi,?"
"Jadi begini, Fir. Teman - teman kuliah anak saya katanya mau datang malam Ini. Dan saya mau minta tolong di siapkan Es Kul kul buatan kamu. Bisa Fir?"
Mendengar penjelasan BI Hasna, seketika pikiran ku melayang kepada buah buahan yang sudah di potong potong dan berada di dalam kulkas, hanya ada buah pisang pepaya dan melon.
"Tidak bisa ya Fir, Karena saya ngasih taunya mendadak. Iya si anak saya juga bilangnya mendadak" Ucap Bi Hasna.
Membuyarkan lamunanku,
"Sebenarnya si dapur sudah ada 20 bungkus es Kul kul, untuk berjualan besok terang ku.
"Wah, yang benar Win, buat bibi saja ya"
Tanpa pikir panjang aku sanggupi permintaan BI Hasna.
"Iya BI boleh, bibi masuk dahulu saja nanti biar aku siapkan cokelat nya, tetapi maaf BI untuk es kul kul topingnya hanya ada meses saja" Terang ku.
"ya udah ga apa Fir, yang penting ada camilan untuk anak - anak malam ini" Terang BI Hasna,
ya Bi Hasna selalu menganggap semua teman teman dari anaknya. Seperti anak Sendiri, mangkanya aku tak heran jika BI Hasna. Rela magrib magrib menyambangi rumahku hanya untuk menyiapkan camilan.
Mungkin ini jawaban atas doaku, rezeki sudah di takar tidak akan tertukar. Aku yang telah mengeluh dan kesal atas Jalan hidup. Tiba - tiba di beri kejutan yang tak di sangka - sangka.
Akhirnya, selesai juga menyiapkan cokelat dan topping.
"terima kasih ya Fir, ini uangnya," sekantung besar es kul kul itu. Sudah berpindah tangan ke BI Hasna. wanita paruh baya itu lantas menyerahkan empat lembar lima puluh ribu dan satu lembar dua puluh ribu.
"Totalnya hanya seratus ribu bi"
"Sisanya untuk si Nana, buat beli susu," BI Hasna Mencubit pelan pipi Nana, yang kebetulan sudah berdiri di sampingku
"terima kasih banyak Bi, bilang terima kasih sama eyang Nak"
"terimacih eyang...."
🍉🍉🍉
"Fira... Safira..."
Aku yang tengah, memotong buah buahan di kagetkan dengan teriakan seseorang dari luar.
ku tinggalkan saja potongan buah itu, gegas menuju pintu depan. kulihat sosok Ibu mertua tengah berdiri di ambang pintu seraya berkacak pinggang.
"Mari masuk Bu." ku persilakan ibu dari suamiku itu untuk masuk.
"Tidak perlu! mana uang kontrakkan.?" Ucapnya seraya mengarahkan Tangan kepadaku.
"maaf Bu, bukanya yang pembayaran kontrakkan masih satu Minggu lagi" protes ku.
"Ibu butuh uang untuk bayar kuliah Lani, cepat sini uangnya!"
"tetapi Fira belum ada uangnya, Bu. Semua sudah Fira belikan untuk bahan jualan"
"Ibu tidak mau tahu, pokoknya sore ini uang itu harus ada!" Ibu mertua lantas berlalu dengan wajah Masam.
Ya, rumah yang sekarang aku tempati adalah rumah kontrakan milik ibu mertuaku. mertuaku memang memiliki rumah kontrakan, tidak banyak memang, hanya lima rumah termasuk yang ku tempati saat ini. Perbulannya harus aku bayar sebesar enam ratus ribu, di luar listrik dan air.
Kerap kali ibu mertua menagih uang sebelum waktunya, seperti yang dia lakukan kali ini. Uang enam ratus ribu bukanlah uang yang sedikit bagiku, di tambah pula uang dari Bi Hasna semalam sudah habis aku belikan beras juga kebutuhan jualan beberapa toping untuk es kul kul.
Ibu mertua sama sekali tidak menaruh iba kepadaku, dia pun tahu aku sedang kesulitan, namun dia seolah menambah beban hidupku.
"Fira... Aku ingin ke kamar mandi!" Teriakan Mas Deden membuyarkan lamunanku.
Aku gegas menuju kamar.
Ku papah tubuh Mas Deden menuju ke kamar mandi, bobot tubuhnya yang cukup berisi menjadikan aku sempoyongan hampir saja terjatuh.
Usai dari kamar mandi, Mas Agung meminta di antar ke ruang tengah. Ingin menonton televisi, katanya.
Ya, beginilah keseharian ku, selain menjadi tulang punggung untuk kebutuhan keluarga, aku juga harus sigap melayani suamiku.
Suamiku, sedang tidak sehat. Kedua kakinya mengalami patah tulang satu tahun yang lalu, disebabkan kecelakaan di tempat bekerja.
Hari di mana duniaku terasa di putar balikkan. Kehidupanku langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Aku yang terbiasa hanya menerima uang dari suami, kini harus bertukar peran. akulah yang harus jadi tulang punggung.
Meski patah tulang nya sudah sembuh dari empat bulan lalu, tetapi entah mengapa dia masih belum bisa bergerak dengan normal, dia merasa mati rasa di kedua kakinya.
Kata dokter, hal ini di sebabkan karena keterlambatan penanganan. Operasi jalan keluarnya. Namun, biaya operasi bukanlah hal yang sedikit. Puluhan juta kisarannya, Sungguh aku tak sanggup.
"Ada apa ibu kemari" suara barito Mas Deden memecah keheningan.
"Minta uang kontrakkan"
Mas Deden, hanya diam entahlah apa yang di pikirannya.
Ku putuskan mengambil mainan Nana, yang berserakan di lantai. Bocah itu baru saja menumpahkan sekeranjang mainan miliknya.
"Nana ayo bantu mamah beresin mainannya"
Nana, yang sedang bermain di kamar, langsung berlari ke arahku. Di tangannya memegang boneka Shaun the sheep. yang Warnanya sudah pudar.
"Ayo bereskan mainannya, Nak bukankah mamah selalu bilang, selesai bermain, harus di bereskan. Mama capai kalau harus membereskan semuanya sendiri, Sayang. Aku memperingati Nana dengan Hati - hati.
"maaf mama, ucap bocah kecil itu dengan rasa bersalahnya.
Ku ambil keranjang, di mana tempat mainan Nana biasa di Simpan, Nana mulai memunguti mainannya satu per satu aku pun melakukan hal yang sama.
"Aku minta maaf" Ucap Mas Deden terdengar lirih. Sontak menghentikan gerakkan ku.
"Untuk?"
"Untuk semuanya. maaf sudah merepotkan mu. Aku laki - laki yang tak berguna" Lelaki itu menyugar rambutnya yang mulai panjang.
Bersambung.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments