Aku berjalan mendekat lantas duduk di samping Maas Deden. Ku sentuh pelan lengan kirinya.
“Fira tidak pernah merasa direpotkan, Mas. Fira senang melakukan semua ini. Bukankah dulunya, Mas Deden bekerja keras untuk menghidupi keluarga ini. ? tak salahkan jika sekarang Fira yang menggantikan.
Mas Deden menatap ku sekilas, kembali beralih menekuri lantai.
“Kalau kamu mau ingin meninggalkan Mas, Mas ikhlas, Fir. Carilah kebahagiaan lain, hidupmu hanya akan makin sengsara bila hidup dengan lelaki penyakitan ini.
“Mas sudah tidak mencintai Fira?”
“Kalau di tanya cinta, Mas sangat mencintai kamu Fira. tetapi Cinta saja tidak cukup untuk berumah tangga, butuh tanggung jawab juga”
“Selama cinta Mas Deden, masih utuh untuk Fira. Itu sudah lebih dari cukup, Fira hanya butuh doa serta dukungan dari Mas Deden. Doakan saja agar jualan Fira selalu laris. Fira mau kita berjuang bersama – sama. Mari kita bangkit dari keterpurukan ini emas.”
Aku beringsut, merapatkan duduk kami, sandarkan kepalaku di lengannya,
“ Fira tidak akan pernah meninggalkan Mas Deden apa pun alasannya.”
“kamu yakin ingin bertahan dengan laki - laki pecundang ini Fira?”
“Yakin. Sangat yakin. Badai pasti berlalu. Tuhan tidak akan menguji seorang hamba di luar batas kemampuannya. Bukankah di dalam al quran, dua kali di nyatakan di balik kesulitan pasti ada kemudahan.”
Mas Deden membawa diri ini masuk ke dalam pelukannya. Sudah lama sekali dia tidak melakukan hal ini. Semenjak hari menyakitkan itu, dia berubah pendiam, dan sering kali marah marah karena hanya hal sepele.
“terima kasih banyak, Fira.”
Kurasakan beberapa tetes air membahasi pucuk kepalaku. Ya tuhan , menangis kah suamiku?
Saat aku hendak mendongakkan kepala, cepat di tahan oleh Mas Deden. Mungkin dia tak ingin aku menangkap basah, dia yang tengah menangis.
Meski seringkali, aku melihatnya menangis di Tengah malam. Tersengal nafasnya membendung tangis yang kian terisak. Namun, dia tak menyadari jika aku mengintipnya di balik selimut.
Ada perih yang ku rasa kala itu.
“ kita berjuang bersama – sama ya, Mas?”
Mas Deden hanya mengangguk. Lantas mempererat pelukannya. Jadilah kami larut dalam perasan haru.
“Ah iya, Mas Fira lupa” ku tepuk pelan jidatku.
Dahi Mas Deden mengernyit. “mengapa, Fir?”
“Fira tadi panaskan cokelat, Mas. Waduh oto gosong nih panci’’
Aku gegas bangun menuju dapur. Syukurlah, memaskan cokelat, masih Aman.
Ku matikan kompor, sebab cokelat sudah meleleh. Setelah di panaskan cokelat akan mudah untuk menjadi topingnya.
Sembari menunggu cokelat dingin, aku menyiapkan toping lainya.
Beberapa bungkus ES kul –kul sudah jadi, Sengaja aku pisahkan karena pesanan bi Yanti. Ku masukan ke dalam kulkas.
“Fira… fira…. keluar kamu!”
Kala aku menyiapkan semua dagangan, memasukan toping ke beberapa stoples kecil, lagi – lagi teriakan seseorang mengagetkan ku.
Apakah ibu mertua berubah pikiran, tidak jadi menagih uang kontrakan sore ini, dan justru memintanya sekarang? Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan.
Ku percepat langkah menuju ruang depan, dengan dada berdebar tak karuan. Ku abaikan emas Deden memanggil berkali – kali.
Pikiranku kala ini benar – benar tengah berkecamuk hebat. Ya tuhan ku harap semua baik – baik saja.
Saat di depan betapa kagetnya aku, melihat Nana tengah menangis sesenggukan. Salah satu lengannya di cengkeram erat oleh mbak Marni, tetangga depan rumah. Mbak Marni terlihat begitu marah, dadanya naik turun, wajahnya merah padam. Ya Tuhan, ada apa ini?
Melihat kedatanganku Nana menggelinjang hendak melepas cengkraman di lengannya. Namun cengkraman Mbak Marni, kian kuat. Tak ingin menyerah Nana pun, menggigit tangan wanita itu, alhasil Mbak marni teriak kesakitan.
Setelahnya, Nana langsung berlari dan memelukku. Bocah tiga tahun itu menangis sesenggukan.
“Kamu sebagai orang tua, harusnya ajarkan anakmu sopan santun, Fir! Masa dia main gigit aku begini” maki Mbak Marni seraya mengibas - ngibaskan tangannya bekas gigitan Nana.
“Maaf sebelumnya, Mbak,sebenarnya apa yang terjadi?”
“Lihat itu, ulah anakmu yang nakal ini!” Mbak Marni menunjuk kearah rumahnya. Ku ikuti arah telunjuknya, tampak salah satu jendelanya sudah menganga dengan kaca berserakan di tanah.
Ku tutup mulutku, tak percaya rasanya anakku penyebab itu semua. Ku ubah posisi ku menjadi berlutut, mensejajarkan diri dengan Nana. Ku tatap dalam – dalam netra bocah itu.
“ Nak, benar Nana yang melakukan itu” tanyaku lembut.
Nana menggeleng cepat, hingga sisa- sisa air matanya berhamburan keluar. kulihat tangan kirinya tampak memerah, begitu kuat Mbak Marni mencengkram lengan anakku. Ku usap pelan lengannya, namun dia meringis menahan sakit. Ya Allah.
“Nana tidak bohong kan kan ? ingat sayang berbohong itu dosa dan perilaku yang di benci oleh Allah.” Kembali ku tatap netranya dalam dalam.
“Nana ndak boong, Ma! Ndak boong…” Nana berteriak lalu lari masuk ke dalam rumah.
Aku kembali berdiri, beralih menatap Mbak Marni yang kini menatapku dengan wajah masam.
“Tidak mungkin Nana yang melakukan itu, Mbak.”
“tetapi itu kebenarannya! Aku melihat sendiri anakmu yang berada di sana setelah kaca itu pecah. Aku tidak mau tahu kamu harus ganti rugi!”
“Nana tidak mungkin bohong, Mbak. Aku selalu mengajarkan agar selalu berkata jujur dan menjadi anak yang baik.”
“Masih saja kamu bela anak nakal mu itu! Pokoknya kamu harus ganti rugi, kalau tidak, kamu bisa saja aku laporkan ke polisi!” usai mengancam ku Mbak Marni berlalu begitu saja.
Ganti rugi. Lapor polisi. Ya Tuhan, pecah rasanya kepalaku.
kulihat mbak Marni sudah menghilang di balik pintu. Sementara aku, masih berdiri di tempat yang sama, tubuhku terasa terkunci, pikiranku berkecamuk hebat.
Tanpa sengaja, kulihat dua anka laki – laki tengah bersembunyi di balik bunga yang cukup rimbun, tepat di sebelah rumah Mbak Marni, keduanya tampak ketakutan.
Aku yakin, pasti salah satu dari mereka yang memecahkan kaca itu. Mereka terkenal nakal di kampung ini, seringkali melakukan keonaran meski usianya barulah enam tahun . keduanya sering mengambil jambu dan mangga warga tanpa izin.
tetapi aku tidak punya bukti kalau bukan Nana yang melakukanya. Jika aku menuduh tanpa bukti sama saja aku menciptakan masalah baru. Ya tuhan tolonglah aku.
🍉🍉🍉
Karena tragedi ibu mertua pagi – pagi menagih uang kontrakan dan juga Mbak Marni yang marah – marah. Jadinya Aku tak berjualan ke sekolah- sekolah.
Usai salat asar, aku bergegas bersiap untuk berjualan seperti biasa di danau. Nana ku bawa serta, aku tak mau kejadian kemarin terulang lagi. Bocah itu menangis kejer karena ku tinggal.
“Fira pamit ya, Mas. Doakan jualan Fira laku semua hari ini, oh ya takutnya nanti Fira belum pulang di kulkas lima belas bungkus es kul – kul pesanan bu Yanti Mas”
“Iya. Tentu Fir, Mas selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu. Hati- hati dijalan, ya.”
Aku hanya tersenyum seraya mengangguk.
“bagaimana kalau Nana di rumah saja?” Pandangan Mas Deden beralih kepada Hana. Ya, putri kami bernama Hana, karena dia belum fasih menyebutkan namanya sendiri, jadilah dia menyematkan panggilan nya sebagai Nana.
Nana cepat menggeleng, lantas bersembunyi di balik tubuhku. Semenjak kecelakaan itu, hubungan Nana dan emas Deden memang merenggang. emas Deden tak mau lagi mengajak Nana bermain atau sekadar mengobrol.
Sepanjang hari, hanya di habiskan dengan melamun dan melamun. Sering marah – marah hanya karena Hal sepele. Menjadikan Putri semata wayang kami takut kepadanya dan lebih dekat kepadaku.
“Nana biar ikut dengan Fira saja, Mas. Lagian nanti Mas repot kalau Nana mau minta makan atau buang air.
“lelaki itu hanya mengangguk samar. Ada raut kesedihan yang terpancar di wajahnya. Mungkin dia, baru menyadari, betapa nana sudah sangat jauh dari dirinya. Bukan salah Nana toh emas Deden sendiri yang menciptakan jarak.
Bersambung.....
terima kasih sudah menyempatkan waktu membaca ceritaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments