Kesempatan

"Aku pikir itu ide yang baik, Syah," sahut Nisa, memberikan dukungan kepada Aisyah.

Aisyah menatap Farhan sekali lagi, kali ini dengan keputusan yang sudah jelas di matanya. "Ya, dia layak mendapatkan kesempatan."

Minggu berikutnya, Farhan mendapatkan kesempatan itu. Aisyah mulai membuka diri, membiarkan Farhan masuk lebih dalam ke dalam hidupnya. Mereka menghabiskan lebih banyak waktu bersama, belajar bersama, bahkan melakukan aktivitas sosial di kampus bersama.

"Mereka tampak cocok, ya?" gumam Rafi suatu siang, melihat Farhan dan Aisyah yang tampak akrab.

"Tampaknya begitu," balas Nisa, tersenyum melihat sahabatnya bahagia.

Namun, di balik semua kebahagiaan itu, ada rasa takut yang mulai tumbuh dalam hati Aisyah. Takut bahwa perubahan Farhan hanyalah sementara. Takut bahwa dia akan terluka.

"Apa yang kamu takutkan, Syah?" tanya ibunya suatu malam, melihat ekspresi khawatir di wajah Aisyah.

"Bukannya aku takut, Bu. Tapi... apa Farhan bisa berubah sepenuhnya? Apa dia tidak akan kembali menjadi seperti dulu?" Aisyah membiarkan keraguan di hatinya terungkap.

Ibunya menatapnya dengan penuh pengertian, "Itu adalah risiko yang harus kamu ambil, Syah. Tapi ingatlah, orang bisa berubah jika mereka memiliki alasan yang cukup kuat."

Aisyah merenung, mencoba mencerna kata-kata ibunya. "Mungkin kamu benar, Bu. Mungkin aku harus memberinya kesempatan."

Berbekal nasehat ibunya, Aisyah memutuskan untuk mengundang Farhan ke rumahnya pada akhir pekan. "Farhan, bagaimana jika kamu datang ke rumahku minggu ini? Kita bisa belajar bersama di sana," usul Aisyah suatu hari di kampus.

Farhan, yang terkejut dengan undangan tersebut, merasa senang dan gugup pada saat yang sama. "Tentu, Aisyah. Saya akan sangat senang."

Minggu itu pun tiba. Farhan berdiri di depan rumah Aisyah dengan rasa gugup. Dia membawa buku-buku dan sebungkus kue sebagai oleh-oleh. Setelah mengetuk pintu, Aisyah membuka pintu dan menyambutnya dengan senyuman.

"Hai, Farhan. Silakan masuk," ujar Aisyah.

"Apa kamu lapar? Saya bisa membuatkan kamu camilan," tawar Aisyah setelah mereka berada di ruang tamu.

"Terima kasih, Aisyah. Tapi, saya sudah membawa kue," sahut Farhan, menunjukkan bungkusan kue yang dibawanya.

Oh," Aisyah tampak terkejut sejenak namun segera tersenyum. "Baiklah, mari kita makan kue itu bersama."

Mereka pun duduk di ruang makan, memotong kue yang dibawa Farhan. "Ini kue favorit saya, Aisyah. Saya berharap kamu juga menyukainya," kata Farhan sambil memberikan sepotong kue kepada Aisyah.

Aisyah tersenyum, mencoba kue tersebut. "Ini enak, Farhan. Terima kasih."

Mereka kemudian menghabiskan waktu sore itu dengan belajar dan berbincang. Farhan membantu Aisyah memahami beberapa konsep sulit dalam pelajaran mereka, sementara Aisyah membagikan cerita tentang keluarganya dan mengapa dia memilih untuk selalu berhijab.

"Saya menghargai keputusanmu, Aisyah," kata Farhan, menatap Aisyah dengan penuh rasa hormat. "Bukankah mudah untuk memilih jalan yang berbeda, terutama di lingkungan kita ini. Tapi kamu tetap bertahan dengan pilihanmu."

Aisyah tersenyum, merasa gembira bahwa Farhan bisa menghargai pilihannya. "Terima kasih, Farhan. Saya senang kamu mengerti."

Farhan tersenyum balik, "Saya yang seharusnya berterima kasih, Aisyah. Kamu telah memberi saya kesempatan untuk melihat dunia dari perspektif yang berbeda."

Mereka melanjutkan belajar dan berbincang sampai sore hari. Ketika matahari mulai terbenam, Farhan menatap Aisyah, "Saya harus pulang sekarang, Aisyah. Terima kasih sudah mengizinkan saya belajar di sini."

Aisyah mengangguk, "Tentu saja, Farhan. Kamu selalu bisa datang kesini untuk belajar."

Setelah itu, Farhan pergi meninggalkan rumah Aisyah. Aisyah duduk sendirian di ruang tamu, menatap pintu yang baru saja ditutup Farhan. Dalam hatinya, ada rasa hangat yang menyebar. Dia mulai memahami apa yang dirasakan ibunya ketika berbicara tentang cinta.

Dalam perjalanan pulangnya, Farhan merasa lega dan bersemangat. Hari ini merupakan hari yang berarti baginya. Dia merasa semakin dekat dengan Aisyah dan merasa bahwa dia telah melakukan yang terbaik.

Saat Farhan sampai di rumah, dia disambut oleh Rafi, sahabatnya yang juga merupakan teman sekamarnya. "Kamu terlihat bersemangat, Far. Ada apa?"

Farhan tersenyum, "Hari ini... hari ini berbeda, Rafi. Aku merasa semakin dekat dengan Aisyah."

Rafi menaikkan alisnya, "Oh? Jadi kamu benar-benar serius tentang perasaanmu kepada Aisyah?"

"Iya, Rafi. Aku benar-benar serius," balas Farhan dengan mantap.

"Begitu seriusnya sampai-sampai kamu rela berubah?" tanya Rafi, masih mencoba memahami.

"Iya, Rafi. Aku berubah karena Aisyah. Dan aku akan terus berubah untuk menjadi lebih baik," jawab Farhan dengan yakin.

Sedangkan di rumahnya, Aisyah berbicara dengan Nisa lewat telepon. "Aku merasa ada yang berbeda hari ini, Nisa. Farhan... dia tampak berbeda."

"Dalam arti yang baik, bukan?" tanya Nisa.

"Iya, tentu saja. Dia tampak lebih dewasa, lebih serius. Dan aku... aku merasa nyaman bersamanya," jawab Aisyah, suaranya penuh dengan rasa takjub.

"Syah, aku pikir kamu mulai jatuh cinta," Nisa berbisik, suaranya penuh dengan kegembiraan.

Aisyah terdiam sejenak, lalu tertawa pelan. "Mungkin kamu benar, Nisa. Mungkin aku memang jatuh cinta."

Malam itu, Aisyah terbaring di ranjangnya, memikirkan kata-kata Nisa dan perasaannya terhadap Farhan. Dia merasa hangat dan gembira, namun juga sedikit takut. Ini adalah perasaan baru baginya, perasaan yang membuatnya merasa hidup.

Di rumahnya, terlihat Farhan tengah merenung. Dia memikirkan Aisyah dan bagaimana dia bisa menyampaikan perasaannya. Dia tahu ini tidak akan mudah, tapi dia siap untuk mengambil risiko.

Hari berikutnya di kampus, Farhan memutuskan untuk berbicara dengan Aisyah. Dia menemukannya di perpustakaan, tengah serius membaca buku.

"Aisyah, bisa bicara sebentar?" tanya Farhan, menghampiri Aisyah.

Aisyah menoleh, terkejut melihat Farhan. "Oh, tentu saja, Farhan. Ada apa?"

"Aku... Aku memiliki sesuatu yang ingin aku katakan," ujar Farhan, merasa gugup.

Aisyah menatap Farhan, merasa penasaran. "Tentu saja, Farhan. Apa yang ingin kamu katakan?"

Farhan mengambil napas dalam-dalam, mempersiapkan diri. "Aku... Aku..."

Namun, sebelum Farhan bisa mengatakan apa-apa, bel pulang berbunyi, mengganggu pembicaraan mereka.

"Oh, sudah waktunya pulang. Apa kita bisa bicara lagi besok, Farhan?" tanya Aisyah, bangkit dari tempat duduknya.

Farhan mengangguk, merasa sedikit lega. "Tentu saja, Aisyah. Kita bisa bicara lagi besok."

Malamnya, Farhan menghabiskan waktu berjam-jam mencoba memikirkan cara terbaik untuk menyampaikan perasaannya kepada Aisyah. Dia menulis dan mencoret berbagai kalimat di buku catatannya, mencari kata-kata yang tepat.

Disisi lain, Aisyah juga menghabiskan malamnya dengan berpikir tentang Farhan. Dia merasa penasaran tentang apa yang ingin dikatakan Farhan dan berharap bahwa itu adalah hal yang baik.

Keesokan harinya, Farhan menemui Aisyah lagi. Mereka berdua berdiri di taman kampus, di bawah pohon besar yang biasa mereka gunakan untuk belajar.

"Aisyah," Farhan memulai, mencoba mengendalikan gugupnya. "Aku... Aku merasa perlu memberi tahu kamu sesuatu."

Aisyah menatap Farhan dengan penuh perhatian, "Tentu saja, Farhan. Apa itu?"

Farhan mengambil napas dalam-dalam, "Aisyah, aku... aku menyukaimu. Lebih dari sekadar teman."

Aisyah terdiam, menatap Farhan dengan mata yang terkejut. Dia tidak tahu apa yang harus dijawab. Dia merasa bingung, terkejut, dan bahagia pada saat yang sama.

Farhan menunggu, hatinya berdebar-debar. Dia telah mengatakan apa yang paling dia takutkan, dan sekarang dia hanya bisa berharap bahwa Aisyah merasakan hal yang sama.

Mereka berdua berdiri di sana, dalam diam yang panjang. Mereka tahu bahwa apa yang baru saja terjadi adalah momen yang akan mengubah hubungan mereka selamanya. Mereka hanya perlu waktu untuk mencerna dan memahami apa yang baru saja terjadi.

Aisyah menelan ludah, mencoba menenangkan diri. "Farhan, aku... aku tidak tahu harus berkata apa," akhirnya dia berbicara, suaranya bergetar.

Farhan tersenyum pahit, "Tidak apa-apa, Aisyah. Aku hanya merasa perlu memberitahumu. Kamu tidak perlu merespons sekarang."

Aisyah menatap Farhan, merasa berterima kasih karena dia mengerti. "Terima kasih, Farhan. Aku butuh waktu untuk memikirkan ini."

Farhan mengangguk, "Tentu saja, Aisyah. Ambil waktumu."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!