Zephyria

Zephyria

Pertemuan Pertama

Hari itu Aisyah melangkah masuk ke kampus dengan mantap, menikmati hembusan angin pagi yang menenangkan. Matanya yang berbinar menatap bangunan kampus dengan penuh semangat.

“Aisyah!” panggil Nisa, sahabat sejak SMA, menyusul dari belakang. “Kau terlambat, lagi!”

“Maaf, Nisa. Tadi harus bantu ibu dulu,” jawab Aisyah sambil tersenyum, mengacungkan tasnya yang berisi Al-Quran dan buku-buku kuliah.

Mereka berdua melangkah menuju kelas mereka. Di tengah perjalanan, sebuah motor sport merah melintas cepat di depan mereka. Penunggangnya, seorang pemuda tampan dengan rambut acak-acakan dan senyum menggetarkan hati, menghentikan motor tepat di depan kelas mereka.

Itu Farhan, anak rektor sekaligus playboy kampus. Aisyah hanya bisa diam dan memandangi Farhan yang turun dari motor dan berjalan masuk kelas, sedangkan Nisa terlihat takjub dan terpesona.

Tak sengaja Aisyah dan Farhan bertemu untuk pertama kalinya dalam satu kelas mata kuliah. Aisyah duduk di belakang, sementara Farhan di depan. Di tengah-tengah kelas, saat dosen sedang menjelaskan, Farhan melirik ke belakang dan menatap Aisyah, yang tengah asyik mencatat.

“Apa dia melihatku?” bisik Aisyah pada Nisa, yang duduk di sebelahnya.

Nisa menyeringai. “Mungkin dia penasaran denganmu, si gadis berhijab di kelas ini.”

Aisyah menggeleng, mencoba menepis dugaan sahabatnya. “Jangan bercanda, Nisa. Dia pasti hanya melihat jilbabku, bukan aku.”

Nisa menatap Aisyah dengan serius. “Mungkin itulah yang membuatmu berbeda, Syah. Itulah yang membuatmu menarik.”

Sementara itu, di depan kelas, Farhan terus mencuri pandang pada gadis berjilbab di belakang. Ia tidak bisa menyangkal, ada sesuatu tentang Aisyah yang membuatnya tertarik.

Setelah kelas selesai, Farhan menghampiri Aisyah dan Nisa. “Hai, bolehkah saya bergabung?” tanya Farhan dengan senyum ramahnya.

Nisa terkejut tapi segera membalas senyum Farhan, “Tentu saja, Farhan.”

Sedangkan Aisyah hanya menunduk, merasa malu dan gugup dengan kehadiran Farhan. Ini pertama kalinya pemuda populer itu berbicara dengannya.

“Kamu Aisyah, kan?” tanya Farhan, menatap Aisyah yang tengah memungut bukunya.

Aisyah menatap Farhan, terkejut bahwa dia tahu namanya. “Iya, saya Aisyah. Anda tahu dari mana?”

Farhan tersenyum, “Saya mendengar Nisa memanggilmu tadi. Saya Farhan.”

“Saya tahu,” jawab Aisyah, sambil tersenyum malu.

Farhan tertawa lembut mendengar jawaban Aisyah. “Itu bagus. Jadi kita tidak perlu berkenalan lagi, bukan?”

“Sepertinya begitu,” balas Aisyah, masih dengan senyum malu di wajahnya.

“Kamu selalu berhijab setiap hari, ya?” Farhan bertanya, mencoba memulai percakapan.

Aisyah mengangguk, “Iya. Itu bagian dari keyakinan dan identitas saya.”

“Aku menghargai itu,” ucap Farhan dengan serius, mengejutkan Aisyah dan Nisa.

Hari-hari berikutnya, Farhan terus mencoba mendekati Aisyah. Meski pada awalnya canggung dan kikuk, namun lambat laun Aisyah mulai merasa nyaman dengan kehadiran Farhan. Dia mulai melihat sisi lain dari Farhan, bukan hanya seorang playboy kampus, tetapi juga seorang pemuda yang cerdas dan penuh rasa ingin tahu.

Sementara itu, Nisa memperhatikan perubahan sikap Farhan. Ia merasa ada yang berbeda, ada yang lebih dari sekedar rasa ingin tahu. “Syah, aku rasa Farhan menyukaimu,” bisik Nisa suatu hari.

Aisyah terkejut, “Jangan mengarang, Nisa. Dia hanya teman.”

“Tapi lihatlah cara dia melihatmu, Syah. Itu bukan cara seorang teman melihat temannya,” Nisa berusaha meyakinkan Aisyah.

Aisyah menatap Nisa, terlihat bingung. "Maksudmu apa, Nis?"

Nisa menghela napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku maksud, dia melihatmu dengan cara yang berbeda, Syah. Lebih dalam, lebih intens. Itu bukan cara biasa seseorang melihat temannya."

Tiba-tiba, suara Farhan memecah lamunan mereka. "Hai, gadis-gadis. Apa yang sedang kalian bicarakan?"

Nisa memandang Aisyah sejenak sebelum membalas. "Oh, tidak apa-apa. Hanya obrolan ringan."

Farhan tersenyum, lalu menatap Aisyah, "Bagaimana kalau kita belajar bersama hari ini, Aisyah? Ada beberapa hal yang ingin saya diskusikan tentang materi kuliah kemarin."

Aisyah menatap Farhan, merasa terkejut namun juga senang. "Tentu, saya tidak keberatan."

“Baiklah, bagaimana kalau kita mulai dari bab dua?” Farhan mulai membuka bukunya, fokus pada halaman yang ingin dibahas.

Mereka mulai membahas materi bersama, dengan Aisyah yang sesekali memberikan penjelasan lebih mendalam kepada Farhan. Tidak disangka, Farhan ternyata seorang pendengar yang baik dan cepat paham.

“Terima kasih, Aisyah. Kamu sangat membantu,” ucap Farhan setelah sesi belajar mereka selesai.

“Sama-sama, Farhan. Saya juga belajar banyak dari kamu,” balas Aisyah, tersenyum.

Farhan menatap Aisyah, senyumannya membuat hatinya hangat. "Saya juga, Aisyah. Saya belajar banyak darimu."

Mereka berpisah setelah belajar bersama, namun rasa hangat itu masih terasa di hati Farhan. Dia memutuskan untuk berbicara dengan Rafi, sahabatnya, tentang perasaan barunya.

"Maksudmu, kamu menyukai Aisyah?" Rafi terkejut mendengar pengakuan Farhan. "Tapi dia berbeda, Far. Dia bukan tipe gadis yang biasa kamu dekati."

"Saya tahu, Rafi. Mungkin itulah yang membuat saya tertarik," jawab Farhan. "Ada sesuatu tentang dia yang membuat saya merasa nyaman. Saya merasa berbeda ketika bersamanya."

Di sisi lain, Aisyah juga merasa bingung dengan perasaan barunya. Dia memutuskan untuk berbicara dengan ibunya, wanita yang selalu menjadi tempat curah hatinya.

"Ibu, apa yang harus saya lakukan jika saya merasa berbeda terhadap seorang teman?" tanya Aisyah, ragu.

Ibunya menatapnya dengan lembut, "Perasaan seperti apa, Syah?"

Aisyah merasa jantungnya berdegup kencang, "Seperti... seperti saya senang ketika bersamanya, merasa nyaman dan damai. Tapi dia bukan teman biasa, Bu. Dia adalah Farhan, anak rektor dan playboy kampus."

Ibunya tersenyum, "Cinta bisa datang dari mana saja, Syah. Jika kamu merasa nyaman dan bahagia, mungkin itu adalah cinta. Tapi kamu harus berhati-hati, Syah. Jangan sampai kamu terluka."

Aisyah mengangguk, merenung atas kata-kata ibunya. "Tapi Bu, Farhan berbeda. Dia selalu berubah-ubah."

"Sudahkah kamu melihat perubahan itu, Syah?" tanya ibunya dengan lembut.

Aisyah terdiam. Memang, Farhan tampak berbeda saat bersamanya. Tapi apakah itu cukup untuk meyakinkan hatinya?

Sementara itu, Farhan berdiskusi dengan Rafi tentang niatannya. "Aku akan berubah, Rafi. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa menjadi lebih baik."

Rafi menatap Farhan dengan ragu. "Itu bukan hal yang mudah, Far. Apalagi untuk seorang Aisyah."

"Saya tahu," balas Farhan dengan mantap. "Tapi saya bersedia mencoba. Untuk Aisyah."

Hari-hari berikutnya diisi dengan Farhan yang berusaha menunjukkan perubahan. Dia mulai rajin belajar, menghindari pergaulan yang tidak baik, dan bahkan mulai rajin ke masjid. Perubahan Farhan membuat banyak orang kagum, termasuk Aisyah.

"Sudahkah kamu melihat perubahan itu, Syah?" kata Nisa suatu hari, menirukan kata-kata ibu Aisyah.

Aisyah tersenyum, "Iya, Nisa. Aku melihatnya."

"Tapi apa itu cukup untuk meyakinkan hatimu?" tanya Nisa lagi, kali ini dengan serius.

Aisyah terdiam, menatap Farhan yang tengah serius membaca buku di kejauhan. "Aku tidak tahu, Nisa. Tapi mungkin, aku bisa memberinya kesempatan."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!