Sebulan berlalu sejak pengakuan Farhan, dan Aisyah masih belum memberikan jawabannya. Dia merasa bingung dan takut, takut akan merusak hubungan mereka yang sudah ada. Dia berbicara dengan Nisa tentang ini, mencoba mencari nasihat dan bimbingan.
"Nisa, aku takut," ungkap Aisyah suatu hari, "Takut bahwa jika aku menerima perasaan Farhan, semuanya akan berubah."
Nisa mengangguk, "Aku mengerti, Syah. Tapi perubahan tidak selalu buruk. Mungkin ini adalah perubahan yang baik untukmu dan Farhan."
Aisyah menghela nafas, "Mungkin kamu benar, Nis. Tapi aku masih perlu waktu untuk memikirkan semua ini."
Sementara itu, Farhan merasa semakin gelisah. Dia tahu dia harus memberikan waktu kepada Aisyah, tapi dia tidak bisa menahan rasa penasarannya. Dia berbicara dengan Rafi tentang ini, mencari dukungan dan saran.
"Farhan, kamu sudah melakukan yang terbaik," ujar Rafi, menepuk bahu Farhan, "Sekarang, yang bisa kamu lakukan adalah menunggu dan berdoa."
Farhan mengangguk, merasa sedikit lebih baik, "Kamu benar, Rafi. Aku harus sabar."
"Hanya saja," Farhan melanjutkan, matanya menatap ke luar jendela, "rasanya seperti menunggu di tepi jurang. Tidak tahu apa yang akan terjadi, apakah aku akan jatuh atau terbang."
Rafi menatap Farhan, melihat keseriusan di wajah sahabatnya itu. "Kamu sangat mencintainya, bukan?"
Farhan tersenyum pahit, "Ya, lebih dari yang pernah aku bayangkan."
Dalam diam, mereka berdua duduk, merenungkan apa yang baru saja dibicarakan. Mereka tahu bahwa situasi ini sulit, tetapi mereka juga tahu bahwa cinta tidak pernah mudah.
Sementara itu, Aisyah berada di kamarnya, menatap foto mereka berdua yang ada di meja belajarnya. Dia teringat momen-momen yang telah mereka lalui bersama, tawa dan tangis, suka dan duka. Dia teringat bagaimana Farhan selalu ada untuknya, bagaimana dia selalu mendukungnya.
"Apa aku juga mencintainya?" bisik Aisyah pada dirinya sendiri, hatinya berdebar-debar.
Pertanyaan itu menggantung di udara, mengisi ruangan dengan rasa penasaran dan ketidakpastian. Aisyah tahu bahwa dia harus membuat keputusan, tetapi dia juga tahu bahwa dia perlu waktu.
Hari berlalu, dan ketegangan antara Farhan dan Aisyah semakin terasa. Mereka berusaha bertingkah normal, tetapi mereka tahu bahwa ada sesuatu yang berbeda.
Pada suatu hari, Farhan memutuskan untuk berbicara dengan Aisyah lagi. Dia merasa bahwa dia tidak bisa menunggu lebih lama, bahwa dia perlu tahu jawabannya.
"Aisyah," kata Farhan, matanya menatap Aisyah dengan serius, "Apakah kamu sudah memikirkannya?"
Aisyah menatap Farhan, hatinya berdebar-debar. Dia tahu bahwa ini adalah saat yang dia tunggu-tunggu, bahwa ini adalah saat dia harus membuat keputusan. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk.
"Ya, Farhan," jawab Aisyah, "Aku sudah memikirkannya." Dia menatap Farhan, matanya penuh dengan keberanian dan tekad, "Dan aku ingin memberi tahu jawabanku."
Farhan menelan ludah, merasakan jantungnya berdetak kencang di dada. Dia menatap Aisyah dengan penuh perhatian, menunggu jawabannya.
Aisyah mengambil napas dalam, mencari kata-kata yang tepat untuk menyampaikan perasaannya. "Farhan," katanya akhirnya, "Aku... Aku menerima perasaanmu."
Farhan merasa seolah dunia berhenti berputar untuk sesaat. Dia menatap Aisyah, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Aisyah..." Dia menggenggam tangan Aisyah, matanya berbinar. "Aku... Aku tidak tahu harus berkata apa..."
Aisyah tersenyum, merasakan hatinya berdebar-debar. "Kamu tidak perlu berkata apa-apa, Farhan," katanya, menatap Farhan dengan penuh kasih. "Aku tahu perasaanmu, dan itu sudah cukup."
Farhan tersenyum balik, rasa syukur dan bahagia meluap dalam dirinya. Dia menggenggam tangan Aisyah lebih erat, merasakan kehangatan dan kelembutan yang selalu dia cari.
"Terima kasih, Aisyah," kata Farhan, matanya tidak bisa melepaskan tatapan pada Aisyah. "Terima kasih karena mau berada di sisiku, karena mau memahamiku."
Aisyah mengangguk, "Tidak ada yang perlu kamu syukuri, Farhan. Ini adalah keputusanku, dan aku merasa senang dengan keputusan ini."
Mereka berdua duduk dalam hening, menikmati kehadiran satu sama lain. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, tapi setidaknya mereka yakin bahwa mereka berada di jalan yang benar.
Hari-hari berikutnya menjadi lebih cerah bagi Farhan dan Aisyah. Mereka menjalani hari-hari mereka dengan semangat baru, dengan cinta yang baru. Mereka mulai memahami arti dari menjadi pasangan, dari saling berbagi dan saling mendukung.
Namun, tak semua orang di kampus menerima hubungan mereka dengan baik. Beberapa teman mereka merasa kaget dan bahkan ada yang cemburu. Mereka harus berhadapan dengan gosip dan komentar negatif. Namun, mereka berdua memilih untuk mengabaikannya, untuk fokus pada cinta mereka.
"Apa pendapatmu tentang semua ini, Aisyah?" tanya Farhan suatu hari, setelah mendengar gosip tentang mereka.
Aisyah menghela nafas, "Aku tidak peduli, Farhan. Yang penting bagiku adalah apa yang kita rasakan, bukan apa yang orang lain pikirkan."
Farhan meraih tangan Aisyah, merasakan kehangatan dan kekuatan di dalamnya. "Aku senang mendengar itu, Aisyah. Kita tidak boleh membiarkan orang lain mengendalikan hidup kita."
Aisyah tersenyum pada Farhan, mengangguk setuju. "Tentu, Farhan. Kita harus menjalani hidup kita sendiri, tidak peduli apa yang orang lain katakan."
Dalam beberapa hari berikutnya, mereka menghadapi berbagai tantangan. Ada teman yang merasa kecewa, ada yang merasa cemburu, dan ada pula yang mencoba memecah belah mereka. Namun, mereka berdua tetap teguh dan kuat, tidak membiarkan hal-hal negatif itu mempengaruhi hubungan mereka.
Pada suatu sore, setelah selesai belajar bersama, Farhan memandang Aisyah dengan serius. "Aisyah, aku tahu kita telah memutuskan untuk tidak membiarkan apa yang orang lain pikirkan mempengaruhi kita. Tapi aku merasa perlu menanyakan ini padamu. Apakah kamu baik-baik saja? Apakah semua ini membebani kamu?"
Aisyah menatap Farhan, merasa terharu dengan perhatiannya. "Aku baik-baik saja, Farhan," jawabnya, memberikan senyuman yang meyakinkan. "Memang kadang aku merasa sedih mendengar apa yang mereka katakan, tapi aku tahu itu bukan hal yang paling penting. Yang paling penting adalah bagaimana kita merasakan satu sama lain, dan aku merasa bahagia bersamamu."
Farhan menghela nafas lega, merasa bersyukur mendengar jawaban Aisyah. "Terima kasih, Aisyah. Aku merasa sama. Selama kita bersama, aku yakin kita bisa melewati apapun."
Melihat senyum lega di wajah Farhan, Aisyah merasakan kehangatan yang menyelimuti hatinya. "Kita kuat, Farhan," kata Aisyah, menatap mata Farhan yang penuh kepercayaan, "Kita bisa melalui ini bersama-sama."
Dalam diam, mereka berdua memandangi matahari terbenam yang merona jingga. Itu adalah hari yang penuh tantangan, tetapi juga hari yang penuh cinta dan pengertian.
Beberapa hari berlalu dan hubungan mereka semakin kuat. Mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama, belajar bersama, berbagi cerita, dan saling mendukung satu sama lain. Meskipun mereka harus menghadapi berbagai rintangan, mereka tetap berdiri teguh, menunjukkan kepada dunia bahwa cinta mereka lebih kuat dari apapun.
Suatu hari, saat mereka sedang duduk di taman kampus, Aisyah menoleh ke Farhan. "Farhan, apa kita harus memberi tahu orang tua kita?"
Farhan terkejut sejenak, kemudian mengangguk pelan. "Ya, aku rasa kita harus. Mereka berhak tahu, dan aku yakin mereka akan mendukung kita."
Aisyah merasa sedikit gugup, tetapi dia tahu Farhan benar. "Baiklah, kita akan melakukannya bersama, ya?"
Farhan tersenyum, meremas tangan Aisyah dengan lembut. "Tentu, Aisyah. Kita akan melakukannya bersama. Seperti yang kita lakukan dengan semua hal lainnya."
"Terima kasih, Farhan," ujar Aisyah dengan suara lembut. Ada rasa takut dan gugup di dalam dirinya, tetapi ada juga rasa percaya diri dan keberanian yang berasal dari dukungan Farhan.
Pada hari yang telah mereka tentukan, Farhan dan Aisyah memutuskan untuk memberitahu orang tua mereka. Mereka memulai dengan orang tua Aisyah, merasa lebih mudah untuk berbicara dengan mereka terlebih dahulu. Mereka duduk di ruang tamu rumah Aisyah, merasa canggung dan tegang, tetapi siap untuk menghadapi apa yang akan terjadi.
Aisyah memulai pembicaraan, "Ibu, Bapak, kami ingin berbicara tentang sesuatu yang penting."
Orang tua Aisyah saling pandang, lalu memandang Aisyah dan Farhan. "Tentu, Aisyah," kata Ibu Aisyah, "Apa yang ingin kalian bicarakan?"
Aisyah menarik napas dalam-dalam, meraih tangan Farhan untuk mencari dukungan. "Ibu, Bapak, kami... kami berdua sudah menjalin hubungan. Kami saling mencintai dan kami ingin menjalani hubungan ini dengan serius."
Orang tua Aisyah terdiam, menatap Farhan dan Aisyah dengan ekspresi yang tidak bisa mereka baca. Namun, setelah beberapa saat yang tegang, Bapak Aisyah memecahkan keheningan. "Apakah ini keputusanmu, Aisyah?" tanyanya, suaranya lembut tetapi serius.
Aisyah mengangguk, "Ya, Bapak. Ini keputusanku."
"Dan kamu, Farhan?" tanya Ibu Aisyah, memandang Farhan dengan tajam.
Farhan merasakan detak jantungnya berpacu, tetapi dia menjawab dengan percaya diri, "Ya, Bu. Saya mencintai Aisyah dan saya ingin menjaga dan mendukungnya."
Mereka berdua menunggu respons dari orang tua Aisyah, berharap bahwa mereka akan mendapatkan pengertian dan dukungan. Meski penuh tekanan, mereka tahu bahwa langkah ini sangat penting bagi masa depan hubungan mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments