Rani hari ini bangun dengan perasaan yang tak menentu, ia ingin bersemangat kembali
seperti tak ada yang terjadi namun pikirannya selalu saja kembali pada kejadian
malam itu.
Akhirnya dengan memaksakan diri Rani bangkit dari tempat tidur, hari ini ia harus masuk
kerja di tempat Mbak Lula tentunya, karena semua pekerjaan bersih-bersihnya
telah ia lepas.
Selain waktunya yang terkuras habis bekerja di online
shop, Rani pun ingin fokus membantu Lula.
Tak ada pesan dari Rafi sejak kemaren, entahlah mungkin saja pria itu ingin memberikan
waktu untuk Rani menenangkan dirinya. Rani pun teringat bagaimana sikapnya pada
Rafi kemaren, menurutnya ia harus minta maaf karena sudah dengan seenaknya
melampiaskan kemarahannya pada pria itu.
Rani merapikan tempat tidurnya, tiba-tiba terpikirkan olehnya bagaimana kalau
dirinya hamil? Apakah Tama akan bertanggung jawab? Dan lagi-lagi Rani khawatir
pastilah ia akan dianggap perempuan nggak bener oleh semua orang, ia kemudian
menggeleng-gelengkan kepalanya berharap semua pikiran itu terhempas jauh.
Tenang Rani, tenang. Toh ini baru pertama
kali belum tentu akan jadi juga, batinnya
kemudian.
Jam menunjukkan pukul 07.15 ia segera bergegas untuk bersiap agar tidak kesiangan
sampai tempat kerja, terlebih ada banyak pesanan yang telah menanti.
Mengumpulkan seluruh tenaga yang ia miliki Rani bertekad serta meyakinkan dirinya bahwa ia
bukan wanita yang lemah, ada banyak cobaan yang telah Rani lalui hingga saat ini
semua pasti akan berlalu. Ia percaya bahwa Tuhan memberikan cobaan sesuai
dengan kemampuan hambanya, Rani yakin ia dapat melaluinya.
Rani tak napsu makan sejak kemaren sehingga dia melewatkan lagi sarapannya dan akan
langsung berangkat, ia tak lupa mengunci pintunya.
Sebelum benar-benar meninggalkan kostsan Yori
seseorang yang menempati kamar tepat di sampingnya baru tiba dengan membawa
kresek bening yang dapat Rani tebak bubur ayam, “Pagi, Yori,” sapanya ramah
seraya mengambil sepatu yang ia gantung di rak.
Yori berhenti memperhatikan gerakan Rani, “Udah mau berangkat aja jam segini, mau
sarapan nggak?” tanyanya seraya mengangkat kresek bening yang ia bawa.
Rani duduk di kursi panjang tepat depan kamar mereka, kini sibuk dengan tali sepatunya
menoleh ke arah gadis dengan potongan segi itu, “Ye, itu aja kamu beli cuman
satu nawarin segala,” candanya.
Yori yang kini mencari-cari kunci kamarnya tertawa mendnegar jawaban Rani kemudian ia teringat
sesuatu, “Eh, Ran semalem ada cowok yang nyariin kamu,” tak jadi masuk kamarnya
Yori kini memilih duduk di sebelah Rani.
Kali ini Rani mengenakan sepatu kakinya yang sebelah, “Rafi?” Tanyanya karena tetanggan
Rani semuanya telah hapal betul dengan kekasihnya itu.
Yori menggeleng, “Bukan, gue juga nggak tahu siapa baru lihat. Pacar baru lo ya?”
tanyanya sedikit menggoda Rani.
“Enggak. Pacar aku masih Rafi kok,” jelas Rani meyakinkan tetangganya itu.
“Semalem gue denger kali lo nangis, makanya gue kira lagi putus cinta lo,” ucap Yori
enteng sambil memainkan kuncinya.
Rani membelalakkan matanya, “Kamu denger aku nangis?”
Yori kali ini tak menjawab ia hanya mengangkat pundaknya tanda tak acuh.
Rani mengingat bagaimana dirinya menangis sejadi-jadinya tadi malam, tentunya hal
itu yang Yori maksud akhirnya Rani dengan segera bangkit segera meninggalkan
tempat itu karena merasa malu.
“Aku berangkat dulu ya, takut kesiangan,” Rani ngacir begitu saja meninggalkan Yori,
bukan apa-apa ia masih tak siap dengan berbagai pertanyaan yang mungkin akan
Yori lontarkan nantinya.
Rani jadi penasaran siapa lelaki yang mungkin mencarinya semalam, seingatnya hanya Rafi
yang tahu alamat kost Rani.
Ia kemudian teringat Tama, namun detik selanjutnya ia menggelengkan kepalanya, nggak mungkin.
Rani secara tak sadar mencengkramm tali tas selempangnya, Rani tak dapat menahan
ketakutannya lagi-lagi memori malam itu terputar jelas di otaknya.
Hanya butuh waktu sekitar 20 menit untuk tiba di tempat kerjanya naik angkot,
terlebih hari ini jalanan tak begitu macet seperti biasanya.
Ternyata ia bukan orang pertama yang tiba, ada dua orang lainnya yaitu Diandra serta satunya
Rani masih belum mengenalnya.
“Pagi, Mbak!” sapa Diandra bersemangat, usia gadis dengan kulit sawo mateng itu memang
lebih muda 2 tahun dari Rani.
Rani meletakkan tasnya di atas meja kerjanya, “Pagi, juga. Semangat banget kayanya
hari ini?”
Diandra meraih sapu untuk membersihkan ruang kerja sebelum semua orang tiba, “Iya dong,
harus semangat. Oh iya, Mbak Rani, ini kenalin temen aku baru masuk hari ini,”
kata Diandra menunjuk temannya yang sedari tadi sudah duduk dengan manis.
“Halo,” sapa Rani dengan ramah, “Mbak Lulu udah tahu?” Tanyanya kemudian.
“Udah, karena kita masih kurang orang buat packing makanya Mbak Lulu minta tolong aku cari temen, buat bantu-batu,”
Rani mengangguk-ngganguk paham, ia mulai mengambil serbet di belakang untuk
membersihkan debu yang menempel pada perabotan kantor mereka. Hal tersebut
memang telah rutin mereka lakukan, karena tidak ada cleaning service secara bergantian para anggota diminta dengan suka rela membersihkan kantor bersama.
Tak ada yang protes karena memang mereka tak hanya rekan kerja namun sudah seperti
keluarga sendiri, percaya satu sama lain dan saling membantu yang tengah
kesulitan. Alasan ini juga yang membuat Rani betah bekerja dengan Lulu, cara
kepemimpinan Lulu yang membuat semuanya terasa kekeluargaan.
“Mbak tahu nggak?” entah sejak kapan Diandra saat telah berada tepat di samping Rani,
kini menyiapkan perlengkapan yang akan dibutuhkan nantinya saat mulai bekerja.
“Apaan?” jawabnya singkat menyembunyikan keterkejutannya.
“Tetanggaku punya anak SMA, kemaren pulang-pulang bilang kalau dia hamil sama
pacarnya,” cerita Diandra menggebu-gebu.
Entah bagaimana Rani tersedak dengan ludahnya sendiri, ia benar-benar tak menyangka
Diandra akan menceritakan hal itu padanya, terlebih apa yang telah Rani alami
ia terkejut bukan main.
“Terus Mbak, ayahnya malah nyuruh dia gugurin kandungannya karena masih sekolah,”
Diandra bersemangat melanjutkan ceritanya, masih tak menyadari muka Rani yang
kini pucat.
“Em, emangnya kalau berhubungan langsung bisa jadi gitu Di?” tanya Rani yang mulai
gugup, tanpa diketahui Diandra, Rani menyentuh perutnya.
“Enggak juga sih, Mbak. Soalnya Kakak aku udah nikah tiga tahun masih belum punya anak,”
jelasnya, “Tapi ya ada juga yang begituan baru sekali eh, langsung jadi,”
sambungnya lagi.
Kaki Rani dingin mendengar kalimat terakhir Diandra, jangan sampai hal itu terjadi padanya bagaimana reaksi kedua orang tua Rani nantinya bisa-bisa ia dicoret dari KK (Kartu Keluarga).
“Tapi Mbak, kenapa ya kalau yang kecelakaan gitu malah kebanyakan langsung jadi?”
Diandra benar-benar ingin membuat Rani jantungan, setiap pertanyaannya bagaikan
petir yang menyambar di siang hari.
“Mungkin biar nggak keterusan,” jawab Rani seadanya, ia sangat berharap Diandra
menyudahi pembahasan ini.
“Bener juga ya, Mbak. Kalau nggak jadi pasti anak-anak yang nakal itu bikin lagi-bikin
lagi,” Diandra mengangguk-ngangguk menyetujui, “Tapi Mbak pernah nggak?”
Rasanya pagi ini Rani sudah dihantam berkali-kali ketembok, semua kalimat yang
dikatakan Diandra adalah tentang dirinya dan ketakutannya meskipun Diandra tak
menyadarinya.
Walaupun masih pagi, Rani rasanya sudah berlari maraton 100 kali putaran hari ini.
Sekujur tubuhnya berkeringat dingin, bahkan saat ini di pelipisnya telah mengalir
keringat yang membuat Diandra dengan entengnya berkata,
“Mbak tadi habis lari, ya? kok keringatan gitu?”
Kalau bukan karena Mbak Lulu yang baru tiba menyapa mereka mungkin Diandra akan Rani
jambak saat itu juga.
[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Itu pasti TAMA,Tapi dari mana Tama tau kosan nya Rani??
2024-09-22
0
Qaisaa Nazarudin
Kenapa setelah pulang gak langsung ke apotik beli pil KB nya langsung minum,..
2024-09-22
0
Coralfanartkpopoaf
Mantap banget thor, plotnya bikin gak bisa berhenti baca!
2023-07-24
1