...💠💠💠💠💠💠💠💠💠💠💠💠💠💠💠...
...Sekarang banyak dari kita menyadari...
...bahwa satu-satunya kunci...
...untuk menghadapi betapa sulitnya hidup...
...adalah menerima cinta berlimpah...
...dari orang tua....
...Tanpa cinta yang berlimpah yang diberikan oleh ayahku, aku mungkin tidak akan menjadi pribadi yang sebahagia ini....
...💠💠💠💠💠💠💠💠💠💠💠💠💠💠💠...
Di dalam brankasnya, terdapat sebuah amplop kraft cokelat yang menggelembung berisi arsip tentang kematian Maudy. Ia membuatnya untuk dirinya sendiri beberapa bulan setelah pemakaman. Garin sengaja menyimpannya agar tidak melupakan apa yang terjadi, sebagai pengingat tentang pekerjaan yang masih harus dia selesaikan. Tapi ada juga rasa bersalah yang ia simpan dalam amplop tersebut, sebagai pengingat akan kegagalannya.
Beberapa menit kemudian, setelah mematikan rokok di asbak yang terdapat di meja teras Garin memasuki rumah, dia menuangkan secangkir kopi yang sangat dia butuhkan dan menuju ke ruang tengah. Raka masih tidur ketika dia membuka pintu dan mengintip ke dalam kamar. Bagus, dia masih punya waktu beberapa menit. Garin bergegas ke kamar mandi.
Setelah memutar keran, pancuran mengerang dan mendesis sejenak sebelum air akhirnya mengalir deras. Dia mandi, bercukur, dan menggosok giginya. Kemudian ia menyisir rambut, memperhatikan lagi bahwa rambutnya tampak sedikit lebih panjang daripada sebelumnya, mungkin sudah waktunya mengunjungi 'Barbershop Ah Segar' yang dikelola bang Sakti, tukang cukur langganan di seberang kantornya.
Dia buru-buru mengenakan seragam camatnya, lalu mengambil jam tangan dari kotak di atas meja rias dan mengenakannya. Dari lorong, dia mendengar suara gemerisik dari kamar Raka.
Garin berjalan tergesa. Raka mendongak dengan mata sembab begitu Garin masuk untuk memeriksanya. Dia masih duduk di tempat tidur, rambutnya acak-acakan dan garis liur mengering di sisi pipinya. Raka baru saja bangun dari tidurnya beberapa menit yang lalu.
Garin tersenyum. "Selamat pagi, juara."
Raka mendongak dari tempat tidurnya, seolah-olah dalam gerakan lambat. "Hai, Ayah."
"Udah siap untuk sarapan?"
Dia merentangkan tangannya ke samping, mengerang sedikit. "Ayah, aku boleh minta pancake?"
"Gimana kalau wafel aja? Kita agak terlambat."
Raka membungkuk dan meraih celananya. Garin telah menyiapkan pakaian malam sebelumnya. "Ayah selalu ngomong kaya gitu setiap pagi."
Garin mengangkat bahunya. "Kamu terlambat setiap pagi."
"Kalau gitu bangunin aku lebih cepat dong, Yah."
"Ayah punya ide yang lebih baik - Gimana kalau kamu langsung tidur ketika ayah menyuruhmu tidur?"
"Ayah selalu nyuruh aku tidur kecepatan, aku kan ngga lelah. Aku hanya lelah di pagi hari."
"Anak kecil lelah apa....," Gumam Garin.
"Hah?"
"Ngga apa-apa," jawab Garin. Dia menunjuk ke kamar mandi. "Jangan lupa nyisir rambutmu setelah berpakaian."
"Aku ngga mau," kata Raka.
Sebagian besar pagi berlangsung dengan rutinitas yang sama. Garin memasukkan beberapa wafel ke dalam pemanggang roti dan menuangkan secangkir kopi lagi untuk dirinya sendiri.
Ketika Raka sudah berpakaian dan tiba di dapur, wafel sudah menunggu di piringnya, disertai dengan segelas susu di sampingnya. Garin sudah melapisi wafel dengan mentega, tapi Raka suka menambahkan sirup sendiri.
Garin memulai percakapan mereka, dan selama beberapa menit, tak satu pun dari mereka mengatakan apa pun. Raka masih tampak seperti berada di dunianya sendiri, dan meskipun Garin perlu berbicara dengannya, tapi ia ingin setidaknya terlihat lebih koheren.
Setelah beberapa menit hening, Garin akhirnya berdeham. "Jadi, gimana sekolahmu?" tanyanya.
Raka mengangkat bahu. "Baik-baik aja kayanya."
Pertanyaan ini juga merupakan bagian dari rutinitas. Garin selalu bertanya tentang sekolahnya, Raka selalu menjawab tidak apa-apa. Tapi tadi pagi, saat menyiapkan ransel Raka, Garin menemukan catatan dari guru Raka, meminta pertemuan. Sesuatu dalam kata-kata surat itu membuatnya merasa itu sedikit lebih serius daripada konferensi orang tua-guru biasa.
"Kamu baik-baik aja kan di kelas?"
Raka mengangkat bahu. "Uh huh."
"Apakah kamu menyukai gurumu?"
Raka mengangguk sambil mengunyah. "Uh-huh," jawabnya lagi.
Garin menunggu untuk melihat apakah Raka akan menambahkan sesuatu lagi, tetapi dia tidak melakukannya. Garin mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat.
"Lalu kenapa Raka ngga ngasih tau ayah tentang catatan yang dikirim guru ke rumah?"
"Catatan apa?" dia bertanya dengan polos.
"Catatan di ransel Raka - yang guru Raka ingin ayah baca."
Raka mengangkat bahu lagi, bahunya naik turun seperti wafel di pemanggang roti. "Kayanya aku lupa deh."
"Gimana bisa kamu ngelupain sesuatu yang penting seperti itu?"
"Aku ngga tahu, Yah."
"Apakah Raka tahu kenapa bu guru ingin ketemu ayah?"
"Ng–ngga..." Raka ragu-ragu, dan Garin langsung tahu bahwa dia tidak mengatakan yang sebenarnya.
"Nak, apa kamu ada masalah di sekolah?"
Mendengar ini, Raka berkedip dan mendongak. Ayahnya tidak memanggilnya "nak" kecuali dia melakukan kesalahan. "Ngga, Ayah. Aku ngga pernah bertingkah. Aku kan udah berjanji."
"Lalu apa masalahnya?"
"Aku ngga tau."
"Coba pikirin lagi tentang itu."
Raka menggeliat di kursinya, tahu dia sudah mencapai batas kesabaran ayahnya. "Yah, kayanya aku mungkin mengalami sedikit kesulitan dengan beberapa tugas."
"Kamu bilang tadi sekolahnya baik-baik aja."
"Sekolah baik-baik aja. Bu Saras juga baik banget, dan aku suka di sana." Dia berhenti sejenak. "Tapi kadang - terkadang aku ngga ngerti semua yang dibahas di kelas."
"Makanya kamu sekolah. Supaya kamu bisa belajar."
"Aku tahu," jawabnya, "tapi dia ngga seperti bu Ann guru Raka tahun lalu. Tugas-tugas yang bu Saras berikan lebih sulit. Aku hanya ngga bisa ngerjainnya."
Raka tampak ketakutan dan malu pada saat yang bersamaan. Garin mengulurkan tangan dan meletakkan telapak tangannya dengan lembut di bahu putranya.
"Kenapa kamu ngga ngasih tau ayah kalau kamu sedang mengalami masalah?"
Butuh waktu lama bagi Raka untuk menjawab.
"Karena," katanya akhirnya, "aku ngga ingin ayah marahin aku."
Setelah sarapan, setelah memastikan Raka sudah siap berangkat, Garin membantunya membawa ranselnya dan mengantarnya ke pintu depan. Raka tidak banyak bicara sejak sarapan. Sambil berjongkok, Garin mencium pipinya. "Jangan khawatir tentang sore ini. Semuanya akan baik-baik aja, oke?"
"Oke," gumam Raka.
"Terus jangan lupa juga kalau nanti siang ayah akan menjemputmu, jadi jangan naik bus ya.."
"Oke," katanya lagi.
"Ayah mencintaimu, jagoan."
"Aku juga mencintaimu, Ayah."
Garin memperhatikan saat putranya menuju halten khusus bus sekolah di ujung blok. Maudy, dia tahu, tidak akan terkejut dengan apa yang terjadi pagi ini, tidak seperti Garin. Maudy pasti sudah tahu bahwa Raka mengalami masalah di sekolah. Maudy telah mengurus hal-hal seperti ini. Maudy selalu mengatasi semuanya.
Garin kembali ke dalam rumah, menyambar cangkir kopinya yang hampir habis. Sembari mengumpulkan semua perlengkapan untuk ia bawa ke kantor. Meletakkan cangkir, mengambil kunci mobil, lalu mengunci pintu rumah sebelum menuju mobilnya yang terparkir di carport. Bersyukur rumahnya telah dilengkapi gerbang otomatis, jenis pagar yang dapat dibuka dan ditutup secara otomatis tanpa perlu intervensi manusia secara langsung. Itu adalah salah satu kemudahan hidup yang terpikirkan oleh Maudy untuk mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
🖤 Yay
ah sedih😭
2024-02-21
1
🌸🦉•Martabak Manis•🦉🌸
pake eskrim tobeli enak ituu😲
2023-11-26
1
🌸🦉•Martabak Manis•🦉🌸
nio mau wafel jugaa/Determined//Determined/
2023-11-26
1