Pulang bersama?

Kaki wanita itu tidak bisa diam. Bia mundar-mandir di dapur, sesekali melihat jam tangan yang melekat di tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan ini waktunya untuk pulang. Bia gelisah karena ia harus pulang bersama Kakak dari laki-laki yang ia cintai sekaligus orang yang melamarnya kemarin.

Bia mengintip, laki-laki itu masih setia di sana sembari memainkan ponselnya. Bia mengigit bibir bawahnya, bertanya-tanya apa yang akan di katakan oleh laki-laki itu nanti. Apa dia akan mengajaknya menikah?

Kalau benar matilah dia.

Bia terkejut saat seseorang menepuk pundaknya, sontak wanita itu menoleh. "Astaghfirullah, Nana."

Nana malah tertawa nyaring sedangkan Bisma yang ada di belakangnya menggelengkan kepalanya.

"Na, buruan simpan," suruh Bisma. Nana mendengus kesal.

"Iya, iya, Bang." Dengan langkah berat Nana membawa beberapa barang yang di beli ke atas meja. "Bantuin Mbak."

Dengan cepat Bia mengambil beberapa kantung plastik yang ada di tangan Nana. Menyimpannya di atas meja dengan beberapa barang yang tadi di beli. "Udah beli semua?"

Nana mengangguk. "Udah, Mbak."

"Yuk pulang Mbak." Nana mengajak Bia pulang. Bia malah terdiam, "Mbak."

"Mbak Bia sakit? Kok melamun dari tadi?" tanya Nana sembari menatap wajah Bia yang begitu gelisah. "Eh, engga kok Na. Bang Bisma mana?"

Nana menunjukkan Bisma yang sedang merapihkan beberapa barang. "Ayo, pulang. Yang nutup cafe ada Mas Bisma."

Bia kembali mengintip, ternyata laki-laki itu sudah tidak ada di sana. Apa mungkin laki-laki itu pergi? Bia menghela napas lega, bebannya seperti di angkat dari pundaknya.

Lega sekali.

Bia membuka apron yang sedang ia kenakan, menyimpannya ke tempatnya. Nana berjalan menghampirinya dengan tas miliknya. "Nih, Mbak tasnya."

Bia mengangguk, sebelum pulang ia mencuci tangan. Merapihkan baju yang ia pakai, Nana menarik tangannya. "Mas kita pulang duluan, ya."

Bisma yang sedang menutup cafe langsung menoleh. "Eh, jangan pulang dulu."

"Kenapa sih, Mas. Kan sudah selesai?" tanya Nana sembari merajuk kepada Bisma.

"Tunggu, solidaritas." Bia tertawa, laki-laki itu memang penakut. Beberapa kali Bisma memintanya menunggunya lalu ia juga yang di tinggalkan. Apa itu namanya solidaritas? Tentu saja bukan.

"Mas takut, ya." Nana tertawa sembari mengejek Bisma. Laki-laki itu mendengus kesal, ia memberi tatapan tajam pada wanita itu. "Diam, Na."

Nana tidak pernah takut pada Bisma. Wanita galak itu hanya takut pada Bia, sekali ia di tatap tajam nyalinya sudah menciut. "Udah diam, udah malam nih."

Bisma dengan cepat menutup cafe, membawa barang miliknya lalu menguncinya. "Beres, Bang?"

Bisma mengangguk, mereka bertiga berjalan menuju tempat parkir motor. Bia melambaikan tangannya saat Nana dan Bisma meninggalkan cafe  dengan motor masing-masing. Tinggal ia seorang diri di sini, saat ingin melajukan motornya seseorang datang dan mengejutkan Bia.

"Pulang bersama, Bi." Bia begitu merinding saat mendengar ucapan yang di ucapkan oleh laki-laki itu. Suaranya begitu berat jika di dengar di malam hari yang sepi ini.

"Bia bawa motor, Mas." Bia menolaknya.

"Mas yang bawa." Bia mengerutkan keningnya, apa katanya dia yang bawa. Bukannya laki-laki itu selalu menggunakan mobil karena ia tadi lihat ada mobil hitam yang terparkir di depan cafe tapi sekarang tidak ada.

"Hah, Mas bilang apa?" tanya Bia untuk memastikan, ia takut salah dengar.  "Biar saya yang bawa motor." Kata tersebut di ulangi Bima dengan lebih keras.

"Bukannya Mas bawa mobil?" Bia melihat sekeliling tidak ada mobil yang terparkir. "Di pake   temen, jadi saya pulang sama kamu."

"Lah kok gitu sih, Mas?"

Bima mengerutkan keningnya. "Bukannya kamu mengiyakan ajakan saya?"

Bia mengigit bibir bawahnya, itu memang salahnya mengiyakan semuanya. "Iya, kan?"

"Iya."

"Jangan di gigit."

"Eh." Bia langsung tidak mengigit bibirnya lagi, wanita itu malah menggaruk kepalanya yang di tutupi kerudung hitam.

"Ayo, Mas yang bawa."

"Hm."

Di perjalanan mereka hanya terdiam, Bia tidak ingin bertanya apapun kepada laki-laki itu. Tapi pikirannya terus berputar dengan apa yang akan laki-laki itu katakan. Apa yang akan dia katakan?

"Bi."

"Ya, Mas." Bia menjawab dengan keras, takut laki-laki itu tidak mendengarnya. Bima tersenyum saat melihat mulut wanita yang ada di belakangnya komat-kamit seolah berbicara tapi tidak ada suara.

"Jangan menghindar dari saya." Bia sontak terdiam. "Hah, apa Mas."

"Jangan menghindar dari saya." Kalimat itu di ulang sedikit keras. "Siapa yang menghindar," dusta Bia, nyatanya memang ia menghindar beberapa meter dari laki-laki itu.

Dan mengapa laki-laki itu tau tempatnya berkerja. Apa Arga yang memberi tahunya? Tidak-tidak, Arga bukan orang yang seperti itu.

"Kamu."

"Bukannya kamu sudah setuju kalau kita saling mengenal. Apa kamu lupa dengan kata yang beberapa hari kamu lontarkan saat saya melamar kamu?" Bia terdiam, laki-laki ini begitu menyebalkan tidak seperti Arga. Bima terlalu banyak bertanya.

"Bia ingat kok Mas."

Bima menghela napas lega. "Syukurlah kamu tidak lupa, kedepannya saya akan selalu di samping kamu."

"Apa Mas?"

"Syukurlah kamu tidak lupa." Kalimat yang tadi ia ucapkan sengaja Bima hilangkan, ia takut wanita itu risih dengan perkataannya. Lebih baik dia melihat sendiri saja nanti.

Bia mengangguk. "Oh, iya Mas."

Bima menghentikan motornya di depan rumah Bia, setelah turun matanya tidak sengaja bertemu dengan Arga yang sedang duduk dengan Anita di luar. Mereka berpegangan tangan begitu mesra, Arga tertawa sangat manis jika bersama wanita yang di cintainya.

Hatinya sedikit sesak, ada rasa kecewa yang begitu besar di hatinya sekarang. "Kenapa?" tanya Bima setelah mengikuti kemana pandangan wanita itu tertuju.

"Engga, hanya lihat mereka begitu cocok."

"Kita juga cocok."

"Apa, Mas."

"Jangan terlalu melihat apa yang di lihat oleh mata, lihatlah seperlunya. Kadang yang di lihat tidak selamanya indah, ada yang sedikit sesak jika terlalu lama di pandang? Benar bukan?"

Bia mengangguk, ya, cukup memandang seperlunya agar hatinya tidak sakit lagi. "Simpan aja di sini motornya, Mas."

"Iya, saya pulang maaf engga bisa mampir."

Bia mengangguk, setelah Bima tidak bisa ia lihat lagi. Bia memutuskan untuk masuk, ia mengambil napas dalam-dalam.

Tersenyum saat melihat mereka berdua. "Baru pulang, Bi?"

"Iya, Ga. Duluan, ya." Bia dengan cepat memasuki kamarnya. Duduk di pinggir ranjang sembari menatap ke depan, sungguh miris nasibnya sekarang.

Suara dering ponsel miliknya terdengar, dengan cepat ia membukanya. Satu nama yang membuatnya merinding, laki-laki Bima.

laki-laki yang mengirimnya pesan, menyatakan bahwa ia sudah sampai di rumah dan meminta Bia untuk tidur.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!