Memilih duduk diantara bangku yang kosong, Ferly mengenakan topi serta jaket berwarna merah. Tak lupa memakai masker juga kacamata untuk menutupi identitasnya. Dan, yang paling penting adalah teman kesayangannya yang sejak datang ke Palembang selalu ia sembunyikan di dalam tas, yaitu kamera. Yang sengaja ia bawa untuk memotret setiap momen ketika kekasihnya bermain di lapangan.
Ya. Kini Ferly sudah bersiap menonton pertandingan tim basket putri, di mana kontingen Jawa Tengah akan bertanding dengan kontingen Nusa Tenggara Timur. Sementara tim futsalnya sendiri baru akan bertanding besok siang.
Meski duduknya sedikit jauh dari bibir lapangan, yang mana ia juga akan kesulitan untuk melihat Irish secara dekat. Tetapi itu lebih baik, daripada dia tidak menonton kekasihnya bertanding sama sekali, bukan?
Selama pertandingan berlangsung. Kameranya tak berhenti memotret, fokusnya pun tak beralih dari sang kekasih. Tadi sebelum pertandingan dimulai, Ferly sudah memberi kabar pada Irish kalau dia sudah duduk di bangku penonton. Tetapi sepertinya sampai sekarang belum dibaca oleh sang kekasih.
Namun, dilihat dari gelagat Irish, sepertinya dia sedang kebingungan mencari keberadaan Ferly. Karena sedari tadi raut wajahnya yang tertangkap kamera menunjukkan kebingungannya akan sesuatu, terlebih beberapa kali Ferly menangkap pandangan Irish yang sering mengedari bangku penonton.
Priitt... Priitt... Priitt....
Tiupan panjang menandakan berakhirnya pertandingan basket malam ini, dengan kemenangan diraih oleh kontingen Jawa Tengah. Meski wajahnya tertutup oleh masker, tak dapat menutupi rasa bahagia Ferly saat melihat tim kekasihnya memenangkan pertandingan dan lolos ke babak berikutnya.
Terlihat Irish sedang beradu tos bersama rekan-rekan seperjuangannya. Senyumnya mekar sempurna, memperlihatkan kebahagiaannya kini. Sampai senyuman di bibir Ferly menurun seketika, matanya tak henti menyorot ke arah Irish yang tiba-tiba dihampiri oleh seorang lelaki.
Matanya terbelalak ketika lelaki itu dengan beraninya memeluk kekasihnya. Menarik napas dalam-dalam, Ferly mencoba menenangkan pikirannya sendiri. Bisa saja itu gurunya di sekolah kan? Atau mungkin kerabat Irish juga ada yang ikut ke Palembang? Ferly tidak boleh asal menyimpulkan. Tetapi, kenapa Irish terlihat begitu senang ketika bertemu lelaki itu?
Mereka terlihat begitu akrab, apalagi Irish sampai menggandeng tangan lelaki itu tanpa sungkan. Ferly tidak bisa melihat wajah lelaki itu karena tertutup oleh beberapa penonton yang berlalu-lalang di depannya.
...****************...
Ferly berusaha mengejar Irish bersama lelaki misterius itu, tetapi karena tidak fokus memperhatikan jalan, dia tersandung dan jatuh. Panik menyerangnya ketika teringat kamera yang menggantung di lehernya hampir saja terbentur tanah. Dilihatnya kondisi si kamera dengan teliti, memastikan tidak ada yang lecet ataupun rusak.
Setelah dirasa aman, Ferly menghela napas lega. Beruntung kameranya masih baik-baik saja, walau ia harus kehilangan jejak kekasihnya. Tapi sudahlah, selama ini Irish selalu jujur kepadanya. Mungkin saja Irish lupa untuk memberitahunya sesuatu, mengingat Irish orangnya pelupa. Ferly harus percaya pada Irish, dan menunggu kekasihnya sendiri yang menjelaskan perihal yang dilihatnya tadi.
"Ferly?!"
Ferly terhenyak ketika mendengar namanya dipanggil, dirinya masih mengenakan masker, topi juga kacamata. Lalu siapa yang bisa mengenalinya disaat seperti ini?
Dia menoleh perlahan guna memastikan telinganya masih berfungsi dengan baik. Dan, terkejutnya dia saat tahu siapa yang baru saja memanggilnya.
"Ternyata benar lo, ya!" ujar orang itu lagi.
Ferly bingung, dia harus pergi untuk menghindar, atau bertahan dan balik menyapa orang itu?
Bagaimana mungkin orang itu bisa mengenali dirinya di saat seperti ini?
Karena sungguh, Ferly tidak ingin terlibat dengan orang-orang di sekolah lamanya. Menurutnya, menghindari mereka adalah hal wajib yang harus ia lakukan untuk menjaga kesehatan mentalnya.
Tapi, tubuhnya sepertinya tidak mau diajak kerja sama. Kakinya tak mau beranjak dari posisi berdirinya saat ini. Tatapannya juga tak beralih dari sosok di hadapannya. Ada rasa takut yang tiba-tiba menyelinap di benaknya. Seakan menyuruhnya untuk lari saat itu juga, namun tubuh Ferly seperti mati rasa.
Apakah dunia ini begitu sempit, sampai ia harus bertemu dengan seseorang yang sebenarnya juga tidak ingin bertemu dengannya?
Sementara, lelaki di depan Ferly menatap Ferly dengan tatapan seolah mencemoohnya. Bibirnya tersungging melihat reaksi teman lamanya yang sepertinya ketakutan saat melihatnya.
Ferly paham akan tatapan merendahkan dari teman di sekolah lamanya itu. Sebisa mungkin Ferly harus melawan dirinya sendiri kali ini, membuktikan bahwa dirinya baik-baik saja.
"Oh... Hai, Dit!. Apa kabar?!"
Meski gugup, Ferly mencoba memaksakan senyum terbaiknya. Menyapa seramah mungkin. Menurunkan masker yang menutupi mulutnya sampai bawah dagu. Juga melepaskan kaca mata yang menutupi kedua matanya.
"Gue selalu baik. Harusnya gue yang tanya gimana kondisi lo, kan?! Dan, lo kenapa bisa ikut ke sini?"
Ferly heran, melihat raut wajah Aditya yang menurutnya tidak biasa. Ditambah dengan pertanyaan seperti itu pula. Tetapi, Ferly juga harus hati-hati dalam menjawab, keikutsertaan dirinya di POPNAS adalah rahasia. Tidak sembarang orang boleh tahu alasan utama dia ikut ke Palembang.
"Ehm... Ada tugas dari sekolah gue yang sekarang." Ferly menunjukkan kamera yang menggantung di lehernya, seolah memberi jawaban atas pertanyaan dari Aditya, "sekolah minta gue buat bantuin anak jurnalis untuk bikin dokumentasi kegiatan di sini, karena rata-rata dari mereka juga ikut olahraga."
Mengangkat sebelah alisnya, Aditya sepertinya tidak langsung percaya dengan jawaban yang dilontarkan Ferly.
"Oh. Gue kira lo udah balik lagi ke basket. Siapa tahu kita bisa ketemu di lapangan kan?!"
Menggelengkan kepalanya pelan, Ferly tetap menunjukkan senyumnya. Ia jelas tahu maksud perkataan teman lamanya itu. Tapi, lagi-lagi Ferly tidak boleh terkecoh, ia harus berhati-hati dalam berbicara.
"Lo juga tahu gue nggak bisa balik ke basket lagi, kan?! Dan, kalaupun gue main basket lagi, harusnya lo udah tahu itu dari lama karena kita satu kontingen kan?!"
Bernada sindiran, tatapan Ferly berubah menajam seketika. Seolah ada bahasa tersembunyi dari setiap kalimat yang mereka ucapkan sejak tadi.
Sepertinya hari ini Ferly kurang beruntung, belum sempat ia pergi karena tak ingin berlama-lama bertemu Aditya. Teman-teman Aditya malah ikutan datang menghampiri mereka berdua. Rupanya mereka akan bertanding malam ini.
"Wih... Ada kawan lama kita, nih!!"
"Apa kabar, lo? Sombong banget nggak mau nyapa kita!"
"Nggak nyangka kita bakal ketemu di sini. Gue kira lo nggak mau ikut ke sini saking takutnya main basket. Hahaha..."
Beberapa teman lamanya yang lain tiba-tiba muncul. Merangkul bahu Ferly yang terasa seperti hendak mencekiknya. Mencoba melawan pun rasanya tidak berguna, tubuh Ferly kaku seketika. Napasnya seperti tercekat, tubuhnya seakan tidak siap menerima perlakuan teman-teman lamanya.
Ditambah berbagai kalimat lain yang niatnya untuk mengolok-olok dirinya. Perlahan mulai menghilangkan kesadaran Ferly, tatapannya menjadi kosong, namun fokusnya tetap pada satu orang. Yaitu pada lelaki di hadapannya, Aditya. Meskipun lelaki itu hanya diam, namun jelas tatapannya adalah yang paling merendahkan Ferly.
Mengepalkan kedua tangannya, merasakan tubuhnya yang perlahan bisa ia kendalikan lagi. Ferly harus tetap tenang, tidak boleh terlihat lemah di hadapan mereka. Meski detak jantungnya sudah tidak terkendali lagi, namun Ferly masih harus mengendalikan emosinya lebih dulu untuk bisa keluar dari situasi sulit yang dihadapinya kini.
Sedikit memaksakan tubuhnya untuk bergerak, Ferly berusaha menyalami mereka satu per satu. Menutupi kegugupannya, dan membuktikan kepada mereka bahwa dia baik-baik saja. Tidak lupa pula senyuman ramah yang harus ia keluarkan meski dengan setengah hati.
"Kalian pada ngapain, sih. Nggak usah jahilin Ferly, deh. Dia ikut ke sini itu karena sekolahnya lagi butuh dia. Mending kita pergi, biar Ferly bisa fokus sama tugas barunya itu."
Yang sedari tadi diam saja dan hanya memperhatikan, ternyata sekalinya bersuara langsung melukai Ferly. Bagai menusuknya dengan pedang yang langsung mengenai jantungnya. Sakit tapi tak berdarah. Terluka tapi tak terlihat. Dan, sudah tahu sedang terluka, malah diberi garam yang malah memperparah sakitnya.
"Kita duluan ya, Fer. Masih perlu latihan buat tanding nanti," ucap salah satu teman Aditya yang kemudian meninggalkan Ferly.
Akhirnya Ferly bisa bernapas lega, diletakkan tangan kanannya di dada kirinya, guna merasakan detak jantungnya yang tak karuan. Juga merasa bangga dengan dirinya karena sedikit bisa mengendalikan emosinya tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga.
...****************...
...Pertemuan yang tidak diharapkan, nyatanya malah tetap dipertemukan. Mental yang tak siap dengan berbagai kalimat itu, nyatanya harus mendengar sampai ke relung hati. Jelas melukai meski tanpa menggunakan senjata....
..._Ferly Erlangga_...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Anne Soraya
aku mampir...
semangat....
2024-11-28
1